Dua remaja SMP berlawanan jenis tengah berada di sebuah kamar minimalis. Si remaja perempuan yang sedang di dalam toilet, sedangkan si remaja laki-laki yang menunggu di depan pintu toilet.
Wajah mereka berdua sama-sama cemas. Resah dan gelisah melanda di setiap perasaan mereka masing-masing.
Lima belas menit berlalu ...
Remaja perempuan yang masih memakai seragam putih biru keluar. Remaja SMP yang bernama Jeslyn Putri ini tampak menahan tangis.
Jeslyn menghampiri remaja lelaki yang berstatus pacarnya, Naufal. Naufal Richard Smith, kepanjangan namanya.
"Gimana hasilnya?" tanya Naufal, tidak sabar.
Jeslyn menangis. Naufal segera memeluk tubuh ringkih Jeslyn. Jeslyn melepaskan pelukan itu dengan kasar. Dia menatap Naufal dengan tatapan penuh harap.
"Ka-kamu pasti bakal tanggung jawab, kan?" tanya Jeslyn, memastikan.
"Tanggung jawab apa?" Naufal balik bertanya. "Memang ada apa?"
"Kamu pasti bakal tanggung jawab, kan, Fal?!" tanya Jeslyn, lirih.
"Jelasin, Jes. Aku nggak ngerti," ucap Naufal, lirih.
Jeslyn membiarkan air matanya yang masih menetes. Dia memberikan sebuah benda berbentuk strip kepada Naufal. Naufal menerimanya kemudian melihat dua garis merah di benda itu.
Naufal semakin tidak mengerti. Apa ini? batinnya. Dia menatap Jeslyn, meminta penjelasan. "Jelasin, Jes? Apa maksud dari benda ini? Terus kenapa ada dua garis merah?"
"I-itu testpack," jawab Jeslyn, sendu.
"Testpack?"
Jeslyn mengangguk. "Iya, testpack."
"Maksud dari benda ini?"
Jeslyn mengambil alih testpack dari genggaman Naufal. Dia mengangkat benda itu setinggi dagunya.
"Ini testpack, gunanya untuk mengecek kehamilan," jelas Jeslyn lalu menunjukkan dua garis merah di dalamnya, "dua garis merah ini berarti aku ---"
"Nggak! Pasti kamu nggak hamil, kan?" potong Naufal.
"Aku hamil, Naufal!" tegas Jeslyn lantas menangis.
Naufal menggeleng tidak percaya. "Nggak mungkin!"
"T-tapi ini yang terjadi. Kamu harus tanggung jawab, Fal."
"Kita masih kelas tiga SMP, Jeslyn. Mana mungkin aku tanggung jawab. Kita masih bocah. Kamu urusin aja dedek bayi itu sendiri. Aku pergi." Jeslyn menatap kecewa pada Naufal. Lelaki itu sama sekali ---- tidak peduli? Bahkan karena dirinya sendiri membuat Jeslyn harus menanggung itu semua.
"Tapi kenapa, Fal?" tanya Jeslyn, menahan tangan Naufal untuk tidak lekas pergi dari kamarnya.
"Karena aku masih punya banyak impian, Jes! Cukup, ya. Kita selesai di sini."
---
Naufal mengacak-acak rambutnya. Persetan dengan sekelebat kenangan kelam yang kembali hadir. Dia menegak segelas air putih lalu menghembuskan nafas panjang. Sudah dua tahun lamanya, dia berusaha lari dari kesalahan yang menghantuinya.
Kesalahannya yang mengakitbatkan dirinya diusir mentah-mentah oleh keluarganya sendiri. Kesalahan yang juga membawa seorang Naufal Richard Smith menjadi aktor yang kerap disapa Falri. Meskipun usianya baru menginjak tujuh belas tahun, Falri sudah sangat lihai berakting di setiap film yang dinaunginya.
"Jeslyn? Lo dimana? Apa kabar lo? Gue --- sayang sama lo tapi gue nggak bisa tanggung jawab. Apa anak ki-kita masih hidup selama dua tahun terakhir ini?" monolog Falri, menyesali perbutannya. Nasi sudah menjadi bubur.
Suara ketukan pintu menyadarkan lamunan Falri. Dia bangkit dari kursi di balkon kamar lantas berjalan menuju pintu kamar. Falri membuka pintu kamar dan menampilkan sosok pria yang selalu menemaninya dua tahun terakhir ini.
"Eh, bang Glen."
Glen, namanya. Tidak ada yang pernah tahu, siapa nama lengkapnya. Hanya Glen saja. Seorang pria berusia dua puluh delapan tahun yang menjadi abang angkat sekaligus manager Falri. Mereka berdua tinggal di sebuah apartemen mewah berkat kerja dan usaha Falri dan dibantu Glen.
"Hm." Glen berdehem pelan sebelum memulai ucapannya. "Guru homeschooling udah dateng. Buruan ambil peralatan sekolah. Lo cuma butuh waktu belajar tiga jam lagi. Terus lanjut ikut casting di gedung matahari."
"Iya, Bang. Gue siap-siap dulu."
Glen mengangguk lantas pergi dari hadapan Falri. Falri langsung bergegas mengambil peralatan sekolahnya. Tahun ini, Falri sudah di bangku kelas 11 SMA, akan tetapi terpaksa harus homeschooling karena kepadatan jadwal acting.
Falri menenteng ransel hitamnya seraya berjalan menuju ruang tamu. Sudah ada Kak Satya, guru homeschooling-nya. Falri menghampiri Kak Satya, kemudian duduk di hadapannya.
"Hai, Falri." Kak Satya menyapa hangat.
"Hai, Kak. Langsung aja, ya?"
Kak Satya mengangguk. "Kamu baca dan pahami materi biologi di halaman 20 sampai 23. Kalau belum paham, bisa nanya saya."
"Siap, Kak." Falri segera membaca dan memahami materi biologi yang diberikan oleh Kak Satya. Beruntung otak Falri termasuk kompoten dalam bidang akademik. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Falri memahami segala isi materi di dalam lembaran buku.
"Sudah?" tanya Kak Satya.
"Sudah, Kak." Falri menjawab dengan lugas dan mantap.
"Paham?" Falri mengangguk mantap.
Kak Satya tersenyum kecil. Dia memberikan selembaran kertas berisi dua puluh lima soal essay. "Kamu kerjakan soal-soal ini."
"Baik, Kak." Falri dengan gesit mengerjakan soal-soal.
Tangannya tidak berhenti menulis. Sedangkan otaknya tidak berhenti memutar dan bekerja, memilah pemahaman materi dari sebelum-sebelumnya. Butuh waktu tiga puluh menit bagi Falri menyelesaikan dua puluh lima soal yang memiliki anak sebanyak dua.
"Selesai, Kak." Falri melapor kepada Kak Satya yang tengah mengetik dashboard laptop.
Kak Satya mengalihkan atensinya. "Sudah? Saya koreksi dulu." Kak Satya mengambil alih kertas jawaban Falri. Kemudian, mengoreksinya dengan begitu teliti.
Falri mengetuk-ngetuk meja dan bersenandung pelan. Menunggu Kak Satya mengoreksi soal begitu lama. Sangat, membosankan!
Sepuluh menit berlalu ...
Masih belum ada tanda-tanda Kak Satya selesai.
Dua puluh menit berlalu ...
Kak Satya masih fokus mengoreksi jawaban.
Tiga puluh menit berlalu ...
Kak Satya memilah-milah jawaban yang benar dan salah.
Empat puluh menit berlalu ...
Falri sudah menguap lebar, tanda ngantuk.
Lima puluh menit berlalu ...
Falri sudah tenang di alam mimpinya.
Satu jam berlalu ...
Kak Satya menutup bolpoinnya setelah memberikan nilai di kertas jawaban. Kak Satya menatap Falri yang tengah mendengkur halus.
Kak Satya tertawa kecil. Dia menepuk pelan pipi Falri. Falri yang ditepuk langsung tersentak bangun. "Siap, komandan!" latah Falri mengundang gelak tawa Kak Satya dan Bang Glen yang baru saja datang.
"Kebiasaan! Kalau belajar pasti tidur," cibir Bang Glen saat melihat Falri tengah mengucek mata ngantuknya. Kemudian dia duduk di salah satu bangku, agak jauh dari Falri.
"Hoaam ...." Falri menguap lebar. Glen geleng-geleng kepala sedangkan Kak Satya tersenyum tipis.
"Sudah puas tidurnya?" tanya Kak Satya.
"Baru sepuluh menit, Kak." Falri menjawab dengan mata yang memerah, menahan kantuk.
"Setelah saya koreksi, lima jawaban salah. Dua puluh jawaban sudah benar. Dapat nilai delapan puluh plus waktu tidur. Kurang baik apa saya sama kamu, Falri?"
Falri menyengir lebar. "Terima kasih, Kak. Omong-omong kalau koreksi soal jangan lama-lama, dong. Ngantuk jadinya."
"Biasanya kalau ngantuk pas belajar itu banyak setannya," ujar Glen memberi tahu. Dia bergidik ngeri seraya menatal Falri serius. "Makanya kalau udah waktunya sholat itu sholat."
"Diem, ah." Falri berdecak pelan. "Yang setannya, kan, lo."
"Enak aja!" dengus Glen. Dia menatap Satya sejenak. "Gue bawa Falri sekarang, ya, Sat? Jadwal casting dimajuin."
"Okay, gue balik dulu."
Satya dan Glen memang bersahabat sejak SMP. Hanya saja saat kuliah mereka tidak sejurusan. Glen mengambil jurusan managemen bisnis. Sedangkan Satya mengambil jurusan pendidikan.
"Makasih, Kak." Falri mengucap dengan mata yang sudah segar karena baru saja menegak segelas kopi milik Glen.
Glen berdecak keras melihat Falri yang baru saja meminum kopinya hingga tandas. "Eh, kopi gue!"
"Nyicip."
"Nyicip itu nggak sampai ngabisin, bego!"
"Bodo, ah."
Satya merapihkan barang-barang miliknya. Kemudian menatap Glen dan Falri secara bergantian. "Balik dulu."
Glen dan Falri mengangguk seraya berkata, "hati-hati."
Glen menatap Falri. "Buruan siap-siap. Casting dua puluh lima menit lagi dimulai. Ingat, lo harus dapat peran tokoh utama. Karena menurut kabar, peran tokoh utama perempuan itu cantik banget."
"Hm, iya-iya. Siapa sih emang?"
"Jes ---" Glen memberikan jeda. Dia mengetuk-ngetuk kepalanya, berharap bisa mengingat jelas siapa nama aktris perempuan baru itu.
Bukan Jeslyn, kan?
Falri masih menunggu Glen yang sedang berpikir. Oh, kenapa mengingat nama seseorang saja lama sekali. Dasar bang Glen!"Namanya siapa, Bang?" Sudah dua puluh kali Falri bertanya dengan pertanyaan yang sama."Oh, iya! Gue ingat!" teriak Glen mengagetkan Falri.Falri mengelus dadanya. Sabar, sabar. Orang sabar pantatnya lebar. Kalau orang lari dari tanggung jawab, gimana? Eh!"Siapa?" tanya Falri, tidak sabaran."Jess ---""Bang!""Jessica Mauren, iya namanya itu!"Falri menghela nafas lega. Bukan Jeslyn, batin Falri. Dia menatap Glen sejenak. "Katanya dua puluh lima menit lagi mau dimulai castingnya. Terus ngapain kita masih di sini, Bang?""Oh, iya juga, ya. Yaudah, sih, santai aja masih lima belas menit lagi," sahut Glen santai.Falri mengangguk. Berselang lima detik, mereka membelalakkan matanya. "Astaga! Bego!" Umpatan itu terlontar dari dua mulut secara serempak.Falri segera merapihkan pakaiannya dan Glen m
"Kak Fa-Fani," lirih Falri, seusai bisa membuka suara kembali.Gadis yang dipanggil Kak Fani itu mendesis pelan. Dia menatap dingin Falri. "Jangan sebut saya kakak Anda! Saya tidak sudi memiliki adik bajingan," bisik Kak Fani penuh penekanan."Kak." Falri menatap Kak Fani dengan perasaan rindu dari seorang adik kepada kakaknya. Namun, sepertinya Kak Fani tidak lagi sama semenjak kejadian hari itu."Cepat, casting! Masih banyak talent yang menunggu," ujar Kak Fani, tanpa menyahut panggilan Falri sama sekali.Dia bergegas menjauh dari Falri. Dan, Falri berjalan ke tempat casting. Dia mengikuti segala prosedur casting.Tiga puluh menit berlalu ...Falri dan Glen sudah berada di sebuah cafe, seberang gedung matahari. Sudah lima belas menit lalu, acara casting selesai. Lima belas menit pula mereka menikmati segelas kopi susu di sudut pojok kanan cafe.Glen yang asik menikmati senandung lagu yang dinyanyikan oleh vocalis band cafe. Sedangkan
Hari ini hari Minggu. Falri datang ke kafe untuk bertemu dengan Jeslyn. Mereka berdua sudah sepakat bertemu lewat perbincangan singkat di aplikasi chatting.Falri memilih duduk di sudut pojok kanan. Tidak terlalu ramai. Falri bersenandung pelan. Sesekali jepretan kamera mengarah ke dirinya.Falri sebisa mungkin untuk tetap memasang wajah kerennya. Tidak mau sampai ada aib satu punudari jepretan para penggemar di dalam kafe."Lama banget, sih." Falri berdecak pelan, nyaris tanpa suara.Yang ditunggu pun tiba. Jeslyn datang menghampiri Falri. Falri menatap tidak percaya dengan tampilan Jeslyn sekarang. Balutan dress berwarna pink juga rambut sebahu yang digerai bebas.Seingatnya, Jeslyn amat tidak menyukai dengan dress, warna pink, dan rambut digerai. Lantas ini? Jeslyn, asli atau bukan?"Jeslyn?" panggil Falri, masih belum percaya dengan penampilan Jeslyn yang berbanding tiga ratus enam puluh derajat."Hai." Jeslyn duduk di bangku, tepa
Falri memainkan ponselnya, jari-jari tangan bergerak lincah meneliti segala sudut pandang sosial media. Beginilah seorang Falri jika dilanda kegabutan di tengah lokasi syutting.Syuting sedang break sejak lima menit lalu. Falri enggan membaca dan memahami dialog yang akan dipakainya nanti. Dia masih sibuk memainkan ponsel bermerk apik itu."Falri," panggil seseorang yang tiba-tiba menghampirinya.Falri mengalihkan atensinya. Kemudian, melihat seorang gadis yang memanggilnya. Dia --- Kak Fani.Falri segera meletakkan ponselnya di saku celana. "Ada apa, Kak?""Gue butuh bicara sama lo," jawab Kak Fani, tidak sabaran."Mau dimana?""Di kafe dekat sini. Gue nggak punya banyak waktu."Falri mengangguk setuju. Dia mengikut langkah sang kakak yang terlebih dahulu melangkah. Falri masih menebar senyum mempesona untuk para penggemar yang berteriak bahagia karena bertemu dengan si idola. Andai saja penggemarnya tahu apa yang dulu pernah diperbua
Falri masih tertidur pulas. Kulitnya terlihat pucat pasi. Bibir tipisnya kering, seperti tidak bertenaga.Glen yang melihat keadaan adik angkatnya hanya tersenyum sendu. Dia sudah mengetahui bahwa tadi malam, Falri mendonorkan darahnya ke Papa kandungnya. Glen tentu saja tahu, dia punya banyak intel. Jadi, jangan pernah heran jika Glen tahu sendiri tanpa diberitahu terlebih dahulu.Glen berusaha membangunkan Falri. Falri juga butuh makan meskipun sedang sakit.Falri mengerjapkan matanya perlahan. Rasa pusing masih menyergap di ubun-ubun kepalanya. Dia memegang keningnya, mencoba untuk meredakan rasa pusing itu."Eh, bang Glen." Falri menyapa dengan suara serak karena habis bangun tidur dan masih sakit.Glen berdehem pelan. "Gue bangga sama lo, Ri.""Maksudnya, Bang?""Lo pikir gue nggak tau apa yang lo lakuin semalem? Sampai-sampai lo jadi jatuh sakit gini?""Tahu darimana? Gue belum ngasih tahu, deh.""Gue tau sendiri, lah
Sudah sehari semalam, Falri beristirahat di rumah. Dia sudah siap untuk bekerja kembali. Walaupun Glen masih bilang, 'jangan dulu.'Glen menatap khawatir ke arah Falri yang tengah duduk di sofa sembari memakai sepatu."Lo seriusan mau hari ini syutting?"Falri menoleh ke arah Glen. "Daripada di rumah terus, kan? Lagi pula gue udah sehat sentosa gini.""Terus lo bakal klarifikasi tentang gosip di media sosial?"Memang kemarin, lebih tepatnya malam hari. Falri dicerca habis-habisan dengan puluhan pertanyaan dari Glen. Pada akhirnya, Falri lebih memilih jujur meskipun masih ada bumbu kebohongan. Falri hanya mengatakan jika Fani adalah kakak kandungnya sedangkan Jeslyn adalah teman sekelasnya pada zaman SMP."Ya, harus. Demi citra baik gue. Ya, kali gue digosip pakai berita sampah gini,"decak Falri."Lo mau klarifikasi apa? Okelah, kalau masalah Jesyln. Lah, kalau Fani? Lo mau bilang kalau dia adalah kakak kandung lo yang ikut-ikutan buang lo?"
Falri dan Glen tengah makan malam bersama di ruang Televisi. Mereka berdua memakan pecel lele buatan Bu Iy. Bu Iy, seorang pedagang pecel lele di depan area gedung apartemen yang terkenal dengan keenakan dan kemewahan dapargannya. Harga murah, kualitas mewah. Begitu sekiranya kata Bu Iy."Bang." Falri memanggil Glen di sela-sela melahap pecel lele."Apaan?""Gue mau minta suatu hal. Boleh?""Apaan? Jangan aneh-aneh!""Kak Satya belum ngajarin biologi tentang anu. Iya, itu a-anu, lho. Gue pas kelas tiga smp, kan nggak sempat ikut. Terus kelas satu SMA malah ketunda."Guratan kernyitan di dahi Glen kentara jelas. Dia menghentikan makanannya kemudian menegak setengah gelas air. "Anu apaan? Jangan ambigu, deh.""Ih, anu itu. Gimana, ya ngomongnya? Duh!" Falri jadi bingung sendiri.Glen mengedikkan bahu acuh. "Lo pikir dulu apa yang mau lo sampaikan, baru kasih tau gue," kata Glen lalu melanjutkan makannya.Falri mengangguk paham. Fal
Falri menutup pintu yang mengarah balkon kamarnya. Dia meraup wajah kasar. Kemudian mengacak-acak rambut. Sungguh, jangankan berbicara dengan Jeslyn. Bertemu dengannya saja bisa membuat Falri kembali frustasi.Falri membanting semua barang yang ada di kamarnya. Dia berteriak sesukanya. Berusaha mengalihkan rasa-rasa yang saling memberontak. Beruntung kamarnya kedap suara."Sialan, sialan! Gue benci sama diri gue sendiri! Agh!" Falri berteriak terus-menerus sembari melemparkan barang-barang hingga pecah.Kamar yang semula rapi bersih berubah menjadi kapal pecah. Pecahan barang bertebaran di lantai. Tubuh Falri merosot ke lantai. Lagi, lagi air matanya jatuh. Falri kembali menangis."Kenapa harus sesulit ini? Kenapa hidup ini jahat sama gue?" Falri bertanya-tanya pada dirinya sendiri.Falri mengambil sebuah pecahan kaca keramik. Pecahan itu begitu tajam, setajam pisau yang siap menancap dimana pun. Falri tersenyum tipis."Harus banget gue nyakitin diri
Falri, Glen, Satya, Fani, dan Jessica sontak berlari masuk ke rumah. Mereka terkejut mendengar suara teriakan dari Jeslyn dan Deslyn di dalam rumah.Jeslyn dan Deslyn menghampiri mereka. Membuat Falri, Glen, Satya, Fani, dan Jessica menatap khawatir keduanya."Jes, tadi kenapa?" tanya Falri.Jeslyn dan Deslyn saling tatap. Kemudian mereka berdua tertawa renyah. Hal itu lagi, lagi membuat mereka berlima menatap bingung keduanya."Kok ketawa?" cengo Jessica."Kita nggak apa-apa," ulas Jeslyn, "kita tadi cuma mau ngagetin aja. Eh taunya bener-bener kaget."Deslyn tertawa kecil. "Muka kalian lucu kayak Shaun The Sheep, hihi ....""Kita dikerjain?" culas Glen yang diangguki semangat oleh Deslyn dan Jeslyn."Pengen ngomong kasar tapi ada bocil," ucap Satya mengelus dada."Bocil siapa, Papa?" tanya Deslyn bingung."Bocil ya lo, Deslyn," ceplos Glen."Bocil emang apa, Om?" tanyanya lagi.Glen mendesah frustasi. "Bocil y
Seminggu kemudian ...Jeslyn sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Sontak hal itu membuat Falri dan Deslyn begitu antusias membawa pulang Jeslyn.Dibantu Satya, Glen, Fani, dan Jessica, Jeslyn akhirnya keluar dari rumah sakit. Falri masih menggendong Deslyn sampai di depan mobil.Glen duduk di kursi pengemudi. Fani di sebelah sisi Glen. Sedangkan Falri, Jeslyn, dan Deslyn duduk di bangku tengah. Hanya Satya yang duduk di belakang bersama Jessica."Lo bener udah sehat, Jes?" tanya Satya."Iya, Kak.""Jes, pokoknya ntar harus makan banyak ya!" seru Jessica begitu semangat, "ntar gue masakin, deh. Serius!""Gue ikutan masak, dong," timpal Fani ikut nimbrung."Skuy, lah. Yang penting bahannya udah ada di dapur. Ya, nggak, Yara?" Jessica menaik-turunkan kedua alisnya sembari menatap Satya."Gue belum belanja, astaga.""Gampang, Sat. Lo tinggal beli aja ntar sama Glen." Fani memberi solusi.Kedua lelaki yang dititah
Falri menatap gundukan tanah di hadapannya. Hatinya terasa sakit. Seperti ditikam beribu belati tajam.Falri menangis. Meratapi nasibnya. Ia direngkuh hangat oleh Fani, kakaknya.Falri mengecup pelan batu nisan. Tak lupa ia memanjatkan beribu doa."Fal," panggil Fani mencoba menahan isak tangis.Falri menghentikan tangisnya. Ia menatap sang kakak, kemudian memeluknya begitu erat."Fal, kita harus sabar," lirih Fani."Tapi kenapa harus Mama dan Papa yang tiada?" tanya Falri. Ia menitikkan air mata untuk kesekian kalinya. "Gue ngerasa kalau gue ...." Falri menjeda ucapannya sebab terhalang oleh suara isakan tangisnya."Gue nggak bisa banggain Mama dan Papa. Gue nyesel, Kak."Memang benar, Dira dan Bran dinyatakan meninggal dunia akibat kecelakaan. Kemarin, tepat di saat usai Jeslyn tertembak. Dira dan Bram berinisiatif membawa mobil sendiri, karena mobil ambulance sudah penuh.Naas, di jalan menuju rumah sakit, mobil ya
Falri diambang kebingungan. Di satu sisi, ia tidak ingin menerima tawaran Alda. Namun, di sisi lainnya ia tidak bisa berlama-lama menyelamatkan orang-orang yang dikenali.Falri mengusak rambutnya frustasi. Ia menatap Alda dengan tatapan lelah bercampur gusar."Lo udah buat drama banyak banget di hidup gue. Apa lo nggak cape juga?" Falri berujar, seolah-olah ia ingin bernegoisasi dengan Alda.Alda menggeleng cepat. "Aku nggak akan pernah cape! Sebelum kamu jadi pacarku, Fal.""Lo cinta sama gue?" Alda menggeleng sekali lagi. Membuat Falri mengernyit heran."Aku nggak cinta sama kamu.""Terus kenapa lo seolah-olah maksa gue untuk jadi pacar lo?""Kepo! Jadi, cowok gak usah kepo!" tukas Alda.Falri berdecih pelan. "Ngeselin lo jadi cewek!""Gak ngejek aku buta lagi?" tantang Alda.Falri menggeram marah. Bagaimana ia mengejek Alda buta jika Alda sendiri saja sudah bisa melihat. Ada-ada saja perempuan sialan itu!"Fal, per
***Dengan perasaan mantap, Falri menaiki satu per satu anak tangga. Ia harus berhati-hati karena lantai tangga juga tak kalah licin. Nyatanya rasa penasaran Falri masih mampu mengalahkan rasa takutnya.Celana Falri sudah basah kuyup. Diakibatkan oleh genangan air dan air ngompol yang tanpa disengaja. Falri tetap berteriak, meneriaki si perempuan misterius. Namun, semakin waktu berjalan sudah tidak lagi terdengar suara perempuan menggema."Duh, ini gue milih pilihan yang tepat, kan?" tanya Falri jadi bimbang sendiri.Falri menggeleng seraya berdecak. "Bodo, ah. Siapa tau ntar di lantai dua ada harta karun gitu. Kan, nggak ada yang tau."Falri terus menggerutu. Begitu juga dengan hatinya yang terus meneriaki kalimat, "Demi gue, Jeslyn, dan Deslyn!"Falri menghela nafas lelah saat sudah berada di lantai dua. Matanya menelisik sekitar, banyak pintu kamar di sepanjang tembok hingga ujung tangga.Falri mengusap kasar keringat. Ia kembali berteriak,
Falri memutuskan untuk masuk ke gedung seram itu. Mau bagaimana lagi? Ini sudah cara terakhir mendapatkan petunjuk tentang drama di hidupnya.Saat Falri membuka pintu utama gedung. Tiba-tiba air dari dalam gedung meluruh keluar, sehingga kedua kakinya terpaksa basah karena air itu. Falri hanya bisa berdecak kesal.Matanya berkeliaran melihat sisi-sisi di dalam gedung. Tidak ada yang spesial. Hanya ada lorong-lorong gelap di sisi kanan, kiri, depan. Tak hanya itu, lorong-lorong itu digenangi banyak air.Bahkan juntaian rumput liar ikut menghiasi pemandangan dalam gedung. Falri bergidik ngeri. Dia menatap kedua kakinya, takut ada ular yang tiba-tiba melilitkan diri di kakinya. Jangan sampai, deh!Falri mencoba maju tiga langkah. Di saat itu juga sibakan air menggema di seluruh gedung. Falri mengumpulkan keberanian. Meskipun dia lelaki, tetapi jangan salah jika ia juga punya takut. Apa lagi kegelapan adalah salah satu phobianya."Please, ya ... di sini ada
Tak ingin menyiakan kesempatan, Falri sudah duduk di hadapan Jeslyn dan Deslyn dalam sebuah restoran privat. Falri gugup sekaligus malu. Sedangkan Jeslyn masih tidak berani menatap Falri. Begitu juga dengan Deslyn yang masih menangis terisak dalam pelukan Jeslyn."Jeslyn, Deslyn." Falri memanggil keduanya.Jeslyn dan Deslyn memberanikan diri menatap Falri."A-aku minta maaf." Falri mengucapkan itu dengan penuh sesal."Pa-Papa, Deslyn mau peluk Papa," pinta Deslyn yang langsung diangguki senyuman oleh Falri.Tubuh Deslyn yang berada di gendongan Jeslyn pun beralih ke gendongan Falri. Falri mengusap lembut air mata Deslyn.Jeslyn tak bisa menyembunyikan senyum harunya."Papa, marah, ya sama Deslyn?" tanya Deslyn, lugu.Falri menggeleng. "Maafin Papa, ya."Deslyn mengangguk. "Iya, Deslyn maafin Papa. Kata Mama, anak baik harus maafin kesalahan setiap orang."Mendadak seperti ada ribuan belati menikam jantung Falri.
Jeslyn diam tidak menyahut. Falri bergegas menghampiri Satya dan Deslyn. Tatapan Falri menyiratkan kekecewaan juga kemarahan."Kak Satya." Falri tertawa sumbang usai itu."Papa! Dia Papa Deslyn," seru Deslyn kepada Falri.Falri menatap kosong ke arah Deslyn. "Jangan panggil saya Papa lagi."Di detik itu juga, Deslyn menangis. Tubuhnya kemudian diambil alih oleh Jeslyn. Jeslyn membawa pergi Deslyn. Setidaknya cukup jauh dari dua lelaki itu.Di sisi lain, Satya tertegun. Suara datar Falri kepada Deslyn seharusnya tidak seperti itu. Sebab Satya tau apa yang terjadi antara Jeslyn dan Falri di masa lalu."Kak, kenapa lo tega sama Jeslyn?" tanya Falri, kecewa."Maksud lo apa?" Satya balik bertanya. Dia merasa bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan Falri. "Seharusnya gue yang tanya kenapa nada bicara lo kayak gitu sama Deslyn."Falri terkekeh pelan. "Gak ada sadarnya, ya, lo!" Falri memberikan satu bogeman mentah kepada Satya.
Perlahan Falri menitikkan air mata. Dia menatap Jeslyn dengan tatapan yang sulit diartikan. Berbeda dengan Falri, Jeslyn kini tengah diam menunduk."Jes, kamu bercanda, 'kan?" tanya Falri dengan nada lirih.Jeslyn masih diam. Hal itu membuat Falri semakin kalang kabut."Jeslyn, ini semua bercanda, 'kan? Deslyn itu anak aku, 'kan? Iya, 'kan? Anak kita berdua?" Falri melontarkan berbagai pertanyaan tetapi tak ada satu pun yang dijawab Jeslyn."Jeslyn!" seru Falri seraya mencengkram kedua bahu Jeslyn hingga si empu meringis sakit."Aw!" ringis Jeslyn. Dia menengadahkan kepala lantas menatap Falri. "Maafin aku karena baru kasih tau kamu," ucap Jeslyn dengan bibir bergetar.Falri melepaskan cengkraman itu. Dia menatap Jeslyn dengan tatapan yang menyedihkan. Tersirat kekecewaan yang membelenggu hatinya."Jeslyn," panggil Falri, pelan.Jeslyn menggelengkan kepalanya. "A-aku minta maaf.""Jeslyn, jelasin semuanya! Pasti Deslyn anak kita,