Tak terasa musim panas kini sudah memasuki Bulan Juli. Di beberapa tempat seperti area perbelanjaan, kuil, sekolah dan di beberapa stasiun mulai dipasangi hiasan dari pohon bambu untuk menyambut Festival Tanabata yang akan diadakan nanti malam tanggal 7 Juli. Izumi, Kaito, dan yang lainnya siang itu menghabiskan waktu mereka di atap sekolah. Kebetulan mata pelajaran di jam keempat dan kelima ditiadakan karena guru-guru sedang rapat. Diawali oleh Jun, anak-anak itu mengobrol tentang Festival Tanabata.
“Ne, nanti malam apa kalian akan pergi ke Festival Tanabata?” tanya Jun.
“Tanabata?” balas Izumi. Dia mengingat-ingat sejenak. Benar juga, sekarang tanggal 7 Juli. Berarti festivalnya nanti malam, ya, ucap Izumi dalam hati. Setelah lama tinggal di Amerika, dia tidak pernah mendengar kata itu lagi apalagi datang ke sana.
Shuu mengangguk mengiyakan. “Kau belum tahu karena selama ini tinggal di Amerika, ya. Jadi, Tanabata itu—” Shuu dengan antusias
Izumi berjalan menuju Shiba Park yang hanya berjarak dua puluh menit dari rumah Ryu. Pemuda itu belum memberi kabar kepada Shuu dan yang lain kalau dia akhirnya pergi. Pikirnya toh nanti mereka bisa jadi bertemu di sana. Sampai di tempat perayaan festival suasananya begitu ramai seperti yang Izumi duga. Memangnya ada festival yang tak ramai? Sesaat Izumi ingin menertawakan kebodohannya sendiri. Pemuda itu berjalan sendirian di antara lautan orang-orang yang mengenakan yukata itu. Iris obsidiannya sesekali tertuju pada kios-kios makanan dan permainan yang berjejer di sepanjang jalan yang dia lalui. Izumi berjalan tanpa tahu ke mana kakinya akan membawanya. Dalam hati dia sedikit menyesal kenapa tadi tak memberitahu Kaito ataupun Shuu kalau dia jadi pergi. Tak ingin kelihatan seperti anak yang kehilangan arah, Izumi memutuskan untuk berhenti di stand permainan kingyo sukui. Paman pemilik kios itu tersenyum ramah menyambutnya. Setelah membayar uang sebanyak t
Mengabaikan hujan deras yang masih mengguyur bumi, Izumi berlari menghampiri Nana. Entah bagaimana awalnya, sekitar tiga meter dari halte itu terjadi kecelakaan antara bus dengan mobil. Orang-orang ini kini sibuk membantu korban. Dari kejauhan suara sirine ambulans sayup-sayup mulai terdengar mendekat. Izumi menghampiri Nana yang berdiri menatap ke arah kecelakaan itu dengan wajah tegang. Izumi bisa melihat kalau tubuh gadis itu sedikit bergetar. Dia bahkan tak bergeming ketika Izumi menarik tangannya menjauh dari sana. Meski pada akhirnya Izumi hanya bisa membawa Nana sampai di bagian belakang halte itu saja karena gadis itu sepertinya terlalu shock untuk berjalan lebih jauh lagi. Ditambah hujan yang masih turun dengan deras, membuat Izumi tak ingin membuat Nana dan dirinya basah kuyup. “Nana.” Izumi memanggil Nana. Namun gadis itu tak menjawab. Pandangannya terlihat kosong menatap kejadian kecelakaan itu dari balik dinding kaca halte. Izumi lantas memutar
Pukul sembilan pagi Izumi terbangun dari tidurnya. Pemuda itu menggeliat pelan lalu menyibak selimut yang membungkus tubuhnya semalaman. Ketika beranjak dari tempat tidurnya, rasa pening mendadak menyerang kepala Izumi, membuat pemuda itu kembali duduk di atas kasurnya. Izumi memijit keningnya perlahan, setidaknya untuk mengurangi rasa pusingnya. Tidak biasanya dia merasa pusing seperti ini ketika baru bangun tidur. Apa karena aku tertidur terlalu lama? pikir Izumi. Setelah merasa sedikit mendingan, Izumi kembali berdiri lalu melangkah menuju jendela dan menyibak tirainya. Langit pagi itu terlihat kelabu. Sisa-sisa air hujan semalaman masih menetes dari atas atap. Bahkan jejak air di bagian luar kaca jendela Izumi masih terlihat jelas. Sepertinya hujan berhenti belum lama ini. Berbicara tentang hujan, Izumi kembali teringat kejadian semalam usai festival. Apa dia baik-baik saja? Izumi kembali mengulang pertanyaan yang sama dalam benaknya. Pemuda itu kemudia
Setelah memastikan pintu depan terkunci, Izumi membawa Kuma keluar. Anjing itu kelihatan begitu riang karena ia memang sudah lama tidak keluar rumah. Izumi membawa Kuma jalan-jalan menuju taman yang berbeda dengan yang biasanya mereka tuju. Tempat yang dituju kali ini adalah taman yang sama dengan tempat perayaan festival semalam karena memang tempat itu lebih dekat dari tempat tinggal mereka. Suasana di taman itu berbeda sekali dengan yang tadi malam. Kios-kios makanan yang semalam berjejer memenuhi area taman kini sudah tak terlihat lagi. Izumi memperhatikan area taman itu dengan seksama. Dia baru menyadari kalau di tengah-tengah taman itu ada danau buatan. Semalam dia tak melihatnya ketika datang ke sini karena terlalu banyak pengunjung yang datang untuk menikmati festival. Di tepi pagar pembatas danau Izumi berdiri setengah melamun menatap bayangan langit dan pepohonan yang terpantul oleh air danau. Tanpa tahu kalau Kuma yang semula berada di sampingnya kini sudah hilang
“Izumi.” Mendengar seseorang memanggil namanya, Izumi membuka mata. Ah, suara ini. Suara lembut yang Izumi rindukan. Suara yang sudah lama hilang dari hari-harinya. Namun tetap terekam dalam memorinya. Suara ini, suara yang hanya dimiliki oleh satu orang—Yoshino Takumi. Laki-laki itu kini berdiri di hadapannya, menatap Izumi dengan seulas senyuman di wajahnya. “Hisashiburi.” Izumi tahu ini tak nyata. Dia tahu ini hanya bagian dari mimpinya. Tetapi tetap saja, dia tak bisa menahan perasaan bahagia yang meluap dalam dirinya, karena itu Izumi menghampiri dan langsung memeluk sosok Yoshino Takumi dengan erat. “Aku merindukanmu … Tou-san,” bisik Izumi dengan suara bergetar. “Tou-san juga merindukanmu,” balas Yoshino Takumi mengusap kepala Izumi dengan lembut. Selalu, setiap kali Izumi bermimpi tentang ayahnya maka dia akan kembali ke tempat ini—balkon rumah mereka di Kota New York. Izumi memandang matahari yang
Hari Senin pagi, Izumi menikmati sarapannya bertiga dengan Ryu dan ibunya karena Makoto yang biasanya ikut bergabung dengan mereka masih belum kembali dari Kyushu. “Izumi-kun, daijoubu?” tanya Tsubaki yang sedikit khawatir melihat sorot iris obsidian putranya yang terlihat kosong pagi itu. Izumi mengangkat wajahnya dan mengangguk singkat menjawab pertanyaan Tsubaki. Setelah itu dia kembali menyuapkan potongan tamagoyakinya dan mengunyahnya perlahan. Setelah tamagoyakinya habis Izumi meletakkan sumpitnya, mengakhiri sarapan paginya. “Gochisousama. Aku ada jadwal piket hari ini, jadi aku berangkat duluan,” pamit Izumi beranjak dari ruang makan. “Eh? Chotto, Izumi-kun? Padahal masih pagi begini, dia harusnya tak perlu terburu-buru. Sarapannya bahkan tak dihabiskan,” ujar Tsubaki melihat porsi makanan Izumi yang masih tersisa setengahnya dari yang dia siapkan untuk pemuda itu. Apa ad
Pulang sekolah Izumi biasanya selalu menghabiskan waktunya tetap di dalam kelas atau di perpustakaan hingga sekolah ditutup. Namun kali ini pemuda itu lebih memilih untuk langsung pulang. Awan hitam tebal yang menutupi langit sedari siang menjadi salah satu alasan mengapa Izumi memilih untuk langsung pulang. Sore ini hujan sepertinya akan turun lagi dan kebetulan dia tak membawa payung. Maka daripada terjebak di sekolah jika hujan turun, Izumi lebih memilih pulang sebelum hal itu terjadi. Sekitar dua puluh menit berjalan dari sekolah benar saja hujan mulai turun membuat Izumi harus berlari untuk mencari tempat terdekat untuk berteduh. Namun sayangnya di kompleks perumahan yang dilewatinya sama sekali tidak ada tempat untuk berteduh. Satu-satunya pilihan yang dimiliki oleh Izumi hanyalah terus berlari agar bisa segera tiba di rumah. Hujan turun semakin deras. Meski Izumi sudah berlari secepat yang dia bisa ternyata hal itu tak banyak membantu. Pada akhirnya dia tiba di rumah
“Arigatou, aku senang menghabiskan waktuku hari ini mengobrol denganmu. Kalau begitu, sampai bertemu besok di sekolah. Ja ne!” Nana mengakhiri obrolannya lalu meletakkan ponselnya sembarangan di atas tempat tidur. Gadis itu berjalan keluar meninggalkan kamarnya. Keheningan langsung menyambutnya begitu pintu kamarnya dibuka. Suasana tempat tinggal Nana sore itu tampak lengang karena memang hanya dia sendiri yang tinggal di rumah saat itu.Langkah Nana terhenti sebentar di depan meja tempat foto kedua orang tuanya dipajang. Gadis itu meraih salah satu figura itu dan mengusap pelan wajah ayah dan ibunya sambil tersenyum. Meski begitu raut wajahnya sedikit sendu dan sorot kerinduan terpancar dengan jelas dari kedua iris coklatnya. Puas memandang potret kedua orang tuanya, Nana kembali meletakkan figura itu pada tempatnya semula lalu berjalan menuju pintu yang menghubungkan rumahnya dengan halaman belakang. Pandangan Nana langsung tertuju ke arah taman yang ditanami oleh berbagai jenis bung
"Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang
Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul
Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker
“Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un
Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b
Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S
Usai makan siang dan meminum obatnya, Izumi duduk berselonjor pada tempat tidurnya. Irama piano mengalun dengan lembut melalui earphone yang terpasang di telinganya, menemani Izumi yang tengah asyik membaca manga milik Ryu yang baru sekarang sempat dia baca lagi. Lembar demi lembar habis dilahapnya. Semakin jauh halaman yang dia buka, Izumi merasa cerita itu semakin menarik. Penggambaran setiap karakter dalam cerita itu membuat imajinasinya terasa semakin hidup. Habis satu buku itu dibaca, rasa penasaran Izumi semakin menjadi untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Dalam hati dia sedikit menyayangkan mengapa hanya meminjam satu volume saja. Sepertinya aku harus meminjam lanjutannya nanti, batin Izumi. Dia menguap kecil. Rasa kantuk mulai menghampirinya membuat Izumi memilih untuk tertidur sejenak. Izumi menutup kelopak matanya. Earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi terus memutar lagu yang sama. Irama piano itu masih terus mengalun menemaninya hingga ke alam mimpi. [Tadaima,
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi
Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara