Hai manteman, jangan lupa klik vote ya kalau kamu suka ceritanya :) Happy reading ^.^
Dennis memperhatikan Lisa yang baru saja selesai membersihkan tumpahan lasagna dan mengepel lantai. Asisten pribadi ayahnya itu sekarang duduk santai di sofa, mengeluarkan tablet dari tas LV-nya, dan mulai mengetik. Wanita berkulit bersih cerah itu terlihat serius, tenggelam dalam aktivitasnya. Dennis penasaran dengan catatan atau tugas apa yang tengah dia kerjakan. Bila dibandingkan dengan bundanya, kecantikan asisten pribadi ayahnya itu tentu saja jauh lebih mencolok. Tiba-tiba, rasa cemburu menyelinap ke dalam hati remaja itu, terutama setelah melihat bagaimana ayahnya tadi dengan penuh kepedulian menyentuh pundak Lisa, menenangkan wanita itu dengan segenap kelembutannya. Membawa perasaan cemburunya, Dennis mendekati Lisa. "Tante sudah punya pacar?" tanyanya, memecah keheningan di ruangan. Pertanyaan itu membuat Lisa terkejut. "Hah? Gimana?" Lisa bertanya kaget. "Sudah punya pacar?" Dennis mengulangi pertanyaannya dengan tegas. "Belum," jawab Lisa sambil tersenyum. Namun, seny
Dennis masih kesal melihat Lisa berada di meja yang sama dengannya. Ditambah setiap tatapan ayahnya yang meluncur ke arah Lisa, membuat rasa tidak nyamannya kian menjadi. Senyum Vincent yang sejak tadi hanya untuk Lisa membuat Dennis merasa terganggu. Sementara itu, Lisa tetap santai, menikmati hidangan lezat yang ada di hadapannya. "Pak Vincent, Bu Nuning, ini luar biasa. Bukan karena saya lapar, tapi masakan Bu Nuning dan Pak Vincent memang enak banget. Pantas saja kalau De' Alessio semakin terdepan. Pakai resep keluarga Alessio yang Italia banget rupanya," puji Lisa sambil tersenyum. "Saya dulu juga nggak bisa masak sepertimu, Lisa. Tapi akhirnya saya bisa karena rajin mencobanya. Kamu juga pasti bisa kalau mau mencobanya, Lisa," ujar Nuning sambil tersenyum pada Lisa, mencoba memotivasinya. Lisa terdiam, sebenarnya dia bukannya tidak bisa memasak sama sekali, tapi masalahnya dia selalu tremor setiap kali memegang alat masak, perkakas dapur, barang pecah belah. Tapi Lisa hanya te
“Terima kasih atas makan malamnya, Bu.” Lisa menjabat tangan Nuning dan memeluknya sejenak, lalu pandangannya beralih pada Dennis dan Vincent sambil mengangguk sopan. “Baiklah. Semuanya, saya permisi.”Ada sorot tidak rela di mata Vincent mendengar Lisa mendadak pamit ingin pulang lebih dulu, padahal mereka sudah janji akan pulang bersama. Vincent ingin menginap di apartemen Lisa malam ini. Tapi Lisa pergi dengan begitu tergesa-gesa tanpa memberi banyak penjelasan. Vincent tetap duduk di antara Nuning dan Dennis, tetapi pikirannya melayang mengikuti Lisa. Sorot matanya yang semula ceria kini terlihat sedikit meredup, seolah terhanyut dalam pikirannya sendiri.Ketika kartu-kartu dibagikan dan langkah-langkah strategis dibuat, Vincent tidak lagi menyuarakan ide atau berbicara dengan semangat seperti sebelumnya. Tatapannya sering kali teralih, memandang ke arah pintu keluar seperti mencari sesuatu yang hilang.Pikirannya, sejauh ini selalu terfokus pada permainan, sekarang terpecah di a
Lisa mencapai rumah sakit dengan langkah cepat dan tergesa-gesa. Hatinya masih terombang-ambing oleh kecemasan. Dia mencermati setiap sudut koridor yang dilaluinya. Mencari-cari ruang ICU yang tadi disebutkan Ardi lewat telepon. Sementara itu keluarga Ardi berkumpul di ruang tunggu ICU, duduk dengan cemas. Setelah beberapa saat yang terasa begitu panjang, pintu ruang tunggu terbuka, dan Lisa melangkah masuk dengan sedikit gugup. Wajah keluarga Ardi yang tadinya terlihat tegang, kini melihatnya dengan ekspresi lega. "Lisa, terima kasih sudah datang. Sama siapa kamu, Nak?" sambut Pak Iman, ayahnya Ardi. “Sendirian, Pak.” “Naik apa?” “Mobil pribadi.” Pak Iman terharu mendengarnya. Kedua adik perempuan Ardi juga ikut terharu, tak mengira Lisa benar-benar datang dari Jakarta semalam ini sendirian. Pak Iman memeluk Lisa dengan lembut, "Kami sangat bersyukur kamu datang, Nak Lisa. Ini sangat berarti bagi kami.” Dia mengurai pelukannya dan menatap Lisa dengan mata berkaca-kaca. “Ma
Lisa merasakan pusing yang semakin memburuk setelah menyetir dari Jakarta ke Bandung. Mata lelahnya mencoba menangkis kelelahan, tetapi prosesi pemakaman membuat energinya semakin terkuras. Beberapa kali dia merasa hampir kehilangan keseimbangan, dan rasa lesu membayanginya sepanjang perjalanan dari tempat pemakaman menuju rumah Ardi."Niken. Kemana pacar kakakmu itu, si Mina? Kenapa tidak kelihatan? Apa mereka sudah putus?" tanya Lisa pada salah satu adiknya Ardi, mencoba mencari kejelasan di tengah kepenatan yang melandanya.Baru saja Niken akan membuka mulutnya, sosok Mina tiba-tiba muncul memasuki rumah Ardi. Mina menangis, memeluk Niken sambil mengucapkan belasungkawa. "Maafin Teteh baru datang karena Teteh baru tahu kalau Ibu udah nggak ada, Ken," ujarnya dengan suara serak sambil menangis dalam pelukan Niken.Sementara itu, Ardi yang melihat kedatangan Mina terlihat acuh tak acuh. Dari sikap Ardi, Lisa bisa menilai bahwa mereka sepertinya sudah putus.Ardi justru menghampir Lis
Di ruang makan yang dihiasi seni arsitektur yang indah, keluarga Alessio berkumpul untuk sebuah makan malam. Dinding-dinding bergaya klasik dihiasi dengan lukisan-lukisan mahal, menciptakan suasana yang memukau. Meja makan dipenuhi dengan piring-piring cantik, piala kristal, dan perabotan serba mahal. Lentera-lentera gantung bersinar redup, menciptakan suasana romantis yang elegan. Nyonya Rose duduk di salah satu kursi, mengenakan gaun malam yang memesona. Rambutnya yang keperakan karena usia disanggul sederhana namun tetap terlihat berkelas dengan aksesori rambutnya yang berhiaskan berlian. Sementara itu Tuan Rain duduk di sebelahnya. Vincent duduk berseberangan dengan mereka, diapit oleh Nuning dan Dennis yang ikut serta dalam makan malam itu. “Bagaimana bisnis cafe dan restomu, Ning?” tanya Tuan Rain sambil tersenyum kebapakan. Nuning tersenyum memandang Tuan Rain dengan penuh rasa terima kasih. "Semuanya berjalan lancar, Pa, berkat dukungan Vincent.” Nuning menoleh dan tersen
Lisa tertidur lelap di kursi mobil, tenggelam dalam kantuk dan kelelahannya. Dia terbangun dengan kaget saat mengetahui dia sudah berada di sebuah garasi rumah. Ardi duduk di sebelahnya, di kursi pengemudi, memandangnya entah sudah berapa lama. "Ardi? Kok kamu di sini?" tanya Lisa, masih terkejut. Dia mengingat-ingat hal terakhir, seharusnya Niken yang mengantarnya. "Apa Niken yang menyuruhmu mengantarku?" Lisa mencoba mencari tahu. Namun, Ardi hanya tersenyum dan menggeleng. "Tadi Niken pamit sama Bapak, katanya mau mengantar kamu ke hotel, tapi kemudian aku yang mengajukan diri menggantikan dia. Lagipula dia harus tetap di rumah karena teman-temannya tadi baru berdatangan," jelas Ardi. Lisa mengedarkan pandangannya, mencoba mencari tahu di mana mereka berada. "Kita di mana, Ar?" tanyanya penasaran. "Ini, rumahku. Rumah yang kubeli untuk kutempati bersama istriku kelak," ungkap Ardi sambil menatap Lisa lekat-lekat. "Dan kuharap itu adalah kamu, Lisa." Lisa tertawa mendengarnya.
Lisa terkejut menerima ciuman tiba-tiba dari Ardi. Dia mendorong dengan keras, mencoba menjauhkan diri dari kontak fisik yang tidak diinginkannya. Ardi justru semakin menempel, berusaha mempertahankan ciumannya. "Cukup, Ardi!" pekik Lisa sambil menolak Ardi dengan keras. Dia merasakan getaran perasaan yang rumit di dalam dirinya. Dulu, Ardi memang pernah menjadi sosok yang ia inginkan, tapi tidak lagi setelah dia memergokinya berselingkuh dengan Mina. Lisa memang sudah memaafkan Ardi, tetapi bukan berarti dia telah melupakan perbuatan buruknya. Apalagi perselingkuhan Ardi dengan Mina itu adalah hal yang paling sulit Lisa lupakan. "Aku serius, Lisa. Aku mencintaimu! Aku menyadarinya belakangan ini. Sejak pertama kali kita berkenalan, aku sebenarnya sudah menyukaimu," ucap Ardi dengan tatapan tulus. Lisa terdiam. Dia mengingat kembali masa-masa di sekolah menengah atas, di mana Ardi selalu menjadi temannya. Meskipun Ardi dibully oleh teman-teman karena menjadi satu-satunya orang yang
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga