Lisa turun dari ojek online yang ditumpanginya, dia bergegas menuju lobi apartemen yang ditempati Nuning. Setelah melewati pintu pemeriksaan yang dijaga ketat, dengan langkah yang cepat dan terburu-buru, Lisa memasuki lift. Sesampainya di depan pintu apartemen, ia memencet bel. Namun, setelah menunggu beberapa menit tak ada tanggapan sama sekali. Lisa memencet bel berulang kali, tapi masih juga tidak ada tanggapan. Iapun yakin sedang tidak ada orang di dalam. Mengambil ponselnya, Lisa menelepon Bona untuk meminta nomor telepon Nuning. Namun, si asisten pribadi seniornya itu tidak mengangkat teleponnya, membuat Lisa semakin gelisah. "Molor kali dia ya? Mas Bona kan lagi demam, mungkin habis minum obat flu, jadinya teler dan ngantuk berat. Ck! Beneran, pasti ini Mas Bona lagi molor," gerutunya sambil menghentikan panggilan teleponnya. "Ah, iya!" Mata Lisa berbinar-binar ketika dia teringat sesuatu. Ia merogoh isi tasnya, "Untungnya aku belum mengembalikan access card ini ke Mas Bona, a
Lisa menepuk jidatnya, tak tahu harus bagaimana lagi. "Sudah dulu ya, Bos. Jangan telepon lagi. Pokoknya jangan telepon saya dulu, nanti saya ceritakan pas kita ketemu." Lisa menutup telepon dengan cepat, mengelap keringat yang mengalir di keningnya. Dia harus memikirkan cara keluar dari situasi ini. Lisa mengintip ke luar ketika sudah tak mendengar suara apa-apa lagi. "Ah, sial. Kenapa mereka malah rebahan di karpet sih? Bukannya masuk kamar aja!" gerutunya. Sebuah pesan dari Vincent masuk ke ponselnya. [Lisa, sebenarnya ada apa?] "Buset si Bos kepo amat sih," gumam Lisa sambil mengetik sebuah pesan balasan. [Saya tadi masuk ke apartemen Bu Nuning pakai access card yang masih ada di saya, Bos. Tapi sekarang saya malah terjebak di kamar Dennis. Di luar ada Bu Nuning dan suaminya, mereka lagi bercinta. Hot banget gilaaa.] Vincent yang membacanya seketika terpingkal-pingkal dengan wajah merah padam menahan geli. Dia bisa membayangkan situasi yang sedang dialami Lisa saat ini. Vin
Vincent membuka pintu istal sambil menggandeng Lisa. Bodyguardnya berdiri di luar, menjaga keamanan dan memastikan privasi sang majikannya terjaga. Helaian jerami di lantai memberikan nuansa alami. Di pojok ruangan, terdapat beberapa kursi jerami yang disusun rapi, menciptakan suasana yang nyaman dan santai. Setelah memastikan bahwa hanya ada mereka berdua di tempat itu, Vincent memandang Lisa dengan penuh arti. “Lisa,” ucapnya dengan suara lembut, matanya terus menatap Lisa. Dan dalam sekejap, bibir mereka bertemu, tanpa kata-kata lagi bibir mereka saling melumat penuh nikmat. Suara desiran daun dan cahaya bermain-main di wajah mereka. Vincent membelai rambut panjang Lisa, “Saya kangen sama kamu,” bisiknya sambil tersenyum dan melumat bibir Lisa lagi dengan begitu lembut, seperti magnet dengan dua kutub berbeda yang saling menempel erat. Lisa mendesah ketika tangan Vincent mulai merayap ke balik blusnya, tangan pria itu bermain-main di puncak dadanya yang kini mulai mengeras ter
“Silakan menunggu Tuan Vincent di vila saja, Mas Dennis.” Seorang bodyguard menyarankan seraya tersenyum lembut. Dennis menghela napasnya dengan perasaan gusar. “Kalau ayahku sudah selesai dengan urusannya, katakan padanya aku menunggunya di villa.” “Siap, Mas Dennis.” Si bodyguard mengangguk hormat. Dennis melanjutkan langkahnya menuju villa. Hatinya dipenuhi pertanyaan dan rasa kecewa. Apa yang membuat ayahnya begitu sibuk hingga tak bisa meluangkan waktu sebentar saja untuknya? Dennis menunggu di villa, dengan harapan ayahnya akan segera datang dan memberikan penjelasan. Dennis merasa gerah dan tak mendapati pakaian gantinya. Dia jadi uring-uringan dan semakin marah karena Vincent tak kunjung datang, bahkan panggilan teleponnya diabaikan. Dennis yang berada di lantai dua villa melangkah ke dekat jendela besar, dia menatap ke arah istal dengan hati sedih. “Aku tak selalu berada di sisimu, Yah, tapi kenapa Ayah tetap saja mendahulukan kepentingan yang lainnya daripada aku?” gu
Saat Vincent duduk di sofa, Jaka bergabung dengannya dan segera menciptakan percakapan yang akrab. Meskipun mereka pernah menjadi rival dalam memperebutkan hati Nuning di masa lalu, tapi kini mereka malah terlihat seperti dua orang sahabat yang lama tak bertemu.“Bisnisku lancar, Vin. Berkat bantuanmu juga. Terima kasih sudah merekomendasikan beberapa orang untuk mengisi posisi di perusahaanku, mereka orang yang loyal dan berdedikasi tinggi. Meskipun gaji yang bisa kuberikan tak setinggi yang pernah kau berikan untuk mereka, tapi mereka betah-betah saja.”Vincent tertawa. “Ah, itu karena tuntutan dan tekanan pekerjaan di perusahaanku sangat tinggi, makanya kami juga membayar keringat mereka dengan tinggi. Sedangkan di tempatmu, tak perlu setegang itu bekerjanya, kan? Income yang mereka dapatkan darimu sudah sepadan kok, Jak. Jangan khawatir.”Jaka bersandar santai di sofa sambil memandang Vincent dengan sorot yang ramah. “Bagaimana denganmu sendiri, Vin? Pasti sangat sibuk.” Vincent
Vincent merenungi sejenak tentang hubungan dan perasaannya dengan Lisa. Saat keluar dari istal bersama Lisa tadi, bodyguardnya memang menyampaikan bahwa Dennis mencarinya dan sempat ingin masuk untuk bertemu dengan Vincent, tapi mereka mencegahnya. Dan entah bagaimana, sepertinya Dennis tahu bahwa Vincent sedang bersama Lisa di dalam istal itu. Vincent mengusap wajahnya dengan perasaan kalut. Dia bisa memahami kemarahan Dennis. "Sepertinya asisten pribadi yang dimaksud Dennis adalah Lisa. Dan jawaban dari pertanyaanmu tadi adalah tidak.” Vincent mendesah pelan. “Jak, tidak ada hubungan asmara antara aku dan asisten pribadiku itu. Aku juga tidak mungkin melakukan hal semacam itu di depan Dennis," jawab Vincent tidak sepenuhnya salah. Vincent memang tidak sedang menjalin hubungan asmara dengan Lisa, bukan? Kontak fisik yang terjadi antara mereka selama ini semata-mata berdasarkan transaksi, Lisa melayaninya karena Vincent membayarnya. Itu saja. Jaka mengangguk-angguk, “Vin. Aku tahu
Lisa memegang ponselnya dengan gugup. Pikirannya dipenuhi kerinduan akan suara Vincent, dia membutuhkan kehadirannya sekarang. Iapun menelepon Vincent, ingin mendengar suaranya saja. Setelah beberapa detik menunggu, akhirnya Vincent menerima teleponnya. "Ada apa?" Vincent menyahut dengan suara datar. Hanya dari mendengar suaranya, Lisa bisa merasakan bahwa pria itu sedang berbicara tanpa senyuman. Mata Lisa menyipit, merasakan perbedaan sikap Vincent, bosnya itu tidak ramah seperti biasanya. Lisa menelan ludah, mendadak dia merasa gugup. "M-maaf, mengganggu malam-malam begini, Bos," dia segera berpikir cepat. "Mas Bona sepertinya masih sakit, saya belum menerima instruksi apapun darinya terkait pekerjaan yang harus saya lakukan mulai besok sebagai asisten pribadinya Bos," katanya beralasan, tak mungkin dia terang-terangan mengatakan 'kangen', karena itu hanya hak Vincent, bukan haknya. "Jadi, mohon arahannya, Bos." "Kalau sampai besok masih belum ada kabar dari Bona, kamu besok data
Tanpa menyurutkan senyum ramahnya, Lisa berkata kepada kedua pria bule yang baru saja menjadi teman barunya itu, “Je m'excuse, M. Vincent m'appelle. Je suis son assistant personnel. Enchanté de faire votre connaissance, Pierre et Jacques." (Saya permisi, Pak Vincent memanggil. Kebetulan saya asisten pribadi beliau. Senang bertemu denganmu, Pierre dan Jacques.) Tampak keterkejutan di mata Pierre dan Jacques begitu mendengar bahwa Lisa ternyata asisten pribadi sang CEO. Keduanya segera menjawab bersamaan, “Enchanté de faire votre connaissance, Lisa.” (Senang bertemu denganmu, Lisa.) Pierrre dan Jacques memandang Lisa yang kini berjalan menuju lift VIP, di mana sang CEO Sutomo Land Corporation tengah menunggu asisten pribadinya yang cantik itu. Kedua pria bule itu mengangguk hormat dan tersenyum kepada Vincent dan sang CEO hanya mengangguk singkat dengan senyum tipis di bibirnya. Sementara itu, langkah kaki Lisa yang beralaskan sepatu berhak tinggi karya desainer Perancis bernama Chri
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga