Sesudah menandaskan makan dan minumnya, Zahra dan Zyan menghampiri istri pemilik warung yang biasanya menerima pesanan dan pembayaran dari pelanggan.“Berapa, Bu?” tanya Zyan sambil mengambil dompet di saku celana belakang.“Tujuh puluh ribu, Mas,” jawab wanita paruh baya itu.Zyan membuka dompet, tapi dia tidak menemukan uang tunai di sana. “Saya tidak bawa uang tunai. Apa bisa bayar pakai QRIS, Bu?” tanyanya. “Maaf, Mas. Kami hanya menerima uang tunai saja. Saya tidak mau ribet, mesti ngambil uang dulu kalau mau belanja ke pasar,” jawab istri pemilik warung.“Kayanya aku masih ada cash, Bang.” Zahra mengambil dompet dari tas. Untung saja masih ada selembar uang seratus ribu di sana. Dia lalu menyerahkan pada ibu tersebut. “Ini, Bu. Ambil saja kembaliannya,” ucapnya.“Loh, Mbak, ini masih sisa tiga puluh ribu,” lontar wanita paruh baya itu.Zahra menggeleng. “Gapapa. Ambil saja. Itu rezeki Ibu dan Bapak.”“Alhamdulillah. Terima kasih, Mbak, Mas, semoga rezekinya dilancarakan, begitu
Rahang Zyan mengetat melihat Zahra berbicara dengan Baron. Baru ditinggal sebentar saja, sudah ada pria yang mendekati istrinya. Bagaimana kalau ditinggal lama? Bisa jadi belahan jiwanya itu dikelilingi banyak pria.Pria bercambang tipis itu memarkirkan mobil begitu dekat dengan tempat istrinya menunggu. Tanpa mematikan mesin mobil, dia keluar dari kendaraan mewahnya lalu berjalan menghampiri sang pujaan hati.“Ayo, kita pulang.” Zyan mengulurkan tangan kanannya pada Zahra.Wanita yang mengenakan hijab merah muda itu tersenyum menyambut kedatangan suaminya. Dia kemudian meraih tangan Zyan. Pria yang sudah menghalalkannya itu lantas membantunya berdiri.“Mas Baron, terima kasih sudah ditemani. Aku pulang dulu.” Zahra berpamitan pada teman kakaknya itu sebelum pergi.“Ya, hati-hati. Salam buat Ayah dan Ibu,” sahut Baron.Zahra mengangguk. “Insya Allah, kusampaikan.”Tak mau istrinya berbicara lebih lama dengan pria berpenampilan necis itu, Zyan lekas mengajak Zahra masuk ke mobil. Seper
Zyan terkejut mendengar pertanyaan sang istri. Pria bercambang tipis itu sontak menginjak pedal rem sampai mentok. Membuat mobil berhenti mendadak dan menimbulkan suara berdecit. "Astaghfirullah!" seru Zahra yang kaget karena mobil berhenti mendadak. "Kenapa berhenti, Bang? Apa mobilnya bermasalah?" tanyanya kemudian. Zyan tak menjawab. Dia melihat kondisi jalanan sembari menyalakan lampu sein kiri, lantas menepikan kendaraannya begitu ada kesempatan. Untung saja jalanan cukup lengang jadi tidak menimbulkan kecelakaan karena Zyan mengerem mendadak. Meskipun membuatnya diumpat banyak orang, dia tidak peduli. "Bang, mobilnya beneran ada masalah ya? Kok malah minggir dan berhenti?" Zahra kembali bertanya karena suaminya sama sekali belum memberi jawaban. Zyan menggeleng. "Mobilnya tidak apa-apa." Pria itu akhirnya bersuara. "Terus kenapa kita berhenti?" cecar Zahra. "Abang harus bicara dan meluruskan sesuatu sama kamu." Zyan melepas sabuk pengaman lalu duduk menyamping menghada
Sabtu malam selepas Isya, Zyan dan Zahra pergi berdua. Pria itu menepati janjinya mengajak sang istri bertemu dengan teman-temannya sesama anggota klub motor, seperti janjinya beberapa hari yang lalu. Malam ini, Zahra mengenakan celana jin untuk ibu hamil, kaos putih lengan panjang, dan jaket kulit warna hitam yang dibeli di Turki. Kepalanya ditutup dengan hijab warna hitam, sementara untuk alas kaki, bumil itu mengenakan sepatu bot pendek yang warnanya senada dengan hijabnya. Tak beda jauh dengan Zyan. Pria itu juga mengenakan celana jin, kaos pas badan warna putih, dan jaket kulit serta sepatu bot yang couple-an dengan sang istri. Membuat penampilan kedua orang itu tampak serasi bila disandingkan. Outfit mereka malam ini diatur oleh Zyan.Zyan berani mengajak istrinya naik motor setelah sebelumnya berkonsultasi dengan dokter kandungan. Begitu sang dokter mengizinkan, dia pun langsung merancang semuanya, termasuk outfit yang mereka kenakan malam ini. Pria itu membeli helm, kaos tan
"Sejak kapan dia masuk jadi anggota?" Zyan bertanya pada anggota klub motor yang duduk tak jauh darinya."Sebulan atau dua bulan yang lalu. Kamu sih ga pernah kelihatan jadi ketinggalan info," sahut anggota klub itu.Zyan berdecak. "Namanya juga pengantin baru. Inginnya berduaan terus. Ini kami juga belum lama balik dari baby moon.""Iya, ngerti. Berita tentang kamu sama istrimu 'kan selalu ada saja," timpal pria tersebut."Pesanku, hati-hati sama dia. Jangan sampai pasanganmu digoda sama orang itu." Zyan kembali membahas pria yang baru datang.Anggota klub itu mengernyit. "Memangnya istrimu pernah digoda?"Ingatan Zyan sekilas berkelana ke masa di mana dia menolong Zahra dari Edwin, hingga membuatnya harus menikah dengan sekretarisnya itu. "Bisa dibilang sudah dilecehkan secara verbal. Tapi itu sebelum aku menikah dengan istriku. Kalau sekarang dia berani melakukannya lagi, aku tak akan segan menghabisinya," terang Zyan dengan rahang mengetat. Pada kenyataannya Edwin pernah kembali
Tanpa terasa kehamilan Zahra sudah menginjak usia tujuh bulan. Rania menginginkan ada acara tujuh bulanan secara besar-besaran karena merupakan calon cucu pertama. Zyan dan Zahra hanya bisa menurut, karena percuma saja menolak, Rania tetap akan memaksakan kehendaknya. Zyan sebenarnya hanya menginginkan pengajian dan berbagi dengan anak-anak yatim seperti usulan mertuanya, tapi Rania bersikukuh ingin mengadakan tingkeban atau acara tujuh bulanan. Menurut wanita paruh baya itu, sebagai keturunan Jawa mereka harus melestarikan budaya leluhur. Saat Zyan dan Zahra menikah tidak menggunakan upacara adat, jadi Rania ingin melakukannya saat tujuh bulan kehamilan menantunya. Seperti biasa, Rania yang mengurus semuanya dibantu oleh asistennya. Semua tinggal datang dan menjalankan perannya saat pelaksanaan acara tujuh bulanan.Upacara tujuh bulanan itu dilaksanakan di kediaman Dharmawangsa, tepatnya di halaman belakang, di dekat kolam renang. Hal itu untuk memudahkan Zahra berganti pakaian di k
Sebelum berlanjut ke prosesi selanjutnya, Zahra berganti terlebih dahulu. Bumil itu melepas kebaya kemudian menggantinya dengan atasan yang terbuat dari roncean bunga melati. Zahra sebelumnya sudah menggunakan dalaman sewarna kulit agar tidak terlihat auratnya saat mengenakan roncean melati.Zahra kemudian duduk di tempat acara siraman akan berlangsung. Air yang digunakan untuk acara siraman harus berasal dari tujuh sumber yang kemudian diberi bunga tujuh rupa. Arti dari prosesi adalah membersihkan diri baik secara fisik maupun mental.Yang pertama melakukan siraman adalah Prabu, selanjutnya Rania, kemudian Umar, Maryam, dan beberapa kerabat yang dituakan. Zyan yang paling terakhir menyiramkan air ke tubuh istrinya.Setelah itu Zyan melakukan prosesi pecah telur. Calon ayah itu menempelkan telur ayam kampung di kening dan di perut Zahra. Zyan kemudian menjatuhkan telur melewati kain yang dililitkan secara longgar pada perut istrinya. Begitu telur yang dijatuhkan pecah, hal itu menjadi
Zyan menghentikan kegiatannya memijat kaki Zahra. Pria itu menatap lekat netra sang belahan jiwa. “Bukan begitu maksud abang, Ra. Kamu sudah salah paham. Tadi abang bilang mau kerja di rumah biar kamu ga capek wira-wiri dari rumah ke kantor atau sebaliknya. Abang ga minta kamu berhenti bekerja, kamu tetap kerja sebagai sekretaris abang, tapi ngantornya di ruang kerja abang,” jelasnya agar Zahra tidak salah pengertian.“Terus aku kerja di rumah, abang di kantor?” Wanita yang sedang hamil itu tiba-tiba terlihat linglung.Zyan menggeleng. “Abang juga kerja di rumah kok bareng sama kamu. Kalau ada meeting baru abang pergi sama Faisal atau asistennya,” terang CEO itu.“Oh, begitu. Kirain Abang ingin aku berhenti kerja.” Zahra merasa malu karena sudah salah paham dengan ucapan suaminya. Entah kenapa malam ini otaknya tidak bisa berpikir jernih. Apa mungkin karena kecapekan setelah seharian beraktivitas dan tak sempat istirahat siang? Dia tidak tahu juga penyebabnya.“Abang tidak akan menyu
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama