Raven tidak pernah memiliki kehidupan yang mudah. Ia lahir di keluarga miskin di pinggiran kota, tumbuh di lingkungan yang keras di mana kejahatan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Setiap sudut jalan yang ia lalui dipenuhi dengan bayangan gelap; transaksi ilegal di gang-gang sempit, suara sirene polisi yang menjadi latar belakang kesehariannya, dan bisikan ketakutan yang menyelinap di antara orang-orang yang tahu bahwa mereka hidup dalam sistem yang tidak berpihak pada mereka.Ayahnya adalah seorang pecandu alkohol yang kasar, pria yang lebih sering menghabiskan waktunya di bar daripada di rumah. Ketika pulang, ia membawa serta aroma minuman keras yang menyengat dan amarah yang tak terkendali. Ibunya, sebaliknya, adalah wanita kuat yang bekerja siang dan malam untuk menghidupi keluarganya, tetapi kerja kerasnya tidak pernah cukup untuk mengangkat mereka dari kemiskinan. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, dan Raven kecil menyaksikan semua itu dengan mata yang s
Langit mulai berubah warna ketika matahari merayap turun di balik pepohonan. Di halaman rumah Kara yang luas, tiga pria berdiri dalam diam, menatap benda asing di hadapan mereka—sebuah kotak hitam yang muncul beberapa hari lalu.Kaisar menyilangkan tangan di dada, rahangnya mengeras. Vano berdiri di sampingnya, menggoyang-goyangkan tubuh seperti anak kecil yang tidak bisa diam, sementara Pak Adi mengusap dagunya dengan wajah penuh keraguan.“Ini sudah malam keempat,” gumam Kaisar, nadanya berat.Pak Adi mengangguk, “Dan yang bikin tambah aneh, tuan nggak pulang.”Vano menghela napas panjang lalu menendang pelan kerikil di kakinya. “Dua kemungkinan, dia kabur karena takut sama kotak ini atau dia udah tahu dan nyari siapa pelakunya?”Pak Adi menggeleng. “Saya juga ga tahu.”Kaisar menunduk, menatap kotak hitam itu. Tidak ada tanda-tanda aneh di permukaannya hanya kotak biasa tanpa tulisan, tanpa petunjuk. Tapi mereka tahu, ada sesuatu yang salah.“Pokoknya, kita nggak boleh lengah. Kita
Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Kaisar, Vano, Pak Adi, dan Kara berdiri di luar gerbang rumah, mengitari sebuah kotak hitam yang entah bagaimana bisa muncul di sana tanpa ada yang melihat siapa yang membawanya. Kaisar mendekat dan memperhatikan setiap detail kotak misterius itu. Namun, sebelum ia sempat menyentuhnya, telinganya menangkap sesuatu, suara langkah kaki di atas kerikil, samar tetapi jelas.Krek… krek… krek…Kaisar langsung menegakkan tubuhnya. “Sst! Diam.”Mereka semua terdiam, menajamkan pendengaran. Suara itu datang dari balik semak-semak. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar, seperti seseorang yang sengaja bergerak dengan hati-hati.Kaisar menegakkan tubuhnya, matanya menyipit, fokus mencari sumber suara itu. Dalam sepersekian detik, ia bergerak. "Ada orang disana!" serunya, langsung berlari ke arah datangnya suara.Vano yang refleks ikut waspada langsung mengejar. “Oi, tunggu! Jangan sendirian!”Vano segera mengejar Kaisar. Namun, sebelum pergi, ia
Pak Adi menarik tangan Kara, membawanya masuk ke dalam rumah. Dengan cekatan, ia menutup dan mengunci gerbang.Di dalam, suasana rumah terasa sepi. Tidak ada suara selain langkah kaki mereka dan hembusan angin yang bergerak pelan.Kara masih berdiri disana, menatap ke luar. Kaisar dan Vano sudah menghilang dalam kegelapan. Ia menggigit bibir, berusaha menahan pikirannya agar tidak berlarian terlalu jauh.Pak Adi memperhatikannya sejenak sebelum berkata, “Non, mereka pasti baik-baik saja.”Kara menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Aku tahu.”Namun, hatinya berkata lain.Ia ingin percaya bahwa Kaisar dan Vano mampu menangani situasi ini, tetapi kotak hitam yang muncul entah dari mana, ditambah dengan sosok misterius yang mengawasi mereka dari balik semak-semak, membuat pikirannya terus bekerja.Pak Adi berjalan ke pos satpam sementara Kara masih berdiri di tempatnya, memperhatikan gerbang yang kini tertutup rapat.Hening.Lalu, terdengar suara langkah kaki.Kara refleks menoleh. Bebera
Kaisar melangkah keluar, diikuti oleh Pak Adi yang berjalan dengan langkah waspada. Udara malam terasa dingin, menusuk kulit, membawa aroma tanah basah yang khas setelah embun turun. Lampu-lampu di halaman depan rumah Kara menyala redup, menciptakan bayangan panjang di atas tanah berbatu.Vano masih duduk di kursi teras, kedua lengannya terlipat di dada. Ia tampak enggan bergerak, tetapi setelah mendesah panjang, akhirnya ia ikut bangkit. Langkahnya berat, seolah ia sudah bisa menebak bahwa malam ini tidak akan membawa kabar baik.Kara tetap berdiri di ambang pintu, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Matanya mengikuti ketiga pria itu yang berjalan menuju gerbang. Dadanya berdebar lebih cepat, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Angin berembus pelan, mengibarkan ujung rambutnya yang dibiarkan terurai. Dari sudut rumah pegawai, beberapa orang masih mengintip dari jendela, rasa ingin tahu mereka sulit dibendung. Bi Ina menyaksikan mereka dari kejauhan dengan raut wajah cemas.Ka
Setelah Kara masuk ke kamarnya, Kaisar, Vano, dan Pak Adi berdiri mengitari meja, di mana kotak hitam dan mobil mainan kecil masih tergeletak.“Kita periksa CCTV sekarang,” kata Kaisar akhirnya.Pak Adi mengangguk. “Aku setuju. Semakin cepat kita tahu siapa yang melakukannya, semakin baik.”Vano meregangkan tubuhnya, lalu menghela napas. “Baiklah, ayo ke ruang monitor.”Mereka bertiga berjalan ke ruangan kecil di sudut rumah, tempat layar-layar monitor yang menampilkan berbagai sudut rumah terpasang. Pak Erik, seorang petugas keamanan yang hanya bertugas sekali dalam seminggu itu langsung berdiri ketika mereka masuk.“Pak Adi? Ada apa?”“Kami perlu melihat rekaman dari beberapa jam terakhir. Khususnya bagian gerbang depan,” jawab Pak Adi.Pak Erik mengangguk dan segera mengakses rekaman. Kaisar dan Vano berdiri di belakangnya, menatap layar dengan fokus.01:20 AMLayar menunjukkan rekaman gerbang depan. Semuanya tampak biasa—hanya gerbang besi hitam yang kokoh, jalanan sunyi, dan lamp
"Pah, bodyguard yang ini terlalu tua! Ga nyambung kalau diajak ngobrol."Anton memijat kepalanya pusing. Sudah 3 kali dalam seminggu ini ia harus mencari bodyguard yang cocok untuk anaknya. Seperti sekarang, gadis itu berdiri di pintu ruang kerjanya sambil memeluk boneka panda. "Kara mau yang kayak gimana lagi? "tanya Anton. Kara berpikir sejenak. Ia masuk ke ruang kerja ayahnya lalu duduk disofa."Yang muda, jangan terlalu tua,"Anton menaikkan alis nya sebelah. "Itu aja? "Kara mengangguk. Ia melihat ke sekeliling ruang kerja Anton. Rak-rak yang penuh dengan buku, karena dia gemar membaca. Mata Kara tertuju pada sebuah buku bersampul hitam. Ia berdiri lalu mengambilnya. Itu adalah buku tentang misteri dunia. "Kara pinjam ini ya, Pah? "tanya Kara yang dibalas anggukan oleh Anton. Ia memeluk buku dan boneka panda sekaligus lalu berjalan keluar. Tepat di pintu, Kara berhenti lalu menoleh ke arah ayahnya. "Inget ya, jangan yang tua. Kara gak suka!"Anton tersenyum simpul dan meng
"Saya Kaisar, bodyguard anda mulai sekarang, Nona Kara. "Kara menatap lelaki di hadapannya ini. Muda, tinggi, dan berperawakan gagah.Kara akui jika ia terpesona dengan lelaki yang menjadi bodyguardnya ini. Anton memegang bahu Kara. "Sesuai kan sama yang kamu mau?" Kara mengangguk. Kara memuji kecepatan Anton dalam mencari pengganti Dante yang sesuai dengan kriteria yang ia inginkan. Baru kemarin ia mengatakan keinginannya dan siang ini hal itu sudah terjadi. "Kaisar juga bisa jadi teman kamu, kan? "tanya Anton sambil menoleh ke Kaisar. Kaisar mengangguk. "Tentu, Pak. "Anton lalu pergi meninggalkan Kara dan Kaisar berdua karena akan melanjutkan pekerjaannya di kantor. Suasana menjadi hening dan canggung seketika. Keduanya tidak ada yang memulai percakapan. Kara tidak suka suasana seperti ini tapi lelaki dihadapannya benar-benar membuatnya gugup. "Uhm, Kaisar mau main masak-masakan gak? "***Disinilah Kara dan Kaisar berada, duduk lesehan di halaman belakang yang asri. Kara b
Setelah Kara masuk ke kamarnya, Kaisar, Vano, dan Pak Adi berdiri mengitari meja, di mana kotak hitam dan mobil mainan kecil masih tergeletak.“Kita periksa CCTV sekarang,” kata Kaisar akhirnya.Pak Adi mengangguk. “Aku setuju. Semakin cepat kita tahu siapa yang melakukannya, semakin baik.”Vano meregangkan tubuhnya, lalu menghela napas. “Baiklah, ayo ke ruang monitor.”Mereka bertiga berjalan ke ruangan kecil di sudut rumah, tempat layar-layar monitor yang menampilkan berbagai sudut rumah terpasang. Pak Erik, seorang petugas keamanan yang hanya bertugas sekali dalam seminggu itu langsung berdiri ketika mereka masuk.“Pak Adi? Ada apa?”“Kami perlu melihat rekaman dari beberapa jam terakhir. Khususnya bagian gerbang depan,” jawab Pak Adi.Pak Erik mengangguk dan segera mengakses rekaman. Kaisar dan Vano berdiri di belakangnya, menatap layar dengan fokus.01:20 AMLayar menunjukkan rekaman gerbang depan. Semuanya tampak biasa—hanya gerbang besi hitam yang kokoh, jalanan sunyi, dan lamp
Kaisar melangkah keluar, diikuti oleh Pak Adi yang berjalan dengan langkah waspada. Udara malam terasa dingin, menusuk kulit, membawa aroma tanah basah yang khas setelah embun turun. Lampu-lampu di halaman depan rumah Kara menyala redup, menciptakan bayangan panjang di atas tanah berbatu.Vano masih duduk di kursi teras, kedua lengannya terlipat di dada. Ia tampak enggan bergerak, tetapi setelah mendesah panjang, akhirnya ia ikut bangkit. Langkahnya berat, seolah ia sudah bisa menebak bahwa malam ini tidak akan membawa kabar baik.Kara tetap berdiri di ambang pintu, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Matanya mengikuti ketiga pria itu yang berjalan menuju gerbang. Dadanya berdebar lebih cepat, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Angin berembus pelan, mengibarkan ujung rambutnya yang dibiarkan terurai. Dari sudut rumah pegawai, beberapa orang masih mengintip dari jendela, rasa ingin tahu mereka sulit dibendung. Bi Ina menyaksikan mereka dari kejauhan dengan raut wajah cemas.Ka
Pak Adi menarik tangan Kara, membawanya masuk ke dalam rumah. Dengan cekatan, ia menutup dan mengunci gerbang.Di dalam, suasana rumah terasa sepi. Tidak ada suara selain langkah kaki mereka dan hembusan angin yang bergerak pelan.Kara masih berdiri disana, menatap ke luar. Kaisar dan Vano sudah menghilang dalam kegelapan. Ia menggigit bibir, berusaha menahan pikirannya agar tidak berlarian terlalu jauh.Pak Adi memperhatikannya sejenak sebelum berkata, “Non, mereka pasti baik-baik saja.”Kara menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Aku tahu.”Namun, hatinya berkata lain.Ia ingin percaya bahwa Kaisar dan Vano mampu menangani situasi ini, tetapi kotak hitam yang muncul entah dari mana, ditambah dengan sosok misterius yang mengawasi mereka dari balik semak-semak, membuat pikirannya terus bekerja.Pak Adi berjalan ke pos satpam sementara Kara masih berdiri di tempatnya, memperhatikan gerbang yang kini tertutup rapat.Hening.Lalu, terdengar suara langkah kaki.Kara refleks menoleh. Bebera
Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Kaisar, Vano, Pak Adi, dan Kara berdiri di luar gerbang rumah, mengitari sebuah kotak hitam yang entah bagaimana bisa muncul di sana tanpa ada yang melihat siapa yang membawanya. Kaisar mendekat dan memperhatikan setiap detail kotak misterius itu. Namun, sebelum ia sempat menyentuhnya, telinganya menangkap sesuatu, suara langkah kaki di atas kerikil, samar tetapi jelas.Krek… krek… krek…Kaisar langsung menegakkan tubuhnya. “Sst! Diam.”Mereka semua terdiam, menajamkan pendengaran. Suara itu datang dari balik semak-semak. Langkahnya ringan, hampir tak terdengar, seperti seseorang yang sengaja bergerak dengan hati-hati.Kaisar menegakkan tubuhnya, matanya menyipit, fokus mencari sumber suara itu. Dalam sepersekian detik, ia bergerak. "Ada orang disana!" serunya, langsung berlari ke arah datangnya suara.Vano yang refleks ikut waspada langsung mengejar. “Oi, tunggu! Jangan sendirian!”Vano segera mengejar Kaisar. Namun, sebelum pergi, ia
Langit mulai berubah warna ketika matahari merayap turun di balik pepohonan. Di halaman rumah Kara yang luas, tiga pria berdiri dalam diam, menatap benda asing di hadapan mereka—sebuah kotak hitam yang muncul beberapa hari lalu.Kaisar menyilangkan tangan di dada, rahangnya mengeras. Vano berdiri di sampingnya, menggoyang-goyangkan tubuh seperti anak kecil yang tidak bisa diam, sementara Pak Adi mengusap dagunya dengan wajah penuh keraguan.“Ini sudah malam keempat,” gumam Kaisar, nadanya berat.Pak Adi mengangguk, “Dan yang bikin tambah aneh, tuan nggak pulang.”Vano menghela napas panjang lalu menendang pelan kerikil di kakinya. “Dua kemungkinan, dia kabur karena takut sama kotak ini atau dia udah tahu dan nyari siapa pelakunya?”Pak Adi menggeleng. “Saya juga ga tahu.”Kaisar menunduk, menatap kotak hitam itu. Tidak ada tanda-tanda aneh di permukaannya hanya kotak biasa tanpa tulisan, tanpa petunjuk. Tapi mereka tahu, ada sesuatu yang salah.“Pokoknya, kita nggak boleh lengah. Kita
Raven tidak pernah memiliki kehidupan yang mudah. Ia lahir di keluarga miskin di pinggiran kota, tumbuh di lingkungan yang keras di mana kejahatan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Setiap sudut jalan yang ia lalui dipenuhi dengan bayangan gelap; transaksi ilegal di gang-gang sempit, suara sirene polisi yang menjadi latar belakang kesehariannya, dan bisikan ketakutan yang menyelinap di antara orang-orang yang tahu bahwa mereka hidup dalam sistem yang tidak berpihak pada mereka.Ayahnya adalah seorang pecandu alkohol yang kasar, pria yang lebih sering menghabiskan waktunya di bar daripada di rumah. Ketika pulang, ia membawa serta aroma minuman keras yang menyengat dan amarah yang tak terkendali. Ibunya, sebaliknya, adalah wanita kuat yang bekerja siang dan malam untuk menghidupi keluarganya, tetapi kerja kerasnya tidak pernah cukup untuk mengangkat mereka dari kemiskinan. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, dan Raven kecil menyaksikan semua itu dengan mata yang s
Malam itu, hujan turun deras di taman kota yang sepi. Lampu-lampu jalan redup, memantulkan cahaya ke genangan air di trotoar. Udara dingin menusuk, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur.Di salah satu sudut taman, di bawah pohon besar yang batangnya basah oleh air hujan, berdiri seorang pria. Ia mengenakan hoodie hitam yang sudah mulai basah, tetapi ia tidak peduli. Tudung hoodienya menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tampak seperti bayangan yang muncul dari kegelapan. Ia bukan orang sembarangan—ia adalah mata-mata Anton, seorang pria yang bekerja dalam bayang-bayang, mengumpulkan informasi. Nama aslinya sudah lama tenggelam dalam catatan sejarah. Di dunia ini, ia hanya dikenal dengan kode: Raven.Tangan kirinya berada di saku, sementara tangan kanannya memegang ponsel. Jemarinya yang panjang dan dingin menekan tombol panggil. Ia menempelkan ponsel ke telinganya, mendengar suara dering yang memecah keheningan malam.Satu kali. Dua kali. Lalu, suara di seberang menjawab
Malam itu, suasana di dalam ruangan terasa dingin, meski tak ada pendingin udara yang menyala. Lampu di langit-langit menerangi meja kayu di tengah ruangan, tempat seorang pria duduk dengan ekspresi tak terbaca. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, satu tangan menopang dagunya, sementara tatapannya lurus ke depan.Di seberang meja, seorang pria lain berdiri dengan tubuh tegap. Ia mengenakan pakaian serba hitam, tampak formal tapi tetap cukup fleksibel untuk bergerak cepat jika diperlukan. Tangan kanannya mengepal di belakang punggung, sementara tangan kirinya memegang sebuah map tipis berwarna abu-abu.“Sudah tiga hari,” kata pria yang berdiri itu.Yang duduk tidak langsung menanggapi. Ia menggeser jemarinya di atas meja, menelusuri permukaannya yang halus, sebelum akhirnya berkata, “Dan dia tidak kembali ke rumahnya sama sekali?”“Tidak.”Hening sejenak. Angin dari luar jendela berhembus pelan, menggoyangkan tirai tipis yang setengah tertutup.“Tidak ada tanda-tanda dia berada di ru
Sudah dua hari Anton tidak pulang.Bi Ina mondar-mandir di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan. Matanya terus melirik jam dinding yang berdetak pelan, seolah menegaskan bahwa waktu terus berjalan tanpa kepastian. Di sampingnya, Pak Adi duduk dengan wajah cemas, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin.“Tuan pergi kemana to, biasanya kalau pulang telat pasti kasih kabar,” keluh Bi Ina, suaranya terdengar lebih khawatir daripada sekadar kesal.Pak Adi menghela napas berat. “Iya, Bu. Saya juga bingung. Biasanya paling lama pulang tengah malam, atau enggak ya nelpon, bilang lagi di mana. Ini dua hari nggak ada kabar.”Mereka saling berpandangan. Keduanya sama-sama tahu bahwa Anton bukan tipe orang yang begitu saja menghilang. Meskipun ia memang sering pulang larut, tapi setidaknya ia akan memberi tahu. Tapi sekarang? Bahkan ponselnya tidak bisa dihubungi.Pak Adi meraih ponselnya lagi, mencoba menelepon Anton sekali lagi. Hasilnya masih sama—suara operator yang memberi tahu