"Saat makan malam selesai, kalian harus balik ke kamar, tidak ada yang berkeliaran. Jika aku melihat salah satu di antara kalian keluar pada jam yang telah ditentukan, siap-siap menerima hukuman." Ucapan Mia seolah perintah mutlak yang tidak bisa dibantah. Mereka semua diam, mendengarkan, dilarang membuat satu patah kata karena itu sama saja dengan membantah, Mia tidak akan suka, dan seketika memberi hukuman yang berat. Keira menatap sisa makanan pada nampan, nafsu makannya hilang, bahkan sejak tadi dia hanya memaksa dirinya untuk menyantap makanan agar Mia yang berpatroli dan memantau para pembantu, tidak akan curiga dan melaporkannya kepada keluarga Grant, terutama Cullen. Bahaya kalau sampai hal itu terjadi. Kepalanya sejak tadi pusing memikirkan cara untuk keluar dari kamar nantinya, tanpa ketahuan oleh siapa pun. Sebab apa pun yang terjadi, Keira perlu ke ruang bawah tanah malam ini juga, dia tidak bisa menunda lagi, juga merupakan kesempatan baik karena anggota keluarga Gran
Kelopak matanya mengerjap-ngerjap, pengelihatan buram, kepalanya berdenyut pelan. Keira berusaha mengumpulkan kesadaran, pipinya menekan lantai yang dingin. Saat pengelihatan mulai membaik, dia berkedip pelan, memandang dua orang yang berjarak beberapa langkah darinya, sedang berlutut dengan tampilan yang babak belur. Dengan rasa sakit kepala yang belum reda, Keira bangkit dan memandang sekeliling, menyadari bahwa dia berada di ruangan Cullen. Pandangan kembali kepada dua orang tersebut, salah satunya adalah bawahan yang ditemani Cullen ke ruang bawah tanah, dan di sebelahnya, yaitu Dion yang menunduk, darah tak henti menetes dari dagunya. Saat kakinya berdiri terhuyung, hendak melangkah, langkah Keira dihentikan oleh suara langkah kaki yang berderap di belakangnya. "Kau sudah bangun?" Suara Cullen bertanya malas, menggema menyebalkan di telinganya. Keira menoleh, menatap dengan kerutan samar di wajahnya. "Apa yang kau lakukan?" Tatapan Cullen berubah, pandangan semakin gelap. "
Ciuman terlepas saat Keira menarik diri lebih dulu, napasnya tersenggal, memasok banyak udara. Punggung tangannya mengusap bibir yang basah, keinginan untuk menampar Cullen begitu kuat, ingin rasanya Keira mencakar wajah yang memasang raut puas tersebut. Namun, sekali lagi, Keira merasakan efek dari Cullen yang menekan, dan membuat tangannya tak bisa bergerak untuk menamparnya. Raut wajahnya berkerut tidak suka, matanya memandang seolah ingin membakarnya. "Ternyata lebih bagus seperti ini," ujar Cullen, menarik tangannya dan menyeretnya memasuki kamar. "He! Lepaskan," Keira yang tidak terima memberontak, tetapi cengkraman Cullen pada pergelangan tangannya begitu erat, kakinya terseok-seok mengikuti langkah kakinya yang panjang. "Jangan memerintahku." "Kalau begitu jangan memaksaku sesuka hatimu juga." Cullen kemudian mendorong tubuhnya masuk ke kamar, tangannya berpindah memegang knop pintu, senyum sinis tersungging di bibirnya. "Ingat, kau bukan siapa-siapa di sini, Keira," ta
Seminggu berlalu sejak pagi itu, perkataan Cullen masih segar dalam ingatannya, tetapi sudah hampir memasuki hari kedelapan, Keira belum menerima kabar lagi darinya. Cullen melakukan perjalan ke luar negeri tiga hari lalu, menyisakan Keira yang uring-uringan dengan ucapannya.Apakah sungguh Cullen akan mempertemukannya dengan ayahnya atau itu hanya omong kosong? Namun ucapan Cullen yang menyuruhnya berhenti mencuci itu sungguhan, disampaikan langsung oleh Mia di hadapan semua pembantu. Keira tidak mempunyai kewajiban lagi mencuci sekeranjang pakaian yang membuat tangannya memerah. Meski begitu, rasanya begitu tersiksa tidak melakukan sesuatu. Hari-harinya menjadi sangat membosankan, terkadang ke perpustakaan, berjalan-jalan di taman, atau sekadar mencuci mata pada ladang buah yang berbuah lebat dan ranum. "Dia sebenarnya siapa?" "Entah, dia satu-satunya pembantu yang menerima perlakuan spesial dari keluarga Grant." "Bukankah dari awal dia memang tidak pernah menceritakan asal-usu
Cullen memasuki ruangannya, tidak perlu menoleh untuk tahu jejak kaki yang mengikutinya dari belakang. Langkahnya lurus ke meja kerja, lalu menoleh memandang Mia yang otomatis menghentikan langkah. Dia mendengus samar, menarik kursinya, dan duduk, kakinya terangkat ke meja. Tangannya bergerak memberi perintah kepada Mia untuk berbicara. "Maaf Tuan bersikap lancang, saya ke sini untuk–" "Membicarakan kerabatmu?" suaranya memotong cepat, Cullen tersenyum, senyum yang tidak menyentuh matanya. Mia terdiam sejenak. "Saya tahu dia melakukan–""Aku sudah memperingatinya agar menjauh dari Keira, tapi dia tetap berani menyentuhnya, kan? Apa kau pikir aku sebaik itu memberinya pengampunan?" Cullen berujar rendah, matanya berkilat dipenuhi amarah. "Saya tidak bermaksud membela Nia, Tuan. Maaf sekali lagi atas kelancangan saya, tapi jika melihat kasusnya, ini bukan sepenuhnya kesalahan Nia, Keira juga bersalah," Mia meskipun takut, tidak gentar untuk mengeluarkan pendapatnya. Kening Cullen
Keira menoleh pada Cullen yang duduk di sampingnya, matanya memandang sebal. Yang benar saja, mereka berdua duduk di kursi yang dibawa oleh salah satu bawahan lalu pamit pergi, menyisakan mereka bertiga. Hal yang membuatnya kesal sekaligus marah karena Cullen menyuruh dirinya duduk bersamanya, sedangkan ayahnya berlutut di depan mereka. Hatinya terenyuh melihat tampilan ayahnya yang tidak berdaya, Keira bahkan baru dapat memperhatikan dengan jelas jika mata sang ayah sipit sebelah, mata sebelah kiri hampir tertutup, dihiasi oleh luka lebam."Duduk Keira." Suara Cullen berujar dingin, penuh perintah setiap kali Keira mencoba untuk turun dan duduk di lantai bersama ayahnya. Keira pun tidak bisa tidak menuruti sebab Cullen memegang lengannya kuat, menahan agar tetap di tempat. "Sekarang, Alan Hale, bisakah kau menceritakan dosa masa lalumu kepada putrimu?" Tubuh ayahnya sejak tadi tegang, bingung dan tidak tahu harus memulai dari mana. Kisahnya begitu kejam, orang yang mendengarnya p
Matanya terbuka perlahan, Keira memandang ruangan yang tidak asing baginya. Bagian belakang kepalanya berdenyut pelan, beberapa detik kemudian, dia baru tersadar bahwa dirinya sudah berada selama tiga hari di kamar Cullen. Sejak malam itu, ketika dirinya pingsan, Cullen membawanya ke kamar ini. Keira mengalami demam selama dua hari, dan baru sore ini, dia merasa sedikit baikan. Dia sudah terlalu lama berada di ranjang, mengubur dirinya di dalam kasur empuk. Pikirannya berkelana, terus memikirkan perkataan ayahnya yang seperti menekan dirinya. Kenapa? kenapa ayahnya begitu jahat? membantai orang lain, hanya karena tidak ingin kalah dalam persaingan bisnis, kenapa ayahnya tega melakukan hal keji? Semakin memikirkannya, semakin menyebabkan kepalanya berdenyut sakit, air matanya menetes, panas di pipinya. Tangannya mencengkram selimut erat, menahan isakan. "Kau sudah bangun?" Keira mengigit bibirnya saat mendengar pintu terbuka, diikuti oleh suara Cullen yang bertanya pel
"Bagaimana keadaanmu?" Matanya yang semula terpejam, perlahan terbuka, Keira mengerjap pelan, memandang Amanda yang datang untuk memeriksanya siang ini. Sudah seminggu berlalu pasca Amanda berhasil menyelamatkan nyawa Keira yang hampir tidak terselamatkan. Seumur hidup bekerja pada keluarga Grant, baru pertama kali Amanda berjuang begitu keras, bahkan sedikit menangis saat dirinya berhasil, meski sebenarnya Keira terbilang mustahil untuk ditolong. Dengan Keira yang masih hidup, tanpa mengalami kecacatan di dalam organ dalamnya, Amanda menyebut hal itu sebagai keajaiban. "Baik," Keira menjawab setelah terdiam, dan hanya memandang selama beberapa menit, kemudian mengalihkan pandangan. Mengabaikan Amanda yang kembali mengecek keadannya. Keira sudah seperti boneka yang tidak bergerak, matanya tak berkedip menatap dinding putih kosong. "Kau harus rajin makan dan perbanyak minum air putih, yang paling penting, jangan pernah melewati jadwal minum obat. Aku akan kembali nanti
Saat berada di luar ruangan, penjahat itu berhenti, cengkaramannya semakin mengencang. Sebelah tangannya bergerak, menempelkan ujung pistol di pelipis Keira, mulai menekan pelatuk. Keira yang tidak bisa melawan, mulai memikirkan segala kejadian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lebih tepatnya mengenang kehidupan sebelum berakhir di tangan penjahat tersebut. Dalam hidupnya, Keira belum pernah mencapai sesuatu yang betul-betul diimpikan. Dia menjalani kehidupan dengan sangat datar, tanpa ambisi, dan cita-cita. Mungkin inilah hukuman untuk seseorang yang tidak pernah menikmati kehidupan dengan semestinya. "Terimalah kematianmu," bisik penjahat tersebut. "Eh?" Matanya membulat, terkejut. "Samuel?" "Huh?" Cengkraman pada lehernya mengendur, Keira menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menjauh dan berbalik, memandangnya dengan keterkejutan yang masih sama. "Kau Samuel, kan?" "Huh?!""Tidak perlu berbohong, aku tahu itu kau," tangan Keira bergerak hendak menarik topeng, tapi pria
"Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Keira. Kau menghilang setelah hari kelulusan, bahkan chatku saja tidak dibalas. Kau ke mana selama ini?"Mereka kini berada di ruangan tanpa pintu tempat penyimpanan barang cadangan. Keira berdiri di depan Evan, memandangnya. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, oiya Evan merupakan teman kampus Keira, mereka dulunya satu jurusan dan sering berada di kelas yang sama. Evan adalah pria yang pernah Keira pikirkan sebagai pilihan untuk kabur. Ya, dia pria yang memliki kapal pesiar yang berlabuh mengelilingi dunia. Termasuk dari keluarga kaya raya di dunia. Dia pria tampan berambut pirang, yang baik hati dan sering menolongnya dahulu. Bahkan saat status Keira hanyalah mahasiswa yang mendapatkan bantuan dari sekolah dulunya. Alan sangat tidak ingin jika seseorang mengetahui siapa Keira sebenarnya, maka dari itu, sepanjang hidupnya Keira lebih banyak menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Di kampusnya dia dikenal sebagai gadis miskin ta
Nia memasuki ruangan Cullen dengan setengah hati, ada rasa gugup, takut, sekaligus kesal melihat bagaimana Keira dapat menghindari hukuman begitu mudah. Meski Nia tahu bahwa wanita itu bukan seorang pembantu sepertinya, tapi seharusnya diberi hukuman juga, kan? Keluarga Grant yang dia tahu adalah keluarga yang tidak segan menghukum seseorang yang melakukan keributan atau bertengkar di mansion. Namun di sinilah Nia sekarang, berdiri sembari menahan getaran di kaki, menunduk saat Cullen melayangkan tatapan membunuh ke arahnya. Tatapan Cullen saja sudah seperti hukuman. Nia merasa seolah tatapan itu menembus ke dalam jiwa dan merobeknya secara perlahan. Dia sangat tersiksa hingga menimbulkan sesak di dadanya. Hukuman apa yang akan Nia terima? Selama berada di mansion, dia sudah berapa kali dihukum dan dapat dibilang sudah terbiasa, maka dari itu, dia menenangkan diri dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja saat waktu berlalu nantinya. "Anda memanggil saya Tuan?" Pintu terbuk
Keesokan harinya, Keira berjalan-jalan di sekitar halaman belakang mansion. Sejak tadi malam, pikirannya dipenuhi oleh perkataan Cullen dan isi diary serta surat yang ditinggalkan ayahnya. Jika menggunakan pemikiran jangka pendek, semuanya tampak tidak masuk akal, seolah hanya sesuatu yang dibuat-buat untuk mendramatisi kematian ayahnya. Namun jika memikirkannya secara jangka panjang, segala sesuatu memang saling terhubung. Kemungkinan besar ada sosok dibalik kejadian kejam masa lalu Alan, yang membuat ayahnya melakukan sesuatu keji dan tak bermoral. Dan saat waktunya tiba, ayahnya sengaja bunuh diri, dan mengungkap seperti teka-teki agar mereka yang mendapatkan suratnya dapat menyelidiki setelah kematiannya. "Keira." Langkahnya terhenti, Keira segera menoleh menemukan Lily dan Daya berdiri tak jauh darinya. Mereka berdua memegang keranjang kosong, sepertinya telah selesai menjemur pakaian. Lily maju selangkah, gugup ingin berbicara dengan Keira setelah saling mendiami selama be
Keira menatap keluar jendela, rintik-rintik hujan mengentuk atap saat mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Pandangannya kosong, juga pikirannya yang sudah terlalu penuh sebab memikirkan semuanya. Cobaan hidupnya sangat berat, rumit, dimulai dari ibunya yang meninggal saat melahirkannya, membuatnya tumbuh dan besar tanpa pernah merasakan kasih sayang. Hidup bersama sang ayah yang kadang bersikap kejam dan dingin padanya, sering meninggalkan Keira yang kesepian. Jika Keira protes atau melampiaskan kekesalan sekali saja, maka Alan tak akan segan memberi hukuman. Seperti mengurung Keira di gudang yang gelap gulita dan hanya sedikit sirkulasi udara, atau membawanya ke hutan dan meninggalkannya sendiri, Keira harus berjuang agar keluar dari hutan sebelum malam hari. Pokoknya hidupnya tidak lurus dan sempurna seperti kata orang-orang, Keira banyak mengalami kesulitan terutama saat beranjak remaja. Meski begitu, terlepas dari sikap buruk Alan, Keira dapat tumbuh sebagai sosok anak perempu
Selama menjalani perawatan, Keira berada di kamar Cullen, lebih tepat dikurung, pintu hanya terbuka jika Amanda datang untuk memeriksa atau Mia yang datang membawa makanan. Kamar tersebut dirancang seketat mungkin. Jendelanya diberi trali besi, sejenis cairan sabun atau sampo berbahaya dihilangkan. Kini rak kamar mandi Cullen hanya dipenuhi oleh sejenis sabun mandi bayi yang aman jika tertelan. Sejak berada di kamar tersebut, Clara hanya bisa berbaring, memandang kosong ke arah langit-langit. Dia kembali lagi dalam model boneka, terlihat tak bernyawa dan begitu hampa. Untuk sementara waktu, Clara mencoba tidak memikirkan apa pun. Menjerihkan pikiran, terlalu banyak berpikir juga membuatnya lelah, dan merasakan energinya terbuang habis. Saat kesadaran hampir hilang, pintu yang terbuka membuat matanya terbuka. Keira bangkit dari posisi tidur saat mengenali suara langkah tersebut, yang mengetuk lantai keras dan terburu-buru. Cullen datang. "Bagaimana keadaanmu?" Tanyanya blak-blaka
"Bagaimana keadaanmu?" Matanya yang semula terpejam, perlahan terbuka, Keira mengerjap pelan, memandang Amanda yang datang untuk memeriksanya siang ini. Sudah seminggu berlalu pasca Amanda berhasil menyelamatkan nyawa Keira yang hampir tidak terselamatkan. Seumur hidup bekerja pada keluarga Grant, baru pertama kali Amanda berjuang begitu keras, bahkan sedikit menangis saat dirinya berhasil, meski sebenarnya Keira terbilang mustahil untuk ditolong. Dengan Keira yang masih hidup, tanpa mengalami kecacatan di dalam organ dalamnya, Amanda menyebut hal itu sebagai keajaiban. "Baik," Keira menjawab setelah terdiam, dan hanya memandang selama beberapa menit, kemudian mengalihkan pandangan. Mengabaikan Amanda yang kembali mengecek keadannya. Keira sudah seperti boneka yang tidak bergerak, matanya tak berkedip menatap dinding putih kosong. "Kau harus rajin makan dan perbanyak minum air putih, yang paling penting, jangan pernah melewati jadwal minum obat. Aku akan kembali nanti
Matanya terbuka perlahan, Keira memandang ruangan yang tidak asing baginya. Bagian belakang kepalanya berdenyut pelan, beberapa detik kemudian, dia baru tersadar bahwa dirinya sudah berada selama tiga hari di kamar Cullen. Sejak malam itu, ketika dirinya pingsan, Cullen membawanya ke kamar ini. Keira mengalami demam selama dua hari, dan baru sore ini, dia merasa sedikit baikan. Dia sudah terlalu lama berada di ranjang, mengubur dirinya di dalam kasur empuk. Pikirannya berkelana, terus memikirkan perkataan ayahnya yang seperti menekan dirinya. Kenapa? kenapa ayahnya begitu jahat? membantai orang lain, hanya karena tidak ingin kalah dalam persaingan bisnis, kenapa ayahnya tega melakukan hal keji? Semakin memikirkannya, semakin menyebabkan kepalanya berdenyut sakit, air matanya menetes, panas di pipinya. Tangannya mencengkram selimut erat, menahan isakan. "Kau sudah bangun?" Keira mengigit bibirnya saat mendengar pintu terbuka, diikuti oleh suara Cullen yang bertanya pel
Keira menoleh pada Cullen yang duduk di sampingnya, matanya memandang sebal. Yang benar saja, mereka berdua duduk di kursi yang dibawa oleh salah satu bawahan lalu pamit pergi, menyisakan mereka bertiga. Hal yang membuatnya kesal sekaligus marah karena Cullen menyuruh dirinya duduk bersamanya, sedangkan ayahnya berlutut di depan mereka. Hatinya terenyuh melihat tampilan ayahnya yang tidak berdaya, Keira bahkan baru dapat memperhatikan dengan jelas jika mata sang ayah sipit sebelah, mata sebelah kiri hampir tertutup, dihiasi oleh luka lebam."Duduk Keira." Suara Cullen berujar dingin, penuh perintah setiap kali Keira mencoba untuk turun dan duduk di lantai bersama ayahnya. Keira pun tidak bisa tidak menuruti sebab Cullen memegang lengannya kuat, menahan agar tetap di tempat. "Sekarang, Alan Hale, bisakah kau menceritakan dosa masa lalumu kepada putrimu?" Tubuh ayahnya sejak tadi tegang, bingung dan tidak tahu harus memulai dari mana. Kisahnya begitu kejam, orang yang mendengarnya p