Sudah seminggu Hans mencari pekerjaan, tetapi tak kunjung dapat. Bunyi token listrik tandanya harus diisi ulang membuyarkan lamunan. "Kok, sudah habis lagi? Perasaan kemarin sudah diisi tanggal 29, deh. Belum juga dua minggu, masa udah habis saja?" Aku bergumam sendiri.Kuambil kalender duduk di atas meja untuk memastikan. Tiba-tiba netraku merasa ada yang aneh saat mengecek angka-angka. Biasanya dari deretan angka tersebut suka ada yang dilingkari oleh spidol warna merah."Astaghfirullah ... Allahu akbar ... Masya allah!" seruku.Dengan tidak adanya yang dilingkari merah, artinya aku belum datang bulan. Tunggu! Satu, dua, tiga dan seterusnya. "Hah, aku sudah telat seminggu!" pekikku.Hati ini jadi berdebar-debar tak karuan. Tanpa sepengetahuan Hans aku membeli tes pack. Rasanya sudah tak sabar ingin mengeceknya.**Kali ini aku terbangun sebelum subuh. Alat tes kehamilan sudah kugunakan sesuai intruksi. Detik demi detik mendadak sangat berharga. Di batas menit terakhir, mata ini me
"Mas, itu mangga-nya dipotonging sekarang?""Iya, kan mau petis sekarang. Oya, ada gula merah sama rawitnya enggak?""Ada. Tuh di rak bumbu." Hans segera menguleknya, garam, gula merah dan rawit. Dengan tak sabar ia pun menyocol potongan mangga muda."Mau enggak?""Enggak ah. Masa petis jam segini? Bentar lagi mau magrib, lho."Hans tampak sangat menikmati petisnya. Tak memedulikan komentar istrinya. Padahal setahuku dari dulu, ia tidak suka dengan petis atau pun rujakan. Aku semakin yakin kalau suamiku itu sedang ngidam.Magrib datang.Kutunaikan solat tiga rakaat dan Hans sebagai imamnya. Selepas solat, juga ngaji beberapa ayat. Terus kami hanya duduk sambil ngobrol-ngobrol depan tv. Tidak ada acara makan malam. Baik aku atau Hans sedang tidak berselera untuk makan nasi.Hans mencurahkan perasaannya yang hampir putus asa sebab sampai hari ini belum mendapat kerja. Hari ini juga adalah batas akhir ia memegang cafe sahabatnya. Besok katanya cafe akan mulai ditawarkan kepada orang lai
Aku tidak menyangka kalau Hans akan semarah ini atas keputusanku untuk memebeli kafe. Apa sebegitu melukai harga dirinya? Sebab ketidakmampuannya itu."Batalkan kesepakatan itu!""Janga Mas!""Apa kamu tidak memikirkan bagaimana perasaanku? Mentang-mentang punya uang.""Cukup, Mas! Aku memang punya uang. Tapi kali ini, semua aku lakukan demi anak kita," berangku."Anak? Apa maksudmu anak?""Ya Mas. Aku sedang hamil. Maka dari itu, aku tidak mau kalau sampai kamu terus pengangguran. Sedangkan banyak sekali hal yang harus kita siapkan untuk kehidupan janin ini.""Hahaha ... apa kamu mencoba untuk menipuku lagi?" ejek Hans.Aku gegas ke kamar untuk mengambil tes pack dan selembar hasil pemeriksaan dokter Sp.OG berikut foto hasil USG-nya. Lalu kuserahkan kepadanya sebagai bukti.Seketika mata Hans membeliak setelah dengan teliti memerhatikan apa yang kini ada di tangan."Aku bukan penipu," tegasku."Kamu hamil, Yang?" tanyanya penuh binar senang. Aku hanya mengangguk. Hans langsung memel
Aku harus kuat. Jika Hans berani berkhianat untuk kedua kali, maka tidak akan pernah ada kesempatan lagi. "Momi harap, kamu mengerti Nak. Jika seandainya kita harus meninggalkan Papi," lirihku seraya mengelus perut buncit.Kurasa ibu mana di dunia ini yang mau melahirkan anak tanpa ada suami. Akan tetapi, kalau kehadirannya hanya membuat perih tak bertepi, untuk apa? Lebih baik berpisah dengan membuka lembar kehidupan baru. Bukankah setiap orang bisa dan berhak bahagia dengan caranya? "Momi janji, kita akan tetap bahagia, Nak."Rasa perih tanpa sadar membuatku berganti jadi pribadi yang jauh lebih kuat. Bahkan kularang air mata ini menetes menangisinya.**"Assalamualaikum," salam Hans sudah terdengar.Rupanya dia sudah sampai dari Pelabuhan Ratu. Seperti biasa aku masih menyambut dan mencium punggung tangannya. Aku bersikap seolah belum mengetahui apa-apa. Biarkan saja di sisa hari-hari pernikahan ini, kujalani peran istri yang baik sebelum gugatan cerai kulayangkan. Aku hanya ing
"Astaghfirullah, Yang. Kamu tidak payah, kamu yang terbaik. Udah dong, jangan ngambek. Nih, mau aku makan, kok.""Serius, mau dimakan?""Iya, nih. Lihat!" Hans mulai menyuapkan nasi ke mulutnya."Telornya juga, ya! Habiskan! Kalau tidak, berarti benar masakanku enggak enak." Aku berujar sambil mengatupkan bibir."Iya, siap."Namun, saat sendok mencoba membelah telor, tampaklah ketidak matangannya. Nempel di sendok dan kalau diendus, tentu bau amis. Hans menahan suapannya yang hendak masuk mulut."Kenapa? Katanya masakanku enak. Hayo dimakan!" desakku.Tidak ingin aku merajuk, akhirnya dia memakannya juga. Aku yakin yang lumer kuning dimulutnya itu bikin eneuk. Terlihat dari bibir yang mengunyah pelan serta mata terbuka lebar. Segera ia meraih segelas air untuk menenggelamkan makanan yang seperti takut melewati tenggorokan."Yang, aku kenyang.""Bohong! Masa baru dua suap sudah kenyang?""Bener, Yang, kenyang.""Alah, ngaku aja kalau telornya enggak enak! Enggak usah ngeles, jangan pur
POV. HansBeberapa bulan yang lalu.Tiba-tiba ada pesan chat masuk disertai foto seorang bayi dengan caption ‘Papa, aku sudah lahir dan tampan seperti Papa.’Deg! Langsung kena ke titik jantungku berdenyut. Kuperhatikan, lalu zoom foto tersebut, memang mirip sekali denganku. Perasaan pun mendadak hangat dan haru. Seperti ada ikatan batin yang terhubung begitu saja.“Apa yang kirim ini Meti?” gumamku.Segera kulakukan panggilan video kepada si nomer pengirim. Selang beberapa detik, pangilan tersambung. Benar, ternyata Meti lah sang pemilik nomer. “Bang, ayok kita lakukan tes DNA!” ajaknya langsung.Bayi digendongannya diarahkan ke kamera, dua bola mata mungil nan jernih itu menatap. Kemudian sudut bibirnya ditarik, seolah sedang tersenyum. Hatiku meleleh dibuatnya. Hati ini mengatakan ia adalah darah dagingku."Berapa bulan?" tanyaku."Baru tiga bulan."Obrolan kami berlanjut via chat. Semenjak hamil, Meti tinggal di Pelabuhan Ratu, di rumah kakak ibunya. Jelas ia tidak berani pulang
“Bang ….”Tentu Meti menolak seperti prediksi. Akan tetapi, bukan Hans namanya kalau menyerah begitu saja.“Demi Daffa, Met.”Aku terus mendesak atas nama kebaikan untuk Daffa. Entah itu benar alasanku, atau justru ada tunggangan nafsu. “Bang, Salma tidak akan setuju.”“Kita menikah diam-diam. Aku bisa mengatur semuanya.”“Kalau ketahuan bagaimana?”“Itu urusan nanti.”“Apa Abang akan langsung membuangku dan Daffa?” tatapannya tajam.“Tentu saja tidak.”“Tapi aku yakin, Abang akan lebih memilih Salma. Apa lagi kalau bayinya telah lahir.”Perdebatan kami alot dan panjang. Aku terus menggencarkan bujuk rayu serta janji-janji yang aku sendiri ragu bisa menepatinya atau tidak. Tetapi, tidak akan kubiarkan Meti menikah dengan lelaki lain. Mengingat ada tengkulak ikan yang katanya naksir dia. Bahkan lelaki itu tidak keberatan dengan status Meti sebagai ibu tunggal.Meti meminta waktu hingga seminggu lamanya untuk memngambil sebuah keputusan. Selama seminggu, aku menunggu dengan gusar.“Bai
“Ekhm, Mas. Belum ketemu?” tanyaku menghampiri ke kamar.“Belum, Yang,” jawab Hans tanpa menoleh. Matanya masih sibuk beredar ke seluruh ruang kamar.“Apa Mas, cari ini?” Akhirnya kukeluarkan kemasan kotak kecil yang ia cari-cari dengar suara sedikit bergetar.Barulah dia menolehku. Ia terlonjak dengan dua bola mata yang seakan melompat dari kelopak. Saat itu juga wajahnya pucat bagai mayat. “Yang, ternyata kamu sudah menemukannya,” ucap dia terbata.“Katakan, kamu berzina dengan siapa, Mas?” pekikku.“Aku tidak berzina, Yang,” sangkalnya dengan yakin.“Lantas?”“Aku melakukannya dengan istri yang lain,” akunya.Istri yang lain? Kata itu seperti belati yang menyayat-nyayat kepingan hati yang telah susah payah kusatukan kembali.“Apa kamu menikahi Meti?” tanyaku bergetar.“Dari mana Ayang tahu?”Meski bukan sebuah jawaban, tetapi pertanyaan baliknya sudah lebih dari menjelaskan.“Apa kamu tidak pernah memikirkan nasib anak kita, Mas?” suaraku mulai parau.“Justru kulakukan semua ini d
Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t
Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal
Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf
Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di
POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam
Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata
Akhirnya urusan Irsyad sudah selesai. Dia langsung menjemput kami dari rumah neneknya Qia. Mengingat mami sedang kurang fit di rumah, jadi kami memutuskan untuk langsung pulang lagi ke Bandung.Namun, sebelum pulang, kami membeli dulu oleh-oleh khas Sukabumi. Pilihan jatuh kepada Mochi. Sebuah kue yang terbuat dari beras ketan, bertekstur lembut dan lengket. Bercita rasa manis dengan aneka varian isi.Usai membeli oleh-oleh sampai bagasi mobil penuh, kami melanjutkan perjalanan pulang. “Ayah, tolong berhenti!” teriak Qia tiba-tiba.“Ada apa, Sayang?” Irsyad terkejut.“Berhenti dulu, Yah!” pintanya lagi.Irsyad pun menepikan mobil.“Ada apa, Nak?” tanyaku.“Mom, itu anak yang tadi!” tunjuknya kepada sosok anak yang sedang berjalan di trotoar.“Oh, iya.”“Anak yang tadi apa, sih?” Aku pun menceritakan tentang tadi sewaktu di Mesjid.“Kasihan, Yah,” ujar Qia.“Hei, Dek! Sini sebentar!” Irsyad melambaikan tangan ke anak itu.Anak itu tampak celingukan. “Saya?” Ia menunjuk dirinya sendir
Jika biasanya pengantin baru berbulan madu hanya berdua, berbeda dengan kami. Aku dan Irsyad memilih untuk memboyong dua keluarga yang baru bersatu ini. Awalnya tentu keluarga kami menolak karena berpikiran akan mengganggu. Akan tetapi kami terus bersikukuh untuk mengajaknya.Aku, Irsyad, Qia, mama, papa, mami serta asisten rumah tangganya yang sudah dianggap keluarga itu menghabiskan waktu keliling Indonesia. Dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Lombok, Bali, hingga pulau Komodo. Kami benar-benar berlibur.“Mih, malam ini Qia biar tidur sama kita aja,” tawar Irsyad.“Enggak! Qia malam ini giliran tidur dengan Mama lagi, Syad.”“Mah. Aku juga kangen sama Qia,” ucapku.“Kalian ‘kan bisa sama Qia siangnya. Malamnya biar Qia tidur sama Mama, ya!”Sejak pergi bulan muda, belum pernah sekalipun Qia tidur bersama aku dan ayahnya. Oya, anakku memanggil Irsyad dengan sebutan ‘ayah’. Kami sangat paham kenapa orang tuaku dan mami Mohan melakukan semua itu.Mereka hanya ingin agar kami bisa
Karena kami sudah menyelenggarakan pernikahan di ballroomnya, pihak hotel memberikan hadiah menginap gratis satu malam pasca resepsi.Saat pintu kamar terbuka wewangian langsung menguar dari dalam. Terlihat taburan kelopak mawar merah muda di atas bad ukuran king. Di tengah bad ada sepasang handuk berbentuk angsa dalam posisi beradu. Kemudian ada beberapa balon berbentuk hati menggantung di langit kamar. Serta pencahayaan remang dari lampu tumblr menambah kesan semakin romantis.Irsyad menggandengku untuk duduk di tepi ranjang.Tik tok tik tok, bunyi jarum jam yang berputar begitu terdengar jelas bagi kami saat ini. Jarumnya sudah menunjukkan pukul 22.30 Wib.“Eum … karena kita sudah menikah, enaknya aku panggil apa, ya?”“Tidak tahu,” jawabku seraya menunduk malu.Sungguh tidak disangka, seorang yang sudah lama kukenal, seorang teman, seorang rekan, dan seorang Bos, bisa membuat jantungku dag Dig Duk tidak karuan seperti ini. “Aku panggil kamu … Sayang?” Aku menggeleng karena mirip