“Assalamualaikum!!!”
Serempak suara sekelompok wanita di depan rumahku riuh mengucap salam. Aku tersenyum lebar kearah mereka yang ternyata adalah teman satu pengajian. Mereka datang tepat waktu sehingga tangan yang mencengkeram pinggang Zubaidah segera kulepaskan. Senyumku semakin lebar tatkala sepasang suami isrti juga muncul di belakang para ibu yang sebagian berpinggang lebar.
“Waalaikumusalam waroh matullahi wabarakatuh!
Ayo, mari-mari silakan masuk!”
Mereka bergerak mencari tempat duduk yang nyaman dengan sandaran terbaik. Suaranya berdengung seperti lebah membuatku sebenarnya cukup pusing ditambah kemungkinan tekanan darah yang naik akibat ulah suami dan maduku beberapa saat lalu.
“Sarah‼”
Pekikan Laras mendekat membuatku reflek mundur takut tiba-tiba memeluk dan mengenai bagian luka di perutku. Namun tidak karena wanita dengan an
Semarak lampu yang dipasang lebih di rumah kediaman Sarah dan Fadhil untuk menyambut acara syukuran anak ketiga mereka yang di beri nama Putri Fadhilah Sambodo tidak diikuti semaraknya acara. Setiap orang dalam rumah itu berwajah murung. Sarah duduk termenung menatap ruang kosong sambil memangku bayinya.“Sarah … aku sungguh minta maaf,” kata Laras dengan suara serak menahan tangis.Wanita bergamis bunga-bunga kecil berwarna biru dengan kerudung penjang warna senada itu menyusut cairan dari hidungnya dengan selembar tisyu yang diulurkan Sang Suami. Mereka duduk bersama mengelilingi sebuah meja panjang rendah dengan berbagai camilan yang tampak utuh di atasnya.Para tamu telah diusir dengan marah oleh Fadhil yang kemudian juga pergi menggandeng Zubaidah bersamanya. Acara yang diharapkan Sarah akan sedikit menghapus sebag dengan berbagi senyum bersama teman dan keluarga sirna sudah. Hanya keluarga inti d
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku sambil menatapnya curiga.“Ah tidak. Saya hanya kebetulan melihat, Anda jadi sekedar ingin menyapa,” jawabnya canggung.Merasa tidak punya kepentingan dan sepertinya dia juga tidak ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan jadi aku ingin kembali melangkah tapi suaranya kembali menginterupsi.“Em-itu ….”“Ya?”Lelaki berusia kisaran tiga puluh lima tahun berambut hitan agak keriting tetapi tertata rapi itu kembali gugup. Aku mulai tak sabar sehingga berkali-kali sengaja melirik pergelangan tangan di mana sebuah jam tangan warna perak melingkar. Melihat hal itu lelaki yang mengaku bernama Ali itu tampak gusar.“Apa Zubaidah baik-baik saja?” tanyanya cepat.Sepertinya dia menyesali apa yang baru saja keluar dari mulutnya dita
Selama proses pemeriksaan tubuku terasa kaku. Lelaki itu tampak asyik bercanda dengan Sang Putra tetapi aku merasa dia beberapa kali melirik dengan ujung mata tajamnya. Ya Allah, kenapa aku jadi mati gaya dan salah tingkah begini? Tanpa sadar aku kembali meliriknya dan kebetulan dia pun sama. Itu membuatku semakin merasakan ketegangan yang tak bisa ku jelaskan sebabnya. "Bu! Bu Sarah!" "I-iya, Dok. Kenapa dengan bayi saya? Dia baik-baik saja kan?" Dokter di depanku terkekeh melihatku gagap dan panic tidak jelas. Pandangannya menggoda menatap kami bergantian. Ini jelas membuatku tidak nyaman. Apakah dia kira kami ada hubungan spesial atau apalah yang menjadikan kondisi kami menjadi saling canggung? Dokter ini tidak tahu pengalaman apa yang
Bab 56 DDPHari cukup terik ketika aku turun membawa bayi Putri turun dari taksi online. Dengan ujung kerudung kulindungi bayi mungil yang kini berusia dua Minggu. Rasa nyeri di perut bagian bawah membuat langkahku sangat lamban.Pagar rumah sedikit terbuka hingga tak perlu bersusah payah menggeser untuk bisa masuk. Salam kuucapkan pelan saja karena aku tak berharap bibi membukakan pintu. Aku tahu dia sedang sibuk menyiapkan makan siang siang sekarang."Ingat, Bik! Kau di sini aku yang bawa jadi seharusnya kau berpihak padaku bukan perempuan itu!"Hardikan sebuah suara yang teramat kukenal terdengar gusar. Isak tangis terdengar pelan yang kuyakin adalah suara bibi.
"Bibi tinggal di pinggiran desa kecil yang hidup mengandalkan bahu untuk bisa makan.Apa saja saya kerjakan dari buruh cuci, buruh tani sampai masuk hutan mencari kayu bakar untuk dijual."Bibi bicara sendiri sambil terus terisak. Aku sama sekali tak menyahut atau menimpali juga tak merubah posisi dari membelakanginya tetapi menyimak setiap kata dengan baik."Ibundanya Neng Zubaidah sangat baik apa lagi Neng Laras. Dari beliau setiap kekurangan keluarga, saya mendapat bantuan.Karena itu sewaktu Neng Zubaidah meminta saya membantu dan mengawasi Bu Sarah saya bersedia."Bibi menjeda kisah dengan isak yang tak tertahan sementara aku tetap seolah membatu meski sebenarny
Selesai makan aku merasa mengantuk tapi sebentar lagi anak-anak akan pulang sekolah. Aku tak akan melewatkan menyambut mereka dan mengarahkan kegiatan hari ini. Dengan begitu aku baru akan bisa tenang beristirahat. Belakangan aku tak terlalu bisa tidur nyenyak karena sering bermimpi buruk. Kalau sudah terbangun dari tidur pasti susah lelap kembali."Bi, temani saya ngobrol dulu sampai anak-anak pulang ya… saya takut tertidur.""Nanti bibi bangunkan kalau mereka pulang, Bu.""Tinggal sebentar lagi, Bi."Wanita berdaster coklat dengan kerudung berbentuk topi bulat menutup rambutnya yang dicepol itu kembali duduk setelah mengantar bekas makanku ke dapur.
Aku termenung mengingat cerita bibi tentang istri kedua Mas Fadhil. Kenapa Zubaidah baru direbutnya ketika usianya telah rawan menikah? Empat puluh tahun adalah usia yang sangat matang kalau tak ingin dikatakan perawan tua telat menikah.Saat bertemu lelaki bernama Ali itu, tampak sekali kekhawatiran di wajah ketika menanyakan kabar Zubaidah. Wanita yang gagal dipinangnya karena keduluan suamiku. Mungkin salah jika aku dan Laras dulu mengkhawatirkan dirinya tidak bisa menikah seumur hidup."Bu, anak-anak sudah pulang!" seru bibi dari luar.Aku segera beranjak menyambut mereka. Senyum polos dua jagoanku membuat segala perasaan tak nyaman terlupakan sementara. Celoteh mereka saat kutemani makan siang membuat senyumku terbit.
"Gaji bulan ini kamu tak ada jatah sebagai hukuman mempermalukan suami sendiri di depan umum," kata Mas Fadhil pagi ini di meja makan.Kedua anak lelaki yang sedang sarapan bersama melirikku takut-takut. Belakangan ini suasana rumah ini tak lagi nyaman bagi mereka. Saat ayahnya datang adalah waktu akan sebuah ketakutan. Aku menghela napas untuk mengatur emosi di dada. Sekuat tenaga menahan mulut ini agar tak melayani bahasan suami."Cuma buaya sekolah yang kubayar, lainnya biar dipakai Zubaidah meringankan biaya program kandungannya. Dia lebih butuh sekarang daripada kamu," pungkasnya.Diamku jelas dianggapnya setuju. Biarlah asal anak-anak tetap terbayar sekolahnya. Sedikit tabungan dan hasil penjualan di toko kecil yang kukelola masih menghasilkan rupiah meski tidak banyak. Apa lagi sejak sakit-sakitan mengandung hingga kini pasca melahirkan toko itu dikelola orang lain dengan sistem bagi hasil. Aku harus cukup puas bi
Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya
Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan
Zubaidah telah berbaring kembali di ranjang pasien dengan selimut yang kurapikan menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meski matanya terpejam, aku tahu kalau dirinya sama sekali tidak tidur. Dia sepertinya masih marah karena kutinggalkan cukup lama hingga kehausan. Luka di perutnya masih basah hingga belum bisa bangun atau duduk apa lagi beranjak mengambil minum di meja samping temat tidur sendiri. Jaraknya cukup jauh dari jangkauan tangan.Alih-alih mencemaskan kemarahan istri, ingatanku justru kembali pada Laras di lorong rumah sakit tadi.“Siapa yang dia jenguk?” gumamku tanpa sadar.“Siapa, Bang?”Aku menoleh dan mendapati Zubaidah telah membuka matanya kembali. Tatapannya mengisyaratkan tanya. Mungkin dia telah menatapku dari tadi tetapi aku yang tidak menyadarinya karena asyik melamun. Aku bergerak dalam dudukku seolah mencari posisi yang baik tapi sebenarnya aku sedang memilah kata untuk kusampaikan padanya tentang hal-hal aneh yang kutemukan di rumah sakit ini. Wanita ini baru sa
Kebahagian ini rasanya ada yang kurang entah apa itu. Kelahiran bayi yang dilahirkan Zubaidah adalah hal istimewa karena sejak awal pernikahan tak pernah terpikir akan mendapatkan anak darinya. Perjalan hampir tiga tahun bersamanya aku lebih banyak merasa mendapat jekpot dalam hidup ini.Biaya hidup keluarga yang tak perlu kupikirkan sampai hadiah-hadiah special juga pelayanan istimewa yang kudapatkan dari istri keduaku ini sungguh membuatku senang. Keadaan yang jauh berbeda dari kehidupan pernikahanku bersama Sarah. Begitupun cintaku tetap lebih besar pada wanita mungil yang mendampingiku lebih dulu. Sampai akhirnya hadir Arjuna di Rahim Zubaidah. Semua seperti terbalik. Rasa ingin membalas kebaikan yang kudapatkan darinya membuatku membantunya untuk mendapatkan kebahagiaan juga. Agar dia juga merasa beruntung memilikiku maka selalu kubantu dia untuk menggapai apa yang diinginkannya sampai hal dia ingin lebih lama bersama atau lebih aku perioritaskan kehidupannya dari Sarah dan ana
Aku seorang dokter yang dituntut profesional menghadapi pasien bagaimanapun keadaannya. Hanya saja aku sungguh tak bisa mengendalikan diri jika menghadapi lelaki yang telah menyakiti hati seorang wanita.Yah, khusus wanita itu. Sarah.Datanya kusimpan secara khusus ketika hati ini tak bisa berhenti memikirkannya. Semula aku mengira mungkin ini karena rasa kasihan mengetahui dirinya yang telah disakiti seorang suami sedemian rupa.Namun rasa ini sungguh terlalu dalam.Wajah sayunya selalu membayang di pelupuk membuatku sulit memejamkan mata sebelum memastikan keadaannya.Apakah baik-baik saja? Apakah nyaman dalam menerima setiap tindakan medis juga perawatannya?Apakah obatnya sudah diminum?Apakah cukup menerima asupan? Juga apakah-apakah yang lain.Kekhawatiranku semakin bertambah sejak hari ini. Biang yang telah membuatnya sakit tengah berkeliaran di rumah sakit tempatnya dirawat. Istri lelaki yang sama sekali tak pantas disebut suami itu sedang melahirkan. Kandungan istimewa itu b
Kularikan mobil dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Sebelumnya telah kuhubungi dokter Wan yang bertanggung jawab pada istriku sejak awal kehamilan. Aku sendiri tak berani asal masuk ke rumah sakit lain karena kondisi kehamilan Zubaidah yang cukup menghawatirkan. Dokter Wan lebih tahu kondisi pasien karena memiliki catatan medisnya sejak awal. “Bapak tunggu di luar saja biar Dokter focus bekerja! Bapak bantu doa saja,” kata perawat menahan langkahku memasuki ruang periksa. Perasaanku sangat kacau. Tak seperti kelahiran anak-anakku bersama Sarah yang bisa kuhadapi dengan tenang karena kondisi ibunya yang sehat dan normal juga bantuan keluarganya yang ikut siaga baik moril maupun materil. Sekarang aku bingung sendirian. “Pak Fadhil!” “Ya!” Entah mengapa aku seperti mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari semua orang di rumah sakit ini. Bahkan ketika aku sedang kesulitan seperti sekarang wanita berseragam putih-putih itu tetap bicara dengan nada tinggi seperti kesal. Ap
Ruangan minimalis yang tampak lebih luas karena sedikitnya perabot itu hening. Dua wanita dewasa berdarah sama masih saling diam dan masing-masing sibuk dengan ponsel di tangan. Sesekali sang kakak melirik adiknya yang masih acuh tak acuh setelah memuntahkan serentetan kata menusuk. Tak berapa lama istri Anton itu memasukkan ponsel ke dalam tas dan menoleh pada kakaknya. “Mas Anton sudah menjemput jadi aku mau pulang,” katanya sambil kembali sibuk dengan gendongan kangguru di dadanya. Ungkapan pamitnya sama sekali seperti sedang bicara pada diri sendiri. Hal itu jelas membuat perasaan Zubaidah gamang. Zubaidah bangkit dari duduk. Mulutnya membuka dan menutup seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada satupun kata terucap hingga Laras sang adik mengayunkan langkah ke arah luar rumah. Ketika hendak mencapai pintu, langkah kakinya berhenti sejenak tanpa menoleh ke belakang. “Pikirkan dulu setiap langkahmu, Kak. Jangan sampai menyesal kelak,” katanya yang kemudian melanjutkan lan
“Laras!”Zubaidah bangkit dengan susah payah sambil memegangi bagian bawah perutnya yang membuncit. Wajahnya memerah karena marah.“Kau tidak bisa mengatur soal hidupku hanya karena berperan di pernikahan kami.Jodoh itu dari Allah!Takdir yang telah terjadi bahkan jika bukan peranmu tetap saja kami bersama karena jodoh!” katanya panjang lebar dengan intonasi tinggi.Sang adik buru-buru menepuk lembut punggung bayinya yang sempat terbangun karena kaget. Wajah imut yang kembali memejamkan mata melihat senyum ibunya itu kembali tenang dalam buaian mimpi indah. Senyumnya terbit membuat sang ibu ikut menarik ujung bibir. Sementara kakaknya yang sedang dikuasai emosi masih berdiri cemberut sambil mengatur napas yang sempat tersengal.Kini Laras menatapnya dengan pandangan miring.“Sepertinya Kakaku ini benar-benar dikuasai napsu syetan yang terkutuk.”“Kau ....”Laras buru-buru mengangkat tangan menghentikan ucapan Zubaidah.“Kalau Kakak benar, itu berarti Laras juga bebas berbuat semaunya
Akhir pekan adalah hari Zubaidah bersantai. Biasanya di waktu ini dirinya sedang berdua di depan TV dengan sepiring camilan. Bersama suami bercanda dan bermanja. Status istri telah disandangnya selama dua tahun. Tak disangka waktu berjalan dengan cepat dan kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh.Fadhil saat ini dalam jatah harinya Sarah. Meski dirinya tahu kakak madunya itu sedang tidak ada di rumah. Mungkin saja sekarang sang suami sedang menyusulnya ke rumah orang tua Sarah atau apapun, Zubaidah tidak ingin memikirkannya.Sesuai pesan sang suami.“ Sekarang jatah harinya Sarah jadi Abang harus adil. Diam-diamlah di rumah jangan pikirkan apapun biar dedek bayi sehat.Kalau nanti Abang lama, pekan depan Abang janji akan mengembalikan jatah harimu dari Sarah. Mengerti?” tanya Fadhil yang hanya dijawab dengan anggukan kepala.Begitulah sang suami berpesan saat mau berangkat.🍀Denting suara selot pagar mengalihkan perhatian Zubaidah dari layar di depannya. Nampak seorang wanit