Jangan lupa klik vote ya manteman :)
“Hah? Lu gila?” Ninik geleng-geleng kepala mendengar curhatan Lisa tentang ributnya dia dengan Natalia yang berakhir dengan pengunduran dirinya dari Sutomo Land Corporation. “Lisa!” Ninik mendelik. “Kapan lagi elu bisa kerja di perusahaan sebesar Sutomo Land Corporation sebagai pegawai tetap? Pe-ga-wai te-tap!” cerocosnya terdengar seperti petasan cabe di kuping Lisa. Ninik betul-betul dibuat geregetan oleh sikap Lisa yang kadang suka bersikap impulsif begini. “Lisa, royalti novel elu bahkan lagi merosot sekarang gara-gara elunya jarang update. Mestinya elu terima aja kerja sebagai office girl di sana, yang penting bulanan elu aman!” “Nggak bisa. Ini menyangkut harga diri gue, Nek!” Ninik memutar bola mata dan mendengus jengkel. “Harga diri tai kucing! Harga diri nggak bisa kasih elu uang bulanan, Lisa! Elu nggak pikirin gimana cara memenuhi kebutuhan bulanan elu, heh?” “Mikirlah!” Lisa menyilangkan kakinya sambil bersandar di kursi kerja Ninik yang empuk. “Oke, apa pikiran elu
Kerumunan para pegawai Sutomo Land Corporation di area lift segera terbelah begitu petugas keamanan gedung mengucapkan instruksi dengan nada tegas, “Permisi, tolong beri jalan sebentar, Pak Vincent mau lewat.” Vincent menatap orang-orang di sekitarnya dengan sapuan matanya yang cepat. Wajah-wajah itu tersenyum ramah dan mengangguk hormat padanya. Vincent membalas dengan anggukan kecil namun sarat wibawa. Vincent bergumam dalam hati, “Sudah lama sekali aku nggak lihat Lisa." Dia pikir tidak berjumpa lagi dengan Lisa selama dua minggu berturut-turut hanyalah kebetulan saja. Seperti biasa, Vincent selalu disibukkan oleh urusannya sebagai CEO. Kadang dia harus tiba lebih pagi di kantor, atau datang setelah jam makan siang karena paginya dia harus menghadiri berbagai pertemuan bisnis di luar. Atau bahkan, seharian Vincent berada di luar kantor, bahkan luar kota, juga luar negeri. Hal itu membuatnya berpikir wajar saja bila dia mulai jarang berpapasan lagi dengan Lisa. Tapi sudah beberap
Lisa dilanda panik. Ia membereskan dokumen-dokumen pentingnya dan memasukkannya ke dalam tas. Dia mencoba menyelamatkan barang-barang berharga yang dia punya: pakaian, tas, sepatu, aksesoris, pokoknya barang-barang brandednya yang berharga puluhan juta, dan mengabaikan barang murahan lainnya. Sementara itu, air terus mengalir masuk dengan cepat, memenuhi hingga sudut-sudut kamar kos kecilnya. Lisa bergegas menuju pintu sambil membawa tas ransel berisi laptop dan dokumen penting, sambil mengangkat sebuah kopor yang berisi barang-barang berharganya. Saat pintu terbuka aliran air deras langsung menyambutnya, menciptakan genangan di lantai kamarnya. Dalam sekejap, kertas-kertas di meja pendeknya segera berserakan tersedot oleh aliran air, menciptakan gambaran kekacauan di tengah-tengah banjir. “Kyaaa! Iphone-ku!” Lisa buru-buru mengambil ponsel mahalnya yang tertinggal di meja sebelum genangan air sempat menyentuhnya. Ia melihat sekeliling, kaget melihat air yang terus naik dengan ce
Lisa membuka mata dengan perlahan, menemukan dirinya berada di suatu tempat yang asing. Pandangannya kabur sejenak sebelum fokus pada langit-langit putih di atasnya. Ketika Lisa mencoba untuk duduk, seluruh tubuhnya terasa begitu lemah. Selang infus yang terpasang di tangan kirinya menjadi penanda bahwa ia tidak berada di tempat yang biasa. Pikirannya melayang-layang, mencoba merangkai ingatan akan peristiwa terakhir. Tiba-tiba, seorang suster masuk ke dalam kamar. "Anda sudah sadar. Syukurlah," ujarnya sambil memeriksa tetesan infus. Lisa menatap sekitar, mencoba memahami di mana ia berada. "Ini rumah sakit, ya?" tanyanya, suaranya masih lemah. Suster itu mengangguk. "Iya. Kakak ditemukan pingsan oleh tim SAR di area banjir. Mereka membawa Kakak ke sini untuk mendapatkan perawatan." Lisa mengangguk pelan, ingatannya mulai kembali. Namun, sesuatu yang lain menggelisahkannya. Barang-barangnya yang malam itu diselamatkannya kini tak terlihat. "Eh, barang-barang saya mana ya, Sus?
Dengan cekatan, Bona mendekati petugas rumah sakit untuk mencari tahu di mana Lisa berada. “Permisi. Bangsal penyakit dalam untuk pasien wanita dewasa di mana ya, Sus?” Sementara itu, pandangan Vincent berusaha menembus kerumunan orang yang sibuk di koridor. “Pak Vincent, mari. Tempatnya di sana.” Bona menunjuk ke sebuah arah. Saat akhirnya Vincent menemukan Lisa, terbaring lemah di atas ranjang, detak jantungnya seperti terhenti sejenak. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma antiseptik dan suara mesin medis yang terus berdenyut seperti detak kehidupan yang terus berlanjut. “Lisa?” Dan di sanalah Vincent melihatnya, terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Hati Vincent terasa berdesir, melihat keadaan Lisa yang tampak rapuh di tengah situasi darurat ini. Bona membantu memastikan bahwa Lisa dalam kondisi stabil dan membenarkan informasi dari tim medis bahwa Lisa hanya mengalami kelelahan dan beberapa luka ringan. Setelah mendapatkan izin dari dokter, Vincent memutuskan untuk membaw
Vincent dan Lisa, mereka berdua terperangkap dalam suasana kamar yang penuh dengan keintiman. Vincent merayapi rambut Lisa dengan lembut, sepasang manik mata sewarna karamelnya yang indah, menatap Lisa dengan penuh hasrat dan kenangan. Sensasi saat pertama kali mereka menyatukan tubuh di sebuah penginapan sederhana di Lombok, melintas kembali di benaknya. "Lisa, saya menginginkan kamu," suara bariton Vincent terdengar rendah serupa bisikan yang menggoda, menciptakan getaran yang merambat ke seluruh tubuh Lisa. Lisa bisa merasakan makna 'ingin' yang tersirat di dalam kata-kata tersebut. Pandangan mata mereka bertemu, dan Lisa memberikan senyuman manisnya sebagai jawaban, disertai kecupan lembutnya di bibir Vincent yang segera terbuka menerimanya. Lisa perlahan-lahan melepas kancing kemeja yang membalut tubuh Vincent, membiarkan kemeja itu jatuh dengan lembut di samping tempat tidur. Setiap gerakan yang ia lakukan, membuat detak jantung mereka semakin cepat. Vincent juga tidak tinggal
Lisa baru saja selesai mandi dan keramas, rambutnya yang setengah basah ia gulung dengan handuk. Di atas kasur, telah tersedia pakaian bersih yang disiapkan untuknya: sebuah kemeja putih yang tampaknya milik Vincent. Lisa mengerutkan keningnya, merasa agak ragu untuk memakainya. Namun, melihat tidak ada pilihan lain, akhirnya dia mengambil kemeja itu. Ketika Lisa mengenakan kemeja putih itu, terlihat terlalu besar untuknya. Kemeja tersebut menggantung longgar di tubuhnya, panjangnya cukup menutupi pahanya. "Jadi kayak pakai daster gini," gumamnya sambil melihat dirinya di cermin. Ia menggulung bagian lengannya yang terlalu panjang di tangannya. Kemeja Vincent yang dipakai oleh Lisa tampak longgar namun membentuk siluet yang anggun di tubuhnya. Pandangan Vincent, yang baru saja memasuki kamar sambil membawa nampan makanan untuk Lisa, seketika tertahan pada daya tarik Lisa yang tak terduga tersebut, terlebih dia tahu tanpa pakaian dalam yang tersembunyi di balik kemejanya itu. "Saya s
“Lisa, kembalilah bekerja. Saya sudah siapkan apartemen buatmu. Kamu boleh tinggal di sana kapanpun kamu mau. Itu dekat dengan kantor.” Vincent berkata sambil memandang Lisa yang asyik menyantap lasagna. Lisa tersenyum dan menjawab, “Terima kasih atas kesempatannya, Pak Vin. Sayangnya, saya kurang cakap mengurus pantry. Saya tidak mau gaji bulanan saya banyak terpotong karena saya sering memecahkan perkakas pantry.” Dia mengedikkan bahu dengan santai usai memberikan penjelasan.“Loh? Apa hubungannya dengan pantry?” Vincent terkekeh, dia menaikkan kakinya ke atas ranjang, menekuk kakinya tanpa mengalihkan pandangannya dari Lisa.“Kok, loh?” Lisa mengerling pada Vincent. “Memangnya apa yang dilakukan office girl kalau bukan ngurusin pantry?” Kedua alisnya naik ke atas. Vincent mengerutkan kening. “Office girl? Kenapa kita jadi membicarakan office girl?” dia terlihat betulan bingung. “Karena posisi itu yang ditawarkan Bu Nata pada saya. Saya dipecat sebagai resepsionis, tapi kemudian
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga