Sore ini aku sengaja bersantai di rumah sendirian. Anak-anak sedang mabit di sekolah mereka selama dua hari. Itu adalah sejenis pelatihan kemandirian dan hari menyantri di sekolah. Mereka berkegiatan layaknya santri di sebuah pondok pesantren selama dua hari saja. Bangun untuk shalat malam atau akrab disebut lail, shalat subuh berjamaah, mengaji bersama, jam Bahasa Arab dan game-game edokasi yang menarik membuat mereka melupakan bahwa sedang diajarkan tidak tergantung pada orang tua. Begitupun memasak dan makan masakan sendiri bersama-sama menjadi keasyikan tersendiri. Karena itulah aku sangat mendukung kegiatan satu ini.
Tok tok‼
“Assalamualaikum‼”
Suara salam di depan membuatku dengan malas menyeret tubuh ke ruang depan setelah menyambar jilbab instan yang tersampir di sandaran kursi. Sudah menjadi kebiasaan aku selalu mengintip dulu keluar melalui celah gorden untuk memastikan siapa yang datang sebelum membuka pintu. Ta
Aku bukanlah seorang yang suka dan pintar bersandiwara tapi menghadapi kepolosan yang kebangetan dari madu menurutku kalau tak ingin di sebut bodoh menjadikan diri ini ingin sekali menguji kemampuan berakting. Dengan wajah sedih aku menjulurkan kaki dan menunjukkan bengkak di sana.“Lihatlah,Mak!Ini disebut edema kata dokter dan sering mengganggu wanita hamil di trimester akhir.Ini sangat mengganggu, semoga, Mbak tidak mengalaminya.”Ketegangan mulai terlihat di wajanya. Biarlah aku terlihat jahat tapi sungguh aku menikmati ekspresi itu. Ini kesempatanku agar dia tahu bahwa dia sebenarnya sangat baik-baik saja untuk terlalu manja dan selalu menginginkan keberadaan suami tanpa ingat suaminya harus berbagi.“Ba-bagaimana bisa begitu? Apa sakit?”“Tentu saja sangat pegal, Mbak apalagi kalau harus berdiri lama.Sayangnya aku tak punya pilihan, de
“Apa!?Baik. Rumah sakit mana?”Aku berbalik menghadap Zubaidah yang sedang melihatku penuh tanda tanya. Aku sendiri cukup kaget karena ini belum waktunya Sarah melahirkan. Menurut penghitungan dokter katanya masih ada waktu sebulan lebih lagi normalnya baru bayi ketiga kami akan lahir.“Dari rumah sakit Kasih Ibu. Sarah akan melahirkan jadi aku harus ke sana sekarang.”“Melahirkan?Tadi kami baru ketemuan dan dia baik-baik saja bahkan lantang mengusirku dari rumahnya,” kata Zubaidah lantang karena masih marah atas sikap kakak madunya.Aku paling malas meladeni perempuan yang marah jadi lebih memilih menyibukkan diri untuk bersiap pergi. Mau tak mau istri ke duaku ikut membantu. Dia memang nomor satu soal melayaniku. Di rumahnya akulah raja yang selalu di layani.Dalam perjalanan aku bertanya-tanya mengapa ke dua ist
Kesadaranku telah kembali ketika masuk ruang operasi meski semua terlihat samar. Berbagai peralatan membuat jantung berdebar tapi untungnya dokter anestesi yang berada dekat di kepalaku sangat ramah dengan suara yang merdu di telinga membuatku tenang.“Berdo’a dulu ya, Bu … operasinya mau dimulai,” katanya lembut sambil menyuntikkan sesuatu di tangan sebelah kiriku yang terentang.Aku memejamkan mata untuk mengurangi gugup meski rasanya badan ini terus bergetar. Kuingat sesuatu yang indah-indah dalam hidup juga bibir yang terus berdzikir. Hidup dan mati terasa begitu tipis jaraknya. Tak kudengarkan segerombol petugas medis di bawah sana yang tengah melakukan sesuatu pada tubuhku. Tak ingin kupikirkan seperti apa tindakan mereka itu.“Dingin ya, Bu? Gemetar terus ini,” kata dokter anestesi dengan suara ceria. Aku seperti melihatnya bicara sambil tersenyum lebar. Senyum itu pun menular
Cahaya luar ruang observasi yang remang membuatku serasa mendapatkan sinar mentari pagi. Aku sangat meridukan bermandi hangat mentari setelah tiap ruangan yang membuat gigil. Mas Fadhil menyambutku dengan senyum.“Jilbab.”Suaraku tercekat di tenggorokan. Apa karena beberapa jam diam? Entahlah. Yang kutahu kepalaku tak mengenakan penutup. Mungkin dilepas saat memasuki ruangan kemarin dan diganti penutup kepala berbahan semacam plastic. Suaamiku itu segera mengorek isi tas yang disandang. Mengeluarkan sepotong jilbab instan berwarna pink. Tas itu sudah kupersiapkan jauh hari untuk berjaga-jaga. Rupanya dia menemukannya dalam lemari pakaianku.“Anak kita cantic seperti ibunya,” bisik Mas Fadhil di telingaku sambil mengecup kening setelah memakaikan jilbab.Perawat yang mendorong brangkar cukup sabar menunggu baru kemudian membawaku ke lantai atas tempat kamar rawat inap berada.
Hampir sepekan perjuanganku di rumah sakit berakhir juga. Hari ke tiga bisa bengun dan ke kamar mandi setelahnya badanku lebih kuat untuk bergerak meski lamban. Hari ke empat bayiku juga bisa keluar dari ruang khusus untuk belajar minum ASI. Aku bahagia bisa menimangnya. Mas Fadhil seperti biasa akan datang setelah mengantar anak-anak sekolah lalu pergi lagi saat datang waktu menjemput mereka kembali dan baru datang lagi malam hari.Teman dan kerabat silih berganti juga datang menjenguk. Masa pandemic membuat mereka hanya datang sendiri atau berdua mengingat larangan berkerumun. Protokol prokes yang ketat tak menyurutkan mereka untuk tetap datang berkunjung. Sangat mengharukan memiliki mereka sebagai teman. Dokter Irma selalu menyempatkan mampir jika ada waktu luang.“Aku benar-benar ingin melepas sepatu dan menggetok kepalanya yang seperti tanpa otak,” katanya emosi ketika menceritakan sikap Mas Fadhil di harin menjelang aku mel
Mobil yang kami kendarai melaju pelan pada jalanan yang padat merayap. Tak sedikitpun aku ingin bersuara. Sambil mendekap bayiku erat air mata berjatuhan tanpa isak. Kesedihan yang dalam tak memerlukan isak untuk menumpahkan tiap riak di mata tapi dada tetap terasa sesak.“Aku udah pontang-panting urus kalian kamu masih begitu aja dikit-dikit ngambeg!Kan Cuma tanya siapa tahu ada kesalahan,” kilahnya membenarkan diri.“Tiap pasien beda keluhan, Mas, jadi mungkin saja beda harga obat.”“Makanya kalau diperiksa diam saja jangan banyak ngomong!” katanya meninggi.Air mataku semakin deras mengalir dengan isak lolos satu demi satu. Dia tampak semakin melipat wajah sementara gigiku telah saling merapat. Teganya melakukan ini saat tubuhku lemah. Aku menyimpan kemarahan yang bisa meledak kapan saja.“Mari, Bu saya bantu,” kata seora
Cahaya redup tanpa mendung yang menggantung. Aku berjalan menyusuri rindangnya perdu mawar bersama beberapa kawan. Sampailah kami pada sebuah rumah mewah bergaya Jepang dengan pintu geser yang unik. Beberapa pohon sakura berbunga pink lebat tanpa daun. Aku mengaguminya.“Ayo kita masuk melihat taman bunga di dalam pagar sana!” ajak seorang teman dengan mata berbinar karena takjub.Kami beriringan memasuki pagar rumah indah itu dan seorang lelaki tua melambaikan tangan ke suatu arah. Kami mendatangi segera dan melupakan taman bunga indah yang terlihat dari luar pagar. Nampak kesibukan di suatu sisi dan lelaki tua menyuruh kami duduk berjajar pada bangku panjang. Tiba-tiba tangan keriput itu mencubit lengan yang terbuka. Baru kusadari tak ada penutup di badanku. Semburat malu pasti memenuhi wajah tapi aku tak kuasa beranjak.“Cukup tebal dan bagus,” gumamnya sambil melepaskan cubitannya.&nbs
Gamis berbahan wolfis warna pink membuatku merasa cantic hari ini. Aku berusaha menikmati hari memulihkan diri dengan bahagia. Bersama dua pangeran dan satu orang putri yang sehat seharusnya tak ada yang akan membuatku khawatir di masa depan.Hari ini adalah syukuran putriku yang kuberi nama Putri Fadhilah Sambodo. Sang Ayah jelas ingin nama belakangnya tersemat pada belakang nama anak kesayangannya. Senyum itu tak pernah pudar bahkan dalam beberapa hari ini sering menyelinap dari hari jadwal kunjungan pada Zubaidah. Meski bukan untukku ada rasa lemah yang dalam hatiku untuk terus bersikap keras padanya mengingat interaksi ayah anak itu begitu intens. Mas Fadhil seolah tak ingin melewatkan waktu tanpa tangan kecil yang selalu disentuhkan pada pipi merasai kelembutannya. Seperti diriku yang juga menyukainya dan melakukan hal yang sama pada moment meng-ASI-hi.“Kenapa melamun?” tanya Mas Fadhil yang sedang du
Fadhil nanar menatap sekumpulan keluarga besar yang sedang tertawa bahagia di taman sebuah rumah yang telah disulap menjadi aula pesta kebun yang semarak. Semesta seakan merestui hari bahagia itu dengan cuaca cerah langit memamerkan gemerlap bintang bermunculan ketika hari telah beranjak semakin malam. “Seharusnya aku yang ada di sana,” gumamnya sambil tak lepas memandang seorang wanita cantic yang bergelayut manja pada seorang pria tampan berkulit putih dengan anak perempuan mungil dalam gendongan. Itu adalah hari bahagia Sarah pada acara resepsi pernikahannya bersama Dokter Wan. “Sudahlah, Bang tak usah dilihat terus! Apa, Abang tak sadar itu sudah jadi masa lalu? Sekarang lihat kenyataan bahwa Sarah sudah bahagia dan kita juga harus melanjutkan hidup berusaha bahagia dengan keadaan yang ada,” kata Zubaidah sambil menggoyangkan lengan sang suami untuk menyadarkannya. SETAHUN YANG LALU Pada hari Zubaidah melahirkan seorang putra, Sarah sang madu juga tersadar dari baby blues ya
Laras berlari cepat ke parkiran rumah sakit di mana Sarah dirawat. Ketika Dokter Wan mengabarkan bahwa Zubaidah melahirkan di rumah sakit yang sama, dirinya segera menghubungi sang suami. Anton sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit membawa bayi Putri dan neneknya juga Bibi sebagai pengasuh. Mereka harus segera dihentikan agar jangan sampai bertemu Fadhil ataupun Zubaidah yang mungkin saja keluar ruang rawat menjenguk bayinya yang konon dirawat khusus di NICU karena lahir premature.“Ayo dong, Bi … angkat,” gumam Laras sambil terus menekan-nekan keypad gawainya lalu menempelkan ke telinga.Karena panggilan terus saja gagal wanita berjilbab panjang itu berinisiatif menunggu di loby. Benar saja tak berapa lama kendaraan dengan nomor polisi yang dikenalnya memasuki loby utama. Laras mengetuk kaca bagian pengemudi ketika mobil melambat. Jelas Anton jadi mengerutkan dahi melihat istrinya tampak panic.“Buka saja kuncinya biar aku masuk dulu.”Laras segera masuk ke jok tengah kendaraan
Zubaidah telah berbaring kembali di ranjang pasien dengan selimut yang kurapikan menutupi tubuhnya hingga ke dada. Meski matanya terpejam, aku tahu kalau dirinya sama sekali tidak tidur. Dia sepertinya masih marah karena kutinggalkan cukup lama hingga kehausan. Luka di perutnya masih basah hingga belum bisa bangun atau duduk apa lagi beranjak mengambil minum di meja samping temat tidur sendiri. Jaraknya cukup jauh dari jangkauan tangan.Alih-alih mencemaskan kemarahan istri, ingatanku justru kembali pada Laras di lorong rumah sakit tadi.“Siapa yang dia jenguk?” gumamku tanpa sadar.“Siapa, Bang?”Aku menoleh dan mendapati Zubaidah telah membuka matanya kembali. Tatapannya mengisyaratkan tanya. Mungkin dia telah menatapku dari tadi tetapi aku yang tidak menyadarinya karena asyik melamun. Aku bergerak dalam dudukku seolah mencari posisi yang baik tapi sebenarnya aku sedang memilah kata untuk kusampaikan padanya tentang hal-hal aneh yang kutemukan di rumah sakit ini. Wanita ini baru sa
Kebahagian ini rasanya ada yang kurang entah apa itu. Kelahiran bayi yang dilahirkan Zubaidah adalah hal istimewa karena sejak awal pernikahan tak pernah terpikir akan mendapatkan anak darinya. Perjalan hampir tiga tahun bersamanya aku lebih banyak merasa mendapat jekpot dalam hidup ini.Biaya hidup keluarga yang tak perlu kupikirkan sampai hadiah-hadiah special juga pelayanan istimewa yang kudapatkan dari istri keduaku ini sungguh membuatku senang. Keadaan yang jauh berbeda dari kehidupan pernikahanku bersama Sarah. Begitupun cintaku tetap lebih besar pada wanita mungil yang mendampingiku lebih dulu. Sampai akhirnya hadir Arjuna di Rahim Zubaidah. Semua seperti terbalik. Rasa ingin membalas kebaikan yang kudapatkan darinya membuatku membantunya untuk mendapatkan kebahagiaan juga. Agar dia juga merasa beruntung memilikiku maka selalu kubantu dia untuk menggapai apa yang diinginkannya sampai hal dia ingin lebih lama bersama atau lebih aku perioritaskan kehidupannya dari Sarah dan ana
Aku seorang dokter yang dituntut profesional menghadapi pasien bagaimanapun keadaannya. Hanya saja aku sungguh tak bisa mengendalikan diri jika menghadapi lelaki yang telah menyakiti hati seorang wanita.Yah, khusus wanita itu. Sarah.Datanya kusimpan secara khusus ketika hati ini tak bisa berhenti memikirkannya. Semula aku mengira mungkin ini karena rasa kasihan mengetahui dirinya yang telah disakiti seorang suami sedemian rupa.Namun rasa ini sungguh terlalu dalam.Wajah sayunya selalu membayang di pelupuk membuatku sulit memejamkan mata sebelum memastikan keadaannya.Apakah baik-baik saja? Apakah nyaman dalam menerima setiap tindakan medis juga perawatannya?Apakah obatnya sudah diminum?Apakah cukup menerima asupan? Juga apakah-apakah yang lain.Kekhawatiranku semakin bertambah sejak hari ini. Biang yang telah membuatnya sakit tengah berkeliaran di rumah sakit tempatnya dirawat. Istri lelaki yang sama sekali tak pantas disebut suami itu sedang melahirkan. Kandungan istimewa itu b
Kularikan mobil dengan kecepatan tinggi ke rumah sakit. Sebelumnya telah kuhubungi dokter Wan yang bertanggung jawab pada istriku sejak awal kehamilan. Aku sendiri tak berani asal masuk ke rumah sakit lain karena kondisi kehamilan Zubaidah yang cukup menghawatirkan. Dokter Wan lebih tahu kondisi pasien karena memiliki catatan medisnya sejak awal. “Bapak tunggu di luar saja biar Dokter focus bekerja! Bapak bantu doa saja,” kata perawat menahan langkahku memasuki ruang periksa. Perasaanku sangat kacau. Tak seperti kelahiran anak-anakku bersama Sarah yang bisa kuhadapi dengan tenang karena kondisi ibunya yang sehat dan normal juga bantuan keluarganya yang ikut siaga baik moril maupun materil. Sekarang aku bingung sendirian. “Pak Fadhil!” “Ya!” Entah mengapa aku seperti mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari semua orang di rumah sakit ini. Bahkan ketika aku sedang kesulitan seperti sekarang wanita berseragam putih-putih itu tetap bicara dengan nada tinggi seperti kesal. Ap
Ruangan minimalis yang tampak lebih luas karena sedikitnya perabot itu hening. Dua wanita dewasa berdarah sama masih saling diam dan masing-masing sibuk dengan ponsel di tangan. Sesekali sang kakak melirik adiknya yang masih acuh tak acuh setelah memuntahkan serentetan kata menusuk. Tak berapa lama istri Anton itu memasukkan ponsel ke dalam tas dan menoleh pada kakaknya. “Mas Anton sudah menjemput jadi aku mau pulang,” katanya sambil kembali sibuk dengan gendongan kangguru di dadanya. Ungkapan pamitnya sama sekali seperti sedang bicara pada diri sendiri. Hal itu jelas membuat perasaan Zubaidah gamang. Zubaidah bangkit dari duduk. Mulutnya membuka dan menutup seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tak ada satupun kata terucap hingga Laras sang adik mengayunkan langkah ke arah luar rumah. Ketika hendak mencapai pintu, langkah kakinya berhenti sejenak tanpa menoleh ke belakang. “Pikirkan dulu setiap langkahmu, Kak. Jangan sampai menyesal kelak,” katanya yang kemudian melanjutkan lan
“Laras!”Zubaidah bangkit dengan susah payah sambil memegangi bagian bawah perutnya yang membuncit. Wajahnya memerah karena marah.“Kau tidak bisa mengatur soal hidupku hanya karena berperan di pernikahan kami.Jodoh itu dari Allah!Takdir yang telah terjadi bahkan jika bukan peranmu tetap saja kami bersama karena jodoh!” katanya panjang lebar dengan intonasi tinggi.Sang adik buru-buru menepuk lembut punggung bayinya yang sempat terbangun karena kaget. Wajah imut yang kembali memejamkan mata melihat senyum ibunya itu kembali tenang dalam buaian mimpi indah. Senyumnya terbit membuat sang ibu ikut menarik ujung bibir. Sementara kakaknya yang sedang dikuasai emosi masih berdiri cemberut sambil mengatur napas yang sempat tersengal.Kini Laras menatapnya dengan pandangan miring.“Sepertinya Kakaku ini benar-benar dikuasai napsu syetan yang terkutuk.”“Kau ....”Laras buru-buru mengangkat tangan menghentikan ucapan Zubaidah.“Kalau Kakak benar, itu berarti Laras juga bebas berbuat semaunya
Akhir pekan adalah hari Zubaidah bersantai. Biasanya di waktu ini dirinya sedang berdua di depan TV dengan sepiring camilan. Bersama suami bercanda dan bermanja. Status istri telah disandangnya selama dua tahun. Tak disangka waktu berjalan dengan cepat dan kandungannya kini telah memasuki bulan ke tujuh.Fadhil saat ini dalam jatah harinya Sarah. Meski dirinya tahu kakak madunya itu sedang tidak ada di rumah. Mungkin saja sekarang sang suami sedang menyusulnya ke rumah orang tua Sarah atau apapun, Zubaidah tidak ingin memikirkannya.Sesuai pesan sang suami.“ Sekarang jatah harinya Sarah jadi Abang harus adil. Diam-diamlah di rumah jangan pikirkan apapun biar dedek bayi sehat.Kalau nanti Abang lama, pekan depan Abang janji akan mengembalikan jatah harimu dari Sarah. Mengerti?” tanya Fadhil yang hanya dijawab dengan anggukan kepala.Begitulah sang suami berpesan saat mau berangkat.🍀Denting suara selot pagar mengalihkan perhatian Zubaidah dari layar di depannya. Nampak seorang wanit