"Mbak ngapain di sini?" tanyaku pada asisten Bu Bidan yang kini berada di dapur."Saya mau numpang ke kamar mandi, Mbak, tapi nyasar ke sini," jawab wanita yang masih sangat muda itu gugup."Tadi ngomong gitu maksudnya apa, ya?"Asisten Bu Bidan itu terlihat kaget. Mungkin dia tak menyangka jika aku mendengar ucapannya tadi. Dengan segan akhirnya dia menjawab. "Saya minta maaf, ya, Mbak. Nggak maksud apa-apa, kok. Cuma kaget aja lihat Mbak bertengkar.""Sha, udah, jangan dipermasalahkan," kata Mas Athaar terdengar serius. "Mbak, lain kali tolong jaga ucapan, ya. Nggak semua yang terlihat buruk, pasti buruk. Lebih baik jangan suka mengomentari hal orang lain," sambung Mas Athaar pada asisten Bu Bidan. Tak disangka pria itu akan membelaku."Halah! Jangan sok bener, deh! Memang kenyataannya seperti itu mau dikomentari bagus," celetuk Kak Risma sambil terus memegangi pipinya. Mungkin rasa panas menjalari seluruh wajahnya. Hmm ... rasakanlah!"Kak, mending sekarang pulang. Saya nggak mau a
"Ngomong apaan, sih, Kak? Yang sopan, dong sama calon suamiku. Jangan menuduh tanpa bukti. Itu namanya Kakak memfitnah Mas Athaar!" sergahku pada Kak Dinda dengan lantang. Wanita itu benar-benar tak berubah dan tak jera. Padahal dia baru mengalami pendarahan, eh sudah berani memancing keributan lagi."Bukti yang kek gimana lagi, Sha?! Apa kurang cukup omongan semua tetangga tentang kamu dan Athaar? Sampe Ibu sedih gini karena kelakuan kamu!""Udahlah, Kak! Jangan mulai!""Cukup! Kalian ini ribut aja terus. Tolonglah hargai ibu!" Ibu menyergah aku dan Kak Dinda. Membuat jantung ini seketika kaget."Athaar, maaf jika pertanyaan ibu ini membuatmu tersinggung atau bahkan marah. Tolong jawab yang jujur, apa benar kamu menghamili Ayesha?" Pertanyaan Ibu benar-benar ekstrim. Bagaimana jika Mas Athaar marah dan pergi dari sini?"Bu, kenapa nanya kek gitu sama Mas Athaar? Kan, tadi Ayesha udah jelasin kalo Mas Athaar adalah pria baik dan aku bukan gadis murahan. Kenapa masih Ibu pertanyakan, s
"Bu, Gimana? Hasilnya negatif, kan?" Lagi, aku mengulangi pertanyaan yang sama lantaran Ibu hanya diam tak menjawabku.Mas Athaar memandangku kemudian beralih melihat Ibu. Pria berkemeja putih itu pasti juga sangat penasaran dengan hasil testpack milikku. Apa mungkin dia mulai berpikir jika tes itu hasilnya positif. Ah, mana mungkin.Tangan Ibu tampak gemetaran. Ya, Allah, Sebenarnya keterangan di secarik kertas itu apa? Kenapa wajah Ibu tegang seperti itu?"Nduk, maafin ibu, ya. Seharusnya ibu percaya sama kamu bukan malah menuduhmu hamil. Ibu ndak ada bedanya sama tetangga jahat itu. Maafin ibu, Nduk." Ibu berdiri dan langsung memelukku. Bahunya bergetar menahan sedu. Alhamdulillah, akhirnya kebenaran ini terlihat.Wajah Mas Athaar semringah mendengar ucapan Ibu. Dia kemudian tersenyum manis padaku. "Alhamdulillah, ya, Bu," katanya sambil mengusap lembut bahu Ibu.Ibu melihat ke arah Mas Athaar. "Pokoknya hasil ini harus ibu tunjukkan sama para tetangga-tetangga yang udah ngina kali
Pak Penghulu baru saja menanyakan kesiapan Mas Athaar untuk melangsungkan akad nikah. Namun, teriakan dari seseorang menginterupsi. Kini, semua mata tertuju pada sosok pria berpakaian serba oranye. Dia Azka, pria yang seharusnya tak ada di sini saat ini.Dengan sedikit cepat Azka berjalan menghampiri meja akad. Membuat dua orang petugas rutan yang mengawalnya juga ikut melangkah laju demi mengimbanginya. Padahal, tangan Azka diborgol dan tak memungkinkan untuk melarikan diri."Mas Azka!" teriak Kak Dinda seraya menghambur ke pelukan suaminya itu. "Alhamdulillah akhirnya kamu pulang. Maaf, ya aku belum bisa jenguk kamu di sana."Seharusnya Azka menenangkan hati Kak Dinda. Namun, pria itu malah diam saja tanpa membalas perkataan istrinya. Justru kini manik hitam Azka terus tertuju padaku. Apa memang tujuannya ke sini hanya untuk menyaksikan pernikahanku?"Din, aku ada urusan," kata Azka seperti meminta Kak Dinda menyingkir dari tubuhnya.Mata Kak Dinda yang masih basah kini menatap Azka
