"Bu Bos, karena biaya tes DNA janin dalam kandungan mahal, jadi Meti belum melakukannya," lapor mata-mataku."Terus bagaimana si Hans?""Hans sepertinya masih marah, sebelum Meti membuktikan anak siapa yang dikandungnya.""Teruskan tugasmu sampai tes DNA itu gagal!""Siap, Bu Bos."Aku masih bisa bernapas lega karena Meti belum bisa melalukan tes DNA. Pokoknya perempuan tidak tahu diri itu harus merasakan sakit karena tidak dipedulikan orang yang dicintainya.Selanjutnya, aku akan mengatur pertemuan yang seolah tak sengaja dengan Hans. Segala sesuatunya sudah kupersiapkan.Sore hari, mobilku sudah terparkir di salah satu pasar. Kususuri tempat dimana orang-orang berlalu lalang. Diedarkan pandangan ke segala pelosok. Sosok yang kucari akhirnya ditemukan. Ia sedang memanggul satu karung kecil dari mobil bak terbuka.Ekhm, action!Jebred!"Aw! Aduh, maaf!" Aku tersungkur seraya memegangi kepala."Mbak, tidak apa-apa?" tanyanya belum menyadari siapa yang barusan beradu. Kemudian diturunka
"Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu hamil? Sudah berapa bulan?""Satu bulan.""Jadi benar kamu hamil? Aku akan jadi seorang ayah. Ya ampun! Alhamdulillah," serunya senang sampai matanya berkaca-kaca.Tangannya hampir saja memelukku. Akan tetapi, ia ingat kalau aku tidak akan mengizinkan."Kenapa aku harus hamil di saat seperti ini?" Kujatuhkan air mata palsu."Kalau aku tahu, aku tak akan pergi meninggalkanmu.""Enak saja! Aku tak sudi satu atap denganmu lagi.""Sal, sebenci apa pun kamu kepadaku, aku mohon izinkan aku merawatmu, menjagamu, demi anak kita. Aku mohon. Aku janji akan memperlakukanmu sebaik mungkin. Apa pun keinginanmu, akan aku turuti," tuturnya sungguh-sungguh. Hands terus bersimpuh di kedua kakiku sampai kukabulkan. Sejak itu, dia rajin sekali berkunjung. Dia tak ubahnya pembantu yang selalu bereskan rumah. Kadang dia juga datang membawa makanan yang aku inginkan. Dalam sehari dia bisa bolak-balik ke rumah berkali-kali. Dia juga membelikannya dengan uang hasil jari
"Hans, stop!" teriakku kala dia akan mendorong lagi tubuh Meti yang tak berdaya.Pergerakan Hans terhenti. Akan tetapi, ia belum melepaskan cengkraman tangan dari leher bajunya. Sehingga tubuh wanita yang tengah hamil muda sedikit terangkat dari pijakan."Bang, lepaskan, kumohon!" pinta Meti mengiba bercampur takut.Cengkramannya malah semakin kuat dan tubuh Meti semakin terangkat."Hans, tolong! Demi anak kita. Kuyakin anak kita tidak mau memiliki ayah yang seperti ini," bujukku mengatasnamakan anak agar dia luluh.Benar saja, bujukanku tak sia-sia. Perlahan cengkeraman terlepas. Hans mengusap kasar wajahnya. Lambat laun sorot matanya meredup. Begitu pun wajah Meti yang tadi sudah pucat pasi bagai mayat, kini mulai tampak bernyawa."Kalau bukan karena Salma, mungkin darah sudah mengalir dari betismu. Pergilah! Jangan pernah tunjukkan dirimu lagi di depanku!" geram Hans."Aku tidak akan melupakan kejadian hari ini. Akan kupastikan kamu menyesalinya!" Meti berucap sebelum pergi.**"Ha
Kenapa orang-orang selalu memandangku sebelah mata? Padahal aku menikahi Salma murni karena mencintainya. Sebelum menikah, aku memang tahu kalau dia itu seorang wanita karir. Akan tetapi, tidak pernah terpikir berapa gajinya. Setelah menikah, aku sendiri terkejut, ternyata gaji dia lebih besar dariku yang hanya seorang supervisor di sebuah pabrik.Pantas saja orang tua Salma selalu merendahkanku dan bahkan tidak merestui pernikahan kami. Setelah menjadi wali nikah karena terpaksa, ayah Salma pun langsung bertolak pulang ke negaranya--Malaysia. Ibunya pun tentu turut serta pindah ke sana. Maka dari itu, aku memperlakukan Salma dengan sangat istimewa. Dia rela jauh dari kedua orang tua demi hidup bersamaku. Setahun, dua tahun, pernikahan kami bahagia-bahagia saja, meski belum memiliki anak. Sebenarnya Salma sempat hamil, tetapi keguguran. Penyebabnya dokter bilang, Salma terlalu kecapean. Aku pernah meminta dia agar berhenti dari pekerjaannya, tetapi ditolak. Menurut ukuran dia, gaji
"Cctv? Ya, ide yang bagus."Sejak itu Meti resmi kami terima jadi ART. Keberadaan Cctv membuatku tidak leluasa sekalipun Salma tak ada di rumah. Hanya kamar tidur dan kamar mandi saja yang tidak kami pasang. Tentu aku turut andil dalam pemasangannya. Karena untuk mengatur titik-titik mana saja yang tidak terbidik kamera.Hubunganku dengan Meti berjalan aman dan lancar. Membuat hari-hari terasa berwarna dengan kehadirannya. Dia sungguh tahu dan paham bagaimana cara menyenangkanku. Aku merasa bak seorang raja, sebuah pelayanan yang tidak pernah Salma berikan. Sungguh istriku itu hanya bisanya menghasilkan uang saja. Hingga suatu ketika kudapati kabar kalau Salma tengah hamil lagi. Sebuah kabar yang membuatku gembira tiada tara. Pasalnya aku memang merindukan kehadiran anak kecil di rumah ini. Aku bangga bisa jadi seorang ayah. Pikiranku mulai kembali waras. Aku memutuskan akan mengakhiri hubungan terlarang bersama Meti.Belum sempat kuutarakan niat tersebut kepada Meti, aku malah kena
"Ayo, Sal. Mana kunci mobilnya?""Memang, kamu sudah lancar nyetir mobilnya?""Sudah. Kamu tenang saja!""Tapi aku benar-benar enggak perlu ke dokter.""Aku mau lihat anak kita di layar monitor USG.""Nanti saja, kalau hamilnya sudah besar. Jadi kelihatan lebih jelas.""Pokoknya, sekarang juga kita ke dokter kandungan. Ayok!" Aduh, kenapa Hans maksa banget sih? Bisa tamat riwayatku kalau begini. "Aduh, aku kebelet. Mau pup dulu." Aku cari-cari alasan."Iya, hati-hati, Sal," pesan Hans saat aku setengah berlari menuju toilet.Di dalam toilet sudah setengah jam kuhabiskan. Hans sampai menyusul karena khawatir."Iya, aku enggak apa-apa.""Jangan lama-lama di air! Ayok cepat selesaikan."Aku pun terpaksa keluar, berdiam lama di toilet juga tidak enak."Aw!" teriakku saat membuka pintu, mendapati Hans tengah menunggu."Sudah? Yuk, kita berangkat," ajaknya."Hoamn... aku kok, ngantuk ya?" Aku pura-pura lagi."Bisa tidur di mobil. Ayuk, kita berangkat!""Eum ....""Udah, jangan banyak alas
Jam 23.00 Wib.[Aku mau sate] Kulayangkan sebuah pesan malam-malam kepada Hans.[Sate apa?] balasnya tidak lama.[Hah, kamu belum tidur?][Sudah pirasat, dede bayi pasti akan meminta sesuatu 😍][Hehe][Mau sate apa?] ulangnya.[Sate maranggi]Setelahnya tak ada balasan kembali. Bibirku manyun lima senti. Apa dia mengantuk dan tertidur? Yah, padahal ngidam satu-satunya alasan agar bisa bertemu dengan Hans kapan pun. Kutarik selimut kembali dan menelan kecewa.Tiga puluh lima menit kemudian.Tok, tok, tok. Karena rumahku yang sekarang tidak besar, jadi kalau ada yang mengetuk pintu akan langsung terdengar jelas. Kuberingsut dari ranjang hendak membuka pintu. Itu pasti Hans. Ternyata dia datang juga.Ceklek, gagang pintu langsung kutekan dan daun pintu pun terbuka. Akan tetapi, tak kudapatkan sosok Hans di sana. Lalu siapa yang mengetuk barusan?"Hans," panggilku seraya melangkah ragu ke teras."Duar!" Dia mengejutkanku keluar dari persembunyian. "Haha," tawanya puas melihat tubuhku yan
"Salma!" panggil lelaki berkacamata minus.Disampingnya berdiri seorang wanita berusia setengah abad lebih dengan mata berkabut."Papa? Mama?" Aku menoleh tak percaya.Perasaanku bercampur aduk. Suka, senang, terkejut, sedih dan ketakutan bercampur menjadi satu. Kemudian kuraih punggung tangan mereka bergantian untuk bersalaman. Hans tentu langsung mengikuti. Meski Papa-mama tidak menyukainya. Akan tetapi dia tetap sangat menghormati."Apa khabar?" tanya Mama dengan logat khas negri Jiran, seraya mengelus rambutku."Alhamdulillah, baik, Mah.""Oh, ya ampun, anak Mama. Lama tak jumpa.""Salma kangen." Kami pun berpelukan.Setelahnya, kami semua mengobrol di dalam rumah."Kenapa jarang telefon kita?" papa ikut bicara."Maafkan, Salma, Pah, Mah," sesalku."Kenapa pula, awak pindah rumah?""Kami hanya ingin suasana baru, Mah," jawab Hans."Oya, kalian tahu dari siapa alamat rumah ini?""Daripada jiran awak (dari tetangga kamu).""Siapa? Ceu Lia?""Iya, betul. Ceu Lia.""Papa sama Mama, ke
Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t
Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal
Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf
Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di
POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam
Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata
Akhirnya urusan Irsyad sudah selesai. Dia langsung menjemput kami dari rumah neneknya Qia. Mengingat mami sedang kurang fit di rumah, jadi kami memutuskan untuk langsung pulang lagi ke Bandung.Namun, sebelum pulang, kami membeli dulu oleh-oleh khas Sukabumi. Pilihan jatuh kepada Mochi. Sebuah kue yang terbuat dari beras ketan, bertekstur lembut dan lengket. Bercita rasa manis dengan aneka varian isi.Usai membeli oleh-oleh sampai bagasi mobil penuh, kami melanjutkan perjalanan pulang. “Ayah, tolong berhenti!” teriak Qia tiba-tiba.“Ada apa, Sayang?” Irsyad terkejut.“Berhenti dulu, Yah!” pintanya lagi.Irsyad pun menepikan mobil.“Ada apa, Nak?” tanyaku.“Mom, itu anak yang tadi!” tunjuknya kepada sosok anak yang sedang berjalan di trotoar.“Oh, iya.”“Anak yang tadi apa, sih?” Aku pun menceritakan tentang tadi sewaktu di Mesjid.“Kasihan, Yah,” ujar Qia.“Hei, Dek! Sini sebentar!” Irsyad melambaikan tangan ke anak itu.Anak itu tampak celingukan. “Saya?” Ia menunjuk dirinya sendir
Jika biasanya pengantin baru berbulan madu hanya berdua, berbeda dengan kami. Aku dan Irsyad memilih untuk memboyong dua keluarga yang baru bersatu ini. Awalnya tentu keluarga kami menolak karena berpikiran akan mengganggu. Akan tetapi kami terus bersikukuh untuk mengajaknya.Aku, Irsyad, Qia, mama, papa, mami serta asisten rumah tangganya yang sudah dianggap keluarga itu menghabiskan waktu keliling Indonesia. Dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Lombok, Bali, hingga pulau Komodo. Kami benar-benar berlibur.“Mih, malam ini Qia biar tidur sama kita aja,” tawar Irsyad.“Enggak! Qia malam ini giliran tidur dengan Mama lagi, Syad.”“Mah. Aku juga kangen sama Qia,” ucapku.“Kalian ‘kan bisa sama Qia siangnya. Malamnya biar Qia tidur sama Mama, ya!”Sejak pergi bulan muda, belum pernah sekalipun Qia tidur bersama aku dan ayahnya. Oya, anakku memanggil Irsyad dengan sebutan ‘ayah’. Kami sangat paham kenapa orang tuaku dan mami Mohan melakukan semua itu.Mereka hanya ingin agar kami bisa
Karena kami sudah menyelenggarakan pernikahan di ballroomnya, pihak hotel memberikan hadiah menginap gratis satu malam pasca resepsi.Saat pintu kamar terbuka wewangian langsung menguar dari dalam. Terlihat taburan kelopak mawar merah muda di atas bad ukuran king. Di tengah bad ada sepasang handuk berbentuk angsa dalam posisi beradu. Kemudian ada beberapa balon berbentuk hati menggantung di langit kamar. Serta pencahayaan remang dari lampu tumblr menambah kesan semakin romantis.Irsyad menggandengku untuk duduk di tepi ranjang.Tik tok tik tok, bunyi jarum jam yang berputar begitu terdengar jelas bagi kami saat ini. Jarumnya sudah menunjukkan pukul 22.30 Wib.“Eum … karena kita sudah menikah, enaknya aku panggil apa, ya?”“Tidak tahu,” jawabku seraya menunduk malu.Sungguh tidak disangka, seorang yang sudah lama kukenal, seorang teman, seorang rekan, dan seorang Bos, bisa membuat jantungku dag Dig Duk tidak karuan seperti ini. “Aku panggil kamu … Sayang?” Aku menggeleng karena mirip