“Mari kita bawa Papa ke Rumah Sakit saja,” usul Li.Dengan sigap ia memapah papa menuju mobil. Untung saja ada Rumah sakit swasta yang tidak jauh dari tempat tinggalku. Sesampainya, papa langsung dilarikan ke ruang IGD dan diberikan tindakan oleh tim medis.Aku, mama, juga Li menunggu dengan harap-harap cemas. Semoga papa tidak kenapa-kenapa. Dalam hati terus berdoa tanpa henti sambil terus menenangkan mama. “Semua akan baik-baik saja, Mah,” ucapku seraya memeluknya.Tidak lama kemudian, dokter yang menangani papa memanggil keluarga pasien. Syukurlah, saat kami menghampiri, papa sudah terlihat stabil dengan bantuan masker oksigen. Mama langsung menanyakan sebenarnya apa yangn terjadi kepada suami tercintanya?Dokter menjelaskan kalau sesak napas yang dirasakan papa adalah Psikosomatis. Sebuah istilah untuk menyebutkan sebuah kondisi keluhan sesak napas saat seseorang menahan emosi, sedih, panik atau saat sedang dalam psiologis tertentu. Ini termasuk gangguan kesehatan yang disebabkan
POV. Hans-1Aku sudah rela meninggalkan Salma, meski pun sebenarnya aku diusir, sih. Ya, lagian aku juga sudah bosan dengan dirinya yang selalu memerintah sesuka hati. Mentang-mentang memiliki uang, dia selalu berkuasa dan aku hanya kacungnya.Aku pulang ke rumah ibu. Akan tetapi tidak menyangka kalau beliau pun mengusirku. Ya, aku paham, tentu saja karena aku tak memiliki uang dan pengangguran. Kadang heran, aku ini anak kandungnya, tetapi dari dulu kenapa selalu disayang jika memiliki uang saja. Ibu juga marah besar. Katanya gara-gara aku, dia kehilangan tambang emasnya selama ini. “Dari mana coba ibu bayar arisan yang masih berbulan-bulan lagi? Dari mana coba ibu, membayar cicilan?” cecarnya kesal.Padahal gampang, tinggal jual saja perhiasan. Bukankah ibu memiliki banyak perhiasan? Ah, pola pikir orang tua itu sering tak masuk akal, tak sejalan.Untung saja Meti mengontrak sebuah rumah dan bekerja sebagai buruh cuci-setrika. Jadi aku bisa menumpang cuma-cuma. Awalnya aku hanya me
POV. Hans 2Rasa bahagia menghiasi hariku. Terlebih, aku akan memiliki anak dari wanita yang sejujurnya masih bertahta di hati terdalam. Perasaan yang kukubur dengan rasa benci kembali mencuat ke permukaan.Sejak hari itulah, hubunganku dengan Salma bisa dibilang mulai membaik. Secara tidak disadari, kami memulainya dari awal. Aku juga membantunya pindahan rumah. Tak akan kubiarkan ibu dari calon anakku kelelahan. Kali ini aku harus memastikan agar anak kami bisa terlahir ke dunia dengan sehat dan selamat.Aku pun mengontrak sebuah rumah kecil tidak jauh dari Salma. Agar kalau ada apa-apa bisa langsung siap sedia. Kadang malam-malam, ia memintaku untuk membelikan sesuatu yang diidamkannya. Tentu sebagai ayah dari bayi yang dikandungnya, aku selalu memenuhi apa pun itu. Inginnya, kami itu satu rumah saja, biar dia lebih terpantau setiap saat, tetapi tentu saja Salma keberatan. Dia memang belum memaafkanku sepenuhnya. Bahkan sering sekali menolak saat kuingin mengelus perutnya. Ya, dia
“Salma sebenarnya tak mengandung. Tengoklah perutnya!” ucap papa puas.Hans menoleh, kedua netranya tertuju kepada perutku yang tiba-tiba kempis dan baru disadarinya. Debaran jantungku kian meruntut semakin cepat. Sekarang ini hanya bisa pasrah dengan yang akan terjadi di depan mata.“Jadi, Papa juga sudah mengetahuinya?” Hans balik bertanya.“Apa? Awak sudah tahu kalau Salma tak mengandung?”“Iya, Pah.”“Mas, jadi kamu sudah tahu? Sejak kapan? Kenapa kamu diam aja? Apa kamu tidak marah?” cecarku karena reaksinya yang tampak santai.“Mana mungkin aku tidak tahu, Yang. Kita tinggal satu atap. Aku diam, hanya menunggu waktu kapan kamu akan berterus terang. Eh, tapi keduluan Papa. Kamu jangan khawatir, aku tak apa, kok,” jawabnya dengan seulas senyum.Seketika dada ini plong, bernapas lega. Haru dan senang bercampur menjadi satu. Sungguh tidak menyangka kalau Hans tidak marah. Dia benar-benar berubah. Sungguh membuat hatiku kembali jatuh cinta.“Ya, sebab awak sudah tahu, lebih baik kali
Semalam Hans menceritakan kalau kafe temannya itu akan dijual. Karena kafenya yang di Jakarta sedang tidak stabil nyaris bangkrut. Jadi membutuhkan suntikan dana. Jika kafe ini dijual ke orang lain, otomatis Hans akan kehilangan pekerjaannya.Padahal kehidupan kami tengah membaik. Penghasilan Hans sudah merangkak di angka enam juta dari lima juta. Jalan satu-satunya kafe itu harus Hans yang beli. Namun, membeli sebuah kafe bukanlah membeli suatu barang dengan harga ratusan juta. Kafe tersebut dihargai 2,5 Miliar. Uang sebanyak itu membuat Hans menyerah. Sebenarnya aku menawarkan tabunganku kepadanya yang tinggal 2 Miliar. Kurangnya kita bisa gadaikan sertifikat rumah. Akan tetapi, Hans menolak. Ia tidak mau memakai uang pribadi istri.Perdebatan cukup alot terjadi. Tentu saja aku tidak pernah keberatan untuk membantu membeli kafe itu. Toh, penghasilannya juga nanti bukan buat siapa-siapa. Ini demi kelangsungan hidup rumah tangga kami juga.“Aku mau cari pekerjaan lain saja, Yang,” uca
Ternyata pemilik nomer tersebut adalah Li Chen. Tentu aku langsung dapat mengenali suara khasnya yang bersemu serak. Ampun, ternyata waktu itu, kontak dia aku hapus juga.“Ekhm, ada apa, ya?”“Aku hanya mau pamit. Tadinya mau ajak ketemuan, tetapi kuyakin kamu akan menolak.”Sayang sekali, justru sebaliknya. Jika kamu memaksa, aku pasti mau ketemu.“Pamit?”“Ya, aku mau pindah ke Bejing.”Hah, astaga! Apa karena patah hati dariku dia sampai mau pindah.“Pindah dengan mami-mu?”“Tidak. Aku saja. Maksud aku menghubungi hanya ingin meminta maaf sekali lagi.”“Oh."Tuh 'kan apa kubilang. Gara-gara patah hati sampai pindah negara. Segitunya kamu ingin melupakan aku. Padahal perusahaanmu maju pesat di kota kecil ini.“Apa kamu sudah memaafkanku?”“Ehhmm … ya, sudah aku maafkan.”“Terima kasih. Dengan begitu aku bisa pergi dengan lega.”“Ya, semoga kamu bahagia dan betah di sana.”“Iya, doakan juga semoga pernikahanku berjalan lancar,” pintanya.“Pernikahan?”“Iya, calonku berkewarganegaraa
Sudah seminggu Hans mencari pekerjaan, tetapi tak kunjung dapat. Bunyi token listrik tandanya harus diisi ulang membuyarkan lamunan. "Kok, sudah habis lagi? Perasaan kemarin sudah diisi tanggal 29, deh. Belum juga dua minggu, masa udah habis saja?" Aku bergumam sendiri.Kuambil kalender duduk di atas meja untuk memastikan. Tiba-tiba netraku merasa ada yang aneh saat mengecek angka-angka. Biasanya dari deretan angka tersebut suka ada yang dilingkari oleh spidol warna merah."Astaghfirullah ... Allahu akbar ... Masya allah!" seruku.Dengan tidak adanya yang dilingkari merah, artinya aku belum datang bulan. Tunggu! Satu, dua, tiga dan seterusnya. "Hah, aku sudah telat seminggu!" pekikku.Hati ini jadi berdebar-debar tak karuan. Tanpa sepengetahuan Hans aku membeli tes pack. Rasanya sudah tak sabar ingin mengeceknya.**Kali ini aku terbangun sebelum subuh. Alat tes kehamilan sudah kugunakan sesuai intruksi. Detik demi detik mendadak sangat berharga. Di batas menit terakhir, mata ini me
"Mas, itu mangga-nya dipotonging sekarang?""Iya, kan mau petis sekarang. Oya, ada gula merah sama rawitnya enggak?""Ada. Tuh di rak bumbu." Hans segera menguleknya, garam, gula merah dan rawit. Dengan tak sabar ia pun menyocol potongan mangga muda."Mau enggak?""Enggak ah. Masa petis jam segini? Bentar lagi mau magrib, lho."Hans tampak sangat menikmati petisnya. Tak memedulikan komentar istrinya. Padahal setahuku dari dulu, ia tidak suka dengan petis atau pun rujakan. Aku semakin yakin kalau suamiku itu sedang ngidam.Magrib datang.Kutunaikan solat tiga rakaat dan Hans sebagai imamnya. Selepas solat, juga ngaji beberapa ayat. Terus kami hanya duduk sambil ngobrol-ngobrol depan tv. Tidak ada acara makan malam. Baik aku atau Hans sedang tidak berselera untuk makan nasi.Hans mencurahkan perasaannya yang hampir putus asa sebab sampai hari ini belum mendapat kerja. Hari ini juga adalah batas akhir ia memegang cafe sahabatnya. Besok katanya cafe akan mulai ditawarkan kepada orang lai
Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t
Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal
Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf
Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di
POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam
Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata
Akhirnya urusan Irsyad sudah selesai. Dia langsung menjemput kami dari rumah neneknya Qia. Mengingat mami sedang kurang fit di rumah, jadi kami memutuskan untuk langsung pulang lagi ke Bandung.Namun, sebelum pulang, kami membeli dulu oleh-oleh khas Sukabumi. Pilihan jatuh kepada Mochi. Sebuah kue yang terbuat dari beras ketan, bertekstur lembut dan lengket. Bercita rasa manis dengan aneka varian isi.Usai membeli oleh-oleh sampai bagasi mobil penuh, kami melanjutkan perjalanan pulang. “Ayah, tolong berhenti!” teriak Qia tiba-tiba.“Ada apa, Sayang?” Irsyad terkejut.“Berhenti dulu, Yah!” pintanya lagi.Irsyad pun menepikan mobil.“Ada apa, Nak?” tanyaku.“Mom, itu anak yang tadi!” tunjuknya kepada sosok anak yang sedang berjalan di trotoar.“Oh, iya.”“Anak yang tadi apa, sih?” Aku pun menceritakan tentang tadi sewaktu di Mesjid.“Kasihan, Yah,” ujar Qia.“Hei, Dek! Sini sebentar!” Irsyad melambaikan tangan ke anak itu.Anak itu tampak celingukan. “Saya?” Ia menunjuk dirinya sendir
Jika biasanya pengantin baru berbulan madu hanya berdua, berbeda dengan kami. Aku dan Irsyad memilih untuk memboyong dua keluarga yang baru bersatu ini. Awalnya tentu keluarga kami menolak karena berpikiran akan mengganggu. Akan tetapi kami terus bersikukuh untuk mengajaknya.Aku, Irsyad, Qia, mama, papa, mami serta asisten rumah tangganya yang sudah dianggap keluarga itu menghabiskan waktu keliling Indonesia. Dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Lombok, Bali, hingga pulau Komodo. Kami benar-benar berlibur.“Mih, malam ini Qia biar tidur sama kita aja,” tawar Irsyad.“Enggak! Qia malam ini giliran tidur dengan Mama lagi, Syad.”“Mah. Aku juga kangen sama Qia,” ucapku.“Kalian ‘kan bisa sama Qia siangnya. Malamnya biar Qia tidur sama Mama, ya!”Sejak pergi bulan muda, belum pernah sekalipun Qia tidur bersama aku dan ayahnya. Oya, anakku memanggil Irsyad dengan sebutan ‘ayah’. Kami sangat paham kenapa orang tuaku dan mami Mohan melakukan semua itu.Mereka hanya ingin agar kami bisa
Karena kami sudah menyelenggarakan pernikahan di ballroomnya, pihak hotel memberikan hadiah menginap gratis satu malam pasca resepsi.Saat pintu kamar terbuka wewangian langsung menguar dari dalam. Terlihat taburan kelopak mawar merah muda di atas bad ukuran king. Di tengah bad ada sepasang handuk berbentuk angsa dalam posisi beradu. Kemudian ada beberapa balon berbentuk hati menggantung di langit kamar. Serta pencahayaan remang dari lampu tumblr menambah kesan semakin romantis.Irsyad menggandengku untuk duduk di tepi ranjang.Tik tok tik tok, bunyi jarum jam yang berputar begitu terdengar jelas bagi kami saat ini. Jarumnya sudah menunjukkan pukul 22.30 Wib.“Eum … karena kita sudah menikah, enaknya aku panggil apa, ya?”“Tidak tahu,” jawabku seraya menunduk malu.Sungguh tidak disangka, seorang yang sudah lama kukenal, seorang teman, seorang rekan, dan seorang Bos, bisa membuat jantungku dag Dig Duk tidak karuan seperti ini. “Aku panggil kamu … Sayang?” Aku menggeleng karena mirip