Aku terbangun di ruangan serba putih. Perlahan mata ini mengerjap-erjap karena silau lampu menghantamnya. Ada Mas Athaar di sampingku. Harusnya dia tak di sini karena tadi Bu Wening sangat jelas tak respect lagi pada calon istrinya ini."Mas, kamu di sini?"Mas Athaar kontan langsung melihatku setelah sebelumnya membenamkan wajahnya pada kedua lipatan tangannya."Sha, kamu udah bangun? Alhamdulillah." Wajah Mas Athaar semringah, pasti sejak tadi dia menunggu aku siuman dengan hati cemas. "Kepala kamu masih pusing, ya?"Aku menggeleng, meski sebenarnya berdusta. "Mas, ibuku gimana? Ibu baik-baik aja, kan, Mas?"Hanya ada nama Ibu ketika aku terbangun tadi. Sungguh aku khawatir dan berharap beliau baik-baik saja.Mas Athaar bergeming, dia seperti bingung mau memberi jawaban apa. Sementara aku sangat berharap Mas Athaar menjawab dengan kalimat membahagiakan."Ibu masih di IGD, Sha. Dokter bilang beliau terkena serangan jantung. Sekarang keadaan Ibu sedang koma. Kamu sabar, ya. Mas ada di
Bu Wening menatapku tajam. Bola matanya seolah-olah mewakili kebenciannya terhadapku. Suaranya juga tinggi, kira-kira lebih dari satu oktaf. Hingga membuatku dadaku bergemuruh."Jangan munafik! Saya ndak suka!" Kini Bu Wening menunjuk-nunjuk wajahku. "Saya tau, kalo kamu sebenarnya ndak mau Athaar pergi dari sini, tapi di depan saya sok menyuruh Athaar menurut sama saya. Sadar, kebohongan yang selama ini kamu tutupi sudah cukup membuktikan bahwa kamu adalah orang munafik!"Dada ini berdenyut nyeri mendengar penuturan Bu Wening. Wanita itu tak hanya menuduhku munafik, tapi juga sudah berprasangka buruk terhadapku. Sisi lembut yang selama ini ditunjukkan olehnya, sudah berganti kasar dan itu membuatku tak lagi nyaman."Ma, sudah. Tolong jangan ribut. Ini rumah sakit.""Diam kamu, Thaar! Mama bukan anak kecil yang bodoh! Mama tau ini rumah sakit. Mama juga tau ndak boleh bikin keributan di sini. Kamu yang ndak tau keinginan mama dan lebih memilih membela perempuan ini!" Lagi, Bu Wening m
"Maaf, Bu. Tolong jangan ribut di sini karena bisa mengganggu pasien." Seorang suster menghampiri dan menegurku."Maaf, Sus. Tolong suruh orang ini pergi, karena dia yang memancing keributan di sini," kataku menjelaskan."Maaf, Sus, saya rasa ini hanya salah paham. Tolong biarkan saya di sini, ya." Bu Santi memohon dan sialnya suster itu mengiyakan. Ah, kacau."Ayesha, ibu hanya minta kamu mengerti. Dalam keadaan seperti ini Dinda bisa saja stress dan bisa saja dia melakukan hal-hal membahayakan. Apa kamu nggak kasihan?" Bu Santi melanjutkan ocehannya demi tercapainya misi."Jangan buat saya emosi. Memenjarakan Azka adalah keputusan final bagi saya. Dia sudah kelewat batas dan itu tidak bisa ditolerir lagi. Tolong jangan paksa saya untuk mencabut laporan saya terhadapnya."Bu Santi mendengkus pelan. Mungkin merasa bingung dan kehabisan akal untuk membuat diriku luluh. Akan tetapi, dia tetap tak pergi. Wanita berusia di atas Ibu itu malah duduk di kursi tunggu.Aku tak mau bicara lagi
"Maaf, Dok. Maksudnya mantan apa, ya?" Akhirnya dengan segan aku mengutarakan pertanyaan itu. Karena merasa agak ganjal. Tidak mungkin, kan Dokter Alan yang baru saja menikah sudah bercerai?Dokter Alan terlihat memejamkan mata. Apa mungkin pertanyaanku tadi sudah keterlaluan? Namun, sungguh aku tak ada niat apa-apa. Hanya ingin sekadar tahu kenapa Dokter Alan bicara tak bisa datang bersama wanita yang baru saja dinikahinya."Dokter nggak apa-apa? Maaf, ya kalo pertanyaan saya bikin Dokter sedih." Aku merasa khawatir karena pria di hadapanku itu terlihat sangat tertekan."Hmm ... it's oke, Mbak. Saya nggak apa-apa, kok. Saya sudah bercerai dengan istri saya Mbak. Baru ketuk palu tiga hari lalu. Makanya saya kembali ke kota ini untuk menenangkan diri.""Oh ... begitu. Maaf, ya, Dok. Saya malah membuat Dokter kembali sedih. Saya benar-benar nggak tau.""It's oke, Mbak. Udah, lah jangan dibahas lagi. Saya nggak mau mengingat wanita itu lagi. Biar jadi pengalaman aja."Dari ucapan Dokter
Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan
Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h
"Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath
"Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok