Melihat Vincent mencium Lisa, Ardi seketika tercengang. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga lebar, dia terlihat begitu syok! Jantungnya bertalu-talu, pikirannya belum bisa mencerna sepenuhnya apa yang sedang terjadi. Bibirnya yang tadi hendak menyuarakan kemarahan, kini terkatup tanpa suara. Masih di depan mata dan kepalanya sendiri, Ardi melihat dengan jelas bagaimana Lisa dengan mesra bergelayut manja pada sosok sang CEO, Vincent Alessio, yang selama ini amat dihormati dan dikagumi oleh Ardi serta ribuan orang di perusahaan tempatnya bekerja, Sutomo Land Corporation. Dan dia telah melihat jelas bagaimana Vincent mengecup bibir mantan istrinya itu, Vincent seperti pria yang betul-betul sedang jatuh cinta. “Ti-tidak mungkin,” gumamnya dengan sedikit sempoyongan. Tidak pernah terbayangkan oleh Ardi bahwa mantan istrinya, yang selama ini sering dianggapnya remeh, ternyata dihargai sedemikian tinggi oleh pria seperti Vincent Alessio yang memiliki harta, tahta, dan kharisma yang be
“Saya dengar dari Bu Nata, kamu sudah seminggu nggak masuk,” ujar Vincent saat mereka sudah berada di dalam mobil, “tanpa izin, dan ponselmu tak bisa dihubungi,” pungkasnya sambil menoleh pada Lisa yang duduk di sebelahnya.“Ah, iya-iya, maaf. Simcard saya rusak, jadi nomor saya untuk sementara mati.” Lisa meringis karena teguran sang CEO. “Eh, tapi tanpa izin? Tunggu-tunggu, saya sudah izin kok. Saya sudah telepon ke kantor buat minta izin dan Hanum sendiri yang angkat. Saya sudah bilang kalau saya izin dan sedang dalam kondisi mendesak.”“Begitukah?”Lisa cemberut melihat reaksi Vincent yang sepertinya sangsi padanya. “Apa Bapak pikir saya berbohong?” Vincent mengangkat bahu. “Sepertinya kamu harus bicara dengan Bu Nata besok.”Lisa menghela napas panjang, dia tahu bakal menghadapi konsekuensi yang berat. “Pak, saya minta maaf,” ujarnya sambil memandang Vincent yang sejak tadi menghadap ke depan. Meskipun cuma dilihat dari samping, pria itu tetap tampan.Vincent menoleh dan menjaw
Pesawat jet pribadi mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Cahaya bulan memantulkan kilauan di sayap pesawat yang kini telah terparkir dengan presisi. Fasilitas FBO (Fixed-Base Operator) atau terminal khusus untuk penerbangan pribadi yang eksklusif itu diterangi oleh lampu sorot yang lembut. Lisa dan Vincent keluar dari pesawat dengan langkah-langkah yang ringan, bayangan mereka berdansa di antara lampu-lampu yang menyala redup. Beberapa petugas telah menunggu di bawah. “Selamat datang, Pak.” Mereka menyapa Vincent dengan hormat lalu tersenyum pada Lisa. Sementara itu, Bona dengan setia mengikuti langkah Vincent. Dia memegang tas milik bosnya dengan segenap tanggung jawabnya. Sambil menenteng tas mewah Vincent, tatapan Bona tak lepas dari layar ponselnya. Dia mengecek setiap informasi yang diterimanya dengan teliti, memastikan bahwa kendali atas segala situasi tetap berada dalam genggamannya yang cermat. “Permisi, Pak,” Bona mendekati sang bos, “Mas Dennis d
Lisa, yang tengah terpaku pada pemandangan di depannya, tak bisa menyembunyikan kekagumannya saat Dennis melangkah melewatinya. Dia merasa seperti terseret oleh pesona remaja lelaki itu, ketampanannya semakin terungkap di bawah cahaya lampu lounge.Dennis yang merasa sedang diperhatikan segera menoleh, Lisa pun mengangguk ramah dan tersenyum, berusaha menyamarkan ekspresi terpukau di wajahnya. "Halo, Dennis?" sapanya hangat, menciptakan dentingan suara yang merdu di antara keramaian obrolan di sekitarnya.Dennis hanya mengangguk kecil dengan ekspresi canggung, seakan tidak terbiasa dengan perhatian dari seseorang yang baru dia temui. Raut wajahnya yang segar dan matanya yang indah menatap Lisa dengan polos, menciptakan daya tarik tersendiri.Di sebelah Dennis, Nuning, sang ibu, membalas senyum Lisa dengan singkat. Ekspresi wajahnya menunjukkan kehangatan dan ketulusan, seakan memberikan izin tak tertulis untuk bersikap ramah pada putranya. “Dia memang sedikit pemalu,” ujar Nuning pada
“Yang namanya Lisa tadi cantik juga ya, Vin?”Vincent terkekeh mendengar nada menggoda dalam suara Nuning yang berdiri di sebelahnya. Mereka sedang berbincang di dekat restroom, menunggu Dennis yang sedang pipis.“Terus, kalau cantik kenapa? Ada banyak pegawaiku yang jauh lebih cantik dari Lisa,” sahut Vincent sambil mengerling pada mantan istrinya yang juga ikut tertawa lirih.“Sekilas … dia mirip Mei,” celetuk Nuning.“Lebih cantik Mei dong.”Nuning lagi-lagi tertawa. “Iya-iya … mentang-mentang mantan pacar dibelain teroos.”“Hus, jangan bahas-bahas Mei terus ah, kasihan dia ntar bisa tersedak kalau kamu omongin melulu,” canda Vincent.“Tapi kan aku ngomongin dia selalu yang baik-baik, karena dia memang sebaik itu.”“Terus apa faedahnya kamu ngomongin Mei melulu dalam setiap kesempatan kita ngobrol? Yang nggak bisa move on dari Mei itu aku apa kamu sih?” Vincent menjitak pelan puncak kepala Nuning.“Aku merasa gagal aja jadi mak comblangnya kalian, Vin.” Nuning manyun.“Apaan sih, N
Lisa terbelalak kaget. “Tapi, Bu—” “Saya juga memberimu Surat Peringatan pertama,” tegas Natalia yang tak ingin didebat oleh Lisa. “Bahkan keputusan tentang SP1 ini datang dari Pak Vincent sendiri, sepertinya beliau kesal melihat kinerjamu yang mengecewakan,” imbuhnya. Muncul cubitan kecil dalam dadanya mendengar penuturan Natalia. “Pak Vincent yang memutuskan?” ulang Lisa. Dan Natalia mengangguk dengan sorot tajam kepadanya. “Bu, saya bisa menjelaskan—” “Simpan saja, kami tak butuh penjelasanmu, Lisa. Yang kami butuhkan adalah keandalanmu dalam bekerja.” Natalia mengangkat dagu dan memandang Lisa dengan sorot penghakiman yang nyata. “Saya sudah memberimu kesempatan sebagai resepsionis, tapi kamu tak menunjukkan banyak kontribusi. Mungkin sebagai office girl kamu akan lebih bermanfaat,” ujarnya sambil tersenyum tipis. “Ini kontrak baru yang harus kamu tanda tangani, sebagai office girl.” Natalia menyodori Lisa secarik kertas, berupa dokumen perjanjian kerja. Lisa menggigit bibi
“Hah? Lu gila?” Ninik geleng-geleng kepala mendengar curhatan Lisa tentang ributnya dia dengan Natalia yang berakhir dengan pengunduran dirinya dari Sutomo Land Corporation. “Lisa!” Ninik mendelik. “Kapan lagi elu bisa kerja di perusahaan sebesar Sutomo Land Corporation sebagai pegawai tetap? Pe-ga-wai te-tap!” cerocosnya terdengar seperti petasan cabe di kuping Lisa. Ninik betul-betul dibuat geregetan oleh sikap Lisa yang kadang suka bersikap impulsif begini. “Lisa, royalti novel elu bahkan lagi merosot sekarang gara-gara elunya jarang update. Mestinya elu terima aja kerja sebagai office girl di sana, yang penting bulanan elu aman!” “Nggak bisa. Ini menyangkut harga diri gue, Nek!” Ninik memutar bola mata dan mendengus jengkel. “Harga diri tai kucing! Harga diri nggak bisa kasih elu uang bulanan, Lisa! Elu nggak pikirin gimana cara memenuhi kebutuhan bulanan elu, heh?” “Mikirlah!” Lisa menyilangkan kakinya sambil bersandar di kursi kerja Ninik yang empuk. “Oke, apa pikiran elu
Kerumunan para pegawai Sutomo Land Corporation di area lift segera terbelah begitu petugas keamanan gedung mengucapkan instruksi dengan nada tegas, “Permisi, tolong beri jalan sebentar, Pak Vincent mau lewat.” Vincent menatap orang-orang di sekitarnya dengan sapuan matanya yang cepat. Wajah-wajah itu tersenyum ramah dan mengangguk hormat padanya. Vincent membalas dengan anggukan kecil namun sarat wibawa. Vincent bergumam dalam hati, “Sudah lama sekali aku nggak lihat Lisa." Dia pikir tidak berjumpa lagi dengan Lisa selama dua minggu berturut-turut hanyalah kebetulan saja. Seperti biasa, Vincent selalu disibukkan oleh urusannya sebagai CEO. Kadang dia harus tiba lebih pagi di kantor, atau datang setelah jam makan siang karena paginya dia harus menghadiri berbagai pertemuan bisnis di luar. Atau bahkan, seharian Vincent berada di luar kantor, bahkan luar kota, juga luar negeri. Hal itu membuatnya berpikir wajar saja bila dia mulai jarang berpapasan lagi dengan Lisa. Tapi sudah beberap
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga