Masih semangat "vote" kan, manteman :)
Kalimat dokter Viona singkat, padat, dan jelas. Namun justru memberikan kebingungan yang mendalam di hati Vincent. CEO perusahaan real estate ternama itu mencoba mencerna kata-kata itu dengan seksama. "Hamil?" ulangnya, dengan suara yang terdengar ragu. Pikiran Vincent berputar cepat, mencoba memahami makna dari kata itu. Antara kacau dan bingung, pikirannya meloncat antara dua kemungkinan: apakah Lisa sakit atau benar-benar hamil, dan jawaban bahwa “Lisa hamil” benar-benar jawaban yang tak pernah terbayangkan olehnya. Vincent mencoba menyingkirkan kekacauan dalam pikirannya, namun fakta bahwa “Lisa hamil” seperti sebuah pukulan di dada yang tak terduga. "Mungkinkah?" gumamnya, mencoba mencari kepastian dalam dirinya sendiri. Jujur saja, di antara dua pertanyaan yang membelah pikirannya—apakah Lisa hamil atau sakit—rasanya Vincent lebih mempercayai yang kedua. Tapi, pikirannya segera terpotong oleh pemikiran lain: Dokter Viona tidak mungkin berbohong. Seketika tubuhnya terasa geme
Dengan langkah yang lelah namun hati yang penuh kelegaan, Lisa melangkah masuk ke dalam apartemennya tepat pukul 11 malam. Cahaya remang-remang dari lampu di ruang tamu menyambut kedatangannya, memberikan sedikit kehangatan di tengah kesunyian malam. Ia melepas sepatunya dan membiarkannya terlempar di sudut ruang tamu. Tasnya pun digeletakkan begitu saja di sofa. “Gila, capek banget aku hari ini,” gumamnya sambil menguap panjang sambil melepas anting-anting dan aksesori lainnya, meletakkannya di meja rias. “Kalau aku nggak buru-buru menyelinap pulang tadi, bisa-bisa jam 2 pagi aku baru sampai rumah. Biarin deh Dennis dan anak-anak Bu Yuna jadi urusannya Mas Bona dan Mbak Rea,” gumamnya sambil membersihkan wajahnya dari riasan dengan milk cleanser.Baru juga dia berhenti bergumam, Bona menelepon. “Lisa? Kamu pulang duluan? Kok nggak ngomong-ngomong sama saya?” omel Bona begitu Lisa mengangkat telepon.“Saya tadi pusing banget, Mas Bona. Lagipula saya tadi sudah bilang sama Mbak Rea, a
Vincent mengerjap kaget, memeriksa waktu pada arloji di pergelangan tangannya. "Jam setengah lima pagi," gumamnya dengan gusar. "Ck, aku kesiangan!" Dia segera bangkit dari sofa dan mengintip kamar Lisa terlebih dahulu. Senyum terukir di wajahnya saat melihat Lisa masih bergelung di bawah selimut, ibu dari calon anaknya itu terlihat masih begitu nyenyak. Vincent mendekat dengan langkah pelan dan hati-hati, ia menunduk untuk mencium lembut perut Lisa yang masih tertutup selimut. "Selamat pagi, sayang," bisiknya pada anak yang masih berada dalam kandungan Lisa. Dia kemudian menatap wajah Lisa yang damai dalam tidurnya. Vincent ingin mencuri ciuman di bibir Lisa, tapi ragu, takut membangunkannya, terutama setelah Dokter Viona memperingatkannya agar menjaga jarak karena aroma tubuhnya bisa membuat Lisa mual. "Aroma tubuhku membuatmu mual, karena bawaan bayi, katanya? Ck. Sepertinya anak kita sudah pandai mengusili kita sejak dalam kandungan ya, sayang?" bisiknya sambil tersenyum pad
Lisa terpana, tak mengira akan melihat Vincent lagi di dalam apartemennya. Keningnya berkerut, bingung dan juga heran. "Bapak ngapain ada di sini?" tanyanya dengan suara sedikit tercekat. Vincent tersenyum, menyadari betapa kejutannya bisa membingungkan Lisa. "Maaf mengagetkanmu, Lisa. Aku datang untuk menyelesaikan beberapa hal," jawabnya dengan tenang, tatapannya tetap lembut memandang Lisa seperti biasa. Lisa mencoba merapikan pikirannya yang kacau. Ini bukanlah pertemuan yang diharapkannya, terutama setelah keputusannya untuk meninggalkan Vincent dan mengakhiri hubungan mereka. "Duduklah, Lisa. Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan," ajak Vincent sambil menepuk tempat di sebelahnya di sofa bed, memberikan kesan bahwa dia tak berniat pergi begitu saja. Vincent mengulum senyum memperhatikan ekspresi Lisa yang terlihat jengkel, bibir merahnya mengerucut padanya tapi malah membuat Vincent merasa gemas. Andai saja tak memikirkan “bawaan bayi” yang sedang dialami oleh Lisa, mun
“Minum dulu obatmu, setelah itu kita bicara.” Vincent menunjuk obat-obatan Lisa lewat isyarat matanya. Dan Lisa pun menurut tanpa banyak bicara. Setelah Lisa meletakkan gelasnya yang isinya sudah tandas, Vincent melanjutkan pembicaraan. “Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, aku mau tanya juga sama kamu. Kenapa kamu menyembunyikan kehamilanmu dariku? Itu anakku, aku ayahnya. Aku berhak tahu, Lisa.” “Saya tidak bermaksud menyembunyikannya dari Bapak. Saya hanya sedang menunggu waktu yang tepat.” “Oya? Menurutmu, kapan waktu yang tepat itu?” Vincent menatap Lisa lekat-lekat. “Jangan bilang setelah bayi kita lahir,” desis Vincent yang diam-diam merasa ngeri meskipun hanya membayangkannya saja. Padahal dia begitu menantikan momen seperti ini datang dalam hidupnya, momen-momen merawat anak kandungnya sendiri sejak masih berada dalam kandungan. Lisa menggigit bibir. Memang seperti itulah rencananya, tapi dia tak berani mengucapkannya ketika melihat sorot kecewa dan kilatan marah di mata V
“Bapak belum jawab pertanyaan saya, dari mana Bapak tahu saya hamil?” Vincent mendengus jengkel karena Lisa malah menanyakan hal itu, merusak momen romantis yang sedang dibangunnya saja. “Apa itu penting sekarang ini, Lisa?” “Tentu saja penting, setidaknya bagi saya.” Lisa ingin menarik tangannya dari genggaman Vincent, tapi pria itu tetap menahannya. Vincent menghela napas untuk sejenak. “Saat aku balik ke mejamu semalam, aku menemukan pouch warna ungu. Aku tahu itu punyamu. Aku iseng membukanya, ternyata ada obat-obat itu di dalamnya. Aku tentu tahu itu obat apa, karena istriku dulu juga pernah hamil dan minum obat yang serupa.” Vincent sengaja menjelaskan seperti itu agar Lisa tak berpikir bahwa sebenarnya Dokter Vionalah yang memberitahu dirinya. “Terus, kenapa Bapak ingin menikahi saya?” “Kamu hamil anakku, Lisa. Maksudku, anak kita. Kamu mau anak kita lahir tanpa nama ayah di akta kelahirannya?" Vincent menggeleng. "Aku nggak mau seperti itu. Anak kita berhak mendapatkan
Lisa tersentak ketika bibir Vincent mendarat halus di bibirnya, pria itu kemudian melumat bibirnya dengan lembut. Lisa merasakan kebingungan di dalam dirinya. Pikirannya berteriak untuk menolak tindakan Vincent, namun tubuhnya malah memberikan respons yang berbeda. Lisa justru terhanyut dalam sensasinya yang memabukkan. “Aroma bayi ini, nyaman sekali,” gumam Lisa dalam hatinya. Dia menyukai aroma wangi yang menguar dari diri Vincent. Dia tidak merasakan mual lagi meskipun tubuh mereka sedekat ini, hanya terhalangi oleh pakaian yang mereka kenakan. Ada getaran yang mengalir di sepanjang tubuh Lisa, kehangatan menyelimuti hatinya. Meskipun awalnya ragu dan khawatir, tetapi saat ini, dalam lumatan ciuman Vincent, Lisa merasakan kedamaian yang ia butuhkan. Dia merasakan getaran emosi yang berubah, dari keraguan menjadi keinginan yang mendalam. Dengan perlahan, Lisa merespons ciuman Vincent. Bibirnya bergerak dengan lembut, merespons sentuhan Vincent dengan sama aktifnya. Lisa memejamkan
Pelukan Vincent semakin erat di pinggang Lisa saat mereka berada di dalam lift apartemen, sesekali tangannya mengelus perut Lisa. Sejak mengetahui bahwa di dalam rahim Lisa telah tumbuh benih dari percintaan mereka, Vincent merasa ingin terus menyentuhnya, seolah ingin mengatakan pada anak mereka yang masih berkembang di dalam kandungan Lisa bahwa dia sudah sangat siap menyambut kedatangannya di dunia ini. "Lisa. Bilang saja kalau kamu ingin makan sesuatu, apapun itu. Oke?" ucapnya sambil membelai perut Lisa. Vincent ingin menjadi seseorang yang siap direpotkan oleh Lisa pada masa-masa mengidamnya ini. Dia ingin menjadi seorang ayah yang selalu siap melayani kebutuhan anaknya bahkan sejak si anak masih berada dalam kandungan.Lisa mengangguk sambil tersenyum, merasakan kehangatan dan kedamaian dalam perhatian serta kasih sayang Vincent yang semakin besar padanya sejak mengetahui kehamilannya. "Aku ingin cookies jahe yang dibuat olehmu, Bang," jawab Lisa, menyandarkan kepalanya di leng
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga