Kak Dinda tiba-tiba muncul. Sambil melotot, wanita itu berjalan mendekat ke arahku. "Lancang sekali kamu! Kamu tau, nggak dia siapa?!"Aku hanya bergeming. Rasa dilema tiba-tiba menyergap dalam dada. Haruskah aku jujur jika mengenal tamu itu? Atau berpura-pura tak mengenalnya. Namun, bagaimana jika ibunya Azka itu mengaku mengenalku? Ya, tamu itu adalah ibunya Azka, orang yang malas untuk aku bicarakan."Eh, Dinda. Apa-apaan kamu? Jangan kasarlah sama dia." Ibunya Azka bicara sok lembut. Hmm ... menjijikkan."Kenapa Mama malah marahin aku, sih? Harusnya Mama senang aku belain.""Dinda, mama nggak marah. Cuma nggak suka kalau kamu kasar sama orang."Sebenarnya ibunya Azka datang ke sini bersama Kak Dinda atau sendirian, ya? Jika sendirian, apa tujuannya? Apa memang sengaja untuk bertemu aku? Aku sangat curiga karena wanita itu biasanya kasar, tapi kali ini dia lembut sekali.Lantaran malas melihat dua orang yang kini saling beradu kata, aku memilih masuk ke dalam rumah. Namun, baru saja
"Nah, kebetulan kamu datang, Thar." Kak Dinda kembali memulai pembicaraan setelah kami menjawab salam Mas Athaar. "Sha, ayo jelaskan! Mumpung ada calon suami kamu di sini. Biar dia tau, kamu itu perempuan kayak apa!"Entah seperti apa wajahku saat ini. Yang jelas, detak jantungku berpacu kencang sekali. Melihat wajah Mas Athaar yang kini tampak kebingungan, aku merasa semakin berdosa padanya. Selembar foto yang tadi dilempar Kak Dinda ke meja, sudah dilihat oleh pria itu."Kamu yang tenang, Dinda. Biar Athaar nggak kaget." Ibu bertindak sebagai penengah, meski aku tahu beliau juga merasa kecewa padaku."Biar nggak kaget Ibu bilang? Bagaimana dengan aku, Bu? Ibu nggak mikirin aku? Aku sakit hati Bu!""Cukup, Kak! Oke, aku akan jelaskan!" Aku tak tahan melihat Ibu dibentak-bentak oleh Kak Dinda. Ini kesalahan dan Kecerobohanku. Ibu tak pantas menanggung beban apa yang sudah aku lakukan."Ayesha, jadi ini alasan kamu nggak mau nikah sama mas?" Kini Mas Athaar buka suara. Wajah pria itu t
Ditanya seperti itu oleh Kak Dinda, membuatku mendadak lemas. Persendian ini rasanya lunglai. Ucapan Azka waktu itu nyatanya masih diingat oleh Kak Dinda. Aku pikir, masalah ini selesai setelah aku menjelaskan tentang foto itu. Namun, malah seperti ini.Masalah dengan Mas Athaar juga harus secepatnya aku selesaikan. Agar tak menjadi buah pikiran dan kesalahpahaman berlarut-larut. Eh, Kak Dinda malah terus-terusan mengintimidasi. Entah bagaimana membuatnya percaya dan tak lagi curiga."Sayang ... masalah itu, kan karena aku mabuk. Orang mabuk ucapannya ngelantur. Aku sendiri pun bingung kenapa aku bisa ngomong begitu waktu itu." Azka rupanya berada di pihakku kali ini. Mungkin dia sudah menyadari jika menguak rahasia hanya akan menghancurkan segalanya.Kak Dinda diam. Namun, tatapannya penuh selidik. Apa dia sedang membaca mimik wajah Azka? Apa mungkin Kak Dinda tahu jika ucapan suaminya hanya sandiwara belaka?"Dinda, sudahlah. Kenapa kamu mesti cemburu sama adikmu sendiri? Jangan ber
Mas Athaar tersenyum manis kepada gadis yang menyapanya. Membuat hati ini semakin perih melihatnya. "Hai, Sel. Aku baik. Kamu belanja juga?""Nggak, tadi cuma mampir ke warung itu beli minum," jawab gadis cantik itu sembari menunjuk warung di ujung jalan. "Udah lama, ya kita, nggak ketemu? Aku pikir kamu udah lupa sama aku." Gadis yang aku taksir seusia sama denganku itu kembali tersenyum manis pada Mas Athaar.Kini, aku seperti kambing congek. Seolah-olah diri ini tak ada di antara mereka. Apa mungkin tubuh ini tak terlihat di mata keduanya? Kesal!Akhirnya, aku memutuskan pergi. Bertahan di sini pun hanya akan membuat hati ini semakin kacau. Mas Athaar juga tega memperlakukan diri ini sedemikian rupa. Apa salahnya dia mengenalkan aku pada gadis itu. Tak harus sebagai calon istri, cukup sebagai teman mungkin sudah membuatku merasa dihargai di sini."Nggak mungkin lupalah, Sel. Kita, kan berteman dari awal masuk SMA sampe lulus." Mas Athaar menanggapi ucapan gadis itu sembari menarik
"Sha, tunggu!" Mas Athaar berusaha menahan diriku agar tak pergi. Pria itu kini menarik jemari tanganku."Sudahlah, Mas. Untuk apa kita bicara lagi? Sebaiknya kita nggak usah bertemu dan bicara lagi seperti ucapan kamu di chat waktu itu.""Sha, kita belum selesai. Kita harus bicara. Aku akui aku salah. Maaf." Mas Athaar berkata sambil menangkupkan kedua tangannya."Kamu salah? Bukan, Mas! Aku yang salah!" Aku berkata lantang sembari menatap lurus ke arah Mas Athaar."Aku, Sha. Aku yang salah.""Bukan, Mas! Aku yang salah. Salah karena sudah menjatuhkan hati pada orang yang salah. Harusnya, kamu nggak perlu beri harapan jika pada akhirnya semua kamu patahkan!"Mas Athaar tiba-tiba memeluk tubuh ini ketika aku usai mengatakan hal barusan. Dekapan pria itu erat sekali. Seolah-olah takut aku pergi. Namun, rasa sakit hati tak bisa diajak kompromi. Dengan sekuat tenaga aku berupaya melepaskan diri darinya."Lepas, Mas." Aku terus mencoba melepaskan diri. Kali ini sambil memukul dada bidang p
"Kenapa, Sha? Bukannya kamu sudah punya rasa sama mas?" Mas Athaar kembali menggenggam tanganku."Ya, karena aku nggak mau kamu sakit hati lagi, Mas. Aku nggak mau mengulang kisah salah di hidupku. Aku minta maaf jika selama kita kenal, aku ada salah sama Mas. Setelah ini, mungkin aku akan kembali ke Surabaya. Aku akan mencari orang yang bisa jagain ibuku di sini.""Kamu serius? Kamu nggak kasihan kalo misalnya ibumu tiba-tiba mendadak sakit?" Mas Athaar seolah-olah memancing sesuatu yang menjadi ketakutanku jika diri ini kembali ke Surabaya."Sebaik-baik penjaga adalah Allah. Dan aku cuma bisa berdoa, ibuku baik-baik saja di sini."Mas Athaar mendengkus. Mungkin kesal lantaran sulit merobohkan keyakinan diri ini. Namun, ada satu yang aku suka dari pria itu. Dia tak memaksa, bahkan tak mau berteriak marah. Padahal, aku tahu dia sangat kecewa saat ini."Ya, sudah. Kalo itu pilihan kamu, mas bisa apa. Mas harap, setelah ini kamu bahagia, ya. Maaf, jika beberapa hari ini banyak luka yang
Mas Athaar melotot tajam pada Azka yang baru saja dia dorong ke lantai. Wajah pria itu terlihat merah padam. Sepertinya amarah sudah membuncah memenuhi dadanya."Athaar, Azka, sabar ... kalian jangan bertengkar di sini." Ibu tampak ketakutan. Beberapa kali kalimat istighfar meluncur dari bibirnya. Sementara aku berusaha menenangkan Ibu dengan cara mengusap-usap bahu wanita itu."Maumu apa?!" Mas Athaar menarik kerah kemeja milik Azka, membuat pria itu mau tak mau terpaksa berdiri. "Selama ini aku udah sabar dan nggak mau ladenin kamu, eh kamu masih juga nggak sadar! Kamu pikir, aku nggak tau permainan busukmu?!""Maksudmu apa? Jangan melempar kesalahanmu ke aku lah!" Azka melepaskan cengkraman tangan Mas Athaar. Kemudian dengan gesit melayangkan tinju ke wajah rivalnya."Munafik!" Mas Athaar rupanya membalas dengan menghadiahi wajah Azka dengan bogem mentah. Membuat Azka terpental beberapa langkah."Astaghfirullah, Athaar, Azka! Sudah! Ibu ndak mau ada kekerasan di sini.""Iya, Mas. U
"Azka ....""Kenapa? Kaget?" Dengan santainya, Azka bertanya demikian sambil menatapku sinis. Kemudian dia berjalan mengitari tubuh ini dengan tangan dimasukkan ke saku celananya. "Kalo kamu mau, aku bisa, kok temuin kamu sama perempuan itu. Ya, itu pun kalo kamu siap." Tanpa peduli dengan perasaan ini, Azka seolah-olah sengaja meluluh lantakan hati ini bertubi-tubi.Aku bergeming, rasanya ini semua bagai mimpi. Kenapa di saat keyakinan hati sudah mantap membina rumah tangga bersama dengan Mas Athaar, justru jalannya semakin berserakan ditaburi kerikil tajam? Entah apa yang harus aku lakukan menghadapi ini semua. Haruskah aku percaya pada Azka?"Nggak usah lama-lama kagetnya. Aku, kan udah bilang kalo calon suami kamu itu belum tentu lebih baik dari aku. Jangan jadikan orang yang salah menjadi tempat pelarian kamu, Sha." Azka kini membungkukkan tubuhnya agar sejajar denganku. Entah apa maksud kalimat terakhir pria itu."Menjauh dariku! Aku nggak mau ada yang salah paham lagi." Aku mend
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok