"Jawab saja! Aku kuat kok, Mas!" ucap Rima tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun. Ia masih menunggu apa yang akan dikatakan pria di hadapannya itu. Apakah ia akan berkata jujur atau kembali bersandiwara."Jawab, Mas!"Alan hanya mengangguk, ia tak lagi bersandiwara."Bahkan setelah kita menikah?" Alan kembali mengangguk.Dada seketika begitu sesak, mulut tak lagi dapat berkata. Rima membuang pandangannya, menyembunyikan mata yang mulai memerah. Alan pun terlihat bingung, ingin mendekat tapi seperti tertahan.Hingga ... akhirnya Rima kembali menegakkan pandangannya seraya menyeka air mata. "Maaf ... aku pikir aku kuat, ternyata ini lebih sakit daripada yang aku bayangkan. Seharusnya tadi kamu bersandiwara saja, aku rasa itu jauh lebih baik.""Maaf," ucap Alan pelan dengan segenap perasaan bersalah.
Rima menunggu. Ia hanya ingin tahu saja, Alan masih menatapnya, kini ia berdiri, mereka saling berhadapan terhalang meja."Aku mengatakan, kamu cantik dengan anting kecil itu."Rima termangu. "Kamu memujinya?"Alan menganggguk ragu dengan wajah bingung dan mungkin juga sebuah perasaan bersalah."Di hadapanku?"Alan terdiam."Bahkan kamu tidak pernah melakukan itu padaku."Alan masih mematung, menatap Rima dengan perasaan bersalah."Senang juga sepertinya dipuji laki-laki dengan kebohongan manis, sudah lama tidak ada yang seperti itu padaku, sepertinya aku haru mulai membuka diri," lanjut Rima yang kemudian segera berlalu ke mejanya tanpa mendengar balasan apa pun dari
"Tidak akan ada perceraian!" jawab Alan tenang seraya berhasil membuka gesper."Egois!" jawab Rima."Kamu pikir berpisah semudah itu?""Kamu pikir semuanya akan lebih mudah ketika hidup bersama dengan orang yang tidak mencintai kita. Bayangkan, tiga tahun kamu bergumul dengan kebohongan, Mas! Apa kamu pikir aku tidak sakit?"Alan diam, jauh di lubuk hatinya ada sebuah perasaan bersalah, tapi ia tidak bisa mengungkapkan segala apa yang ia rasakan saat ini.Setelah tidak ada jawaban dari Alan, dengan kecewa Rima pergi meninggalkan suaminya itu. Tapi ia tidak masuk ke dalam kamarnya, melainkan kamar lain yang selama ini untuk tamu."Kamarmu di sini Rima!" ujar Alan seraya memegang tangan istrinya dan menunjuk kamar mereka."Mulai malam ini aku tidak
Alan mematikan teleponnya ketika melihat Rima masih mematung di sana, menatap dirinya dengan sejuta curiga."Aku mau mengambil bajuku, maaf kalau mengganggu aktivitasmu," ucap Rima kemudian masuk dan langsung berjalan ke arah lemari, lalu mengambil beberapa pakaian."Aku hanya menelpon Gayatri dan menanyakan tentang pekerjaan.""Aku tidak bertanya," jawab Rima."Tapi aku tahu kamu sedang curiga."Rima menghentikan aktivitasnya, kemudian membalikkan badan dan dengan sinis menatap Alan."Rasa cemburuku sudah hilang ketika satu kenyataan akhirnya aku tahu. Satu hal saja yang aku sayangkan, kenapa aku begitu bodoh tak bisa membedakan mana orang yang sedang jujur atau berpura-pura."Ia kembali membalikkan badan, tapi Alan menahannya dengan membawa memegang tangan Rima.
Please jangan lupa komen, like dan subnya yaa"Bukankah kamu tahu bila aku tidak suka disela?" ucap Alan."Bukankah kamu tahu juga bila aku tidak suka dibohongi, Mas? Masihkah harus ku jelaskan segala rasa sakit atas sebuah kenyataan yang akhirnya ku ketahui.""Pembicaraan kita hanya berputar di situ saja, tidak akan pernah selesai.""Karena ini yang jadi masalah kita dan belum selesai!" ucap Rima."Maka dari itu, mari kita bicara agar mendapatkan titik temu."Rima diam, ucapan suaminya itu memang benar, mereka saat ini hanya butuh bicara bersama, apa pun hasil yang akan di dapat pada kisah akhir. "Baik, mari kita bicara.""Selama ini kamu terlalu mengejar dan mencintaiku, Rima!"Wanita di sampingnya itu segera melihat ke arah su
Please like, komen dan Sub ya. Biar upnya tambah semangat.Gayatrimeninggalkan rumah Rima dengan segenap perasaan kecewa atas sikap orang tua Rima yang masih saja mengatur dirinya hingga saat ini. Menangis saja rasanya tak cukup menenangkan hati, entahlah mengapa, semesta seperti tidak pernah berpihak padanya. Bahkan di dalam keluarganya sendiri, Gayatri merasa tak menemukan kenyamanan. Satu-satunya titik nyaman yang ia punya pun seolah terampas tanpa menyisakan apa pun kecuali luka.Sementara Rima dan Alan masih dalam percakapan yang tak berujung."Kita itu seperti berada di jalan buntu, Mas.""Tidak! Sebetulnya jalan kita tidak buntu, hanya kamu saja yang tidak mencoba memberi jalan padaku."Rima tidak tahu lagi harus membawa pembicaraan ini kemana, ia pun mulai jengah dan beranjak henda
Gayatri keluar dari kamar mandi dan menatap heran ke arah Rima dan dompet yang tergeletak tak jauh dari jangkauan sahabatnya itu."Kenapa, Rim?""Enggak, dompetmu kayaknya gak ganti sejak dulu, ada kali sepuluh tahun.""Ini kan dulu hadiah ulang tahun dari kamu, sayang banget mau ganti karena masih bisa dipakai, barang branded lagi. Aku gak akan mampu beli, hehe," jawab Rima mengambil dompetnya dan memasukkan ke dalam tas. Ia pun mencicipi makanan yang baru saja ia hangatkan."Kamu tidak pulang, Ay?" tanya Rima mengalihkan pembicaraan.Gadis di hadapannya menggelengkan kepala pelan, selalu ada gurat kesedihan pada Gayatri ketika berbicara tentang keluarganya."Mereka tidak membutuhkan aku pulang, mereka hanya butuh uang yang dikirim dengan sesering mungkin.""Mereka masih sep
Sepanjang jalan menuju rumah orang tuanya, Rima tak banyak bicara, sementara Alan fokus pada kemudinya."Kamu tahu tentang hidup Gayatri, Mas?" Rima membuka suara."Tak perlu membahas orang lain saat kita sedang berdua.""Dia bukan orang lain, dia bagian paling penting, baik untuk hidupku untuk hidupmu."Alan diam, ia tak menanggapi ucapan istrinya. Pembicaraan ini hanya akan berakhir pada hubungan yang akan membuat semakin dingin.Sampai detik ini, Alan tak mengerti, mengapa untuk sekadar melepaskan Rima adalah sesuatu yang sulit ia lakukan. Terlebih lagi orang tuanya begitu menyayangi Rima, bukan karena ia anak orang kaya, tapi sikap manja Rima mampu meluluhkan hati orang tuanya yang tidak memiliki anak perempuan dan saat ini Rima menjadi menantu satu-satunya.Tak berapa lama, mobil mereka tiba di sebuah rum
Galih menemani setiap masa tersulit Rima, begitu juga dengan Rima. Pernikahan mereka saat ini sudah memasuki usia sepuluh tahun, tidak terasa. Banyak hal yang sudah dilewati dengan baik."Selamat hari pernikahan yang ke sepuluh!" Rima memeluk Galih dari belakang, suaminya itu sedang bersiap menuju rumah sakit. Galih membalikkan badan, ia kecup kening Rima dengan penuh cinta, semuanya masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah. "Semoga kita bisa lebih panjang lagi menikmati waktu berdua!""Tidak hanya berdua, aku ingin bertiga atau berempat," ucap Rima.Galih terdiam, ia tahu maksud istrinya, tapi kemudian dipatahkan oleh kenyataan pahit sebuah takdir yang tidak bisa diubah."Aku tetap bisa menjadi ibu meski tidak melahirkan, iya kan?" ucap Rima.Suaminya itu mengangguk pelan. "Kamu mau kita mengadopsi anak?""Iya! Kamu gimana?" tanya Rima."Aku ikut semua hal yang membuat kamu bahagia!""Tapi kamu happy?""Tentu."Rima tersenyum, ia sudah menimang semuanya beberapa waktu ini, tida
"Ayo, Dok! Satu suap saja!" ujar dokter muda bernama Hani."Tidak, biar saya makan sendiri saja!" jawab Galih."Ayolah, Dok! Semua sudah, tinggal dokter saja, nih!" ucap Hani mendekatkan tangan yang sedang memegang sepotong kue ke mulut Galih."Saya menganggap semua yang ada di sini itu keluarga, apalagi aku hidup sendirian semenjak kecil, jadi momen ini aku ingin merasakan kehangatan keluarga, aku suapi, ya!" ucap Hani. Sosoknya memang ceria dan dekat dengan siapapun, ia mudah bergaul dan mengambil hati banyak orang, termasuk semua yang saat ini ada di sini, hanya Galih yang bersikap biasa saja, ia memang dikenal sedikit tertutup dan membatasi diri."Sekali saja ya, dok!" Hani merajuk, merasa tidak enak dan tidak tega, Galih pun akhirnya menerima suapan itu dengan perasaan berdosa pada Rima. Hingga akhirnya, pintu terbuka tepat ketika Hani menyuapinya.Seketika ruangan hening melihat kedatangan Rima, begitu juga Galih yang langsung salah tingkah, ia takut bila istrinya akan berpikir
Selepas berdoa, Rima dan Galih beranjak dari tempat peristirahatan terakhir Gayatri. Keduanya memutuskan untuk singgah sejenak di kota ini dan menyewa sebuah penginapan sambil menikmati indahnya kebun teh di akhir pekan."Syahra memberi kabar padamu?" tanya Galih ketika keduanya berapa dalam perjalanan menuju hotel.Rima menganggukkan kepalanya dan melihat ke arah Galih. "Memangnya ada apa?""Tidak! Kemarin aku melihat statusnya hitam gitu, ku pikir sedang ada masalah dan siapa tahu kalian saling bertukar kabar.""Syahra tidak pernah bercerita apa pun, dia itu orang yang paling menutupi semua bentuk masalah. Sholehah banget sih, sebagaimana kekurangan suami, dia gak akan mengumbar apa pun itu yang sifatnya buruk."Galih mengangguk setuju dengan yang diucapkan Rima. Kenyataannya Syahra memang seperti itu. Sepanjang perjalanan menuju penginapan disuguhi pemandangan indah, hamparan luas kebun teh yang hijau, sejauh mata memandang membuat kesejukan yang tidak terkira, menyusup sampai ke
Galih memegang tangan sang istri. "Kalau memang kita ditakdirkan untuk tidak memiliki keturunan di dunia, pasti Allah menjanjikan nikmat di surga. Pernikahan kita untuk berjalan ke sana buka? Jangan khawatir tentang semua yang sifatnya sudah menjadi hal preogratif Allah. Kita bisa menjadi orang tua untuk seribu anak.Rima terdiam, ia menghela napas panjang. Matanya kini mulai menghangat, tentang anak ini memang seringkali membuatnya khawatir dan cemas, terkadang ia takut bila akan tua sendirian, ia takut pada hal yang sebetulnya belum terjadi."Aku merasa tidak berguna, beberapa waktu ini pikiranku kacau, semua ini sangat sulit.""Kita bisa melewati ini, Rima. Kita akan tetap bahagia. Jadikan Allah sebagai pusat bertumpu dalam segala hal, maka lambat laun semua kecemasan akan hilang."Rima menundukkan wajah, tangannya berpegang erat pada Galih. Satu tetes air mata turun."Dengan segala ujian ini, kamu adalah makhluk spesial yang dipilihNya," ucap Galih lagi.Istrinya itu mengangguk pe
Rima terdiam dan menatap Galih dengan nanar. Sejenak hening mengisi ruangan inI. Jantung Rima berdegup kencang dengan irama yang tidak menentu, ia seperti bisa membaca situasi yang terjadi. Disingkap pakaian yang ia kenakan, kemudian ia lihat bekas luka jahitan yang terlihat mengering."Apa sudah tidak ada rahimku di sana?" ucap Rima menunjuk perutnya.Galih membuang napas kasar, ia membawa langkahnya mendekat pada sang istri. Meski pijakan kakinya seperti sedang tak menapak."Jawab Galih!" Teriak Rima ketika suaminya hendak meraih tangannya. Tak terasa derai tangis turun. "Kita akan bahagia tanpa anak, Rima!"Tersentak Rima, ini adalah kehancuran kesekian kali yang akhirnya harus ia dengar dan ia rasakan. Bahkan selama 31 tahun hidupnya, ia sama sekali belum pernah merasakan kehamilan, tapi ternyata takdir berkehendak bila bagian penting bagi seorang wanita harus terangkat.Setelah itu ia jatuh terkulai, menangis sejadi-jadinya. Menerima takdir adalah hal yang tak mudah.Galih memel
"Aku harus mendapat tindakan, ya?" tanya Rima ketika menerima hasil yang Galih bawa."Hanya tindakan kecil, setelah itu gak apa-apa, kita bisa mulai programa hamil. Kita akan berbulan madu ke tempat yang kamu inginkan," ucap Galih."Kata orang, kalau punya kista suka susah hamil.""Kamu kan punya dua tangan untuk menutup telingamu, jadi dengarkan aku saja, jangan yang lain."Rima mengerucutkan bibir sambil memegang kertas, ada sejumput rasa khawatir, mengingat usianya pun tak lagi muda, sudah 30 tahun lebih. Galih mendekat, merasakan ketidaksenangan istrinya, ia peluk Rima dengan hangat dan membesarkan hatinya."Jangan takut dan khawatir, percayalah semua akan baik-baik saja."Rima membalas pelukannya, setelah berkali-kali mereka batal untuk menikmati waktu berduaan, dua hari ke depan Galih mengambil cuti. Mereka memilih untuk menghabiskan waktu berdua di rumah."Mau tidur di hotel?""Tidak usah, di rumah saja. Aku tidak ada mood pergi kemana-mana, di sini saja sudah nyaman."Galih me
Galih ikuti langkah istrinya yang kini duduk di ranjang. Ia pegang pundak Rima lembut dan duduk di sampingnya."Jangan ngambek!"Rima membalikkan tubuhnya, melihat Galih sesaat, kemudian tersenyum. "Aku tidak marah, aku hanya sedang menggodamu saja!"Galih membuang napas kasar. "Aku tidak suka kamu menggodanya seperti itu.""Iya, maaf pak dokter!""Ya sudah, ayo! Sekarang saja."Rima diam, ia sedikit mengigit bibir bawahnya. "Barusan aku cek dan sedang haid."Galih menelan ludah tanda kecewa. "Aku puasa satu Minggu?"Rima mengangguk pelan.Helaan napas dari Galih kembali terdengar. "Oke, baiklah! Aku akan menahan diri sampai satu minggu ke depan, sekarang habiskan dulu makananmu, aku tidak ingin kamu sakit!""Yuk!" Rima mengulurkan tangannya dan mereka berdua kembali menikmati makanannya.Hari setelah hari ini tidak menjanjikan sesuatu berjalan dengan baik-baik saja. Banyak hal yang akan berganti, bahagia tidak akan selamanya, begitu juga sakit. ****..Dua bulan pertama pernikahan
Saat-saat perjalanan Gayatri menuju dikebumikan adalah proses dimana Rima merasa bahwa ia harus mendampingi semuanya sampai akhir. Tak peduli apa yang terjadi, ia akan mengingat Gayatri sebagai teman paling baik yang ada di dalam hidupnya.Alan pun turun membantu semua prosesi ini sampai akhir, gerimis tipis-tipis seolah memberikan semilir surga yang terasa sejuk.Ketika semua selesai, satu persatu yang datang pun turut pulang. Alan masih mengadahkan tangannya memanjat doa. Kesedihan nampak jelas di wajahnya. Setelah beranjak pergi, terkadang baru disadari bila orang itu cukup berharga. Manusia lainnya yang luar biasa adalah Syahra, ia nampak sabar dan tegar."Kita pulang, Mas!" Syahra mendekat dan memayunginya. Alan mengangguk. Kemudian beranjak dari, ia ambil payung itu dan membawa Syahra lebih dekat dengan dirinya. Mereka pun berlalu, diiringi Galih dan Rima di belakangnya, juga dalam satu payung yang sama.Sesampainya di mobil, Syahra lebih banyak diam. Melihat sikap Alan tak mun
Galih dan Rima akan menggelar akad yang sederhana, kebaya putih dengan desain terbaiknya dipilih untuk prosesi akad nikah. Pakaian yang mereka kenakan, nampak indah membalut mereka. Sederhana dan elegan."Tak sabar hari itu tiba!" ucap Galih yang kini berdampingan dengan Rima. Keduanya berdiri di depan sebuah kaca yang besar. Menatap diri masing-masing.. Sebuah pesan dari "Hanya sebulan lagi," jawab Rima dengan senyumnya yang manis."Kamu sudah sepenuhnya yakin padaku, Rima?""Kalau tidak yakin, aku tidak akan membuat keputusan di awal."Galih mengalihkan pandangannya pada Rima, ia tatap wanita yang sudah ia kenal sejak masih duduk di bangku sekolah itu, yang berubah hanya satu, ia jauh lebih baik dan cantik dengan hijab yang dipakainya."Jangan lama-lama natapnya! Nanti jatuh cinta," ucap Rima yang tersipu."Sudah sejak lama!" jawab Galih semakin membuat jantung Rima berdegup kencang. Setelah itu mereka pulang ke rumah, Galih tidak memilikinya banyak waktu saat ini, seiring padatn