“Izumi.”
Mendengar seseorang memanggil namanya, Izumi membuka mata. Ah, suara ini. Suara lembut yang Izumi rindukan. Suara yang sudah lama hilang dari hari-harinya. Namun tetap terekam dalam memorinya. Suara ini, suara yang hanya dimiliki oleh satu orang—Yoshino Takumi. Laki-laki itu kini berdiri di hadapannya, menatap Izumi dengan seulas senyuman di wajahnya. “Hisashiburi.”
Izumi tahu ini tak nyata. Dia tahu ini hanya bagian dari mimpinya. Tetapi tetap saja, dia tak bisa menahan perasaan bahagia yang meluap dalam dirinya, karena itu Izumi menghampiri dan langsung memeluk sosok Yoshino Takumi dengan erat. “Aku merindukanmu … Tou-san,” bisik Izumi dengan suara bergetar.
“Tou-san juga merindukanmu,” balas Yoshino Takumi mengusap kepala Izumi dengan lembut.
Selalu, setiap kali Izumi bermimpi tentang ayahnya maka dia akan kembali ke tempat ini—balkon rumah mereka di Kota New York. Izumi memandang matahari yang
Hari Senin pagi, Izumi menikmati sarapannya bertiga dengan Ryu dan ibunya karena Makoto yang biasanya ikut bergabung dengan mereka masih belum kembali dari Kyushu. “Izumi-kun, daijoubu?” tanya Tsubaki yang sedikit khawatir melihat sorot iris obsidian putranya yang terlihat kosong pagi itu. Izumi mengangkat wajahnya dan mengangguk singkat menjawab pertanyaan Tsubaki. Setelah itu dia kembali menyuapkan potongan tamagoyakinya dan mengunyahnya perlahan. Setelah tamagoyakinya habis Izumi meletakkan sumpitnya, mengakhiri sarapan paginya. “Gochisousama. Aku ada jadwal piket hari ini, jadi aku berangkat duluan,” pamit Izumi beranjak dari ruang makan. “Eh? Chotto, Izumi-kun? Padahal masih pagi begini, dia harusnya tak perlu terburu-buru. Sarapannya bahkan tak dihabiskan,” ujar Tsubaki melihat porsi makanan Izumi yang masih tersisa setengahnya dari yang dia siapkan untuk pemuda itu. Apa ad
Pulang sekolah Izumi biasanya selalu menghabiskan waktunya tetap di dalam kelas atau di perpustakaan hingga sekolah ditutup. Namun kali ini pemuda itu lebih memilih untuk langsung pulang. Awan hitam tebal yang menutupi langit sedari siang menjadi salah satu alasan mengapa Izumi memilih untuk langsung pulang. Sore ini hujan sepertinya akan turun lagi dan kebetulan dia tak membawa payung. Maka daripada terjebak di sekolah jika hujan turun, Izumi lebih memilih pulang sebelum hal itu terjadi. Sekitar dua puluh menit berjalan dari sekolah benar saja hujan mulai turun membuat Izumi harus berlari untuk mencari tempat terdekat untuk berteduh. Namun sayangnya di kompleks perumahan yang dilewatinya sama sekali tidak ada tempat untuk berteduh. Satu-satunya pilihan yang dimiliki oleh Izumi hanyalah terus berlari agar bisa segera tiba di rumah. Hujan turun semakin deras. Meski Izumi sudah berlari secepat yang dia bisa ternyata hal itu tak banyak membantu. Pada akhirnya dia tiba di rumah
“Arigatou, aku senang menghabiskan waktuku hari ini mengobrol denganmu. Kalau begitu, sampai bertemu besok di sekolah. Ja ne!” Nana mengakhiri obrolannya lalu meletakkan ponselnya sembarangan di atas tempat tidur. Gadis itu berjalan keluar meninggalkan kamarnya. Keheningan langsung menyambutnya begitu pintu kamarnya dibuka. Suasana tempat tinggal Nana sore itu tampak lengang karena memang hanya dia sendiri yang tinggal di rumah saat itu.Langkah Nana terhenti sebentar di depan meja tempat foto kedua orang tuanya dipajang. Gadis itu meraih salah satu figura itu dan mengusap pelan wajah ayah dan ibunya sambil tersenyum. Meski begitu raut wajahnya sedikit sendu dan sorot kerinduan terpancar dengan jelas dari kedua iris coklatnya. Puas memandang potret kedua orang tuanya, Nana kembali meletakkan figura itu pada tempatnya semula lalu berjalan menuju pintu yang menghubungkan rumahnya dengan halaman belakang. Pandangan Nana langsung tertuju ke arah taman yang ditanami oleh berbagai jenis bung
Tsubaki menatap Izumi yang tengah menikmati makan malamnya dengan santai. Mood pemuda itu terlihat sangat berbeda dengan saat sarapan tadi. Entah mengapa ekspresi di wajah Izumi terlihat lebih cerah dari biasanya. Bahkan Tsubaki sempat menangkap basah putranya yang sesekali tersenyum tipis di tengah acara makan malam mereka. Tak bisa menahan rasa penasarannya, Tsubaki langsung saja bertanya. “Izumi-kun, apa yang terjadi?” “Eh?” Izumi mengangkat wajahnya begitu mendengar pertanyaan Tsubaki. Ryu yang duduk di sebelah ibunya juga ikut mengangkat wajah. “Iie, hanya saja malam ini kau kelihatan sangat senang. Jadi, Mama sedikit penasaran apakah ada sesuatu yang terjadi,” ujar Tsubaki. “Nandemonai desu, tidak ada apa-apa,” elak Izumi. Pemuda itu kembali menghabiskan makan malamnya dengan cepat lalu pamit duluan ke kamarnya dengan alasan ada tugas yang harus dia selesaikan. “Pasti ada sesuatu yang terjadi hingga me
“Nii-san melupakan ponselnya,” ujar Ryu meraih ponsel hitam yang tergeletak di atas kursi yang sebelumnya ditempati oleh Izumi. “Kalau begitu Ryu-kun, bisa tolong kembalikan ponsel itu pada kakakmu? Dia mungkin belum sadar kalau ponselnya ketinggalan,” timpal Tsubaki. “Baik. Mama tidak membutuhkan bantuan lagi?” tanya Ryu memastikan. “Daijoubu. Ini sudah hampir selesai,” jawab Tsubaki seraya meletakkan mangkok yang baru selesai dicucinya di atas rak. “Souka.” Beberapa langkah sebelum keluar dari ruang makan, Ryu tiba-tiba berhenti dan menoleh kembali ke arah ibunya yang masih menyelesaikan cuciannya. “Tou-san tidak jadi pulang hari ini?” tanya Ryu menanyakan ayahnya. Pria itu sudah tiga hari ini berada di Kyuushu karena pekerjaannya dan berdasarkan jadwal seharusnya dia sudah tiba di rumah sore tadi. Namun sampai sekarang belum ada tanda-tanda kalau ayahnya akan segera pulang. Tsubaki memati
“Ohayou, Izumi-kun.” Sapaan ramah dari Makoto yang sudah kembali dari Kyuushu, langsung menyambut Izumi begitu dia menampakkan diri di ruang makan. Tsubaki yang tengah menyiapkan sarapan juga menyapanya dengan kata yang sama sambil tersenyum. “Ohayou gozaimasu,” balas Izumi lalu mendudukkan diri di kursi yang biasa dia tempati. “Kapan Makoto-san tiba di rumah?” tanya Izumi mencoba berbasa-basi meskipun dirinya merasa sedikit canggung. Namun itu lebih baik daripada hanya duduk berhadapan dengan Makoto tanpa mengatakan apa-apa. “Tadi pagi, sekitar pukul dua atau setengah tiga dini hari,” jawab Makoto lalu menyesap secangkir kopi hangat yang sudah disiapkan oleh Tsubaki. Izumi mengangguk mengerti. Dia lalu menatap ke sekeliling area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Ryu. Biasanya pemuda itu selalu tiba di sana lebih dulu dari dirinya. “Ryuzaki-kun masih belum turun?” tanya Izumi. “Ryu-
Izumi menggeleng pelan mengusir rasa kantuk yang tiba-tiba menyergapnya. Pemuda itu mengucek matanya. Sebisa mungkin dia menahan keinginannya untuk tertidur meskipun kelopak matanya terasa sangat berat. Ditambah lagi angin yang bertiup semilir dari jendela yang terbuka di samping tempat duduknya membuat rasa kantuknya semakin menjadi-jadi. Sepertinya semalam aku tidur terlalu larut, ucap Izumi dalam hati. Dia menarik napas panjang, pandangannya kemudian tertuju kembali pada buku pelajarannya. Konsentrasinya kembali dia pusatkan untuk mendengarkan gurunya yang tengah menjelaskan di depan kelas. “Nah, sekarang simpan buku kalian dan siapkan alat tulis. Sensei akan memberikan kuis untuk mengetahui sejauh mana kalian memahami penjelasan tadi.” Intruksi mendadak dari Fuyuko-Sensei, Guru Matematika di Sakurai Goukou langsung disambut dengan keluhan dari sebagian besar siswa di Kelas 3-A. “Eeeh Sensei, kenapa tiba-tiba?”
Seperti biasa jam sekolah berakhir tepat pukul empat sore. Izumi memasukkan bukunya kembali ke dalam tas lalu berjalan keluar meninggalkan kelas menyusuri koridor yang dipadati oleh para siswa yang juga baru keluar dari kelas mereka masing-masing. Sebelum pulang Izumi mampir sebentar di perpustakaan sekolah. Rencananya dia ingin meminjam beberapa buku sebagai literatur tambahan untuk pelajarannya.Begitu tiba di ruang perpustakaan, Izumi segera mencari buku yang dia butuhkan. Langkahnya berhenti di depan rak yang berisi kumpulan buku tentang Sejarah Jepang dan Dunia. Izumi mengambil satu buku yang sebelumnya sempat dibahas oleh Asahi-Sensei di dalam kelas. Diapun memutuskan untuk meminjam buku tersebut. Izumi lalu beranjak menuju rak buku sains untuk mencari buku selanjutnya.Di bagian Sastra yang berisi kumpulan novel-novel klasik hingga modern, Izumi berhenti sejenak lalu meraih salah satu novel milik Natsume Souseki yang berjudul “Kokoro”. Dia membaca beberapa halama
"Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang
Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul
Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker
“Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un
Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b
Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S
Usai makan siang dan meminum obatnya, Izumi duduk berselonjor pada tempat tidurnya. Irama piano mengalun dengan lembut melalui earphone yang terpasang di telinganya, menemani Izumi yang tengah asyik membaca manga milik Ryu yang baru sekarang sempat dia baca lagi. Lembar demi lembar habis dilahapnya. Semakin jauh halaman yang dia buka, Izumi merasa cerita itu semakin menarik. Penggambaran setiap karakter dalam cerita itu membuat imajinasinya terasa semakin hidup. Habis satu buku itu dibaca, rasa penasaran Izumi semakin menjadi untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Dalam hati dia sedikit menyayangkan mengapa hanya meminjam satu volume saja. Sepertinya aku harus meminjam lanjutannya nanti, batin Izumi. Dia menguap kecil. Rasa kantuk mulai menghampirinya membuat Izumi memilih untuk tertidur sejenak. Izumi menutup kelopak matanya. Earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi terus memutar lagu yang sama. Irama piano itu masih terus mengalun menemaninya hingga ke alam mimpi. [Tadaima,
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi
Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara