“Katakan padaku, Katty, kenapa kau membawaku ke sini? Bukankah kita akan mengerjakan tugas musim panas bersama-sama di rumahmu?”
Niken Raswani menatap sahabatnya dengan pandangan penuh curiga. Mereka berdiri di pintu masuk sebuah hotel yang baru saja diresmikan pembukaannya dua hari yang lalu.
Katty merentangkan tangan dengan putus asa. “Entahlah. Aku... aku hanya berusaha membantumu.”
“Membantuku? Dengan membawaku ke hotel? Untuk apa?” Niken semakin tak suka. Dia menuntut penjelasan.
“Baiklah! Aku tak pernah bisa bohong padamu.” Katty menghela napas berat. “Aku juga tidak yakin ide ini akan berhasil. Tapi, dia memaksaku untuk melakukannya.”
“Dia?” tangan Niken terlipat ke dada. “Siapa maksudmu?”
Katty menggembungkan pipinya. “Andrew, dia ingin memberimu kejutan.”
“Andrew?”
“Ya, Andrew White, kekasihmu. Dia memintaku untuk membawamu ke sini dan akan memberikan kejutan untuk merayakan hari jadi kalian yang ke 6 bulan.”
Ada kegirangan sekaligus raut terkejut di wajah Niken. “Jika ini kejutan, kenapa kau memberitahuku?” Nada Niken mulai melunak.
Katty memutar bola mata. “Oh, entahlah, seingatku beberapa detik yang lalu kau memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya! Lagi pula, aku juga sebal karena di sepanjang jalan kau terus bertanya apa yang akan kita lakukan? Ke mana kita akan pergi? Jadi, sebaiknya nanti kau berpura-pura terkejut saat bertemu dengan Andrew. Oke?”
Mereka masuk dan duduk di lobi hotel. Katty pergi ke resepsionis untuk menanyakan reservasi atas nama Andrew White sedangkan Niken memilih duduk sambil merapikan riasannya.
Katty datang sambil menyerahkan sebuah kunci kamar hotel dan sekaleng soda dingin untuk Niken.
“Gula akan membuatmu merasa lebih baik. Sebaiknya mulai dari sini, lakukanlah sendiri. Tapi, katakan pada Andrew bahwa aku yang membawamu. Ingat, bagian terpenting dari sebuah kejutan adalah kau harus merasa terkejut!” ujar Katty sambil memutar bola mata.
Niken tergelak membayangkan dia harus berpura-pura terkejut di depan Andrew. “Oh, terima kasih banyak, Katty. Kau adalah sahabatku satu-satunya yang bisa membuatku tertawa.”
“Yeah, dia memesan kamar nomor 1024 untuk kejutanmu. Bisakah kau datang ke sana sendirian?” Katty terus memeriksa ponselnya untuk membalas pesan. “Aku harus kembali karena Antony sudah menungguku.”
Niken mengangguk. “Ya, akan aku balas kebaikanmu. Bersenang-senanglah dengan Antony.”
“Kau juga. Ingat, kau harus berpura-pura terkejut di depan Andrew.”
Niken menghabiskan sisa sodanya sebelum beranjak menuju ke kamar 1024. Ketika dia berada di dalam lift, Niken tiba-tiba merasa pusing dan tidak nyaman. Kakinya goyah. Dia berpegangan pada dinding lift.
“Kepalaku... kenapa sakit sekali?” Niken pegangi kepalanya yang berdenyut hebat.
Pintu lift terbuka. Dia keluar dan berjalan sempoyongan seperti orang mabuk.
“Pasti ada yang salah denganku. Aku harus bertemu Andrew. Dia mungkin punya obat atau sesuatu.”
Niken berjalan gontai. Semakin lama pandangan matanya semakin mengabur dan kakinya seperti melayang. Niken menuju ke sebuah kamar dengan tulisan angka 1042. Karena kepalanya pusing dan matanya mengabur, dia salah masuk ke kamar yang seharusnya 1024.
Niken mencoba memasukkan anak kunci, tapi pintu itu bahkan sudah terbuka sebelum dia berhasil melakukanya. Niken masuk ke kamar yang gelap dan sepi itu.
***
Dua bulan kemudian....
Niken menatap nanar dua garis warna merah pada alat tes kehamilan yang dipegangnya. Dia sangat ketakutan. Berulang kali Niken membuka tutup mata untuk memastikan alat yang dia genggam tidak salah menunjukkan warna dan jumlah garisnya.
“Aku hamil?” gumam Niken. “Aku baru berusia 17 tahun dan sekarang aku sedang hamil? Padahal aku masih duduk di bangku SMA.”
Niken menghembuskan napas berat berulangkali. Dia bahkan mulai menjambak rambut kelabu kehitamannya dengan frustrasi. Begitu banyak pertanyaan dan pemikiran yang berkeliaran di dalam kepala Niken, hingga membuat dia ingin meledak.
“Bagaimana Andrew akan menanggapi kenyataan ini? Akankah dia bahagia atau dia akan marah? Ya, aku tahu dia mencintaiku. Dia selalu mengatakannya setiap waktu, bahkan setiap kali kita bertemu.” Niken bergumam untuk meyakinkan dirinya sendiri. “Tapi, ini seorang bayi! Seorang bayi yang tak pernah kami pikir akan ada. Aku takut sekali! Bagaimana jika kehadirannya akan mengubah pemikiran Andrew?”
Niken menggigit bibirnya sampai terasa perih. Dia mendengar suara derap langkah kaki memasuki toilet perempuan tempatnya bersembunyi. Niken segera menutup mulut dan mengusap air mata dengan cepat. Dia tak ingin orang lain memergokinya sedang membawa alat tes kehamilan di tangan.
“Ini sangat memalukan dan menakutkan! Meski aku sering mendapat kabar bahwa anak SMA hamil di usia yang sangat muda tanpa pernikahan, tapi aku tak pernah berharap ini akan terjadi padaku. Bagaimana orang lain akan menanggapi jika mereka mendengar kabar ini? Bagaimana teman-temanku akan merespon keberadaanku mulai saat ini?”
Niken mengangkat dan menekuk kakinya di atas dudukan toilet. Dia meringkuk seperti janin sambil memeluk kedua lutut dengan sangat erat. Alat tes kehamilan berwarna putih itu masih tergenggam erat di tangannya yang gemetar.
Sudah hampir dua bulan Niken tidak mendapatkan mesntruasinya. Dia pikir itu hanya akibat dari perubahan hormon remaja. Ketika beberapa teman membicarakan tentang kehamilan anak SMA, itu benar-benar membuat Niken sangat frustasi dan mulai membeli alat tes kehamilan di apotek. Sekarang dia duduk di toilet perempuan sebuah kafe tak jauh dari sekolah.
“Terlebih penting saat ini, bagaimana ibuku akan merespon? Dia pasti sangat-sangat kecewa dan marah jika menyadari aku telah melakukan hal sejauh ini. Aku masih SMA. Tapi, dia ibuku. Dia juga seorang perempuan. Apakah dia akan mengabaikanku? Aku pikir ibu juga mengalami kehamilan di usianya yang ke-16. Aku masih setahun tahun lebih dewasa daripada dia saat mengandungku.”
Niken terus berdebat dengan benak dan pikirannya sendiri.
“Apa pun yang terjadi, aku harus menyampaikan hal ini pada mereka. Aku tak mungkin sanggup menanggungnya seorang diri.”
Ketukan pelan terdengar di pintu toilet tempat Niken bersembunyi. Gadis itu terlonjak dan begitu gugup sampai-sampai dia menjatuhkan alat tes kehamilannya.
Niken cepat-cepat memungut alat tes kehamilan itu dan memasukkannya ke dalam tas dengan kasar. Dia berharap siapa pun orang yang mengantri di depan pintu toilet tidak melihat alat tes kehamilan miliknya. Niken cepat-cepat menyeka air mata, merapikan pakaian yang kusut, dan menyandang tas di bahu.
Setelah menarik napas dalam-dalam, Niken berjalan keluar dan meninggalkan toilet. Tiga orang gadis yang mengantri di depan pintu toilet memandang Niken dengan aneh dan mencibirnya.
“Kau pikir toilet ini milik ibumu? Seharusnya kau tidur di toilet milikmu sendiri, dasar lacur!”
Niken tak menanggapi ejekan itu. Tangannya terlalu gemetar menggenggam tali tas yang tersandang di pundak. Dia berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan.
Andrew sudah menunggu Niken di salah satu meja kafe. Ada banyak siswa dari sekolah Niken yang nongkrong di sana selepas pelajaran. Kali ini Andrew juga datang bersama tiga orang lagi temannya. Niken mengenal mereka sebagai anggota tim basket.
“Hai, Sayang?” sapa Andrew begitu melihat kemunculan Niken. “Kau dari mana saja? Kenapa lama sekali?” Andrew mengulurkan tangan dan melingkarkannya ke pinggang ramping Niken.
Niken sedikit beringsut. Dia tidak nyaman. Kesadaran tiba-tiba membanjiri diri Niken.
“Mungkin saja saat ini bentuk tubuhku mulai berubah? Aku hamil. Ada sebuah janin yang akan tumbuh dan berkembang di dalam perutku,” pikir Niken. Dia tak bisa membayangkan jika pinggangnya akan semakin membesar.
“Andrew,” bisik Niken. “Bisakah kita bicara?” Niken berusaha melirihkan suaranya agar orang-orang yang duduk di meja di sekitar mereka tidak mendengar.
Andrew tiba-tiba menyeringai. Mata cokelatnya terlihat bercahaya. Dia memikirkan hal yang lain ketika Niken membisikkan sesuatu untuk berbicara berdua.
“Tentu saja!”
Niken mendesah. Begitu melihat tatapan nakal Andrew, dia tahu bahwa kekasihnya itu memikirkan hal yang lain ketika Niken mengatakan ingin berbicara berdua saja. Andrew pasti mengira bahwa Niken ingin mengajaknya melakukan hubungan intim seperti biasanya.
Niken berjalan menjauh dan keluar dari cafe. Dia pergi ke parkiran yang lengang. Niken berdiri di sana dengan sangat gemetar dan wajah panik. Dia terus-menerus mencengkeram tas di bahunya tanpa melepas pandangan dari sekitar tempat parkir. Dia harus memastikan tak ada orang yang memperhatikan.
Andrew datang setelah mengikuti Niken. Pemuda itu mendekatkan wajahnya ke pipi Niken dan mendaratkan satu ciuman nakal di tengkuk gadis itu. Andrew bahkan menjepit tubuh Niken ke dinding karena sadar tempat parkir sangat sepi.
Niken sedang tak menginginkan semua itu. Pikirannya sedang kalut. Hidupnya mungkin akan berakhir saat ini juga. Tapi dia tak bisa menyimpan semua rahasia itu sendirian. Dia harus membaginya dengan orang lain, dengan partner yang selama ini dia percaya dan memberikan seluruh cinta padanya, Andrew.
Niken berusaha mengelak dan menepis pelukan Andrew.
Pemuda itu terlihat heran sebab tingkah Niken yang tak biasa. “Ada apa denganmu, sayang?” tanya Andrew. “Apa kau ada masalah?”
Sekali lagi Andrew mencoba mendapatkan Niken dan menggodanya. Dia mendaratkan ciuman panas ke leher gadis itu dan membisikkan kata-kata manis di telinganya.
“Apakah kau menginginkan hubungan yang lebih panas dari kemarin? Aku akan memberikannya padamu hari ini. Bagaimana kalau kita lakukan di rumahku? Orang tuaku sedang tak ada.”
Bibir Niken terkunci. Dia muak dengan kondisinya saat ini tapi juga tak bisa segera mengakui apa yang ada dalam pikirannya. Sekali lagi Niken menggenggam tali tas yang tersandang di bahu dan mengingat alat tes kehamilan yang menari-nari di dalam sana.
Niken mendaratkan kedua tangan di dada Andrew dan menatap pada sepasang mata kecokelatan pemuda itu.
Andrew mulai kesal karena terus mendapatkan penolakan dari Niken. Menurut Andrew, selama beberapa hari ini Niken terlihat berbeda dan sedikit menjauhinya. Andrew mulai kesal dan dia tak suka dengan pengabaian itu.
“Baiklah, Niken, karena sebenarnya aku juga ingin berbicara empat mata denganmu. Kupikir aku mampu menahan diri dan membatalkan rencanaku padamu. Tapi karena kau terus menolakku, maka aku tak bisa menahannya lagi.”
“Apa maksudmu?” Niken tak mengerti dengan arah pembicaraan Andrew.
“Kau telah berubah akhir-akhir ini. Aku ingin putus darimu. Aku sudah tak tahan lagi!” ujar Andrew.
“Apa?” teriak Niken. “Putus? Bagaimana mungkin kau meminta putus dariku? Asal kau tahu, saat ini aku hamil!” Niken pada akhirnya mengaku.
“Apa?” balas Andrew. Dia merasa salah mendengar pernyataan Niken.
Niken terus menatap tajam pada mata Andrew. “Ya, kau mendengarnya! Aku hamil!”
Andrew tertawa ringan dan mengangkat kepala. “Itu pasti bukan milikku!” serunya.
Niken tak percaya mendengar kata-kata penolakan yang begitu kasar dari mulut kekasihnya itu. “Bagaimana mungkin ini bukan bayimu? Aku selalu melakukannya denganmu!”
Niken merogoh tasnya dan menunjukkan dua garis merah keunguan di alat tes kehamilan pada Andrew. “Perhatikan dengan baik-baik. Aku tidak sedang mengerjaimu. Aku mengatakan kebenaran.”
“Benarkah?” Kali ini Andrew menyeringai.
Dia mundur selangkah untuk menghindari Niken. Tiba-tiba pandangan mata Andrew ke arah Niken terlihat seperti menyimpan perasaan jijik.
“Kau memang pelacur kecil. Kau melakukannya dengan orang lain. Karena itu kau berubah. Sekarang setelah mendapatkan akibatnya, kau mendatangiku dan mencoba mengancamku untuk meminta pertanggungjawaban dariku?”
“Apa maksudmu, Bajingan?” balas Niken.
“Aku melihatmu sedang dipeluk dan diraba-raba oleh Damian beberapa hari yang lalu. Aku tidak melihatmu berusaha menghentikannya.” Andrew mendesis tepat di depan wajah Niken.Niken tampak muak. “Damian hanyalah teman bagiku. Kami tak ada hubungan apa-apa. Kadang dia memang bercanda keterlaluan, tapi itu dia lakukan pada hampir semua teman-temannya. Dan aku hanya melakukan hubungan intim denganmu selama ini, hanya denganmu sejak malam kejutan itu!” teriak Niken putus asa.Andrew terdiam dan menatap Niken dengan heran. “Malam kejutan? Cih! Kau bahkan tak datang malam itu padaku! Aku melakukannya dengan gadis lain!”“A-apa maksudmu, Andrew?”“Ya, kita memang melakukannya pada malam-malam berikutnya di rumamu saat ibumu bekerja malam. Tapi, pada malam kejutan dua bulan lalu, kau tak datang dan aku melampiaskan kekesalanku pada gadis lain!”Niken merasa lemas seketika. “Pada gadis lain?” Niken mengulangi kata-kata Andrew. Dia baru menyadari bahwa kekasihnya itu tak benar-benar setia padanya
“Bagaimana kau bisa?” Suara sang Ibu menggantung di udara dan tak selesai. “Bagaimana kau bisa melakukan ini kepadaku? Teganya dirimu, Niken!”Sang Ibu berdiri dari kursi. Dia meletakkan satu tangan di pinggang dan tangan lainnya pada kening yang terasa berdenyut.“Mom,” bisik Niken dengan ketakutan.Dia melihat ibunya mondar-mandir di depan meja makan tanpa bisa Niken hentikan. “Ini hanya sebuah kecelakaan. Kami tak sengaja melakukannya. Ini hanya sebuah kesalahan.”Alasan yang dilontarkan Niken seketika membuat ibunya terhenti. Dia berbalik pada Niken dengan sepasang mata terbuka lebar penuh dengan kemarahan.“Ini bukan kecelakaan! Ini memang kesalahan, ya, kesalahanku karena terlalu percaya dan membebaskanmu. Tapi, ini juga kesalahanmu karena kau tak pernah mendengarkan kata-kataku! Hah, dasar anak brengsek! Untuk apa aku membesarkan dan melahirkanmu dengan susah payah? Untuk apa aku mempertahankan kehidupanmu hingga harus bekerja membanting tulang sekeras ini? Dan sekarang kau men
Beberapa minggu kemudian, Niken sudah meninggalkan kota kecil tempat dia dan ibunya tinggal selama ini. Tak ada apa pun yang bisa dia bawa selain pakaian yang melekat di tubuh dan janin yang ada di dalam rahimnya.Bulan itu sudah mendekati akhir musim gugur. Niken berkelana dari satu kota ke kota yang lain. Dia hanya akan tinggal di satu tempat tak lebih dari tiga hari. Dia benar-benar menjauhi kota tempat ibu dan teman-temannya tinggal. Dia tak ingin dikenali oleh siapa pun.“Aku sekarang resmi menjadi seorang tunawisma dan remaja yang sedang hamil,” gumam Niken ketika meringkuk di salah satu emperan toko yang sudah tutup.Dia tidak tahu sedang berada di mana saat ini. Dia baru saja melintasi negara bagian yang masih ada banyak hutan di sana. Dia menumpang truk pengangkut bahan pokok hingga tiba di rest area.Setelah mengucapkan terima kasih pada sang sopir truk, Niken berpura-pura masuk ke dalam swalayan tak jauh dari tempat pengisian bahan bakar. Niken membeli air mineral dan beber
Niken berusaha melarikan diri secepat kakinya bisa melangkah.“Aku tak ingin terlibat dengan masalah apa pun. Aku tak melihat mereka. Aku harus pergi dari sini.”Niken terlalu kehilangan banyak energi hari itu karena terlalu sering mual dan muntah. Dia bahkan belum memakan roti dan air yang baru dia beli dari minimarket. Ketika dia pikir dirinya benar-benar menjauh dan menuju ke jalan raya untuk mencari pertolongan, tiba-tiba seorang pria sudah mengadangnya dengan belati teracung di tangan.“Hai, gadis kecil!” ujar pria itu sambil membawa belati yang masih dilumuri darah. “Apa yang kau lakukan sendirian di sini malam-malam begini?”Niken hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. Mereka memang berada di area yang gelap tanpa penerangan. Tapi, beberapa pantulan lampu dari kendaraan yang lewat cukup untuk Niken bisa melihat bahwa belati itu memang dilumuri darah.Dia sangat ketakutan dan tidak tahu harus berkata apa. Saat ini hanya kejujuran yang bisa dia lakukan. Niken berharap
Niken tersentak sadar seolah-olah terbangun dari mimpi yang panjang ketika membuka mata. Niken merasakan tubuhnya sakit di semua bagian. Bahkan tangannya tak bisa bebas digerakkan. Niken melirik pada tangannya yang terasa berdenyut.“Di mana aku?” pikir Niken sambil berusaha duduk tegak.“Anda sudah bangun, Nona? Anda bisa mendengar suara saya?” Seorang perawat tiba-tiba mendekat dan memeriksa denyut nadi Niken serta pupil di kedua matanya.Niken merasa waspada dan ketakutan. Dia tepis tangan sang perawat dan beringsut menjauh. “Katakan di mana aku? Apa yang terjadi padaku? Dan serigala itu? Lalu bagaimana dengan dua pria di rest area?”Gambaran potongan-potongan kulit dan daging yang dikoyak serigala besar seketika membuat Niken mual. Dia masih bisa melihat dengan jelas wajah kesakitan pria yang menodongkan belati padanya mati diterkam serigala.Sang perawat berusaha tenang saat mendengar pernyataan Niken yang melompat-lompat dan sangat tidak jelas. Sang perawat maklum dengan kondisi
Niken muak mendengar bisikan dan nada bicara pria asing yang tak dikenalnya itu. Dia juga muak pada tatapannya yang merendahkan dan melecehkan. Niken muak pada semua laki-laki yang hanya menginginkan tubuhnya.Tanpa sadar, Niken sudah mendorong pria itu hingga hampir terpelanting jatuh dari anak tangga. Stasiun bawah tanah dalam keadaan sepi. Niken panik. Dia hampir menjerit ketika menyadari perbuatannya bisa mengakibatkan pria itu cedera jika dia benar-benar jatuh dari tangga.Untungnya pria itu segera mengendalikan diri. Dia tak sampai menggelinding ke dasar tangga yang mungkin akan membuat tulangnya patah. Hanya biola pria itu yang terjatuh dan dia sangat marah. pria itu segera bangkit untuk mengambil biolanya dan menuju ke arah Niken yang masih mematung dengan wajah pucat.“Pelacur cilik sialan!” umpat pria itu. “Kau sudah merusak biolaku satu-satunya. Kau harus bertanggung jawab. Tak peduli apa pun yang terjadi kau harus membayarnya dengan tubuhmu malam ini.”Sambil memegang biol
“Nona, ini aku!” tegur Axel yang sudah berdiri di ujung gang sambil memasang wajah khawatir.“Jauhi aku!” teriak Niken. “Jangan mendekat! Aku akan berteriak jika kau melakukan sesuatu yang buruk padaku. Aku tahu sejak awal bahwa kau tak benar-benar tulus menolongku. Tak ada manusia yang benar-benar baik di dunia ini.”Niken terengah-engah.“Itu kusadari setelah aku menjadi gelandangan,” pikir Niken kemudian.“Tunggu, Nona. Kau pasti salah paham padaku. Aku tak bermaksud menyakiti atau ingin mengambil keuntungan darimu. Tapi, ya, aku memang mengikutimu dengan satu alasan.”“Apa yang kau inginkan dariku? Aku tak memiliki apa pun, Tuan. Aku bahkan tak memiliki sepeser pun uang untuk makan. Aku tak mampu. Aku tak memiliki apa-apa. Jika yang kau inginkan adalah tubuhku, kupastikan sebelum membuat keputusan itu, kau akan menyesal.”Suara Niken bergetar lirih. Dia benar-benar ketakutan. Sekuat tenaga dia menahan air mata agar tak tumpah. Niken sampai harus berpegangan ke dinding di antara du
Niken tak punya pilihan dan dia menerima ajakan Axel untuk makan malam. Mereka duduk berhadapan di salah satu bangku dengan pemandangan sungai yang indah di malam hari. Niken merasa sedikit aman karena tak sendirian. Ada beberapa orang lain lagi yang juga duduk menikmati pemandangan sungai di malam hari.Sudut mata Niken terus waspada memperhatikan sekitar. Dia mendapati dua pria berpakaian serba hitam yang sebelumnya membuat Niken pingsan karena ketakutan. Mereka berdiri tak jauh dari tempat Axel berada.“Siapa mereka?” tanya Niken. “Tukang pukulmu?”“Mereka hanya asistenku,” ujar Axel dengan tenang. Dia buka kantung makanan dan menyerahkan roti lapis kepada Niken. “Maaf jika mereka membuatmu ketakutan sebelumnya.”Niken menggeretakkan rahang. Dia masih mengingat jelas bagaimana dua pria menodongkan belati padanya di rest area karena menyaksikan sebuah pembunuhan. Saat ini, kedua asisten Axel juga mengingatkan Niken pada kedua penjahat itu.“Kau tak bisa menipuku, Tuan Marais. Kataka
Di antara desahan napas mereka yang saling memburu, Axel membisikkan sesuatu ke telinga Niken. “Menikahlah denganku, Niken. Jadilah istriku. Jadilah ibu dari putri dan calon anak-anak kita nanti. Menikahlah denganku, cintaku…” *** Beberapa bulan setelah malam tersebut. Seorang perempuan paruh baya tengah membersihkan meja restoran usai pelanggan terakhir pergi. Wajahnya tampak lelah. Tapi dia masih begitu semangat bekerja. Pintu terbuka. “Maaf kami sudah tutup!” ujar pekerja restoran tersebut tanpa menoleh dan tetap mengelap meja. Seorang gadis kecil berusia tiga tahun yang sangat cantik dan menggemaskan berjalan mendekatinya. Perempuan itu menghentikan aktivitasnya mengelap meja. Dia kaget sekaligus terpukau dengan kecantikan gadis itu. “Hai, Nak! Kau datang dengan orang tuamu?” Perempuan itu menoleh ke pintu dan tidak melihat siapa pun. Dia pun berlutut di depan balita itu untuk menyejajarkan posisinya. “Kau datang sendirian? Siapa namamu? Restoran kami sudah tutup. Apa k
Niken berhasil meloloskan diri dari pelukan Axel tanpa menjatuhkan harga dirinya. Dia mengembuskan napas lega usai mengusir pria itu. Tidak lagi terdengar suara Axel yang berteriak maupun mengetuk pintu. Niken kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas merawat Angelie. Beberapa jam kemudian, Niken pun menuju ke pintu depan dan membukanya. Dia mengintip ke halaman dan tidak melihat Axel di mana pun. Ada rasa penyesalan sekaligus kehilangan di dalam hati kecilnya. Tapi Niken berusaha menepis semua kekhawatiran itu dan kembali fokus pada kehidupannya saat ini. Saat Niken akan menutup kembali pintu, sudut matanya menangkap sekelebat gerakan yang mengganggunya. Nikah pun keluar dan berjalan menuju ke halaman samping. Dia terkejut ketika melihat Axel tengah berbaring meringkuk di ayunan. “Astaga, apa yang sedang dia lakukan di sana? Benar-benar keras kepala. Kenapa dia tidak juga pergi dari sini?” Niken pun kembali kesal dan membanting pintu hingga menutup rapat. Niken p
Axel kembali ke rumah pantai dan berlari dengan tergopoh-gopoh. Dia membuka pintu rumah yang tidak terkunci dan berteriak memanggil nama Niken. “Niken! Niken Di mana kau?” Axel tidak menemukan Niken di manapun. “Angelie? Ini papa!” Axel pun berlari menuju ke lantai dua. “Angelie? Kalian di mana? Niken?” Rumah itu benar-benar kosong. Axel tidak menemukan Niken dan putrinya di mana pun. Axel nekat pergi ke kamar Niken. Tempat itu juga kosong. Dia mencari ke ruangan yang lain dan melihat sebuah kamar bayi. Langkah Axel melambat begitu melihat banyak sekali perlengkapan bayi di sana. Axel berlutut di depan ranjang bayi. Dia mengambil salah satu sepatu rajut kecil milik putrinya dan menciumnya dengan air mata berderai. “Di mana kalian berada? Apa sesuatu yang buruk menimpa Angelie? Ke mana aku harus mencari kalian?” Axel tidak tahu lagi harus ke mana. Dia pun kembali keluar dan berdiri di halaman rumah dengan gelisah. Dia letakkan tas ranselnya ke tanah dan berdiri di sana sepert
Niken berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama dengan putri kecilnya. Dia meletakkan Angelie di dalam stroller. Niken terus bercerita sambil menunjukkan banyak hal kepada Angelie. “Maafkan mama, Angelie. Saat seperti ini, aku benar-benar menyesal pada diriku sendiri karena tidak bisa memberikanmu seorang ayah yang bisa kau banggakan di hadapan teman-temanmu kelak.” Niken berlutut di depan stroller sambil menatap sepasang mata bening bayi itu. Angelie tersenyum ceria sambil sesekali memasukkan tangannya ke mulut. Niken mengulurkan telunjuknya untuk membelai pipi Angelie. Bayi kecil itu pun meraih jari Niken dan menggenggamnya erat. “Aku benar-benar merindukan Mama di saat seperti ini. Apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia sehat di sana? Betapa berat rasanya harus membesarkan seorang anak sendirian tanpa didukung oleh suami dan keluarga. Kini, aku tahu betapa marahnya Mama malam itu, ketika tahu aku sedang hamil. Aku bisa mengerti jika dia mengusirku dari rumah. Aku benar-benar la
Niken pulang ke rumahnya yang sepi dan gelap. Tempat pertama yang dia tujuh adalah bekas kamar Axel. Dia buka pintu kamar itu dengan pelan. Di dalam hati kecilnya, Niken berharap ada keajaiban. “Apa yang sedang aku lakukan di sini? Mustahil dia tiba-tiba muncul di sini, kan? Aku bahkan tidak tahu di mana dia saat ini. Setelah kutolak lamarannya, dia pergi begitu saja meninggalkan segalanya.” Niken akan menutup kembali pintu kamar Axel yang kosong. Lalu tatapannya terhenti pada potret Axel berukuran besar dan masih terpasang di dinding. Axel bertelanjang dada dan berpose dengan begitu memikat dalam foto itu. “Hanya foto itu satu-satunya yang masih tertinggal.” Niken mengingat betapa Axel sangat membanggakan foto itu. Saat itulah Niken benar-benar mulai merasakan kesepian. Dia menepis kenangan manis tentang Axel dan lekas menutup kembali pintu kamarnya. Niken pun bergegas menuju ke kamar Angelie. Gadis kecil itu satu-satunya pelipur kesepian Niken saat ini. *** Louis pergi ke pa
Enam bulan kemudian… “Kau tidak perlu membawakanku bunga dan mainan untuk Angelie setiap kali berkunjung ke sini, Louis.” Niken mempersilakan Louis masuk ke rumah pantai yang kini menjadi miliknya. Louis duduk di ruang tamu. Dia menatap ke arah stroller bayi tempat di mana Niken meletakkan Angelie yang sedang tidur lelap di sana. “Kau sepertinya suka bunga. Dan aku juga sama sekali tidak keberatan jika harus membelikan lebih banyak mainan untuk Angelie. Lihatlah dia tidur dengan sangat lelap. Gadis kecil ini tumbuh begitu cepat.” Niken membawakan minuman untuk Louis. “Maaf jika rumah ini berantakan. Karena aku benar-benar harus mengerjakan semuanya sendiri termasuk mengurus Angelie.” “Kau selalu menolak tawaranku untuk memberikan Angelie pengasuh.” “Tidak apa Louis. Aku tidak ingin kehilangan momen berharga menemani masa-masa pertumbuhan emas putriku.” “Oh, aku datang ke sini untuk mengabarkan padamu bahwa kami sudah memilih sutradara untuk film yang akan kita produksi.” “Ben
Sang pengacara membacakan isi surat wasiat yang kedua. “Tuan Marais mengatakan bahwa Tuan Axel bisa memilih antara surat wasiat pertama atau kedua. Tuan Axel juga bisa menolak perjodohan dengan Nona Clarissa Jordan. Tapi, dia harus bisa menemukan jodoh lain yang telah ditentukan untuknya pada surat wasiat yang kedua.” “Apa?” Celine dan Louis benar-benar terkejut. “Apa maksudmu dengan jodoh lain yang sudah ditentukan? Berapa jodoh yang ditakdirkan untuk Axel?” “Tuan Axel ditakdirkan menjadi pasangan dari dua orang gadis. Gadis pertama memang Nona Clarissa Jordan. Gadis yang kedua adalah putri dari perempuan yang pernah dicintai oleh Tuan Marais.” “Omong kosong!” teriak Celine. Sang pengacara pun menceritakan semuanya pada Celine dan juga Louis dengan disaksikan oleh Carlos. “Tuan Marais memiliki cinta pertama dari kalangan manusia. Tepat sebelum dia menikah dengan ibunya Axel. Karena perempuan ini dari ras manusia, maka Tuan Marais tidak bisa melanjutkan hubungannya. Dia pun memi
Celine dan Louis sudah menunggu di kantor notaris yang ditunjuk oleh Tuan Marais. Mereka berkumpul di sana untuk mendengarkan pembacaan surat wasiat oleh pengacara. “Kenapa tidak kita mulai saja?” ujar Celine. “Kami sudah menunggu cukup lama di sini.” Sang notaris berdeham. Beberapa kali dia melirik ke arah pintu dan juga jam tangan. “Tuan Axel belum datang. Saya tidak bisa membacakan surat wasiat ini jika seluruh anggota yang berkepentingan belum hadir.” “Dia tidak akan datang,” seru Louis. “Dia sudah menyerah dan sadar posisinya tidak akan mampu mendapatkan kepemimpinan di perusahaan. Axel sudah gagal memenuhi surat wasiatnya.” Seseorang membuka pintu. Semua yang ada di dalam ruangan sang notaris terkejut. Mereka pikir yang datang adalah Axel. Begitu melihat Carlos yang masuk ke ruangan tersebut, mereka pun mengembuskan napas lega kecuali sang notaris. “Di mana Tuan Axel?” tanya sang notaris. “Tuan Axel sedang dalam perjalanan ke sini. Bukankah batas waktu pemenuhan surat wa
Sebulan pun berlalu usai terbongkarnya status pernikahan kontrak Niken dan Axel. Selama itu pula pemberitaan di media semakin kuat menerpa. Beragam gosip dan fitnah terus bermunculan. Kondisi perusahaan di bawah kepemimpinan Axel semakin menghadapi guncangan. Kerugian terus-menerus terjadi. Proyek-proyek lain yang dipegang oleh Axel pun semakin berguguran dan ditinggalkan oleh para investornya. Perusahaan manajemen artisnya pun mulai ditinggalkan. Pagi itu, Niken terbangun dengan perasaan yang begitu kesepian dan tidak nyaman. Semalaman, dia sibuk mempersiapkan seluruh perlengkapan untuk persalinan. “Seharusnya aku akan melahirkan tepat di hari ulang tahunku yang ke-18. Tapi, belum ada tanda-tanda kontraksai sampai saat ini.” Dan di hari itu pula, masa depan Axel akan ditentukan. Surat wasiat sang ayah jatuh tempo pada hari itu. Axel akan mewarisi seluruh perusahaan Marais atau sebaliknya, dia akan dikeluarkan dari perusahaan dan posisinya digantikan oleh Louis. Niken keluar dari