Vincent, dengan senyuman sopan, menolak dengan ramah. "Maaf, Carla. Aku sudah memiliki jadwal malam ini yang harus kuselesaikan. Kita bisa berkomunikasi melalui email untuk hal-hal selanjutnya." Carla tampak kecewa, tapi dia mencoba menyiasatinya dengan tertawa. "Oh, come on, Vincent. Ini bukan hanya tentang bisnis, bukan? Kita bisa saja bersenang-senang sejenak, seperti dulu." Vincent menatap Carla dengan tegas. "Carla, kita sudah bersama dalam kapasitas yang berbeda sekarang. Saya ingin memastikan bahwa hubungan bisnis kita tetap profesional dan tak tercampur aduk dengan hal-hal pribadi. Semoga kau bisa menghargai itu." Carla mencoba memancing reaksi lebih lanjut, namun Vincent tetap pada pendiriannya. "Terima kasih atas kesempatan kerjasamanya, Vincent. Kita tetap berhubungan, baik secara bisnis maupun pribadi, ya?" ujar Carla sambil menawarkan tangannya untuk berjabat. Vincent mengangguk dan menyambut jabatan tangan itu. "Tentu, Carla. Semoga kerjasama kita membawa hasil yang b
Vincent membalas dengan seringai, "Kangen? Bagaimana denganmu sendiri, Lisa?”Lisa terkekeh. “Saya kangen Bos tidur di sebelah saya, bikin ranjang saya terasa hangat. Apalagi Bos kalau tidur nggak ngorok kayak Ardi.”“Kalian pernah tidur bersama?” Entah kenapa di dalam dada Vincent terasa bergemuruh ketika Lisa tiba-tiba saja menyebutkan nama mantan suaminya itu, bayangan Lisa tidur dalam pelukan Ardi seketika menimbulkan cubitan kecil di hatinya.“Ya pernahlah, Bos! Bagaimanapun kami kan pernah menikah.” Lisa menjawabnya dengan enteng, tanpa beban. Lagipula itu bukanlah sebuah pertanyaan sulit dan jawabannya pun sudah jelas, mestinya tak perlu ditanyakan lagi oleh Vincent.“Apa dia memelukmu saat kau tidur?”“Meskipun tidak selalu, tapi pernah.” Lisa mengangguk, ingatannya seketika terlempar pada sebuah momen saat ibunya baru saja meninggal. Pada satu hari paling sedih dalam hidup Lisa itu, entah kenapa Ardi sedikit menunjukkan rasa simpatinya dengan tak membiarkan orang lain mengge
Lisa keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang mengalir ke bawah, menggigil kedinginan di kamar apertemen yang terasa begitu dingin. Dia langsung mencari hair dryer untuk mengeringkan rambutnya sebelum tidur. Hawa dingin mulai menempel di kulitnya yang masih basah. “Anjir, dingin banget! Dasar, Bos reseh. Ngerjain orang aja malam-malam kayak gini minta ditemani mandi. Awas aja, besok-besok nggak bakal kuangkat kalau dia telepon malam-malam kayak gini lagi,” gerutunya betul-betul jengkel. Dengan cermat, Lisa mengarahkan aliran udara hangat hair dryer ke setiap helai rambutnya. Hembusan angin panas itu memberikan sentuhan nyaman dan menenangkan. Lisa merasakan kehangatan menyusup ke dalam tubuhnya yang kedinginan. Sambil meniup rambutnya dengan hair dryer, dia merenung tentang apa yang baru saja dilewatinya. Percakapan video call dengan Vincent telah memberinya perasaan campur aduk, membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Lisa menggigil bukan hanya karena dingin, tetapi juga
Air berkilauan di rambut Vincent ketika dia berada di tepi kolam yang cahayanya terpantul di wajahnya yang tampan. Seperti lukisan hidup, tetesan air jatuh dari ujung rambutnya yang berombak, menghiasi kulitnya yang putih cerah. Rambut basah itu memberikan sentuhan bebas dan liar pada penampilannya yang biasanya selalu terlihat rapi.Wajah Vincent yang dihiasi senyuman lembut seakan menyiratkan kedamaian dan kebahagiaan. Matanya yang memandang layar ponsel dengan intens, seperti membius Lisa dan membuatnya lumpuh di bawah pesona sang CEO.Bibir Vincent membentuk senyum menggoda ketika dia melihat reaksi Lisa. Tubuhnya yang atletis tampak jelas, dan otot-otot terdefinisikan dengan indah saat dia berdiri di bawah sinar matahari pagi. Lisa hampir kehilangan kata-kata. Jantungnya berdetak kencang, bagaimana bisa pria itu tampak begitu indah? Dan keindahan itu miliknya, meskipun hanya untuk sementara. “Kamu suka dengan mobil barumu, Lisa?” Vincent bertanya sambil mengusap air yang mengal
Lisa menyusuri setiap sudut apartemen barunya di lantai 9, merasakan atmosfer yang berbeda dari apartemen yang pernah ia tempati sebelumnya. Meski ukurannya lebih kecil dan kemewahannya tak sebanding, tetapi setiap dia bersyukur diberi kesempatan tinggal di sini. "Kalau kamu harus sewa sendiri berapa duit coba, Lisa? Lumayanlah daripada lu manyun,” gumam Lisa pada dirinya sendiri, senyumnya merekah meski raut wajahnya sedikit melankolis. Barang-barangnya mulai menemukan tempatnya yang baru. Tapi Lisa tak memiliki banyak barang pribadi karena semua hilang saat banjir terjadi. Dia menyusun beberapa buku barunya di rak, dan merapikan sedikit pernak-pernik yang membuat tempat itu terasa seperti miliknya."Bukan seberapa besar atau seberapa mewah tempat ini, tapi seberapa banyak kenangan yang kita bangun di dalamnya," ucapnya sambil mengingat perjalanan hidupnya selama ini.Lisa menatap jendela yang menghadap ke luar. Pemandangan dari apartemen barunya tak seindah yang dulu, tetapi sentu
Vincent melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara, terlihat santai dan nyaman dengan gayanya yang kasual, memakai kemeja putih dan celana jeans biru tua. “Selamat datang, Pak Vincent.” Bona menyambut dengan penuh hormat, dia mengambil jaket dari pundak Vincent dan membawakannya. Mereka mengobrol sepanjang perjalanan menuju lobi bandara. Sebuah mobil mewah sudah menunggu mereka. Sang sopir segera membukakan pintu mobil bagian belakang untuk Vincent. Sementara itu Rini, beserta dua asisten pribadi mereka yang ikut serta ke Italia, sudah dijemput pulang oleh sopirnya yang lain. "Kita langsung ke rumah, Pak?" tanya Bona. Namun, jawaban Vincent membuat Bona terkejut, "Ke apartemen saja, Bon. Kudengar Lisa sedang tidak enak badan, aku ingin mengeceknya sebentar." Bona mencoba menyembunyikan ekspresi kecewanya, dia memang berniat ingin membawa Vincent ke apartemen itu, tapi bukan untuk Lisa, melainkan untuk Dennis dan Nuning. Bona mencoba memahami dinamika hubungan di antara bos
Dennis menatap sedih ke luar jendela, memandang kegelapan malam yang mencerminkan perasaannya. "Kenapa Ayah nggak nginap sama kita aja, sih, Bunda?" Nuning membelai lembut rambut puteranya, mencoba memberikan pengertian. "Dennis, Ayah pulang karena menghormati Bunda. Bagaimanapun, Ayah dan Bunda sudah bukan suami-istri lagi, dan kurang pantas kalau Ayah menginap di sini," jelasnya dengan sabar.Namun, Dennis masih terlihat cemberut. "Tapi Ayah kan bisa tidur sama Dennis, Bun? Dennis kangen bisa mengobrol sepanjang malam sama Ayah," ujarnya dengan nada yang penuh kesedihan.Nuning mencoba meyakinkannya, "Dennis, Ayah baru saja tiba dari Italia, dan dia pasti lelah. Ayah butuh istirahat sejenak malam ini. Lagipula, besok masih ada waktu untuk kalian bersama-sama," bujuk Nuning, berharap Dennis bisa memahami dan menerima keadaan mereka yang sudah tidak sama lagi seperti dulu.“Besok, kira-kira Ayah sudah cukup istirahat belum ya, Bun?”Nuning tersenyum. Sejak dulu putranya memang cender
Vincent melihat Dennis menikmati secangkir teh di balkon lantai atas. "Halo, sayang!" teriak Vincent sambil melambaikan tangan dari bawah, ekspresi wajahnya penuh sukacita. Tanpa menunggu, dia segera bergegas memasuki rumah dan menaiki tangga menuju balkon tempat Dennis berada. Balkon tempat Dennis menikmati teh itu terbuka lebar, memberikan pemandangan yang mempesona ke arah Teluk Jakarta. Rumah mereka berada di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK), sebuah daerah elite yang menyajikan pemandangan indah laut dan kawasan teluk yang damai. Di lantai atas rumah, dari balkon tersebut memberikan panorama yang menakjubkan, terutama di pagi hari ketika sinar matahari mulai memancar menyinari laut lepas. Udara segar dari laut terbawa angin, membuat pagi mereka semakin sejuk dan nyaman. Balkon tersebut juga dilengkapi dengan kursi dan meja kayu yang membuatnya menjadi tempat yang sempurna untuk menikmati momen bersantai di pagi hari. "Maaf, kamu harus mencari-cari Ayah. Kenapa tidak telepon saj
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga