Lisa merasakan pusing yang semakin memburuk setelah menyetir dari Jakarta ke Bandung. Mata lelahnya mencoba menangkis kelelahan, tetapi prosesi pemakaman membuat energinya semakin terkuras. Beberapa kali dia merasa hampir kehilangan keseimbangan, dan rasa lesu membayanginya sepanjang perjalanan dari tempat pemakaman menuju rumah Ardi."Niken. Kemana pacar kakakmu itu, si Mina? Kenapa tidak kelihatan? Apa mereka sudah putus?" tanya Lisa pada salah satu adiknya Ardi, mencoba mencari kejelasan di tengah kepenatan yang melandanya.Baru saja Niken akan membuka mulutnya, sosok Mina tiba-tiba muncul memasuki rumah Ardi. Mina menangis, memeluk Niken sambil mengucapkan belasungkawa. "Maafin Teteh baru datang karena Teteh baru tahu kalau Ibu udah nggak ada, Ken," ujarnya dengan suara serak sambil menangis dalam pelukan Niken.Sementara itu, Ardi yang melihat kedatangan Mina terlihat acuh tak acuh. Dari sikap Ardi, Lisa bisa menilai bahwa mereka sepertinya sudah putus.Ardi justru menghampir Lis
Di ruang makan yang dihiasi seni arsitektur yang indah, keluarga Alessio berkumpul untuk sebuah makan malam. Dinding-dinding bergaya klasik dihiasi dengan lukisan-lukisan mahal, menciptakan suasana yang memukau. Meja makan dipenuhi dengan piring-piring cantik, piala kristal, dan perabotan serba mahal. Lentera-lentera gantung bersinar redup, menciptakan suasana romantis yang elegan. Nyonya Rose duduk di salah satu kursi, mengenakan gaun malam yang memesona. Rambutnya yang keperakan karena usia disanggul sederhana namun tetap terlihat berkelas dengan aksesori rambutnya yang berhiaskan berlian. Sementara itu Tuan Rain duduk di sebelahnya. Vincent duduk berseberangan dengan mereka, diapit oleh Nuning dan Dennis yang ikut serta dalam makan malam itu. “Bagaimana bisnis cafe dan restomu, Ning?” tanya Tuan Rain sambil tersenyum kebapakan. Nuning tersenyum memandang Tuan Rain dengan penuh rasa terima kasih. "Semuanya berjalan lancar, Pa, berkat dukungan Vincent.” Nuning menoleh dan tersen
Lisa tertidur lelap di kursi mobil, tenggelam dalam kantuk dan kelelahannya. Dia terbangun dengan kaget saat mengetahui dia sudah berada di sebuah garasi rumah. Ardi duduk di sebelahnya, di kursi pengemudi, memandangnya entah sudah berapa lama. "Ardi? Kok kamu di sini?" tanya Lisa, masih terkejut. Dia mengingat-ingat hal terakhir, seharusnya Niken yang mengantarnya. "Apa Niken yang menyuruhmu mengantarku?" Lisa mencoba mencari tahu. Namun, Ardi hanya tersenyum dan menggeleng. "Tadi Niken pamit sama Bapak, katanya mau mengantar kamu ke hotel, tapi kemudian aku yang mengajukan diri menggantikan dia. Lagipula dia harus tetap di rumah karena teman-temannya tadi baru berdatangan," jelas Ardi. Lisa mengedarkan pandangannya, mencoba mencari tahu di mana mereka berada. "Kita di mana, Ar?" tanyanya penasaran. "Ini, rumahku. Rumah yang kubeli untuk kutempati bersama istriku kelak," ungkap Ardi sambil menatap Lisa lekat-lekat. "Dan kuharap itu adalah kamu, Lisa." Lisa tertawa mendengarnya.
Lisa terkejut menerima ciuman tiba-tiba dari Ardi. Dia mendorong dengan keras, mencoba menjauhkan diri dari kontak fisik yang tidak diinginkannya. Ardi justru semakin menempel, berusaha mempertahankan ciumannya. "Cukup, Ardi!" pekik Lisa sambil menolak Ardi dengan keras. Dia merasakan getaran perasaan yang rumit di dalam dirinya. Dulu, Ardi memang pernah menjadi sosok yang ia inginkan, tapi tidak lagi setelah dia memergokinya berselingkuh dengan Mina. Lisa memang sudah memaafkan Ardi, tetapi bukan berarti dia telah melupakan perbuatan buruknya. Apalagi perselingkuhan Ardi dengan Mina itu adalah hal yang paling sulit Lisa lupakan. "Aku serius, Lisa. Aku mencintaimu! Aku menyadarinya belakangan ini. Sejak pertama kali kita berkenalan, aku sebenarnya sudah menyukaimu," ucap Ardi dengan tatapan tulus. Lisa terdiam. Dia mengingat kembali masa-masa di sekolah menengah atas, di mana Ardi selalu menjadi temannya. Meskipun Ardi dibully oleh teman-teman karena menjadi satu-satunya orang yang
Vincent, Nuning, dan Dennis berbincang-bincang santai di sebuah kafe setelah jalan-jalan menemani Dennis ke toko buku. Mereka memilih meja yang terletak di dekat jendela besar. Pemandangan luar jendela menampilkan kegiatan hektis di mal, dengan pengunjung yang berjalan-jalan, membawa tas belanja, dan menikmati suasana siang yang cerah. Tanaman hias di dalam pot dan desain interior yang modern memberikan sentuhan segar dan elegan di kafe ini. Meja kayu dengan kursi yang empuk menciptakan suasana yang nyaman, sementara aroma makanan menyelimuti ruangan. Pelayan dengan ramah menyajikan pesanan mereka, dan cangkir-cangkir kopi dan jus berjejer di meja, siap untuk dinikmati. Irama musik yang lembut mengisi udara, menciptakan latar belakang yang menyenangkan untuk percakapan ringan dan tawa. Beberapa pengunjung yang tengah asyik bekerja dengan laptop atau membaca buku menambahkan nuansa kesibukan di sekitar mereka. Nuning tersenyum sambil memandang menu, sedangkan Vincent dan Dennis sali
Jam sepuluh pagi, bandara internasional Soekarno-Hatta dipenuhi dengan kesibukan orang-orang yang berlalu lalang dengan tujuannya masing-masing. Di tengah keramaian itu, Nuning dan Jaka akan segera kembali bertemu setelah beberapa waktu terpisah. Ekspresi tak sabar menghiasi wajah keduanya ketika mereka saling mendekat dan akhirnya bertemu di pintu kedatangan.Mata mereka berbinar penuh kebahagiaan, tanpa ragu mereka berciuman singkat untuk melepas rindu di tengah-tengah keramaian bandara. Ciuman itu menjadi ungkapan dari segala kerinduan yang selama ini terpendam.“Maaf, sayang, aku menunda keberangkatanku semalam dan baru bisa pulang pagi ini,” kata Jaka penuh sesal. “Kemarin ada masalah mendesak yang harus kuselesaikan. Untungnya aku belum sempat terbang ke Jakarta,” katanya memberitahukan alasan tertundanya kepulangannya ke Jakarta.“Tapi sekarang sudah beres urusannya?” tanya Nuning sambil bergelayut manja pada sang suami.Jaka mengangguk dan tersenyum. “Sudah dong, makanya aku l
Lisa turun dari ojek online yang ditumpanginya, dia bergegas menuju lobi apartemen yang ditempati Nuning. Setelah melewati pintu pemeriksaan yang dijaga ketat, dengan langkah yang cepat dan terburu-buru, Lisa memasuki lift. Sesampainya di depan pintu apartemen, ia memencet bel. Namun, setelah menunggu beberapa menit tak ada tanggapan sama sekali. Lisa memencet bel berulang kali, tapi masih juga tidak ada tanggapan. Iapun yakin sedang tidak ada orang di dalam. Mengambil ponselnya, Lisa menelepon Bona untuk meminta nomor telepon Nuning. Namun, si asisten pribadi seniornya itu tidak mengangkat teleponnya, membuat Lisa semakin gelisah. "Molor kali dia ya? Mas Bona kan lagi demam, mungkin habis minum obat flu, jadinya teler dan ngantuk berat. Ck! Beneran, pasti ini Mas Bona lagi molor," gerutunya sambil menghentikan panggilan teleponnya. "Ah, iya!" Mata Lisa berbinar-binar ketika dia teringat sesuatu. Ia merogoh isi tasnya, "Untungnya aku belum mengembalikan access card ini ke Mas Bona, a
Lisa menepuk jidatnya, tak tahu harus bagaimana lagi. "Sudah dulu ya, Bos. Jangan telepon lagi. Pokoknya jangan telepon saya dulu, nanti saya ceritakan pas kita ketemu." Lisa menutup telepon dengan cepat, mengelap keringat yang mengalir di keningnya. Dia harus memikirkan cara keluar dari situasi ini. Lisa mengintip ke luar ketika sudah tak mendengar suara apa-apa lagi. "Ah, sial. Kenapa mereka malah rebahan di karpet sih? Bukannya masuk kamar aja!" gerutunya. Sebuah pesan dari Vincent masuk ke ponselnya. [Lisa, sebenarnya ada apa?] "Buset si Bos kepo amat sih," gumam Lisa sambil mengetik sebuah pesan balasan. [Saya tadi masuk ke apartemen Bu Nuning pakai access card yang masih ada di saya, Bos. Tapi sekarang saya malah terjebak di kamar Dennis. Di luar ada Bu Nuning dan suaminya, mereka lagi bercinta. Hot banget gilaaa.] Vincent yang membacanya seketika terpingkal-pingkal dengan wajah merah padam menahan geli. Dia bisa membayangkan situasi yang sedang dialami Lisa saat ini. Vin
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga