Hari berganti dan Izumi kembali disibukkan dengan kegiatan sekolahnya. Sejenak pemuda itu melupakan e-mail dari Mr. Sharon dan fokus dengan pelajarannya. Seiring dengan semakin dekatnya liburan musim panas, Izumi merasa beban akademiknya semakin padat. Ujian akhir semester kurang dari tiga minggu lagi. Namun sebelum itu mereka—anak-anak kelas tiga—juga harus mengikuti ujian simulasi masuk perguruan tinggi. Hal itu entah mengapa membuat Izumi merasa sedikit tertekan ditambah lagi wali kelasnya, Asahi-Sensei, mulai membagikan formulir tentang rencana perguruan tinggi mana yang akan mereka tuju setelah lulus nanti. Meskipun waktu pengumpulan formulir itu masih cukup lama, tetapi Izumi sama sekali belum bisa memutuskan apa yang akan dia tulis dalam formulir itu. Persiapan ujian, rencana setelah lulus yang belum bisa dia putuskan dalam waktu dekat, membuat Izumi merasa capek, baik fisik maupun batinnya. Hal tersebut yang membuatnya sempat ingin menolak permintaan Ryu sebelumnya
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang ketika Izumi tiba di rumah setelah menonton pertandingan basket di SMA Tokise. Tsubaki yang saat itu tengah bersantai di beranda depan, menyambutnya dengan senyuman ramah seperti biasanya. Di sebelah wanita itu Kuma dan Shiro ikut berbaring dengan nyaman. “Okaeri, Izumi-kun,” sapa Tsubaki lalu menutup majalah yang sedari tadi dibacanya. “Ryu-kun tidak pulang denganmu?” lanjut Tsubaki bertanya. Seingatnya tadi kedua pemuda itu berangkat bersama dari rumah.“Ryuzaki-kun masih di sekolah bersama teman-teman klub basketnya. Mungkin dia akan pulang sebentar lagi,” ujar Izumi.“Souka. Kalau begitu Mama akan menyiapkan makan siang. Izumi-kun, kau ingin makan siang dengan menu apa hari ini?” tanya Tsubaki.“Apapun tak masalah,” jawab Izumi.“Hmm apapun…, itu jawaban yang sedikit sulit,” balas Tsubaki deng
Tak lama berselang, Ryu tiba di rumah. Kuma dan Shiro langsung berlarian menyambut kedatangannya. Senyum simpul terlihat di wajah Ryu yang lelah ketika melihat kedua anjingnya. Dia menyempatkan diri bercengkrama sejenak dengan keduanya sebelum akhirnya Ryu melangkahkan kakinya menuju ke tempat di mana Izumi kini tengah duduk. Ryu merebahkan dirinya di dekat Izumi dan menggunakan tasnya sebagai bantal. “Huah…, hari ini begitu melelahkan,” ucap Ryu. Pandangan Izumi yang awalnya tertuju ke arah halaman kini berpindah menatapnya. “Otsukare!” balas Izumi. Pemuda itu tersenyum begitu samar, membuat wajahnya tak terlihat seperti sedang tersenyum. Ryu mengangguk lalu mengubah posisinya menjadi duduk. "Semenjak Shiro tinggal di rumah ini, Kuma menjadi lebih periang." Ryu memberi komentar ketika melihat Kuma dan Shiro yang sedang bermain kejar-kejaran di tengah halaman. "Dia tak lagi merajuk ketika aku jarang mengajaknya keluar jalan-jalan," tambahnya sambil tertawa k
Izumi membuka kaca jendela kamarnya lebar-lebar agar angin bisa masuk mengurangi gerah yang dirasakannya. Saat ini Izumi sedang tak ingin menyalakan pendingin ruangan dan lebih memilih udara segar masuk ke dalam kamarnya. Angin sepoi-sepoi siang itu terasa cukup sejuk. Izumi lantas membawa kursi belajarnya ke tepi jendela dan duduk di sana sambil membaca buku ditemani oleh musik yang mengalun melalui earphone yang terpasang di telinganya. Entah karena sejuknya angin yang terus menerpa wajahnya atau karena suara musiknya, lambat laun kedua kelopak mata Izumi mulai terasa berat. Dia tak lagi berkonsentrasi pada buku yang sedang dia baca. Dalam kondisi setengah sadar, Izumi bangkit dari kursinya dan langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya. Tak butuh waktu lama pemuda itu langsung terlelap sepenuhnya ke alam mimpi.Begitu terbangun matahari kini bersinar keemasan di ufuk barat dan tak lagi seterik sebelumnya pertanda hari sudah sore. Izumi menggeliat pelan lalu
Saat mereka tengah asyik berbincang, mendadak langit yang tadi cerah berubah menjadi gelap. Angin berhembus kencang dan gerimis turun secara tiba-tiba. Izumi, Makoto, dan Tsubaki pun serempak beranjak ke beranda untuk berteduh. Beberapa saat kemudian terdengar suara gerbang yang dibuka dengan terburu-buru. Ryu berlari kecil menuju mereka menghindari gerimis yang turun semakin deras diikuti oleh Kuma dan Shiro di belakangnya. “Haah, safe~ untungnya hujan baru turun ketika kami hampir sampai di rumah,” ucap Ryu sedikit terengah. Sementara Tsubaki dan Makoto masuk ke dalam rumah, Izumi dan Ryu tetap tinggal di beranda depan, menikmati waktu sore melihat hujan yang turun membasahi bumi. Angin sesekali berhembus menghantarkan udara yang terasa cukup dingin di kulit. Namun Izumi dan Ryu hanya bergeming. Izumi menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma tanah yang basah oleh hujan. “Sepertinya akhir-akhir hujan semakin sering turun,” kata Ryu memecahka
Selepas makan malam, Makoto kembali menyinggung rencana piknik yang sempat dia utarakan tadi sore kepada Ryu. Pemuda itu tak banyak berbicara dan hanya mengatakan, “awas saja kalau Tou-san membatalkannya di saat-saat terakhir,” membuat Makoto meringis pelan mendengarnya. “Kau masih dendam dengan Tou-san perihal waktu itu? Padahal itu sudah lama,” ujar Makoto. Ryu hanya mengangkat bahu lalu melengang keluar meninggalkan ruang makan. Izumi ikut pamit menyusul Ryu. Beberapa saat yang lalu Ryu sempat meminta Izumi membantunya menyelesaikan tugas sekolahnya dan diapun mengiyakannya. Kali ini mereka belajar di kamar Ryu. Itu pertama kalinya Izumi masuk ke dalam kamar saudara tirinya. Suasana kamar Ryu sedikit berbeda dengan Izumi. Seluruh bagian dinding di ruangan itu ditempeli stiker dinding berwarna terang, seolah menggambarkan kepribadian Ryu yang ceria. Hampir tiga perempat bagian dindingnya juga ditempeli dengan berbagai poster tim basket dan sepak b
“Haruki-kun.” “Haru.” Izumi membuka kedua matanya dan yang pertama kali terlihat olehnya adalah dua pasang mata yang berbeda warna, lavender dan obsidian, menatapnya dengan wajah penuh senyum. Izumi mengerjapkan matanya bingung. Berpikir bahwa itu hanyalah mimpi belaka, Izumi kembali memejamkan matanya. Namun sentuhan tangan yang mengusap kepalanya saat itu terasa begitu nyata. Mau tak mau membuat Izumi membuka matanya kembali. “Masih mengantuk? Ayo bangun. Hari ini kita akan melihat hanami.” Hanami? Bukankah ini sudah musim panas? pikir Izumi. Dengan segala kebingungannya, Izumi bangkit dari tidurnya. Dia mengucek matanya seolah ingin kembali memastikan kalau semuanya bukan hanya ilusi semata. Saat itu Izumi menyadari ada yang aneh dengan tubuhnya. Tangannya terasa lebih kecil dan jari-jarinya terlihat lebih pendek dari sebelumnya. “Eh, tanganku kenapa menjadi kecil begini?” ucap Izumi. Ternyata tak hanya tangannya,
Izumi tersentak dan membuka matanya dengan paksa. Mimpi yang baru saja dia alami, terasa begitu membekas membuat hatinya kembali berdenyut nyeri saat mengingat suara tangisan dirinya yang lain. Tangisan itu terdengar begitu pilu dan putus asa. Izumi menyeka kedua matanya dan mendapati jejak air mata yang belum sepenuhnya mengering di sana. “Eh, kenapa aku juga menangis?” lirih Izumi pada dirinya sendiri. Izumi lantas bangun dan mengedarkan pandangan sekeliling ruangan. Pandangannya sempat berhenti pada jam yang tergantung di dinding. Dalam keremangan Izumi melihat jam itu masih menunjukkan pukul enam pagi kurang sepuluh menit. Dilihatnya Ryu masih tertidur pulas beralaskan futon yang digelar tak jauh dari tempat tidurnya. “Seharusnya dia membangunkanku agar tak perlu tidur di bawah seperti itu,” Izumi kembali bergumam. Dia beranjak turun dari tempat tidurnya dan merapikan selimut milik Ryu seperti semula. “Arigatou, Ryuzaki-kun,” ucap Izumi pada pe
"Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang
Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul
Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker
“Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un
Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b
Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S
Usai makan siang dan meminum obatnya, Izumi duduk berselonjor pada tempat tidurnya. Irama piano mengalun dengan lembut melalui earphone yang terpasang di telinganya, menemani Izumi yang tengah asyik membaca manga milik Ryu yang baru sekarang sempat dia baca lagi. Lembar demi lembar habis dilahapnya. Semakin jauh halaman yang dia buka, Izumi merasa cerita itu semakin menarik. Penggambaran setiap karakter dalam cerita itu membuat imajinasinya terasa semakin hidup. Habis satu buku itu dibaca, rasa penasaran Izumi semakin menjadi untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Dalam hati dia sedikit menyayangkan mengapa hanya meminjam satu volume saja. Sepertinya aku harus meminjam lanjutannya nanti, batin Izumi. Dia menguap kecil. Rasa kantuk mulai menghampirinya membuat Izumi memilih untuk tertidur sejenak. Izumi menutup kelopak matanya. Earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi terus memutar lagu yang sama. Irama piano itu masih terus mengalun menemaninya hingga ke alam mimpi. [Tadaima,
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi
Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara