Tangan kekar Azka mulai menggerayangi tubuh ini. Dengan tatapan mesumnya itu dia menatapku lekat penuh nafsu. Perlahan, pria itu meraih kancing bajuku dan membukanya. Dia tak peduli padaku yang terus menangis dan meracau memohon agar dia menyudahi kegilaannya."Azka, tolong jangan kek gini. Tolong!" Aku berteriak dengan sisa tenaga. Tubuhku sudah lelah dan sakit sekali. "Ibu, Kak Dinda! Tolong! Siapa pun tolong!""Diam!" Azka membekap mulutku. Dia terlihat sangat marah. "Sudahlah, diam saja. Nikmati saja setiap belaian dari aku. Oke!" bentak Azka sambil terus membekap mulutku.Tanganku berupaya memukuli tubuh Azka. Namun, itu hanya sia-sia saja karena tak berefek apa-apa pada pria yang kini mengenakan celana pendek dan kaos oblong itu. Aku lelah, tapi berusaha agar tak kalah. Mati pun aku rela, tak sudi jika harus menyerah.Azka sudah berhasil melepaskan semua kancing bajuku. Tatapannya semakin bernafsu ketika melihat sesuatu di baliknya. Mungkin, jika dia adalah orang yang sudah sah
"Ya, sudah. Tolong kamu tetap di lokasi, ya. Sebentar lagi saya ke sana," kata Mas Athaar. Setelah itu dia menutup sambungan telepon dengan orang itu.Wajah Mas Athaar tampak sedih. Sebenarnya ada apa? "Mas, tadi yang nelpon siapa?" Aku tak bisa lagi menutupi rasa penasaran ini. Aku benar-benar takut jika hal itu menyangkut dengan Ibu."Sha, butik kebakaran. Kata Vano kejadiannya sangat cepat. Semuanya habis terbakar. Vano hanya sempet nyelamatin laptop dan beberapa gaun yang dipajang," kata Mas Athaar dengan suara bergetar. Ya, Allah, kenapa musibah terus menghampiri kami? Kuatkan hamba dan Mas Athaar. Aamiin.Tubuhku lemas dan rasanya melayang. Pening dengan cepat menjalari kepala ini. Melihat hal itu, Mas Athaar sigap memegangi tubuhku dan perlahan membantuku kembali berbaring di ranjang. Air mata juga berdesakan keluar. Aku rapuh, sungguh tak mampu membayangkan bagaimana hari-hari setelah ini."Mas, aku nggak apa-apa, kok di sini sendirian. Kamu lihat aja butik. Maaf, ya Mas, di k
Mbak Asri marah. Sementara orang yang dia marah sudah melenggang pergi tanpa perasaan bersalah. Sedangkan aku dilanda gundah. Bagaimanapun ucapan Sela tadi perlu diwaspadai."Sha, jangan dengerin kata-kata si Sela gila itu, ya. Dia cuma iri dan berusaha membuat kamu ragu sama Athaar. Percaya sama mbak, keluarga Pak Handoko adalah keluarga baik-baik. Selama dua tahun jadi mantunya, belum sekali pun mbak tersinggung sama ucapan maupun sikap mereka. Meskipun, mbak belum bisa memberikan mereka cucu.Aku mengangguk. Mbak Asri sepertinya tahu apa yang menjadi keresahan hati ini. "Insya Allah, nggak, Mbak. Makasi, ya sudah bantu ngadepin Sela. Dia memang dari dulu nggak suka sama aku dan selalu aja nyari masalah.""Jangan digubris. Harusnya dia tahu diri, eh malah fitnah kek gitu. Awas aja, bakal mbak aduin ke mama dan Mas Agung.""Apa nggak berlebihan, Mbak? Takutnya malah ribut besar." Aku mencoba membuat Mbak Asri mempertimbangkan rencananya itu. Namun, wanita itu tetap akan mengatakan pe
"Ya, Allah, Dinda ... Nduk ...." Ibu panik melihat pendarahan yang dialami Kak Dinda. Beliau langsung meminta Kak Dinda duduk dan mengapitkan kedua pahanya. Namun, hal itu ternyata tak berefek. Darah masih terus keluar dan semakin menggenangi lantai.Aku pun meminta Kak Dinda untuk tenang. Mencoba membuatnya mengontrol emosi. Sementara Mas Athaar sigap menelepon Bu Bidan yang masih bertanggung jawab hingga Kak Dinda selesai masa iddah."Sakit, Bu. Tolong Dinda, Bu," ringis Kak Dinda sembari memegangi perutnya. Keringat juga sudah membasahi dahi wanita itu."Sabar, Kak. Mas Athaar udah nelpon Bu Bidan, kok." Aku mencoba terus menenangkan Kak Dinda. Meski dia sinis dan menepis tanganku ketika aku mengusap bahunya."Pergi!" sergahnya."Bu, kata Bu Bidan, dia masih dinas di rumah sakit, nanti asistennya yang datang kemari," kata Mas Athaar setelah menutup sambungan telepon dengan Bu Bidan."Ya, ndak apa-apa, Thaar. Yang penting ada yang meriksa dan nolongin Dinda."Usai merespon ucapan Ma
"Mbak ngapain di sini?" tanyaku pada asisten Bu Bidan yang kini berada di dapur."Saya mau numpang ke kamar mandi, Mbak, tapi nyasar ke sini," jawab wanita yang masih sangat muda itu gugup."Tadi ngomong gitu maksudnya apa, ya?"Asisten Bu Bidan itu terlihat kaget. Mungkin dia tak menyangka jika aku mendengar ucapannya tadi. Dengan segan akhirnya dia menjawab. "Saya minta maaf, ya, Mbak. Nggak maksud apa-apa, kok. Cuma kaget aja lihat Mbak bertengkar.""Sha, udah, jangan dipermasalahkan," kata Mas Athaar terdengar serius. "Mbak, lain kali tolong jaga ucapan, ya. Nggak semua yang terlihat buruk, pasti buruk. Lebih baik jangan suka mengomentari hal orang lain," sambung Mas Athaar pada asisten Bu Bidan. Tak disangka pria itu akan membelaku."Halah! Jangan sok bener, deh! Memang kenyataannya seperti itu mau dikomentari bagus," celetuk Kak Risma sambil terus memegangi pipinya. Mungkin rasa panas menjalari seluruh wajahnya. Hmm ... rasakanlah!"Kak, mending sekarang pulang. Saya nggak mau a
"Ngomong apaan, sih, Kak? Yang sopan, dong sama calon suamiku. Jangan menuduh tanpa bukti. Itu namanya Kakak memfitnah Mas Athaar!" sergahku pada Kak Dinda dengan lantang. Wanita itu benar-benar tak berubah dan tak jera. Padahal dia baru mengalami pendarahan, eh sudah berani memancing keributan lagi."Bukti yang kek gimana lagi, Sha?! Apa kurang cukup omongan semua tetangga tentang kamu dan Athaar? Sampe Ibu sedih gini karena kelakuan kamu!""Udahlah, Kak! Jangan mulai!""Cukup! Kalian ini ribut aja terus. Tolonglah hargai ibu!" Ibu menyergah aku dan Kak Dinda. Membuat jantung ini seketika kaget."Athaar, maaf jika pertanyaan ibu ini membuatmu tersinggung atau bahkan marah. Tolong jawab yang jujur, apa benar kamu menghamili Ayesha?" Pertanyaan Ibu benar-benar ekstrim. Bagaimana jika Mas Athaar marah dan pergi dari sini?"Bu, kenapa nanya kek gitu sama Mas Athaar? Kan, tadi Ayesha udah jelasin kalo Mas Athaar adalah pria baik dan aku bukan gadis murahan. Kenapa masih Ibu pertanyakan, s
"Bu, Gimana? Hasilnya negatif, kan?" Lagi, aku mengulangi pertanyaan yang sama lantaran Ibu hanya diam tak menjawabku.Mas Athaar memandangku kemudian beralih melihat Ibu. Pria berkemeja putih itu pasti juga sangat penasaran dengan hasil testpack milikku. Apa mungkin dia mulai berpikir jika tes itu hasilnya positif. Ah, mana mungkin.Tangan Ibu tampak gemetaran. Ya, Allah, Sebenarnya keterangan di secarik kertas itu apa? Kenapa wajah Ibu tegang seperti itu?"Nduk, maafin ibu, ya. Seharusnya ibu percaya sama kamu bukan malah menuduhmu hamil. Ibu ndak ada bedanya sama tetangga jahat itu. Maafin ibu, Nduk." Ibu berdiri dan langsung memelukku. Bahunya bergetar menahan sedu. Alhamdulillah, akhirnya kebenaran ini terlihat.Wajah Mas Athaar semringah mendengar ucapan Ibu. Dia kemudian tersenyum manis padaku. "Alhamdulillah, ya, Bu," katanya sambil mengusap lembut bahu Ibu.Ibu melihat ke arah Mas Athaar. "Pokoknya hasil ini harus ibu tunjukkan sama para tetangga-tetangga yang udah ngina kali
Pak Penghulu baru saja menanyakan kesiapan Mas Athaar untuk melangsungkan akad nikah. Namun, teriakan dari seseorang menginterupsi. Kini, semua mata tertuju pada sosok pria berpakaian serba oranye. Dia Azka, pria yang seharusnya tak ada di sini saat ini.Dengan sedikit cepat Azka berjalan menghampiri meja akad. Membuat dua orang petugas rutan yang mengawalnya juga ikut melangkah laju demi mengimbanginya. Padahal, tangan Azka diborgol dan tak memungkinkan untuk melarikan diri."Mas Azka!" teriak Kak Dinda seraya menghambur ke pelukan suaminya itu. "Alhamdulillah akhirnya kamu pulang. Maaf, ya aku belum bisa jenguk kamu di sana."Seharusnya Azka menenangkan hati Kak Dinda. Namun, pria itu malah diam saja tanpa membalas perkataan istrinya. Justru kini manik hitam Azka terus tertuju padaku. Apa memang tujuannya ke sini hanya untuk menyaksikan pernikahanku?"Din, aku ada urusan," kata Azka seperti meminta Kak Dinda menyingkir dari tubuhnya.Mata Kak Dinda yang masih basah kini menatap Azka
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok