“Yang, kamu pulang? Kenapa tidak kasih tahu aku? Kan bisa aku jemput?” tanyanya gugup dan mencurigakan.Kulihat sepasang sandal wanita di depan pintu. Jelas itu bukan punyaku, bukan pula ukuranku. Apa mungkin? Belum sempat aku menuntaskan prasangka, suara seorang perempuan yang tentu belum kulupa terdengar memanggil dari arah dalam rumah.“Bang … kenapa Daffa dibiarkan sendiri di atas soffa? Gimana coba kalau dia terjatuh?”“Kamu bawa perempuan itu ke rumahku, Mas?”“Maaf, Yang. Hanya mampir sebentar. Meti dan anakku akan menginap di hotel, kok.”Aku pun merangsek masuk. Benar saja, Meti sedang menggendong anaknya di ruang Tv.“Salma?” Ia terkejut menyadari kedatangan sang tuan rumah.Hans dan Meti saling lempar pandang dan tegang.“Ekhm, kalian tenang saja.” Kucairkan suasana.“Yang, kamu tidak marah?” Senyum Hans mengembang seketika.“Untuk apa aku marah?”“Ya ampun, Alhamdulillah. Akhirnya … kamu memang istri shalehah Yang.”Spontan Hans merangkulku. “Lepaskan!”“Oh, iya, Yang.”“
“Pagi-pagi udah rapi. Mau kemana, Yang?”“Mau keluar sebentar. Oya, sepulang aku nanti, pastikan istri dan anakmu harus sudah tidak ada di rumah,” tegasku.“Baik, Yang.”“Satu lagi, bersihkan area dapur sebersih mungkin,” titahku seraya menyorot tajam.“Area dapur?” Hans keheranan.“Terutama area wastafel. Jangan sampai lupa!” Aku gegas keluar.Matanya membeliak baru menyadari apa yang dilakukannya semalam di area itu. Sebelum pergi ke kantor kelurahan untuk membuat surat keterangan gugatan cerai, aku mampir dulu ke Resto & cafe untuk mengambil sejumlah uang.“Maaf, Bu, tapi harus seizin Bapak. Kami tidak berani mengeluarkan uang kas tersebut,” tolak karyawan kepercayaan Hans.“Ini Resto milik saya, saya yang beli. Kenapa saat mau ambil uang harus izin dulu Pak Hans? Uang ini hak saya.”“Tetap saja, Bu. Bos kami yang memperkerjakan itu Pak Hans. Kami tidak berani membantah.”“Apa kalian mau saya pecat?”“Silahkan, Bu, kalau memang bisa.”Karyawan itu bahkan tak mampu kugertak. Sial!
Sidang pertama digelar. Tentu saja Hans hadir dan bersikap kooperatif. Membuat hakim menyarankan untuk kami berdamai saja. Kalau setiap sidang Hans hadir dan bersikuku tidak mau menceraikanku, bisa-bisa gugatan yang aku ajukan ditolak pengadilan. Kenapa kamu keras kepala sekali Hans? Terlebih aku sebagai penggugat belum memiliki bukti yang kuat. Ibunya Hans juga, tiba-tiba mundur dari kesediaannya untuk menjadi saksi. Kacau semua yang telah aku rencanakan.Selama proses persidangan aku dan Hans masih satu rumah. Meski sudah kusuruh pergi, tetap saja dia bertahan satu atap denganku. Dia selalu bersikap biasa-biasa saja, semakin membuatku muak. “Yang, kamu tidak akan menang melawanku. Sudahlah, jangan buang-buang waktu dan uang tabunganmu itu.” Hans berujar semu mengejek.“Aku tidak akan menyerah. Lihat saja, nanti kita pasti akan bercerai,” tukasku.Kuperhatikan, sekarang dia memang tidak pernah menemui Meti lagi. Dia sangat hati-hati sekali. Selama keputusan sidang belum final, ia a
Aku bergegas membuka pintu.“Meti!”“Hai, Mbak,” sapanya genit.“Suamimu tidak ada di sini,” ketusku.“Siapa bilang aku mau bertemu Hans? Aku mau bertemu kamu, Mbak.”“Aku tidak punya urusan denganmu.”“Jangan judes-judes dong, Mbak!”Tanpa permisi kuraih handle pintu untuk menutupnya. Akan tetapi, tangan Meti tak kalah cepat menariknya lagi.“Lepaskan! Pergi dari rumahku. Atau mau aku panggilkan Pak RT?”“Santuy, Mbak. Ingat anak dalam kandungan, enggak boleh marah-marah, ya!”Meti merangsek masuk ke dalam rumah. Kini dengan santainya dia duduk di kursi tamu.“Mau apa kamu sebenarnya?”“Nah, bukannya bertanya dari tadi. Aku ke sini mau memperlihatkan sesuatu. Silahkan!” Meti mengulurkan selembar kertas yang ternyata isinya adalah perjanjian antara dia dan Hans.“Perjanjian ini tidak syah! Resto cafe itu milikku.” Aku berujar seraya merobek surat tersebut.“Hahaha … kamu ini bodoh atau gimana, Salma? Masih sama saja seperti dulu.”“Keluar sekarang juga dari rumahku!”“Sabar … aku bel
Sidang selanjutnya digelar kembali. Kali ini aku merasa bersemangat dengan adanya bukti baru. Hans yang awalnya terus memamerkan senyum tiba-tiba matanya membeliak saat bukti-bukti baru yang sungguh tidak ia duga dibeberkan.Wajah Hans merah padam. Percuma sekarang dia mau menyangkal bagaimana pun. Hakim menganggap dia telah mengelabui pengadilan karena selama sidang terus-terusan menyangkal perselingkuhan tersebut. Akhirnya keputusan pun diketuk palu. Gugatan ceraiku dikabulkan oleh pihak pengadilan.Kudengar beberapa kata makian dan umpatan keluar dari mulutnya untuk Meti.**Dengan murka Hans mengemasi barang-barangnya dari rumahku. “Ingat Salma, sebentar lagi kamu akan melahirkan. Aku akan lihat, wanita sombong sepertimu apa bisa tanpa aku?”“Tidak usah banyak bicara, Mas! Pergi saja sana.”“Kamu pikir aku tidak tahu, kalau kamu itu sudah tidak memiliki uang. Tabunganmu sudah habis ‘kan untuk biaya pengacara? Jangan harap aku akan menafkahimu lagi, walau sepeser pun.”“Tak apa,
Kehadiran anak di tengah kami membuat amarah mereda. Akan tetapi kebaikan Hans menolongku persalinan tidak mengubah sedikit pun keputusan. Kupikir hal yang wajar jika ia membantuku. Toh yang kulahirkan adalah anaknya juga.Sekarang bayiku sudah berusia empat bulan. Perkembangannya baru bisa tengkurap. Kuberi nama dia, Syauqia. Sesuai arti dari namanya, ia adalah bayi yang dirindukan. Setelah aku keguguran dua kali.Aku masih tinggal di rumahku. Sesekali Hans datang menjenguk anak kami dan memberi nafkah. Setiap ia berkunjung, kami hanya bercengkrama di teras. Tidak pernah kuizinkan dia masuk rumah. Aku ingin menjaga kehormatan sebagai janda dengan tidak memasukkan lelaki yang bukan mahrom. Kadang aku juga meminta tetangga untuk menemaniku saat dia datang.“Assalamualaikum,” salam papa-nya Syauqia terdengar.Aku gegas gendong Syauqia dan pergi ke teras. “Waalaikum salam.”“Hallo Qia anak Papa yang paling cantik,” sapa Hans dan langsung mengambil alih Syauqia dari gendongan.“Itu apa Ha
Kulelang semua tas-tas branded koleksiku via onlen. Sebaiknya aku memang jangan bergantung kepada jatah uang bulanan yang Hans kirim. Kurelakan saja resto cafe yang memang sudah tidak dapat kumiliki. Aku mengaku kalah oleh perempuan licik itu.Namun yang terpenting untuk saat ini adalah bagaimana caranya agar aku bisa menghasilkan uang kembali? “Ayok Salma gunakan otakmu! Bukankah kamu cerdas dalam hasilkan uang?” Aku bicara sendiri.Berusaha mencairkan otak yang membeku karena pengkhianatan. Jujur rasa sakit yang ditorehkan Hans menguras segalanya. Aku benar-benar telah jatuh cinta kepada lelaki yang salah. Meski cinta itu kini sudah tak bersisa.Kutatap bayi mungilku. Satu-satunya hal yang kusyukuri atas pernikahan kandas itu. Bayiku yang selalu menjadikan kuat dan semangat hidup tetap menyala.Alhamdulillah, tas-tasku laku terjual. Tentu saja karena selain ori, harga yang kutawarkan lumayan jauh dari harga aslinya. Sebenarnya sayang juga, tapi saat ini aku memang lagi membutuhkan
Ternyata yang dimaksud perhitungan yang diberikan si Meti adalah berhenti memberi jatah bulanan kepada anakku yang sejumlah satu juta. Dia pikir, aku bakal kesusahan apa dengan uang yang tidak seberapa itu. Biarkan sajalah. Aku malas menanggapi.“Permisi, Mbak,” ucap seseorang menghampiriku yang sedang menyiram tanaman di depan rumah.“Maaf mau ke siapa ya?” tanyaku heran kepada lelaki berkemeja dan bersetelan rapi.“Saya dari pihak Bank Semesta,” terangnya sambil memperlihatkan idcard.“Ada perlu apa, ya?”“Sebelumnya saya meminta maaf, Mbak. Saya mau memeberitahu kalau rumah ini akan segera disita. Ini surat pemberitahuannya.”Aku lekas membaca surat dalam amplop tersebut. Benar saja pihak Bank menyatakan kalau rumah ini akan di sita karena sudah dijaminkan dan tunggakan tidak dibayar-bayar. “Lho, kok bisa? Apa Pak Hans tidak mengangsurnya lagi?”“Iya, Mbak. Kami juga sudah memberi tiga kali peringatan. Akan tetapi diabaikan. Jadi kami terpaksa mengambil kepetusuan terakhir sebagai
Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t
Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal
Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf
Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di
POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam
Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata
Akhirnya urusan Irsyad sudah selesai. Dia langsung menjemput kami dari rumah neneknya Qia. Mengingat mami sedang kurang fit di rumah, jadi kami memutuskan untuk langsung pulang lagi ke Bandung.Namun, sebelum pulang, kami membeli dulu oleh-oleh khas Sukabumi. Pilihan jatuh kepada Mochi. Sebuah kue yang terbuat dari beras ketan, bertekstur lembut dan lengket. Bercita rasa manis dengan aneka varian isi.Usai membeli oleh-oleh sampai bagasi mobil penuh, kami melanjutkan perjalanan pulang. “Ayah, tolong berhenti!” teriak Qia tiba-tiba.“Ada apa, Sayang?” Irsyad terkejut.“Berhenti dulu, Yah!” pintanya lagi.Irsyad pun menepikan mobil.“Ada apa, Nak?” tanyaku.“Mom, itu anak yang tadi!” tunjuknya kepada sosok anak yang sedang berjalan di trotoar.“Oh, iya.”“Anak yang tadi apa, sih?” Aku pun menceritakan tentang tadi sewaktu di Mesjid.“Kasihan, Yah,” ujar Qia.“Hei, Dek! Sini sebentar!” Irsyad melambaikan tangan ke anak itu.Anak itu tampak celingukan. “Saya?” Ia menunjuk dirinya sendir
Jika biasanya pengantin baru berbulan madu hanya berdua, berbeda dengan kami. Aku dan Irsyad memilih untuk memboyong dua keluarga yang baru bersatu ini. Awalnya tentu keluarga kami menolak karena berpikiran akan mengganggu. Akan tetapi kami terus bersikukuh untuk mengajaknya.Aku, Irsyad, Qia, mama, papa, mami serta asisten rumah tangganya yang sudah dianggap keluarga itu menghabiskan waktu keliling Indonesia. Dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Lombok, Bali, hingga pulau Komodo. Kami benar-benar berlibur.“Mih, malam ini Qia biar tidur sama kita aja,” tawar Irsyad.“Enggak! Qia malam ini giliran tidur dengan Mama lagi, Syad.”“Mah. Aku juga kangen sama Qia,” ucapku.“Kalian ‘kan bisa sama Qia siangnya. Malamnya biar Qia tidur sama Mama, ya!”Sejak pergi bulan muda, belum pernah sekalipun Qia tidur bersama aku dan ayahnya. Oya, anakku memanggil Irsyad dengan sebutan ‘ayah’. Kami sangat paham kenapa orang tuaku dan mami Mohan melakukan semua itu.Mereka hanya ingin agar kami bisa
Karena kami sudah menyelenggarakan pernikahan di ballroomnya, pihak hotel memberikan hadiah menginap gratis satu malam pasca resepsi.Saat pintu kamar terbuka wewangian langsung menguar dari dalam. Terlihat taburan kelopak mawar merah muda di atas bad ukuran king. Di tengah bad ada sepasang handuk berbentuk angsa dalam posisi beradu. Kemudian ada beberapa balon berbentuk hati menggantung di langit kamar. Serta pencahayaan remang dari lampu tumblr menambah kesan semakin romantis.Irsyad menggandengku untuk duduk di tepi ranjang.Tik tok tik tok, bunyi jarum jam yang berputar begitu terdengar jelas bagi kami saat ini. Jarumnya sudah menunjukkan pukul 22.30 Wib.“Eum … karena kita sudah menikah, enaknya aku panggil apa, ya?”“Tidak tahu,” jawabku seraya menunduk malu.Sungguh tidak disangka, seorang yang sudah lama kukenal, seorang teman, seorang rekan, dan seorang Bos, bisa membuat jantungku dag Dig Duk tidak karuan seperti ini. “Aku panggil kamu … Sayang?” Aku menggeleng karena mirip