Belle terengah, mencoba mengatur napasnya yang tersengal karena panik. "Kau … kau baik-baik saja?" tanyanya dengan suara gemetar.
Eddie mengerutkan kening. “Kenapa?”
Belle menatap Eddie. Matanya masih dipenuhi kekhawatiran. "Jangan … jangan lompat. Kumohon," katanya terbata-bata, masih dengan napas tak beraturan.
Sejenak keheningan menyelimuti mereka. Eddie terdiam sebelum akhirnya tertawa lepas. Sangat lepas, hingga Belle sedikit tersentak kaget.
Belle mengerutkan kening. “Kau … tertawa?”
"Aku tidak akan melompat, Belle," jawab Eddie, masih dengan sisa tawa. “Aku tidak menyangka kau akan bereaksi seheboh itu,”
Belle masih m
Cahaya lampu temaram memantul di gelas-gelas kristal yang berisi minuman mahal. Aroma alkohol, cerutu, dan parfum eksklusif bercampur. Menciptakan atmosfer khas tempat elite berkumpul. Di salah satu sudut VIP, para anggota inti The Dominion Club mengelilingi meja marmer hitam.Lex, Jamie, Vicky, dan Nate tampak lebih bersemangat dari biasa. Semalam mereka baru menyaksikan drama di pesta pertunangan Eddie dan Cassie. Dan sekarang, mereka membahasnya dengan penuh antusias."Aku masih tidak percaya Cassie benar-benar melakukannya," kata Vicky, menyilangkan kaki. "Dia selalu tahu cara membuat kehebohan,""Dramatis sekali," sahut Lex dengan tawa rendah, menyesap minumannya. "Kalau ada kamera di sana, sudah pasti jadi adegan terbaik dalam reality show,”"Tapi, apa dia ti
Nate keluar dari kantor Hudson Group dengan langkah cepat dan penuh amarah. Dia bahkan tidak menunggu lift. Langsung turun melalui tangga darurat, menendang pintu keluar dengan keras.Bagaimana bisa Dante melakukan ini padanya? Setelah bertahun-tahun bekerja, setelah semua kesetiaannya, dia dipecat hanya karena menolak ikut dalam permainan kejam Dante?“Kau benar-benar brengsek, Dante Hudson,” umpatnya pelan.Dia berjalan tanpa arah, membiarkan pikirannya dipenuhi kebencian. Mobilnya terparkir di seberang jalan, tapi dia tidak ingin menyetir dalam keadaan seperti ini. Dia butuh udara. Butuh sesuatu untuk meredakan amarah yang membara di dadanya.Saat melewati sebuah gang, seorang pria berjas mahal bersandar di tembok. Menyalakan rokoknya. Dia menatap Nate dengan seringaian lebar.“Jadi, Hudson akhirnya menendangmu juga?” ujarnya.Nate berhenti. Matanya menyipit. “Apa maumu, Theo Li?”Tentu saja Nate mengenalnya. Theodore Li, miliarder keturunan Tionghoa-Amerika yang memiliki jaringan
Vicky terkejut sejenak, lalu menyentakkan tangannya. "Kau membelanya?"Cassie mendesah pelan. "Aku tidak membela siapapun. Aku hanya tidak suka melihat seseorang melampiaskan kemarahan tanpa alasan yang jelas,"Vicky tertawa sinis. "Tanpa alasan? Kau tahu persis alasan ini. Nate dipecat! The Dominion Club berantakan! Semuanya karena wanita ini!" pekiknya, begitu keras sambil menunjuk Belle.Cassie menggelengkan kepala. "Yang membuat semua berantakan adalah Dante sendiri. Jika kau ingin menyalahkan seseorang, salahkan dia. Bukan Belle,"Belle masih terdiam, mendengarkan pertengkaran di depannya. Dia sendiri juga masih tertegun, tidak menyangka Cassie akan tiba-tiba datang dan membelanya.Vicky mendecakkan lidahnya. “Apa kau ma
Langit mulai menggelap ketika Belle melangkah dengan gontai menuju rumah. Sepanjang hari ini, dia berkeliling kota. Mengunjungi berbagai kantor dan toko, berharap mendapatkan pekerjaan. Tetapi hasilnya tetap sama seperti hari-hari sebelumnya—tidak ada harapan.Namun tepat saat dia berbelok di gang kecil yang menjadi jalan pintas menuju rumah, langkahnya terhenti. Dante Hudson berdiri di sana.Punggung pria itu tegap. Tangannya terselip di saku celana dan matanya yang tajam berkilat dingin di bawah temaram lampu jalan. Jasnya yang mahal terlihat rapi seperti biasa. Meski ekspresi wajahnya sama sekali tidak ramah.Belle merasa detak jantungnya berdegup lebih kencang. "Minggir," tukasnya.Dante tidak bergerak. Dia hanya menyeringai menatap Belle. Seakan girang, berhas
Dante menyeringai melihat ekspresi kesal sekaligus ragu di wajah Belle. Tanpa menunggu persetujuan, Dante meraih pergelangan tangan Belle dan menariknya menuju mobilnya yang terparkir di dekat trotoar."Aku bisa jalan sendiri!" Belle meronta, berusaha melepaskan diri. Tetapi genggaman Dante terlalu kuat.Belle menatap mobil Rolls-Royce Phantom hitam itu dengan enggan. Dia tidak ingin masuk. Tapi perutnya yang lapar memberi pengingat lain, seolah mengolok harga dirinya. Akhirnya, dengan mendengus kesal, dia masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa.“Selamat malam, Nona Monaghan,” sapa Fabian di kursi pengemudi.Belle sempat terkejut. Tidak menyangka akan ada orang lain selain mereka. Namun itu tidak berlangsung lama saat Dante bergerak masuk, duduk di sampin
Vicky melangkah masuk ke kantor Hudson Group, tempat di mana Dante biasanya menghabiskan waktu hingga larut. Stiletto mahalnya berbunyi nyaring setiap kali menyentuh lantai marmer yang berkilau.Dia tidak perlu meminta izin untuk masuk ke ruangan Dante. Semua orang di kantor ini tahu siapa dirinya—Victoria Albright, salah satu anggota inti The Dominion Club. Seseorang yang memiliki akses istimewa ke dalam lingkaran eksklusif Dante Hudson.“Oh, kau datang,” sapa Dante.Dante sedang duduk di belakang mejanya, mengenakan kemeja hitam yang lengannya tergulung hingga ke siku. Matanya yang tajam segera terangkat begitu Vicky membuka pintu tanpa mengetuk."Apa yang kau lakukan?" sambar Vicky.Dante menyandarkan tub
Sinar matahari menembus tirai tipis yang menggantung di jendela dapur kecil rumah keluarga Monaghan. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Di meja makan, Emily duduk dengan tatapan penuh selidik. Menatap putrinya yang sibuk mengoles selai stroberi pada roti.Emily menyilangkan tangan di depan dada. “Kenapa akhir-akhir ini kau selalu berangkat terlambat? Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya,”Jantung Belle berdebar. "Aku hanya ... pekerjaanku tidak sepadat dulu, jadi aku bisa lebih santai," jawab Belle pelan, mencoba mengulur waktu.Emily mengernyit. “Aku tidak pernah melihatmu seperti ini sebelumnya. Kau bahkan tidak pernah terburu-buru lagi di pagi hari,"Belle meremas jemarinya di bawah meja. Mencoba mencerna rotinya dengan susah payah.
“Ini benar-benar tidak seperti dirimu,” ucap Dante lalu menyeringai. “Jadi kau sudah menyerah mencari pekerjaan yang setara seperti di Hudson Group?”Belle mengepalkan tangan, sangat geram. “Pekerjaan ini masih lebih baik daripada tawaranmu yang tak bermoral itu,”Tapi Dante tidak peduli. Bibirnya melengkung, matanya menyapu setiap sudut ruangan dengan sorot tajam dan kritis. Ruangan itu kecil, bahkan lebih kecil dari yang Dante bayangkan. Dindingnya dipenuhi rak kayu tua yang sudah mulai lapuk, sementara meja kasir tampak lusuh dengan beberapa tumpukan buku keuangan yang terlihat berantakan.Dante menyapukan jarinya di atas salah satu meja kayu, mendapati ada sedikit debu di sana. Rahangnya mengeras. Tidak ada sistem, tidak ada pengelolaan yang baik. Toko bunga ini lebih mi
Belle duduk di sudut kamar, memeluk kedua lututnya sambil menatap kosong ke luar jendela. Langit senja yang seharusnya indah terasa kelabu di matanya.Semuanya terjadi begitu cepat. Terlalu rapi. Terlalu sempurna untuk disebut sebagai kebetulan. Namun, siapa yang membenci keluarganya sampai tega menghancurkan mereka seperti ini?Tanpa sadar, air mata Belle kembali mengalir. "Apakah ini hukuman darimu, Dante?" isaknya.Belle menggigit bibirnya. Dia tahu Dante pria yang kejam, tapi... tidak mungkin Dante tega menghancurkan hidupnya sampai seperti ini, kan? Tapi siapa lagi yang bisa melakukannya?Di luar, Eddie masih berdiri di depan rumah Belle. Dia tahu wanita itu sedang terluka. Tetapi Belle terlalu keras kepala untuk membiarkan siapa pun masuk ke dalam dinding pertahanannya.“Apa benar ini ulahmu, Dan?” gumam Eddie, mendongak menatap rumah Belle.***Malam itu, Eddie langsung menghubungi seseorang yang selama ini menjadi "telinga dan mata" Dominion Club di balik layar, Alexander Har
Sofia berdiri dengan wajah tegang sambil menyerahkan sebuah map tebal berisi semua informasi tentang Belle. Evelyn duduk di kursi beludru berwarna gading, dengan secangkir teh di tangan. Wanita itu tampak tenang."Sudah kau dapatkan semuanya?" tanya Evelyn tanpa menoleh.Sofia mengangguk sambil meletakkan map itu di meja. "Semua yang Anda minta,”Evelyn meletakkan cangkir tehnya dan membuka map itu perlahan.Di sana ada foto Belle yang tersenyum lembut di depan toko bunga miliknya, Emily's Garden. Foto keluarganya. Foto bengkel kecil milik Patrick, ayahnya. Bahkan informasi tentang Belle yang sempat putus kuliah karena ibunya sakit keras juga ada di dalam laporan itu.Evelyn tersenyum miring.“Dia menyedihkan… tapi justru itu yang membuat Dante begitu terikat padanya," gumam Evelyn sambil membolak-balik halaman."Saya juga menemukan sesuatu yang... menarik, Nyonya," ujar Sofia.Sofia menarik napas dalam, lalu menyerahkan sebuah amplop lain yang berisi foto-foto lama."Isabella pernah
Eddie memperhatikan Belle yang sejak tadi diam dan terus melirik ke arah Dante. mendekatkan wajahnya ke Belle. “Apa kau ingin pergi dari sini?”Belle tersentak. "Hah? Tidak... Aku baik-baik saja."Eddie tersenyum kecil. "Kalau begitu... ayo berdansa," ajak Eddie, menarik tangan Belle menuju lantai dansa.Belle terkejut. "Eddie, aku—"Tapi Eddie sudah terlanjur menarik tangan Belle ke tengah lantai dansa. Dan Belle tidak bisa menolak lagi.Dante yang sejak tadi memperhatikan mereka dari kejauhan, matanya semakin gelap saat melihat Eddie memeluk pinggang Belle dan mulai berdansa. Dante meremas gelas wine di tangannya hingga retak.Lex bersandar di bar dengan gelas
Dante dan Evelyn tiba di pesta eksklusif yang diadakan oleh salah satu anggota The Dominion Club. Di sebuah ballroom mewah dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan malam kota yang berkilauan.Evelyn mengenakan gaun hitam sederhana, tanpa banyak detail berlebihan. Tetapi caranya melangkah dengan penuh percaya diri membuat semua orang di ruangan itu terdiam. Bahkan para wanita sosialita yang selama ini memuja Dante.Evelyn bukan sekadar wanita cantik. Dia berbahaya. Elegan, cerdas, dan tak terjamah.Dante yang berdiri di samping Evelyn dalam setelan jas hitam, terlihat semakin dingin dan tak tersentuh. Namun di balik matanya yang tajam, ada kekacauan berkecamuk di hatinya. Sejak Belle menolaknya, Dante kehilangan arah.Lex dan Jamie yang memperhatikan dari
"Belle, kau sakit?" tanya Emily khawatir.“Tidak, Mom... Aku hanya... lelah,” jawab Belle dengan suara parau. Dia tidak ingin bangun. Tidak ingin menghadapi dunia setelah kejadian semalam.Ibunya membuka pintu dan melangkah masuk. Dengan lembut, Emily duduk di tepi ranjang dan mengelus rambut putrinya."Kau tidak perlu memaksakan diri untuk ke toko hari ini," ucap Emily lembut. "Kalau kau butuh waktu untuk sendiri, istirahatlah," Meski tidak terlalu tahu apa yang terjadi, namun Emily bisa menebak jika ini ada hubungannya dengan kisah cinta anaknya.“Terima kasih, Mom,” bisik B
“Tidak!” Belle berkata dengan suara bergetar. “Kau … kau sudah milik orang lain. Aku tidak mungkin—”"Siapa yang memberitahumu?" sambar Dante, cukup terkejut."Apakah itu penting?" Belle menatapnya penuh luka. "Kau pikir aku ini apa? Tempat pelarian saat kau bosan dengan wanita kaya pilihan keluargamu?"Dante mendekat, tetapi Belle melangkah mundur.“Kau salah paham,” terang Dante."Tidak ada yang perlu dijelaskan," Belle memotong. “Harusnya memang sejak awal aku mengerti, dunia kita terlalu berbeda,”Dante terdiam. Rahangnya mengeras menahan emosi yang bergejolak. Sementara Belle menahan air matanya yang hampir jatuh.
Eddie bersandar di ambang pintu toko bunga milik Belle, memperhatikan wanita itu yang sibuk merangkai bunga. Jari-jari Belle yang lentik dengan cekatan memilih kelopak demi kelopak, mengatur warna, tekstur, dan aroma dengan keahlian yang membuat Eddie terpesona.Cahaya matahari sore membiaskan sinar keemasan yang membingkai sosok Belle dengan indah. Eddie merasa hatinya menghangat hanya dengan melihat Belle begitu damai di tengah kesibukannya.“Kenapa kau terus menatapku seperti itu?” tanya Belle tanpa menoleh.Eddie tersenyum kecil, lalu mendekat. “Karena aku suka melihatmu bekerja. Kau terlihat... hidup,”Belle terkekeh pelan, tapi wajahnya sedikit memerah. “Aku hanya merangkai bunga, Eddie,”
Dante melangkah keluar dari Dominion Club, menyusul Eddi yang keluar lebih dulu. Udara malam yang dingin menyambut mereka. Tetapi ketegangan di antara dua pria itu jauh lebih menusuk.Dante berhenti di tangga depan club, menyalakan rokoknya dengan gerakan santai, tetapi matanya tetap tajam seperti biasa."Jadi ... dia benar-benar calon istrimu?" tanya Eddie tanpa basa-basi, matanya menatap lurus ke depan.Dante menghela napas pelan, menghembuskan asap rokoknya ke udara. "Valeria yang mengatur ini. Aku hanya mengikutinya,”Eddie mendengus sinis. “Mengikuti? Sejak kapan kau menuruti ucapan Valeria?” ejeknya.Dante menegang. Mata gelapnya beralih ke Eddie dengan tatapan tajam, tetapi Eddie tidak gentar. M
Sofia—asisten Evelyn, berdiri dengan ekspresi serius. Di tangannya terdapat sebuah folder hitam tebal berisi informasi yang baru saja dikumpulkan tentang Dante Hudson.“Ini semua tentang Dante Hudson, dan wanita yang Anda tanyakan, Nyonya” ucap Sofia sambil menyerahkan folder itu pada Evelyn.Evelyn menerima folder tersebut dan membukanya dengan penuh rasa ingin tahu. Matanya tajam menelusuri setiap lembar informasi yang telah dikumpulkan Sofia.“Isabella Monaghan … “ Evelyn membaca nama itu dengan nada meremehkan. “Si gadis toko bunga yang berhasil membuat pria seperti Dante Hudson jatuh cinta?”Sofia mengangguk pelan. “Sepertinya Dante Hudson terobsesi padanya. Berdasarkan catatan yang berhasil saya kumpulkan, Dant