“Entahlah Ayah ada di mana, sejak tadi pagi aku juga mencarinya, Uncle.” Dennis berbicara dengan Jaka di telepon dengan wajah ditekuk kesal karena tak menemukan Vincent di semua ruangan presidential suite yang sedang mereka tempati ini."Om, Ayah ke mana sih?" keluh Dennis dengan wajah cemberut saat melihat Bona baru saja keluar kamar dan sudah rapi dengan penampilannya yang segar dan kasual."Sepertinya sedang ada rapat dengan Tuan Aubert, Mas Dennis. Ada proyek penting yang sedang mereka kerjakan bersama, mungkin Pak Vincent tak sabar ingin membahasnya lebih cepat," sahut Bona sambil mengangguk pada Dennis dengan sorot meyakinkan.Dalam hatinya Bona sudah bisa menebak bahwa Vincent mungkin saat ini sedang bersama Lisa di kamar yang lain, tapi dia harus memberikan alasan yang masuk akal agar Dennis tidak curiga. Sebagai asisten Vincent yang setia, Bona ingin melindungi privasi majikannya, meskipun Dennis adalah putra tunggal Vincent sendiri.Dennis masih memandang Bona dengan raut wa
Pagi itu, angin sepoi-sepoi laut menyambut mereka saat kapal pesiar pribadi milik Vincent meluncur tenang di perairan yang biru. Di sebuah sofa yang empuk dalam ruangan kapal itu, Lisa duduk dan menyandarkan kepalanya yang terasa pening. “Padahal semalam aku sudah cukup tidur, tapi rasanya kok masih saja mengantuk seperti ini sih?” Lisa mencoba minum kopi untuk mengganjal rasa kantuknya, tapi dia malah merasa mual. “Tumben perutku menolak kopi,” gumamnya sambil meletakkan cangkir kopi panas yang cuma disesapnya sedikit ke sebuah meja. Matanya kembali memandang ke luar jendela kaca yang menampilkan pemandangan lautan luas yang cantik.“Lisa, kemarilah,” ajak Vincent yang muncul di ambang pintu, pria itu tersenyum kepadanya seraya melambaikan tangannya agar Lisa mendekat.Mau tak mau Lisa bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Vincent. Pria itu mengajaknya ke dek kapal. "Kamu ingat pulau itu, kan?” bisik Vincent dengan senyum misteriusnya, sambil menunjuk ke arah sebuah pulau yang
Kapal pesiar pribadi Vincent melambung di perairan tenang sebelum akhirnya berlabuh di dermaga pulau yang indah. Momen ini ditemani oleh ketenangan suasana pagi, di mana sinar matahari berusaha menerobos kabut pagi dan menyinari perairan biru yang memukau. Deru mesin kapal perlahan mereda, senandung mesin yang tadinya dominan kini digantikan oleh koor riuh gemericik air dan suara angin yang berbisik lembut. Ketika kapal mendekati dermaga, pantulan cahaya matahari menari-nari di permukaan air, menciptakan berlian-berlian berkilau yang menyambut kedatangan mereka. Dermaga yang terbuat dari kayu kokoh menanti, siap menyambut tamu-tamu istimewa yang akan melangkah dari kapal. Vincent, berdiri di geladak kapal dengan Dennis di sisinya, memandang pulau yang di hadapan mereka dengan penuh kekaguman. Kedamaian pagi meresapi setiap sudut, menciptakan aura magis yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kapal pesiar kecil yang mereka tumpangi akhirnya bersandar di tempatnya dengan gemuruh yang
Frederick melangkah dengan langkah hati-hati di sepanjang pinggiran pantai yang tenang. Tangannya memegang selembar blok catatan dan pensil yang siap digunakan untuk merekam segala inspirasi yang mungkin muncul. Angin laut membawa harum asin yang menyegarkan, suara ombak yang lembut menciptakan latar belakang yang menenangkan. Setiap detail di pulau itu menjadi fokus perhatiannya. Ia mencatat dengan seksama karakteristik pepohonan yang rindang, bentuk unik bebatuan di sekitar pantai, serta warna-warni bunga yang tumbuh dengan liar. Dalam beberapa langkah, Frederick menemukan jejak-jejak burung laut yang melintasi pasir putih, dan itu pun menjadi catatan pentingnya. Pulau terpencil ini memberikan nuansa eksotis yang sempurna untuk merancang resort yang menyatu dengan alam. Setiap sudut pulau menjadi potensi bagi desainnya yang unik dan eksklusif. Sambil menikmati suasana tenang, Frederick mencatat ide-ide untuk desain bangunan, taman, dan fasilitas yang akan menjadi daya tarik utama
Bangunan semi permanen di pulau itu terhampar di antara pepohonan hijau yang memberikan keteduhan alami. Desainnya sederhana namun terasa begitu nyaman, terbuat dari material ramah lingkungan yang menyatu dengan keindahan alam sekitarnya. Terdapat ruangan terbuka dengan dinding-dinding kaca, memungkinkan sinar matahari pagi masuk dengan lembut, menciptakan suasana hangat di dalamnya. Ruangan itupun dijadikan tempat rapat yang diadakan secara mendadak oleh Vincent. Vincent Alessio menempati kursi yang terletak di ujung sebuah meja besar yang terbuat dari kayu. Frederick Aubert, sang arsitek, duduk di sisi lain, mempersiapkan sketsa dan ide-ide awal untuk merancang resort di pulau ini. Pak Antony dari divisi engineering Sutomo Land Corporation dan dua orang timnya duduk berseberangan dengan Frederick. Sedangkan Lisa duduk di sebelah Vincent Alessio, dengan laptop dan buku tulis terbuka di depannya, siap mencatat setiap diskusi yang akan mengalir hingga beberapa jam ke depan. Ruang rapa
Rombongan Vincent meninggalkan pulau ketika hari sudah menjelang sore. Suasana senja melingkupi langit dan laut, menciptakan pemandangan yang memukau. Warna oranye kemerahan merayap di langit, menciptakan perpaduan warna yang memesona di cakrawala. Keindahan itu memayungi perjalanan mereka. Kapal pesiar pribadi milik Vincent itu meluncur tenang di lautan biru yang memantulkan cahaya senja.Di tengah perjalanan, rasa mual yang telah dirasakan Lisa sebelumnya kembali menyerang. Gelombang yang lembut di lautan, meskipun indah, memicu reaksi lambungnya yang sensitif. Dengan langkah hati-hati, Lisa mundur ke bagian belakang kapal untuk meredakan rasa mualnya yang memburuk.Vincent yang sedang berkaraoke bersama Frederick kebetulan sedang menoleh ke arah belakang, dan dia melihat Lisa yang baru saja menyelinap keluar. Di akhir lagu, Vincent menyerahkan mic di tangannya kepada Dennis, “Suaramu bagus, berduetlah dengan Tuan Aubert,” katanya sambil menepuk pelan pundak sang putra. Lalu dia jug
“Permisi, Pak Vincent, mobil Anda sudah siap setiap saat. Tuan Aubert juga sudah siap.” Lisa memberitahu Vincent yang sedang menikmati kopi paginya sambil mengobrol bersama Dennis di sebuah balkon. Vincent menoleh begitu mendengar suara asisten pribadinya itu. “Terima kasih, Lisa.” Dipandanginya wajah Lisa yang sudah tampak lebih segar pagi ini. “Kamu sudah enakan?” tanyanya sambil mengamati lekat-lekat sosok Lisa yang berdiri di sebelahnya. Lisa tampak ayu dengan pakaian ‘bepergian’ berupa gaun selutut, warna krem gelap yang kontras dengan kulitnya yang putih cerah. Rambut panjangnya berkibar cantik tertiup angin. “Sudah, Pak. Terima kasih atas bantuannya. Saya sudah sehat sekarang.” Lisa mengangguk dengan gestur hormat.“Syukurlah.” Vincent tersenyum dengan pandangannya yang lembut kepada Lisa. Lisa balas tersenyum dan segera pamit meninggalkan tempat itu, membawa serta degup jantungnya yang mulai menggila di bawah tatapan Vincent Alessio yang terasa begitu menggodanya. “Kita pu
Jaka menyambut kedatangan Vincent dan Dennis di bandara dengan senyuman hangat. Kebahagiaan terpancar jelas di wajahnya yang tampan. “Halo, jagoannya Uncle!” Jaka memeluk Dennis dengan penuh kerinduan. “Kau pasti punya banyak cerita, Uncle tak sabar ingin mendengarnya,” katanya dengan mata berbinar-binar memandang Dennis yang tersenyum cerah.“Bagaimana festival layangannya? Apakah tim Uncle menang lagi?” tanya Dennis dengan suaranya yang ceria.Jaka mencebik, pura-pura menyombong. “Apakah pertanyaan itu betul-betul perlu Uncle jawab? Kau pasti sudah tahu jawabannya, bukan?” sahutnya seraya mengedipkan sebelah matanya pada Dennis. Keduanya lalu tergelak dan saling merangkul sekali lagi.“Aku bangga padamu, Uncle Jack!” kata Dennis saat tenggelam dalam pelukan hangat Jaka. Bocah remaja itu tak menyadari betapa pujian kecilnya itu sanggup membuat kebahagiaan Jaka terbang hingga ke awan. Dia senang bisa membuat Dennis merasa bangga terhadapnya. Ucapan itu terdengar seperti sebuah ungkapa
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk
Bambang duduk di samping Dennis, merangkulnya dengan lembut sambil memandang jauh ke laut yang tenang di depan mereka. "Dennis, janganlah sedih karena pernikahan ayah Vincent dengan tante Lisa," ucapnya dengan suara lembut.Dennis menoleh ke arah Bambang, tatapan matanya masih penuh dengan kesedihan. "Tapi, Om, aku merasa sedih. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang penting," gumamnya sambil memandang ke lautan di hadapannya.Bambang tersenyum lembut, memahami perasaan keponakannya. "Dennis, kamu harus tahu bahwa pernikahan adalah bagian dari takdir yang telah diatur oleh Gusti Allah. Ayah Vincent selama ini belum aja ketemu sama jodohnya, makanya nggak nikah-nikah sejak cerai sama bundamu. Jangan kamu sesali juga perceraian bundamu sama ayah Vincent. Itu namanya nggak jodoh.”Dennis mendengarkan, sesekali ia menghela napasnya yang terdengar berat. sepertinya bocah remaja itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Bambang. "Nggak usahlah kamu repot-repot mikir kenapa
Suasana makan malam antara keluarga Vincent dan keluarga Lisa dari Italia berlangsung dalam atmosfer kekeluargaan yang hangat dan penuh keakraban. Dante masih terkesima setelah mengetahui tentang kesuksesan Tuan Rain di Indonesia, begitu pula dengan putranya yang akan segera menikahi cucunya, Lisa."Putramu sangat tampan, Rain," puji Dante yang masih merasa terpukau melihat ketampanan Vincent sejak awal mula mereka bertemu. Vincent pun hanya tersenyum mendengar pujian dari calon mertuanya."Cucumu juga sangat cantik, Dante. Mereka sepadan," balas Tuan Rain dengan rendah hati, tersenyum bangga pada Lisa, calon menantunya."Selain cantik, Lisa juga cerdas. Dia bahkan menguasai 6 bahasa asing. Bukankah itu luar biasa?" timpal Nyonya Rose, mengumumkan bakat dan kecerdasan Lisa di hadapan semua orang.Tuan Rain menoleh kepada istrinya, "Sayangku, perlu kamu tahu,” ucapnya seraya mengerling pada Dante yang duduk berhadapan dengan mereka. “Kemampuan Dante menguasai bahasa asing sangat menonj
Hari-H pernikahan Vincent dan Lisa semakin dekat, dengan hitungan hari yang semakin berkurang. Kedatangan keluarga Lisa dari Italia telah menjadi momen yang sangat dinantikan. Di tengah suasana persiapan yang kian sibuk, Nyonya Rose telah menyusun rencana untuk menyambut mereka dengan sebuah jamuan makan malam di sebuah hotel mewah terbaik di Jakarta. Di sana pula tempat menginap bagi para tamu dari keluarga Lisa yang telah tiba dari Italia. Ketika Nyonya Rose dan Tuan Rain memasuki restoran di hotel itu, sorot mata mereka segera tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sebelah Lisa. Tuan Rain, yang pertama kali melihatnya, mendesis pelan. “Dante?” gumamnya dengan suara rendah, matanya menyipit saat mencoba mengidentifikasi sosok tersebut. Semua orang memandang kehadiran Nyonya Rose dan Tuan Rain dengan tatapan hormat disertai senyuman hangat di mata mereka, termasuk pria berambut putih di sana. Pada saat itulah, Tuan Rain mengamati lagi pria tua yang ada di sebelah Lisa itu denga