:-0
Rara langsung menepikan mobilnya lalu menatapku dengan ekspresi tidak habis pikir."Lo bener-bener nggak tahu terima kasih ya, Han? Udah gue bantuin banyak malah lo nuduh gue bocorin rahasia lo ke Pak Akhtara. Atas dasar apa lo nuduh gue kayak gitu? Ada buktinya nggak? Atau lo cuma ngarang?!"Aku pun membalas ucapannya dengan emosi menggebu. "Karena yang tahu semua rahasia gue itu lo doang, Ra!" ucapku dengan menunjuk wajahnya. "Lantas, kalau gue tahu semua rahasia lo, apa itu artinya gue yang bocorin? Mana buktinya kalau gue bocorin rahasia lo ke Pak Akhtara?! Mana, heh?!" Tantangnya. Benar juga apa kata Rara. Belum tentu dia yang membocorkan semua rahasiaku pada Pak Akhtara meski dia tahu segalanya. "Nggak bisa jawab kan?!" Tebaknya. "Tahu lah! Gue pusing!" Akhirnya aku mengelak karena pikiranku benar-benar kacau. Bagaimana tidak kacau jika sedari pagi aku sudah mendapat dua kejutan besar yang menjungkirbalikkan hidupku. "Makanya, kalau nggak mau pusing tuh jangan main api! A
Tidak mungkin aku keliling mencari kos-kosan ketika hari sudah gelap seperti ini. Ditambah tarif taksi di jam pulang bekerja seperti ini pasti mahal-mahalnya dan aku membawa tas besar.Akhirnya aku memutuskan untuk menginap di stand kulinerku.Di lantai dua, ada sebuah kasur lantai yang pernah Pak Akhtara siapkan khusus untukku beristirahat. Di sana juga ada kamar mandi mini, setidaknya aku bisa bertahan sesaat di sana sampai menemukan kos-kosan yang cocok.Stand sedang ramai akan pengunjung, jadi tidak mungkin aku berjalan di tengah keramaian pengunjung dengan membawa dua tas besar seperti ini.Memalukan!Akhirnya aku duduk di kursi teras sendirian dengan menahan perih sejadi-jadinya di perut.Melihat pembeli melahap menu yang tersedia di standku, lalu aku menghubungi ponsel salah satu karyawan agar membawakan seporsi makan malam untukku. Tapi sayang, tidak ada yang mengangkat panggilanku.“Ponselnya pasti di taruh loker semua. Aduh!”Saat menurunkan tas dari taksi saja kepalaku sudah
Ternyata rawat inap tanpa seseorang yang menunggui itu benar-benar perjuangan berat. Pasalnya, dengan kondisi tubuh yang lemah seperti ini, ketika hendak buang air kecil, aku merasa kesusahan.Badanku seperti tidak seimbang dan butuh pegangan menuju toilet. Ditambah harus memegangi kantong cairan infus.“Aduh … sakitnya. Kenapa harus sakit segala?!” Gumamku.Esok paginya, seorang dokter dan perawat mendatangiku untuk melakukan pengecekan. Kondisiku masih lemah dan memerlukan perawatan.Ketika akan melahap sarapan pun, aku kesusahan membuka penutup plastik di atas setiap piring menu. Maklum tangan kiri terpasang infus dan aku takut menggerakkannya.Lagi-lagi di kondisi seperti ini, aku teringat Pak Akhtara. Saat kami di Maldives, beliau dengan sabar meladeni menu makanan apa yang kuinginkan.“Kenapa isi otak gue selalu Pak Akhtara! Pak Akhtara lagi!”Lalu aku menepuk kepala dua kali agar berhenti memikirkan beliau yang sekarang entah bagaimana kabarnya.Tapi sekarang, aku benar-benar ke
“Gue lelah.” Gumamku.Ini sudah pukul sembilan malam dan jarum infus yang baru sudah terpasang kembali. Hanya saja kali ini terpasang di punggung tangan sebelah kanan. Karena pembuluh darah yang kiri terkoyak saat aku mencabutnya paksa tadi.Aku menarik selimut lalu berbaring miring. Kemudian terdengar ketukan pintu dan aku mengabaikannya.Pasti itu suster akan memberiku injeksi.“Han?”Mendengar suara Mas Hadza memanggil namaku, reflek aku langsung menoleh.Mau apa dia kembali?Tapi dia datang dengan seorang perempuan yang tidak kukenal. Dan perempuan itu tersenyum sopan padaku.Siapa dia?“Ini adikku, Han. Dara.”Oh … aku pikir siapa.Aku kemudian tersenyum tipis ke arahnya.“Malam ini, aku bakal nemenin kamu tidur di sini. Tapi sama Dara juga. Biar nggak ada fitnah atau hasutan-hasutan. Gimana pun, kita belum nikah.”Kepalaku mengangguk saja.“Ibu titip salam, Han. Cepat sembuh.”Kepalaku mengangguk, “Makasih, Mas.”Dara kemudian menuju sofa penunggu, sedang Mas Hadza mengambil kurs
Aku menatap Pak Yusuf dengan mata membola dan perasaan campur aduk. Ucapan beliau itu seperti sebuah sindiran juga hinaan bagiku. "Pak Yusuf! Anda nggak berhak menghakimi jalan hidup saya!"Pak Yusuf menatapku santai dengan seulas senyum tipis. "Tenang, Mbak Jihan. Saya tidak menghakimi jalan hidup Mbak Jihan. Tapi hanya menyampaikan apa yang Pak Akhtara katakan.""Nggak mungkin! Pak Akhtara nggak mungkin berpesan hal kayak gitu!" ucapku dengan nada marah. "Oh ... Mbak nggak percaya?"Lalu ia mengeluarkan ponsel dan mengulirnya lalu menunjukkan kontak Pak Akhtara yang terpampang di layar ponselnya. "Apa perlu saya sambungkan dengan beliau biar Mbak bisa dengar sendiri bagaimana ucapan Pak Akhtara?!"Mendadak aku langsung geram setengah mati dengan Pak Yusuf."Pak Yusuf keterlaluan! Saya bisa melaporkan Bapak dengan tuduhan penghinaan!"Lantas ia tertawa hingga matanya menyipit. "Mbak mau melaporkan saya? Dengan tuduhan Mbak saya anggap selingkuh?" Kemudian ia tertawa lalu membuka
[Pesan untuk Mas Hadza : Mas, aku minta maaf. Aku minta maaf kalau beberapa hari belakangan ini, kita mungkin nggak bisa ketemu. Aku nitip stand sementara waktu.]Usai mengirim pesan itu, aku bersiap menuju kantor biro hukum pengacaraku. Sedang surat izin aku pura-pura sakit sudah kukirimkan pada bagian personalia kantor. Baru saja aku akan membuka pintu kamar kos, Mas Hadza menghubungiku. "Ya, Mas?""Apa maksud pesanmu?"Aku membasahi bibir lalu meraup udara sebanyak mungkin dan menghelanya pelan. "Aku ... mau nyelesain masalahku, Mas. Aku janji, ini bakal jadi hari terakhir aku berurusan sama masa laluku. Setelah itu, aku bakal hapus semuanya dan fokus sama hubungan kita.""Masa lalu?" Tanyanya."Aku titip stand ya, Mas?"Bukannya menjawab tanyanya, aku justru berpesan agar dia menjaga stand kulinerku. "Kenapa kamu selalu lari dari pertanyaanku, Han?""Aku janji, setelah ini selesai, aku bakal cerita ke kamu apa yang terjadi, Mas."Lalu terdengar ia menghela nafas kasar. "Aku be
Aku bersandar di dinding kamar kos-kosan sambil menempelkan ponsel di telinga."Kabar baik, Ma.""Syukurlah. Mama mimpi jelek, Han, semalam."Ini Mamaku, yang tinggal bersama Papa di kampung halaman. Tinggal di sebuah rumah sederhana yang kubeli dari hasil menjadi istri sewaan Pak Akhtara. Astaga ... mengapa aku masih mengingat beliau?Mungkin, jika aku melihat rumah Mama dan Papa di kampung sana, pasti akan selalu teringat dengan kebaikan-kebaikan Pak Akhtara yang kukhianati mati-matian. Ya Tuhan ...Pak Akhtara, dimanapun Bapak berada, tolong maafkan aku. "Mimpi apa, Ma?""Kamu nikah sama lelaki yang Mama nggak kenal. Jelas banget, Han. Mama kan jadi kepikiran. Kamu udah nikah sama Akhtara kok malah nikah lagi sama lelaki lain?"Aku melipat bibir sembari berpikir cepat. "Eh ... bunga tidur kali, Ma.""Mama nggak yakin kalau itu bunga tidur, Han. Soalnya Mama kalau mau tidur tuh ambil air wudhu lalu ngaji dulu.""Ma, kita ini manusia biasa. Bisa aja kan mimpi itu terjadi karena Ma
Semua pelangganku telah pergi!Ceceran serpihan kaca jendela berserakan dimana-mana. Ada kursi yang terbalik, meja yang bergeser dari posisinya, makanan pelanggan yang tidak habis, dan minuman yang tumpah ke lantai."Mbak Jihan, apa sebaiknya kita nggak lapor polisi?" Tanya karyawanku.Kepalaku mendadak terasa pening melihat stand kulinerku yang kacau sekali. "Ayo kita bereskan kekacauan ini," ucap Mas Hadza."Kalau ini dibereskan, polisi bisa kehilangan jejak, Mas," ucap karyawanku."Kalau lapor polisi, stand ini bakal lama nganggur. Karena harus olah TKP dan sebagainya. Emang kalian mau nganggur selama itu dan nggak kerja? Lagian, nangkep gerombolan kayak tadi tuh bukan perkara mudah dan cepat. Polisi perlu waktu yang nggak sebentar.""Tapi kalau mereka nggak dilaporkan, siapa tahu bakal balik lagi, Mas. Atau bikin kekacauan di tempat lain."Saran Mas Hadza dan karyawanku itu benar semua. Dan aku bingung harus memilih yang mana. "Gimana menurutmu, Han?"Aku menghela nafas lalu berd
POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan eksp
POV AKHTARA [Pesan dariku : Han, saya mau ke rumahmu malam ini. Apa boleh?]Aku menunggu jawaban Jihan dengan sangat tidak sabaran. Menit demi menit itu terasa sangat lama sekali. Kemana dia? Mengapa sedang tidak online?Setelah lima menit dan mondar-mandir sendiri di dalam apartemen, aku kembali melihat ponsel yang masih saja belum menunjukkan ada notifikasi dari Jihan.Baru kemarin Jihan bertamu ke apartemenku, dan hari ini aku langsung bergerak cepat. Memangnya mau menunggu apa?Ting …Aku segera meraih ponsel yang ada di meja dengan harap-harap cemas semoga saja itu dari Jihan.Dan ...[Pesan dari Jihan : Maaf, Pak. Mau apa memangnya?]Kemudian aku langsung menekan gambar telfon dan terhubung ke nomer Jihan. Aku merasa berbicara langsung itu lebih jelas dan gamblang dari pada mengatakannya melalui pesan singkat.“Halo?”“Saya mencintai kamu, Han.”Ini mungkin terlihat sangat frontal dan tidak sabaran. Karena aku langsung mengatakan isi hatiku kepada Jihan tanpa ada basa basi sama
POV AKHTARAJihan kemudian menoleh dengan mata berkaca-kaca kemudian dia berdiri tanpa membawa paper bag. Lalu dia berjalan ke arahku hingga terlihat jelas ekspresi wajahnya.Kecewa, sedih, dan marah bercampur menjadi satu.“Ketika Bapak mau pergi meninggalkan saya dan Akhtira, setelah nyuruh Faris datang ke rumah dengan memberikan deretan surat berharga beserta rekening berisi uang yang nggak main-main banyaknya, kenapa Bapak nggak angkat telfon saya?”“Kenapa Bapak main pergi aja waktu itu?”Lalu air matanya kembali jatuh setetes membasahi pipi.“Bapak ngasih saya dan Akhtira harta sebanyak itu lalu pergi gitu aja, saya kayak merasa semuanya bisa Bapak hargai pakai uang!”Kemudian air mata Jihan makin deras membasahi pipinya. Bahkan bibirnya ikut bergetar menahan isak tangis.“Saya tahu Bapak itu kaya, tapi kenapa semuanya selalu Bapak putuskan sendiri tanpa dengerin saya dulu! Kenapa Bapak selalu menilainya pakai uang?! Bapak punya hati dan cinta kan?! Kenapa nggak mencoba menggunak
POV AKHTARATujuh hari aku berada di tanah suci untuk benar-benar menghambakan diri pada Tuhan. Segala urusan duniawi kukesampingkan.Aku benar-benar mengharap ampunan turun bersama dengan kesungguhanku saat bersujud, menengadahkan tangan, dan tetesan air mata penyesalan.Kugunakan waktu itu sebaik mungkin dengan memperbanyak ibadah. Aku hanya pulang ke hotel jika benar-benar mengantuk.Aku tidak tahu apakah pemeriksaan keseluruhan terhadap kesehatanku itu lolos ataukah tidak. Bila lolos dan dinyatakan cocok, setidaknya aku telah membasuh jiwaku di tanah suci sebelum kembali pada sang Khaliq.Tapi bila tidak lolos, aku harap Tuhan memberi jalan kehidupan yang lebih baik. Karena aku sudah tidak lagi muda dan waktunya lebih fokus pada ibadah serta keluarga.Faris melambaikan tangannya begitu aku keluar dari pintu kedatangan penerbangan luar negeri. Dengan menggeret koper, aku menghampirinya yang menatapku dengan pandangan berkaca-kaca.Dia sudah kuanggap seperti adik dan langsung merangk
POV AKHTARA Faris yang berdiri di samping itu kemudian menatapku penuh keterkejutan. Pun dengan dokter yang kuajak berbicara dan masih memegang hasil laboratorium pasien yang menderita sakit keras itu. "Pak, apa ... maksudnya?" Tanya dokter itu. "Maksud saya seperti yang dokter pikirkan."Dokter itu kemudian menatap Faris dengan penuh keterkejutan. Pasalnya mana ada orang yang sudi mendonorkan hatinya dengan terang-terangan seperti aku?Mungkin mereka pikir aku sedang main-main dengan hal ini. Padahal aku benar-benar merasa bahwa ini adalah titik balik untuk memperbaiki diri dan mendapatkan ampunan dari Tuhan atas semua kesalahanku. "Pak Akhtara, maaf. Ini bukan perkara sederhana, Pak. Mendonorkan hati itu tidak sama dengan mendonorkan ginjal. Manusia punya dua ginjal dan masih bisa bertahan hidup dengan satu ginjal. Tapi kalau hati ... manusia hanya punya satu, Pak. Kalau itu diambil, maka --- ""Saya mati. Begitu kan alurnya?" Jawabku tenang. Dokter dan Faris saling bertatapan d
POV AKHTARA“Mas, mau gendong Tira nggak?” Tanya Abid dengan suara sangat lirih.Aku yang tengah duduk di bangku belakang sambil menatap keluar jendela mobil pun beralih atensi pada adikku itu.Dia tengah memangku putraku, Akhtira, yang sudah tertidur dengan lelap. Sedang kedua anaknya masing-masing dipangku istrinya dan Papa. Hanya aku saja yang tidak memangku anak kecil.Kemudian aku melongok ke arah putraku itu. Dia benar-benar damai terlelap di atas pangkuan adikku. Dan selalu enggan untuk berdekatan denganku.“Apa dia nanti nggak kebangun, Bid?” Tanyaku dengan suara sama lirihnya.“Pelan-pelan aja, Mas.”Lalu aku mengusap pipi halusnya itu dengan ibu jari untuk memastikan apakah Akhtira benar-benar sangat terlelap. Ternyata putraku itu tetap tidur dengan sangat pulas.“Kayaknya dia kecapekan habis main air terus perutnya kenyang. Jadi deh ngorok.”Aku menahan tawa karena guyonan Abid lalu mengangguk dengan mengulurkan kedua tangan untuk menerima putraku.Galau di hati yang sedari
POV AKHTARAAku harus tetap professional dengan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Meski terasa sulit dengan tidak memikirkan penolakan Jihan saat aku sedang bekerja seperti ini.Permintaan Jihan yang tidak bersedia rujuk adalah sebuah keputusan yang tidak boleh kupaksa. Dia memiliki hak yang harus kuhormati sekalipun itu melukai hatiku.Cintaku pada sesama manusia telah habis di Jihan.Meski Humaira begitu baik secara sifat dan iman, tetap saja aku selalu terbayang Jihan. Bukankah akan makin menyakiti Humaira jika dia mengerti jika hatiku masih tertambat pada Jihan?“Mungkin jika Bu Jihan sudah menikah lagi, Bapak akan benar-benar bisa melepas dan melupakannya. Karena pintu untuk mendapatkannya benar-benar telah tertutup,” ucap Faris.Aku menghela nafas panjang dengan menatap gelas minumku yang mengembun. Kami sedang makan malam bersama karena aku tidak mau makan malam sendirian. Kebetulan tempat tinggal Faris tidak jauh dari apartemen tempatku berteduh.“M
POV AKHTARAKarena putraku, Akhtira, sedang duduk di pangkuan seorang lelaki dengan menghadap wajah orang itu. Bahkan senyum putraku terlihat mengembang penuh tawa apalagi saat lelaki itu menyerukkan kepalanya ke arah dada putraku.Tira kembali tertawa terpingkal karena geli dan mencengkeram rambut lelaki itu. Semakin Tira terpingkal, dia semakin menyerukkan kepalanya ke dada putraku hingga tawa keduanya menguar bebas dan membuatku … iri.Lelaki yang masih memakai kemeja putih dan celana kain hitam khas pakaian ASN itu, apakah dia yang bernama Farhan?Seorang aparatur sipil negara yang berstatus duda dan sedang mendekati Jihan.Karena lelaki itu sibuk menyerukkan kepalanya di dada putraku, dia tidak menyadari kehadiranku yang menatap ke arahnya dengan penuh rasa iri dan sedih.Iri karena putraku bisa seakrab itu dengannya. Padahal aku ini ayah biologisnya.Dan sedih karena aku belum pernah sekalipun menggendong putraku sama sekali.Sudah berapa lama mereka bersama? Sudah berapa lama le
POV AKHTARA“Saya panggilin Papa biar Tira dipangku Papa. Jadi Bapak bisa menyentuh Tira.”Aku sedikit mengerutkan kening mendapati jawaban Jihan.“Kenapa harus sama Papamu?”“Kita ini udah bukan suami istri secara agama, Pak. Kalau kita berdekatan, nanti jadi dosa.”Mulutku terkunci ketika Jihan berkata seperti itu. Satu kenyataan yang hampir kulupakan bahwa wanita yang sangat kucintai ini sebenarnya telah terlepas dari genggamanku secara agama.Statusnya hanya istri secara hukum negara.Tapi aku ingat perkataan Papa bahwa masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jihan kembali dengan rajin mengunjungi Tira.Ketika Jihan hendak berdiri, aku berkata …“Tolong kamu dudukkan aja Tira di kursi. Nggak usah panggil Papamu.”Karena aku yakin jika Papanya Jihan akan membuat pembatas antara aku dan Tira. Apalagi jika putraku itu menangis karena baru pertama kali bertemu denganku.Jihan mengangguk lalu membujuk Tira untuk duduk di kursi. Putraku itu nampak tidak kooperatif namun Jihan terus m