“Arka?” Hanif tercengang melihat kedatangan Arka yang muncul tiba-tiba.Berbanding dengan Mega yang malah menorehkan senyum tipis di saat Arka sedang terpuruk.“Jadi, ayah Arka sudah meninggal? Bukannya ayah pergi bekerja untuk membahagiakan kami semua?” Suara Arka bergetar saking tak menyangka dengan fakta tentang ayahnya yang sudah meninggal.“Jadi, ibu Arka tidak pernah memberitahu itu?” tanya Mega yang kini memasang wajah cemas. Ia segera berjalan perlahan menghampiri Arka yang kala itu hanya diam terpaku.“Enggak! Tante pasti bohong! Ibu bilang ayah sedang bekerja.” Arka tiba-tiba menaikkan suaranya, matanya tajam menatap Mega.“Untuk apa Tante berbohong? Apa untungnya bagi Tante?” Mega terus mendekati Arka sambil melangkah perlahan dan berhati-hati.Arka menggelengkan pelan, air matanya terus bercucuran membanjiri pipi.Di saat bersamaan Hana datang, bocah perempuan itu sama sekali belum paham situasi yang ada di hadapannya.“Kenapa Kak Arka nangis begitu? Apa kakak ingat Ibu la
“Aku akan mengadopsi mereka dan secepatnya mengurus surat-surat.” Mega menatap Hanif dengan penuh harap. Ia ingin sang suami mengizinkan keinginannya tersebut. Hanif semakin dibuat bingung dengan Mega. Di saat ibu dari ketiga anak itu pergi, ia malah dengan gegabahnya berniat untuk mengadopsi. “Apa kamu yakin? Masalahnya ….” Hanif ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Ia ingin membahas tentang Mira yang masih belum jelas, hanya saja dirinya juga yakin jika Mega malah akan menangis dan marah seperti tadi. “Kenapa, Mas?” Mega tersenyum lebar seakan sudah merasa menang. “Tidak ada. Aku ngantuk, besok harus datang lebih awal karena ada rapat. Kita lanjutkan besok saja.” Hanif beranjak, lalu segera menuju sisi lain kasur untuk kemudian merebahkan tubuh yang merasa lelah. Mega segera mematikan lampu, lalu terlelap di tengah rasa bahagia yang tak terhingga itu. Meski semula mengatakan hendak tidur lebih awal, tetapi Hanif sama sekali tak bisa memejamkan matanya. Ia terus memikirkan
Hanif terpaku sejenak seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Alisnya saling bertaut dengan kepala menggeleng pelan. Hingga sesaat kemudian derap langkah dari luar pintu membuatnya langsung menaruh ponsel itu kembali di tempatnya.“Mas, sudah selesai mandinya?” teriak Mega dari luar kamar.“Belum, anak-anak masih mandi,” sahut Hanif dengan suara kencang.“Ya sudah, aku tunggu di dapur.”“Ya.”Hanif mengelus dada sambil membuang napas, merasa lega Mega telah pergi lagi. Ia pun segera melanjutkan mengecek ponsel sang istri yang sempat membuatnya terkejut.Tanpa membuang waktu, Hanif segera menyimpan dua nomor kontak, yakni nomor Andi dan satu nomor lagi yang namanya terasa asing.“Ini aneh, Mira tidak terlihat seperti wanita yang tega meninggalkan anak-anaknya demi seorang pria,” gumam Hanif yang masih tak habis pikir.Setelah anak-anak selesai mandi, Hanif pun buru-buru ke kamar mandi. Saat melihat anak-an
Beberapa hari sebelumnya.“Di mana ini?” Mira mengedarkan pandangan ke sekeliling, berusaha mencari tahu lokasi tempat ia berada kini.Namun berulang kali mencoba Mira sama sekali tak bisa mengenali tempat yang hanya berhiaskan remang-remang cahaya. Hanya saja, dari aroma usang dan udara yang terasa lembab Mira menebak jika dirinya sedang berada di sebuah tempat yang sudah lama kosong. Debu yang tak sengaja tersentuh jemari seakan menambah kesan jika tempat itu jarang dijamah manusia.Kepala Mira terasa pusing kala itu. Ia terus memijat kening perlahan agar rasa yang membuat tak nyaman bisa segera menghilang.“Kenapa aku ada di sini?” Mira berusaha mengingat kembali kejadian terakhir sebelum akhirnya ia berada di gudang tersebut.Mira berusaha berpikir keras, sampai akhirnya ia teringat saat keluar dari minimarket ada seorang perempuan yang meminta bantuannya, lalu setelah ini semua tiba-tiba menjadi gelap.“Apa aku tiba-tiba pingsan karena asam lambungku kambuh? Tapi, aku tidak telat
Dinginnya air sungai dan sejuk hembusan angin malam yang menusuk sama sekali tak Mira hiraukan yang ada dalam benaknya kini adalah ketiga anaknya yang pasti sedang bersedih karena dirinya pergi secara tiba-tiba.Tanpa rasa takut Mira menaiki bebatuan paling besar yang mana dari atas sana bisa melihat jangkauan yang lebih luas lagi. Mata Mira terus mengitari sekeliling mencari tempat yang bisa dituju hingga sekilas tak sengaja ia melihat sekelebat cahaya berjalan yang tak lain adalah cahaya lampu dari sebuah truk yang melintas.“Sepertinya ada jalan raya di sana. Aku harus cepat kesana sebelum pagi,” gumam Mira sambil berjalan tertatih ke arah jalan yang jaraknya cukup jauh itu.Tempat Mira berada benar-benar dipenuhi semak belukar. Dengan tanpa alas kaki ia buru-buru berlari. Lagi-lagi rumput berduri telah menambah luka di kaki, rasa perih dan ngilu ia abaikan demi bisa lolos dari para penjahat dan bisa segera bertemu dengan anaknya.Sambil berlari Mira terus meringis, hanya saja hal
“Ti-tidak, tolong jangan bawa saya ke kantor polisi! Saya sama sekali tak memiliki niat jahat!” mohon Mira dengan mata berkaca-kaca.Mira sama sekali tak ingin berurusan dengan polisi karena pasti akan panjang urusannya. Belum lagi, ia tidak memiliki bukti jika dirinya sempat diculik. Hanya bisa mengharap belas kasihan dua orang di depannya.“Lalu, apa yang kamu lakukan di truk pacarku?” Wanita itu semakin menatap tajam.Mira menghela napas panjang, lalu menceritakan semuanya dari awal.“Jadi, semalam kamu naik saat hantu nenek-nenek itu stopin truk kita?” Wanita di hadapan Mira tampak mengerutkan alis dengan mata sedikit melotot.Mira mengangguk pelan sambil tertunduk. “Benar, saya mohon maaf karena tidak izin terlebih dahulu.”Pria bertubuh gempal dan kekasihnya itu awalnya masih terlihat ragu. Namun kondisi Mira yang cukup memprihatinkan tampaknya telah membuat mereka merasa sedikit iba.“Bang, kayaknya dia nggak ada niat menipu. Lihat saja, sudah kurus, banyak luka pula. Awalnya k
Para tamu undangan menatap Mira dengan tatapan sinis. Mereka seperti jijik melihat penampilan wanita itu yang memang terlihat lusuh itu.“Jadi, dia ibunya anak-anak itu? Benar-benar menjijikan.”“Kenapa pestanya jadi seperti ini? Kalau tahu akan begini aku menyesal datang kemari.”Hinaan demi hinaan terlontar dari mulut para tamu undangan, tatapan sinis pun seakan mengiringi langkah Mira yang hendak menghampiri anaknya.Hana dan Kiano yang mulai menyadari kehadiran Mira pun seketika berteriak dengan mata berkaca-kaca.“Ibu!” teriak Hana.“Mbu!” Kiano tak mau kalah.Ketiganya hendak berjalan menghampiri Mira, sampai saat Mega dan beberapa karyawannya memegangi tangan ketiga bocah itu.“Jangan pergi! Itu bukan ibu kalian!” tegas Mega sambil menatap tajam.“Nggak, itu Ibu! Arka yakin itu ibu!” teriak Arka sambil berusaha melepas genggaman tangan anak buah Mega.Mira yang emosi melihat anak-anaknya diperlakukan tidak baik pun lantas mempercepat langkah, hendak mendekati Mega. Namun, baru
Hanif duduk bersandar sambil menahan nyeri akibat pukulan Mega. Ia memandang ke arah kasur, tempat di mana dirinya dipukul tadi. Matanya tertuju pada sebuah vas bunga yang biasa berdiri di atas nakas, kini sudah berpindah ke atas kasur.“Kenapa Mega begitu tega melakukan ini padaku?” gumam Hanif yang hatinya sedang merasa sangat kecewa sekaligus bersedih.Di sisi lain, Mira yang sedang berada di luar rumah itu terus memberontak berusaha melepaskan diri.“Diamlah! Jangan menghambat pekerjaanku! Seharusnya sejak awal kamu jangan egois! Biarkan saja anak-anakmu bahagia dengan Bu Mega,” timpal Susi.Mira yang sedang merasa terpuruk semakin hancur saat mendengar kalimat uang Susi ucapkan. Apa memang dirinya terlihat egois di mata orang? Tapi ibu mana yang rela berpisah dengan anak-anaknya? Lagi pula, tangis anak-anak tadi sudah menjadi bukti nyata jika mereka pun tak ingin berpisah dengan Mira.‘Ya Allah, berikan hambamu ini kekuatan,’ gumam M
Raka tersenyum menatap istri dan anak-anaknya yang terlihat kebingungan. “Ayah, kayaknya kita salah masuk rumah.” Arka melirik kesana kemari saking kebingungan. “Nggak, ini memang rumah kita, kakek yang buat begini.” Hana yang lebih bingung lantas kembali berlari keluar, berusaha mencerna keanehan di depan matanya. “Ayah, kenapa luarnya jelek? Kenapa nggak sekalian dibagusin kayak di dalem?” Raka hanya tertawa karena semula ia pun bingung dengan kondisi rumah yang aneh. Hanya saja, karena ini semua ulah Agus, tentu jadi terasa tidak aneh. “Tanya saja sama kakek,” ujar Raka sambil mengusap lembut kepala Hana. Mira hanya tersenyum mendengar jawaban Raka. Jika sudah menyangkut Agus memang semua terasa masuk akal. “Ya sudah, sekarang yang penting kita istirahat dulu, kalo Raka sama Hana mau makan ada di dapur, Kiano juga sudah ayah buatin susu,” lanjut Raka sambil menggendong Syafa. “Ayo kita cek dapur kak, pasti jadi bagus juga,” ajak Hana yang terlihat antusias. “Ayo, sekalian
Mira berusaha mempertahankan diri karena saat itu Syafa sedang berada dalam gendongan.“Ah, apa yang kamu lakukan?” teriak Mira sambil berusaha berbalik demi bisa menghindar.Namun saat berbalik betapa terkejutnya Mira mengetahui jika orang di belakangnya adalah Dian. Mira membelalak, matanya berkaca-kaca iya berdiri mematung saking terkejutnya.“Mbak Dian?” ucap Mira, lirih.Kala itu penampilan Dian sangatlah kacau. Pakaiannya compang-camping rambutnya kusut tidak terawat bahkan nyaris gimbal wajahnya pun sedikit kotor beruntung Mira masih bisa mengenali.Dian terlihat seperti orang tidak waras bahkan beberapa kali dia berusaha untuk menyakiti Mira sambil tertawa cekikikan.“Mira, awas!” Raka muncul secara tiba-tiba berusaha melindungi Mira yang kala itu sedang saling berhadapan dengan Dian.Dian mendadak terdiam setelah melihat kedatangan Raka. Entah apa yang ada dipikirannya. Hanya saja, ia yang semula cekikikan mendadak menangis cukup kencang.Beberapa warga yang melihat tingkah D
Agus secara tiba-tiba memberikan sebuah gunting dengan hiasan pita kepada Mira. Tentu saja hal tersebut membuat Mira dan Raka kebingungan.“Pak, apa maksudnya ini?” bisik Mira yang kala itu tampak kebingungan.“Ini milik kalian. Hadiah dariku atas kelahiran Syafa, juga ucapan selamat atas usaha kalian yang semakin sukses,” jelas Agus dengan santainya.“Tapi ini terlalu berlebihan, Pak.” Raka turut menjawab.“Hey, yang namanya hadiah ya suka-suka yang ngasih!” tegas Agus sambil menatap tajam, “apa jangan-jangan kalian nggak mau menerima hadiah dariku?”Raka terkejut mendengar ucapan Agus, tentu saja bukan itu yang dia maksud.“Bukan, Pak! Tapi ini–”“Semuanya, saya disini hanya mendampingi Mira dan Raka untuk melancarkan bisnis wisata ini. Mereka hanya punya uang, tapi tidak tahu alur untuk pengelolaan bisnis wisata,” jelas Agus dengan menggunakan pengeras suara.Bukan hanya para warga yang terus menghujat, Mira dan Raka saja sampai dibuat tak bisa berkata-kata mendengar ucapan Agus.“
Pagi itu, ketika Mira tengah memberi ASI anaknya yang baru lahir, mendadak suara bell rumah mengejutkannya.“Siapa yang datang pagi-pagi begini?” gumam Mira sambil perlahan berusaha bergeser agar anaknya tidak terbangun.Setelah berhasil lepas dari pelukan sang anak, Mira buru-buru keluar kamar, lalu membukakan pintu.“Surprise,” ucap Agus yang kala itu tengah bersama Raka dan ketiga anak mereka.Mira mengerutkan kening, bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.“Surprise?” Mira mengerutkan kening sambil tersenyum bingung.Agus melirik Raka, meminta pria itu untuk menjelaskan semuanya pada Mira.“Ceritanya panjang, cuma Pak Agus minta kita buat kembali ke kampung, ada yang harus kita liat,” jelas Raka.“Memangnya apa?” Mira masih belum mengerti dengan apa yang sebenarnya Raka maksud.“Mas juga kurang tau–”“Sudahlah! Jangan banyak tanya! Kalian pergi hari ini juga, biar bisnis kalian asistenku yang urus.”Mira dan Raka saling pandang sambil berbicara dengan nada cukup tinggi, saking
“Kita langsung ke dokter saja, ya! Mungkin ini efek kamu terlalu stres mikirin masalah tadi,” ungkap Raka seraya merangkul sang istri. Mira dengan tubuh lemas dan perut yang mualnya tak tertahankan lebih memilih duduk terlebih dahulu untuk meredakan rasa yang membuatnya tak nyaman tersebut. Anak-anak yang mengerti jika sang ibu sedang tak enak badan itu seketika meniru ayah mereka memijat-mijat pelan di bagian lengan dan kaki. “Mas, kalau udah enakan saja ya pergi ke kliniknya, perutku lagi nggak nyaman banget.” “Kalau begitu biar Mas panggilkan dokter ke rumah saja.” Raka segera menelpon dokter kenalannya. ART di rumah pun tak kalah perhatian. Ia langsung membawakan teh manis hangat ketika tahu Mira sedang tidak enak badan. “Bu, sebelumnya saya minta maaf kalau agak kurang sopan. Kalau boleh tahu kapan ibu terakhir haid?” tanya asisten rumah tangga tersebut. Mira mengerutkan alis dan sontak terkejut seketika. “I-itu, apa mungkin?” Mira tersenyum canggung. Raka yang sedang men
Raka yang sedang berada tak jauh dari tempat Mira menerima panggilan telepon sontak terkejut saat mendengar sang istri setengah berteriak.“Ada apa? Kenapa sampai terkejut begitu?” Raka memegangi bahu Mira.“Ini Mas.” Mira menunjukan sebuah pesan pada Raka.Raka segera meraih ponsel Mira dan membaca isi pesan di dalamnya. Ia mengerutkan alis dan terdiam untuk beberapa saat.Kala itu Mira tampak sedang menahan air mata, tak menyangka dengan apa yang dibacanya.“Setelah sekian lama mencampakanmu sekarang mereka malah berusaha mempermalukanmu begini?” Raka tanpa sengaja meremas ponsel Mira saking merasa kesal.“Kupikir mereka sudah nggak menganggapku ada. Tapi ternyata di saat aku sudah sukses, malah mengatakan pada semua orang kalau aku menelantarkan mereka.”“Om dan bibimu sudah sangat keterlaluan. Biar aku bantu luruskan saja semuanya. Biar keluargamu itu pada tau.”“Percuma, mereka nggak bakalan mau dengar. Kalau begitu, Mas antar aku ke rumah sakit saja. Biar sekalian ketemu keluarg
Kala itu warung Iyun barang dagangannya tak terlihat sepadat dulu. Hanya beberapa barang saja yang dipajang, itu pun tampak sudah berdebu seperti tak tersentuh.Beruntung cabut-cabutan yang Arka inginkan masih ada dan bahkan masih begitu banyak.“Bu, Arka mau semua boleh?” tanya Arka seraya menunjuk yang ia inginkan.Mendengar suara Arka, Iyun yang semula sedang terkantuk menunggui warung sampai dibuat terkejut.“Mi-mira?” gumam Iyun dengan mata membelalak, “mau ngapain kamu ke sini?” tanyanya seraya menatap sinis.Iyun sama sekali tak tahu jika Mira yang kini sudah di hadapannya berbeda dengan yang dulu.“Maaf, saya ke sini karena ada yang mau dibeli.”Iyun perlahan menatap pakaian Mira dan anak-anak yang kini terlihat bagus. Ia pun lebih memilih diam dan membiarkan Mira belanja di tempatnya.“Ibu Arka mau kue juga.”“Ambil saja.”Anak-anak tampaknya sengaja mengambil apa yang dulu tak bisa me
“Bukannya itu Mira? Apa aku nggak salah liat? Dia naik mobil mahal dan mewah begitu.”“Iya, anak-anaknya juga pake baju bagus. Mereka benar-benar jauh berbeda.”“Apa mungkin mereka pesugihan? Masa iya bisa kayak secepat itu?”“Loh, kamu nggak tahu? Mira itu kan sempat viral di media sosial.”Para warga desa yang menyaksikan kedatang Mira dan Raka tak hentinya berbisik. Mereka antara bingung, terkejut, juga tak menyangka dengan apa yang mereka lihat.Hanya saja, Mira kali ini berusaha untuk tak ambil pusing tentang ucapan para warga desa dan memilih fokus pada orang yang dituju saja.Kala itu di rumah Roni tampak istrinya yang sedang hamil besar terkejut melihat kedatang Mira dan Raka.“Mas Roninya ada, Mbak?” tanya Mira seraya tersenyum.Istri Roni pun heran karena ternyata Mira datang-datang malah mencari suaminya.“Maaf Mbak Mira, apa suami pernah pinjam uang? Atau melakukan kesalahan?” tanya wanita itu dengan wajah kebingungan.Mira tersenyum melihat tingkah istri Roni. Ia tahu bet
Semua mata tertuju pada Raka dan Mira, sepasang suami istri yang begitu serasi, membuat mereka yang melihat menjadi kagum dan terpana.“Wah, sepertinya laki-laki itu memang suaminya. Mereka cocok sekali.”“Benar, tatapan keduanya saja keliatan saling mencintai.”“Yah, beberti Nunung saja yang iri dia nggak bisa dapetin laki-laki seganteng suami si Mbak itu.”Orang-orang yang menyaksikan sontak tertawa. Mereka menertawakan Nunung karena telah gegabah menuduh yang tidak-tidak.Merasa malu, Nunung pun segera pergi sambil menggerutu, sedangkan orang-orang yang berkerumun bergegas membubarkan diri.Mira dan Raka saling pandang, sejak tadi mereka terus menahan tawa.“Mas datang di saat yang tepat,” ungkap Mira.“Sebenarnya Mas sudah perhatikan dari tadi. Cuma nunggu waktu yang pas yang paling greget saja.” Raka terkekeh.Mira mencubit lengan sang suami, “jadi, apa seru melihatku dipermalukan?” “Enggak begitu sayang.” Raka terlihat panik.Mira malah tersenyum melihat tingkah sang suami.Di