;-0 maaf baru up, author kelelahan setelah acara 7harian.
Kring ....Aku urung membereskan meja kerja karena dering ponselku mengalun. Di sana ada nomer lelaki yang sangat kucintai dan dengan senyum mengembang, lalu aku mengangkatnya."Ya, Mas?""Mau pulang bareng?"Sejauh ini, aku belum pernah menunjukkan dimana aku tinggal pada Mas Hadza. Jika dia tahu, maka Afifah bisa membocorkannya pada Pak Akhtara. Juga aku takut ketika Mas Hadza bertandang, Pak Akhtara juga pulang ke rumah. "Ehm ... aku ada acara jalan sama teman, Mas.""Siapa? Aku cemburu loh."Kemudian aku tertawa meningkahi ucapan Mas Hadza. "Ya ampun, Mas, ini tuh teman cewek jaman kuliah."Terpaksa aku membohonginya. Padahal aku akan bertemu Rara yang notabene adalah manajer aplikasi pacar sewaan yang dulu menjadi pekerjaan sampinganku. "Oh ... maaf kalau salah tebak. Emang mau nonton?""Iya, Mas, sama cerita kesana kemari gitu. Namanya ketemu teman lama, pasti ada yang digosipin.""Oke, hubungi aku kalau kamu mau dijemput atau apapun.""Iya, sayang.""Love you, Han.""Love you
"Pak Akhtara nelfon, Mbak."Aku mengerutkan kedua alis dengan ucapan Afifah. "Kok kamu tahu?""Pak Akhtara nelfon ke rumah, Mbak. Barusan tanya saya, Mbak dimana? Ya saya jawab kalau Mbak ada di kamar. Lalu disuruh nyampein pesannya kalau beliau nelfon."Oh ... Pak Akhtara tidak bisa menghubungiku lalu menyuruh Afifah menyampaikan pesannya. "Oke. Kamu boleh keluar."Setelah kepergian Afifah, aku menarik bantal dan menatap layar ponsel. Ah ... masih terhubung dengan Mas Hadza. Kemudian kembali menempelkannya di telinga. "Halo, Mas?""Kamu dari mana, princess?" Tanyanya sedikit kesal."Itu tadi, pembantu rumah bilang kalau makan malam udah siap.""Oh ... aku pikir kamu kemana.""Kemana lagi emangnya, Mas? Aku ya tetap di sini. Menunggumu dan selalu ada di hatimu." Dengan posisi berbaring dan menatap plafon kamar, aku menggombali Mas Hadza. Kemudian ia tertawa lirih sedang panggilan dari Pak Akhtara kembali menginterupsi. Namun aku lagi-lagi mengabaikan panggilannya dan terus berbicar
Dengan jatung bertalu-talu aku mendekati Pak Akhtara dengan kaki yang juga terasa berat. Padahal beliau sedang fokus melahap makan malamnya. Namun auranya sudah membuatku panas dingin.Ingin lari menuju kamar tapi aku ingat akan pesan pengacaraku. Jika tidak sekarang, kapan lagi?Bukankah jika semakin cepat maka akan semakin baik?“Malam, Pak.”Beliau tidak menjawab salamku dan masih fokus melahap makan malamnya.Aduh … bagaimana ini?Suapan demi suapan itu akhirnya habis ditelan Pak Akhtara dan aku masih setia berdiri di sebelahnya.Bukannya menatapku, Pak Akhtara merapikan piring kotor itu lalu membawanya ke wastafel sekaligus mencucinya. Ketika berbalik ke arahku, beliau seperti tidak melihat kedatanganku lalu berlalu menuju kamar.Aku pun bingung.‘Kenapa nggak marah?’ Batinku bertanya.Beliau tetap menuju ke kamar sedang aku hanya termangu menatap punggung tegapnya yang makin menjauh.Merasa ada yang tidak beres dengan rencanaku, akhirnya aku mengikuti beliau untuk mencari tahu.“
“Tolong, jangan sentuh Mas Hadza. Jangan membencinya.”Lalu Pak Akhtara tersenyum sinis sembari menatapku.“Panggilan yang manis. Mas Hadza.” Cibirnya.“Saya yang salah, Pak. Bukan Mas Hadza. Saya akui kalau saya lah yang menarik dia untuk masuk ke dalam kehidupan saya. Saya akui kalau saya mencintainya.”Bagaimanapun aku harus melindungi Mas Hadza. Jangan sampai dengan kekuasaannya, Pak Akhtara bisa membuat lelaki yang kucintai itu terluka atau menjadi pengangguran. Bisa-bisa kami batal menikah dalam waktu dekat.“Luar biasa. Istriku berkata terang-terangan tentang perasaannya pada selingkuhannya.”“Apapun sindiran Pak Akhtara, saya nggak peduli. Saya jahat? Iya! Saya tega? Iya! Saya nggak punya hati nurani? Iya! Semua keburukan itu ada pada saya kalau bukan karena takdir yang membuat saya begini!”Sekalian saja aku mengutarakan kekesalanku pada Pak Akhtara. Agar beliau tahu jika aku seperti itu juga karena keadaan.“Kalau aja kedua orang tua saya nggak bangkrut, saya nggak akan sudi
Rara langsung menepikan mobilnya lalu menatapku dengan ekspresi tidak habis pikir."Lo bener-bener nggak tahu terima kasih ya, Han? Udah gue bantuin banyak malah lo nuduh gue bocorin rahasia lo ke Pak Akhtara. Atas dasar apa lo nuduh gue kayak gitu? Ada buktinya nggak? Atau lo cuma ngarang?!"Aku pun membalas ucapannya dengan emosi menggebu. "Karena yang tahu semua rahasia gue itu lo doang, Ra!" ucapku dengan menunjuk wajahnya. "Lantas, kalau gue tahu semua rahasia lo, apa itu artinya gue yang bocorin? Mana buktinya kalau gue bocorin rahasia lo ke Pak Akhtara?! Mana, heh?!" Tantangnya. Benar juga apa kata Rara. Belum tentu dia yang membocorkan semua rahasiaku pada Pak Akhtara meski dia tahu segalanya. "Nggak bisa jawab kan?!" Tebaknya. "Tahu lah! Gue pusing!" Akhirnya aku mengelak karena pikiranku benar-benar kacau. Bagaimana tidak kacau jika sedari pagi aku sudah mendapat dua kejutan besar yang menjungkirbalikkan hidupku. "Makanya, kalau nggak mau pusing tuh jangan main api! A
Tidak mungkin aku keliling mencari kos-kosan ketika hari sudah gelap seperti ini. Ditambah tarif taksi di jam pulang bekerja seperti ini pasti mahal-mahalnya dan aku membawa tas besar.Akhirnya aku memutuskan untuk menginap di stand kulinerku.Di lantai dua, ada sebuah kasur lantai yang pernah Pak Akhtara siapkan khusus untukku beristirahat. Di sana juga ada kamar mandi mini, setidaknya aku bisa bertahan sesaat di sana sampai menemukan kos-kosan yang cocok.Stand sedang ramai akan pengunjung, jadi tidak mungkin aku berjalan di tengah keramaian pengunjung dengan membawa dua tas besar seperti ini.Memalukan!Akhirnya aku duduk di kursi teras sendirian dengan menahan perih sejadi-jadinya di perut.Melihat pembeli melahap menu yang tersedia di standku, lalu aku menghubungi ponsel salah satu karyawan agar membawakan seporsi makan malam untukku. Tapi sayang, tidak ada yang mengangkat panggilanku.“Ponselnya pasti di taruh loker semua. Aduh!”Saat menurunkan tas dari taksi saja kepalaku sudah
Ternyata rawat inap tanpa seseorang yang menunggui itu benar-benar perjuangan berat. Pasalnya, dengan kondisi tubuh yang lemah seperti ini, ketika hendak buang air kecil, aku merasa kesusahan.Badanku seperti tidak seimbang dan butuh pegangan menuju toilet. Ditambah harus memegangi kantong cairan infus.“Aduh … sakitnya. Kenapa harus sakit segala?!” Gumamku.Esok paginya, seorang dokter dan perawat mendatangiku untuk melakukan pengecekan. Kondisiku masih lemah dan memerlukan perawatan.Ketika akan melahap sarapan pun, aku kesusahan membuka penutup plastik di atas setiap piring menu. Maklum tangan kiri terpasang infus dan aku takut menggerakkannya.Lagi-lagi di kondisi seperti ini, aku teringat Pak Akhtara. Saat kami di Maldives, beliau dengan sabar meladeni menu makanan apa yang kuinginkan.“Kenapa isi otak gue selalu Pak Akhtara! Pak Akhtara lagi!”Lalu aku menepuk kepala dua kali agar berhenti memikirkan beliau yang sekarang entah bagaimana kabarnya.Tapi sekarang, aku benar-benar ke
“Gue lelah.” Gumamku.Ini sudah pukul sembilan malam dan jarum infus yang baru sudah terpasang kembali. Hanya saja kali ini terpasang di punggung tangan sebelah kanan. Karena pembuluh darah yang kiri terkoyak saat aku mencabutnya paksa tadi.Aku menarik selimut lalu berbaring miring. Kemudian terdengar ketukan pintu dan aku mengabaikannya.Pasti itu suster akan memberiku injeksi.“Han?”Mendengar suara Mas Hadza memanggil namaku, reflek aku langsung menoleh.Mau apa dia kembali?Tapi dia datang dengan seorang perempuan yang tidak kukenal. Dan perempuan itu tersenyum sopan padaku.Siapa dia?“Ini adikku, Han. Dara.”Oh … aku pikir siapa.Aku kemudian tersenyum tipis ke arahnya.“Malam ini, aku bakal nemenin kamu tidur di sini. Tapi sama Dara juga. Biar nggak ada fitnah atau hasutan-hasutan. Gimana pun, kita belum nikah.”Kepalaku mengangguk saja.“Ibu titip salam, Han. Cepat sembuh.”Kepalaku mengangguk, “Makasih, Mas.”Dara kemudian menuju sofa penunggu, sedang Mas Hadza mengambil kurs
POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da
POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa
POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b
POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."
POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak
POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang
POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m
POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr