Jam 23.00 Wib.[Aku mau sate] Kulayangkan sebuah pesan malam-malam kepada Hans.[Sate apa?] balasnya tidak lama.[Hah, kamu belum tidur?][Sudah pirasat, dede bayi pasti akan meminta sesuatu 😍][Hehe][Mau sate apa?] ulangnya.[Sate maranggi]Setelahnya tak ada balasan kembali. Bibirku manyun lima senti. Apa dia mengantuk dan tertidur? Yah, padahal ngidam satu-satunya alasan agar bisa bertemu dengan Hans kapan pun. Kutarik selimut kembali dan menelan kecewa.Tiga puluh lima menit kemudian.Tok, tok, tok. Karena rumahku yang sekarang tidak besar, jadi kalau ada yang mengetuk pintu akan langsung terdengar jelas. Kuberingsut dari ranjang hendak membuka pintu. Itu pasti Hans. Ternyata dia datang juga.Ceklek, gagang pintu langsung kutekan dan daun pintu pun terbuka. Akan tetapi, tak kudapatkan sosok Hans di sana. Lalu siapa yang mengetuk barusan?"Hans," panggilku seraya melangkah ragu ke teras."Duar!" Dia mengejutkanku keluar dari persembunyian. "Haha," tawanya puas melihat tubuhku yan
"Salma!" panggil lelaki berkacamata minus.Disampingnya berdiri seorang wanita berusia setengah abad lebih dengan mata berkabut."Papa? Mama?" Aku menoleh tak percaya.Perasaanku bercampur aduk. Suka, senang, terkejut, sedih dan ketakutan bercampur menjadi satu. Kemudian kuraih punggung tangan mereka bergantian untuk bersalaman. Hans tentu langsung mengikuti. Meski Papa-mama tidak menyukainya. Akan tetapi dia tetap sangat menghormati."Apa khabar?" tanya Mama dengan logat khas negri Jiran, seraya mengelus rambutku."Alhamdulillah, baik, Mah.""Oh, ya ampun, anak Mama. Lama tak jumpa.""Salma kangen." Kami pun berpelukan.Setelahnya, kami semua mengobrol di dalam rumah."Kenapa jarang telefon kita?" papa ikut bicara."Maafkan, Salma, Pah, Mah," sesalku."Kenapa pula, awak pindah rumah?""Kami hanya ingin suasana baru, Mah," jawab Hans."Oya, kalian tahu dari siapa alamat rumah ini?""Daripada jiran awak (dari tetangga kamu).""Siapa? Ceu Lia?""Iya, betul. Ceu Lia.""Papa sama Mama, ke
Papa begitu antusias saat tahu yang telepon adalah Li."Sal, itu ada siapa di sana?" tanya Li."Ini ada Papa. Katanya mau bicara denganmu.""Oya? Mana-mana coba?" Li antusias sekali.Kuserahkan segera benda pipihku kepada Papa."Hallo, Li, apa khabar?""Ya Tuhan, ini benar Papa Salma?""Iya, lama tak jumpa.""Pah, boleh Li bertemu?""Sudah tentu. Kita kena jumpa.""Kalau begitu, sekarang aku ke rumah Salma, ya, Pah. Kebetulan sedang tidak ada kerjaan.""Oh, boleh-boleh. Ditunggu, Li," balas Papa."Pah, sini dulu! Salma mau ngomong sama Li."Papa lekas mengembalikan ponselku."Iya, Sal. Ada apa? Boleh 'kan aku ke sana?""Tapi aku sudah pindah.""Apa? Pindah?""Alamat barunya aku sherlock saja, ya!""Ok-ok."Kami akhiri sambungan teleponnya. Tidak lupa kukirimkan lokasi rumah terkini.Setengah jam kemudian. Sudah terdengar suara mobil terparkir di pekarangan rumah. Itu pasti Li. Dia selalu bersemamgat emang sedari dulu kalau bertemu orang tuaku."Hai, Li. Lama tak jumpa," sambut Papa da
Papa tentu saja terkejut."Apa di Pasar? Ngojek? Bantu teman di Kafe?" "Iya, Pah. Tidak apa 'kan? Asalkan halal," sahut Hans."Alah, jangan so' religi awak! Awak mau buat cucu kita menderita? Sudahlah, sejak dulu awak tuh memang tak mampu," cecarnya."Pah, kita sudah sepakat merestui mereka. Jangan sesali!""Mama ini macam mana? Dulu anak kita diperah, sekarang si Salma sudah tak bekerja. Bagaimana dia akan mencukupi kebutuhan anaknya nanti? Dari hasil kuli? Cuih!""Rezeki itu Allah yang atur, Pah." Mama tetap membela dan membujuk."Iya. Tapi tetap saja kita yang usaha. Harus ada jalannya. Dari kuli, dari ngojek, mana bisa layak!" "Pah, sudah cukup! Sampai kapan pun Salma akan tetap memilih Hans," tegasku.Mendengar kalimatku, Hans melirik tak percaya. Sampai-sampai rautnya yang kesal karena dihina Papa sedikit memudar."Ya, teruslah hidup dengan pilihan awak yang keliru!" sinis Papa sambil berlalu dari hadapan kami.Mama kemudian menyusulnya. Mungkin mau memberi pengertian kepada P
"Nih!" Kuserahkan surat pengunduran resmi saat Li Chen berkunjung."Apa ini?""Baca saja!"Dia membuka suratnya."Suratnya ditolak!""Serah deh, yang penting bagiku aku sudah mengundurkan diri.""Kamu kalau tidak mau masuk kantor, ya, bisa kerja dari rumah.""Ogah. Aku resign, titik!""Jangam gitu, nanti nyesel. Lahirkan saja anakmu! Nanti setelah lahiran, kamu bisa bekerja kembali.""Betul apa kata Bos-mu, Sal. Apa lagi setelah punya anak, kebutuhan akan meningkat. Mana boleh suamimu yang tiada guna tuh mencukupi." Tiba-tiba papa muncul dan nimbrung."Eh, Pah?" sapa Li Chen."Kacak (tampan) sangat awak hari ini," puji papa."Aduh, terima kasih, Pah." Dia tersenyum lebar sampai mata sipitnya tampak merem."Kamu mau apa ke sini?" selaku."Awak ini macam mana. Li Chen tamu spesial Papa," tegasnya."Aku disuruh Papa ke sini karena katanya mau diantar jalan-jalan lagi," imbuh Li."Oh. Aku enggak mau ikut.""Siapa juga yang mau ajak kamu, Sal?" ejek Li Chen."Bodo amat!" ketusku seraya be
Namanya Salma Ayunda. Sesuai karakteristik dari namanya yang berarti mandiri, pekerja keras, memiliki kemampuan berbicara dengan baik serta berparas cantik. Dia adalah teman sekelasku sewaktu sekolah di SMP. Di saat teman-teman cewek yang lain selalu berbicara so’ imut dan manja, ia justru selalu tegas dan lantang. Ia juga aktif di sebuah organisasi sekolah. Dalam berbagai kesempatan acara, ia selalu tampil percaya diri sebagai pembicara. “Aw! Dasar anak naka! Kamu ngintip, ya? Ayo ngaku!” cecarnya dalam sebuah toilet sambil melayangkan tinju tepat di hidungku.Darah segar pun mengalir dari kedua lubang hidung. Tentu saja aku sangat panik. Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku lebih memilih menangis histeris.“Huhuhu …,” raungku.“Eh, murid baru, sudah diam! Kamu yang salah, kok, kamu juga yang nangis?” Mata dia menatap tajam dengan bibirnya yang mengatup marah.Ekpresi itu membuatku semakin takut dan tangisku semakin keras. Hal tersebut membuat beberapa murid penasaran. Tidak lama
Beberapa tahun kemudian. Salma sudah menikah dengan Hans dan sampai detik ini masih berstatus sebagai istrinya. Akan tetapi, ada yang mencurigakan dari Salma. Aku yakin rumah tangganya dengan Hans sedang tidak baik-baik saja. Tidak biasanya dia sering bolos dan sering izin cuti kerja. Bahkan katanya mau resign.Ada hal yang paling mencurigakan, kenapa Salma pura-pura hamil?Hari ini aku dapat telepon dari papa Salma, diminta untuk menemaninya jalan-jalan lagi. Oya, sebenarnya orang tua Salma sudah lama pindah ke Malaysia. Papanya memang asli orang sana. Sekarang ini, beliau sedang mengunjungi putrinya sudah beberapa hari di Indonesia. Kemarin pun aku menemaninya jalan-jalan ke pantai Pelabuhan Ratu. Dari situlah kutahu, kalau Salam sedang pura-pura hamil.Kedatanganku ke rumah Salma, disambut jutek olehnya. Dia juga menyodorkan surat pengunduran diri, meski kutolak mentah-mentah.Salma melengos meninggalkanku dan papanya begitu saja di ruang tamu. Masa bodoh! Aku ke sini memang untuk
“Apa?” Mama-papa kompak menganga.Kenapa Li sampai bisa tahu bahwa aku tidak hamil? Kenapa dia tidak menanyakannya terlebih dahulu kepadaku untuk konfirmasi? Kenapa harus langsung mengatakannya kepada papa-mama? Tidak biasanya, dia tidak pengertian seperti ini.Setelah menyatakan perasaannya dan setelah membuka rahasiaku begitu saja, aku seperti tidak mengenalnya sebagai sosok Li yang selama ini.“Iya, Pah-Mah, Salma tidak hamil,” ulang Li Chen.Aish, betapa lancangnya dia. Benar-benar membuatku tersudut.“Salma, katakan apa yang Li cakap tuh betul?” tanya Papa.Aku hanya terdiam. Bingung harus bagaimana?“Jujurlah, Sal! Bagaimana pun, mereka itu orang tuamu,” desak Li.Kuhempaskan tangannya yang masih meraih tangan ini. “Ya. Salma memang tidak hamil,” tandasku pada akhirnnya.Jangan tanya bagaimana rasanya aku ingin marah kepada si Li Chen! Jangan harap semuanya akan tetap sama.“Oh mygod, tengok Mah, anak kita! Sampai berani menipu.” Papa berujar seraya memegang dadanya yang tiba-ti
Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t
Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal
Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf
Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di
POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam
Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata
Akhirnya urusan Irsyad sudah selesai. Dia langsung menjemput kami dari rumah neneknya Qia. Mengingat mami sedang kurang fit di rumah, jadi kami memutuskan untuk langsung pulang lagi ke Bandung.Namun, sebelum pulang, kami membeli dulu oleh-oleh khas Sukabumi. Pilihan jatuh kepada Mochi. Sebuah kue yang terbuat dari beras ketan, bertekstur lembut dan lengket. Bercita rasa manis dengan aneka varian isi.Usai membeli oleh-oleh sampai bagasi mobil penuh, kami melanjutkan perjalanan pulang. “Ayah, tolong berhenti!” teriak Qia tiba-tiba.“Ada apa, Sayang?” Irsyad terkejut.“Berhenti dulu, Yah!” pintanya lagi.Irsyad pun menepikan mobil.“Ada apa, Nak?” tanyaku.“Mom, itu anak yang tadi!” tunjuknya kepada sosok anak yang sedang berjalan di trotoar.“Oh, iya.”“Anak yang tadi apa, sih?” Aku pun menceritakan tentang tadi sewaktu di Mesjid.“Kasihan, Yah,” ujar Qia.“Hei, Dek! Sini sebentar!” Irsyad melambaikan tangan ke anak itu.Anak itu tampak celingukan. “Saya?” Ia menunjuk dirinya sendir
Jika biasanya pengantin baru berbulan madu hanya berdua, berbeda dengan kami. Aku dan Irsyad memilih untuk memboyong dua keluarga yang baru bersatu ini. Awalnya tentu keluarga kami menolak karena berpikiran akan mengganggu. Akan tetapi kami terus bersikukuh untuk mengajaknya.Aku, Irsyad, Qia, mama, papa, mami serta asisten rumah tangganya yang sudah dianggap keluarga itu menghabiskan waktu keliling Indonesia. Dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Lombok, Bali, hingga pulau Komodo. Kami benar-benar berlibur.“Mih, malam ini Qia biar tidur sama kita aja,” tawar Irsyad.“Enggak! Qia malam ini giliran tidur dengan Mama lagi, Syad.”“Mah. Aku juga kangen sama Qia,” ucapku.“Kalian ‘kan bisa sama Qia siangnya. Malamnya biar Qia tidur sama Mama, ya!”Sejak pergi bulan muda, belum pernah sekalipun Qia tidur bersama aku dan ayahnya. Oya, anakku memanggil Irsyad dengan sebutan ‘ayah’. Kami sangat paham kenapa orang tuaku dan mami Mohan melakukan semua itu.Mereka hanya ingin agar kami bisa
Karena kami sudah menyelenggarakan pernikahan di ballroomnya, pihak hotel memberikan hadiah menginap gratis satu malam pasca resepsi.Saat pintu kamar terbuka wewangian langsung menguar dari dalam. Terlihat taburan kelopak mawar merah muda di atas bad ukuran king. Di tengah bad ada sepasang handuk berbentuk angsa dalam posisi beradu. Kemudian ada beberapa balon berbentuk hati menggantung di langit kamar. Serta pencahayaan remang dari lampu tumblr menambah kesan semakin romantis.Irsyad menggandengku untuk duduk di tepi ranjang.Tik tok tik tok, bunyi jarum jam yang berputar begitu terdengar jelas bagi kami saat ini. Jarumnya sudah menunjukkan pukul 22.30 Wib.“Eum … karena kita sudah menikah, enaknya aku panggil apa, ya?”“Tidak tahu,” jawabku seraya menunduk malu.Sungguh tidak disangka, seorang yang sudah lama kukenal, seorang teman, seorang rekan, dan seorang Bos, bisa membuat jantungku dag Dig Duk tidak karuan seperti ini. “Aku panggil kamu … Sayang?” Aku menggeleng karena mirip