Alunan suara dari salah satu Diva terbaik di dalam negeri mengalun merdu memenuhi ruangan. Indah. Suara yang terdengar sangat indah. Menggunakan kebaya tradisional modern, rambut dibiarkan terurai begitu saja, penampilan Diva itu sungguh sedap dipandang mata. Spontan tepuk tangan riuh memenuhi ruangan, saat Sang Diva mengakhiri setiap lagu yang dibawakannya.Para tamu terlihat sangat menikmati jalannya acara. Sambil bercakap-cakap ringan di kursi-kursi dan meja yang telah disusun sedemikian rupa, santai menyantap kudapan dan hidangan yang telah disediakan secara prasmanan.Di deretan kursi paling depan, ujung sebelah kanan, Elya duduk rileks menikmati makanan kecil dan merasakan segarnya minuman. Sesekali dia ikut bersenandung, saat kebetulan lagu yang dibawakan Sang Diva adalah lagu kesukaannya."Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya sekalian, dimohon untuk berdiri sebentar, karena kedua mempelai akan segera memasuki ruangan." Suara MC kondang yang sering menjadi pemandu acara di salah satu s
"Kakak pernah bertanya kenapa Frans jarang ikut acara keluarga akhir-akhir ini bukan? Frans punya wanita lain, Kak. Aku baru tahu beberapa hari yang lalu." Air mata Ranti kembali mengalir."Frans selingkuh?" Elya cukup terkejut mendengar cerita Ranti. Walaupun mereka tidak terlalu akur, sebagai sesama wanita dia paham betul bagaimana perasaan adik iparnya itu."Bukan selingkuh, tetapi aku yang menjadi selingkuhannya." Ranti menggigit bibirnya. Menahan sakit di dalam sana."Maksudmu?""Ternyata selama ini aku telah dibohongi, dia telah beristri. Rapi sekali dia menyimpan semua selama pernikahan kami. Hingga aku tidak menyadari, bahwa aku adalah istri kedua." Ranti terisak, mengabaikan make up nya yang menjadi berantakan.Elya terpana. Inikah karma? Selama pernikahan saudaranya membohongi Elya tentang hasil pemeriksaan itu, menjadikan Elya tameng dari setiap hujatan yang seharusnya Bram terima. Kini, adiknya yang menanggung balasannya, ternyata Ranti juga dibohongi oleh suaminya. Bahkan
Terkadang kita sudah merasa paling berkuasa, tapi takdir justru berkata sebaliknya. Saat Bram sudah merasa rencananya berjalan lancar sesuai keinginannya. Saat Elya sudah merasa akan menang dan tinggal menunggu hari itu akan tiba. Takdir justru memberangus semuanya. Menghancurkan setiap titik, rasa bangga dalam diri mereka.Di sana, di tanah bersalju yang mereka anggap sudah tidak ada apa-apa. Di tempat yang mereka kira, sumber dayanya akan segera sirna. Ternyata justru menyimpan sesuatu yang tak kalah berharganya.Cadangan minyak itu sudah tidak ada. Tapi bukan berarti daerah itu sudah tidak lagi berguna. Tertimbun jauh di dasar sana, sumber kekayaan yang tidak ada habisnya.Ratusan ton emas murni. Seolah menjadi hadiah dari bumi, pada Elya dan Bram, yang merasa seakan bisa mendahului kuasa Tuhan. Membunuh keangkuhan dua anak manusia, yang seperti sudah akan menang melawan ketetapan."Sudah kau pastikan, Lin?" Rahang Bram mengeras. Napasnya terdengar menderu, secepat detak jantungnya
"Nanti Mama carikan dimana Elya. Sekarang bergegaslah, Rossa sudah menunggu dari tadi." Mama Vania menepuk pelan punggung Bram.Bram berjalan dengan gagah menuju tempat Rossa menunggu. Senyum lebar terkembang di wajahnya. Begitu sampai di tempat Rossa berdiri, Bram langsung merundukkan badan dengan bertumpu pada satu kaki. Tangannya terjulur, meminta tangan Rossa. Bram terlihat sangat jantan. Rossa tersenyum sumringah melihat Bram memperlakukannya sedemikian rupa.Lampu di ruangan besar itu meredup. Hanya tersisa lampu sorot yang menyala terang. Membentuk bulatan, menyinari kedua pasang mempelai. Musik romantis mulai terdengar dari alunan biola. Seorang violinist terkenal diundang secara khusus untuk mengiringi momen istimewa ini.Bram berdiri, satu tangannya memegang pinggang Rossa, menariknya agar lebih mendekat. Tangan yang lainnya tetap memegang tangan perempuan yang telah menjadi wanitanya itu. Rossa melingkarkan satu tangannya di pundak Bram. Pelan kedua mempelai mulai bergerak.
"Ma, Pa …." Elya menyapa Mama Vania dan Papa Lin yang sudah lebih dulu duduk di meja makan. Wanita itu tersenyum lebar pada Mama mertuanya yang mengelus bahunya pelan.Seperti biasa, sudah menjadi aturan tidak tertulis dalam keluarga Lin Harimurti. Setiap ada anak yang baru menikah, maka semua anggota keluarga wajib menginap selama satu minggu di rumah Papa Lin dan Mama Vania. Alasannya agar mereka bisa berkumpul bersama, sebelum mulai sibuk lagi dengan kehidupan masing-masing."Hei, Cantik." Mama Vania tersenyum lebar menyapa menantu kesayangannya itu."Rapi sekali, mau kemana?" Mama Vania memperhatikan penampilan Elya yang terlihat formal namun masih terkesan santai."Seperti melihat Elya muda sekian tahun yang lalu, saat pertama kali Bram memperkenalkannya pada kita." Papa Lin ikut bersuara."Jadi maksud Papa, Elya sekarang sudah tua, begitu?" Elya memajukan bibirnya, pura-pura merajuk.Meja makan itu dipenuhi oleh tawa. Elya
"Bram mana?" Papa Lin bertanya pada Rossa yang sedang merapikan handuk di kepalanya."Tadi baru selesai mandi, Pa, mungkin sebentar lagi menyusul kemari." Rossa menjawab sambil mulai menyendok nasi."Elya duluan Pa, Ma …." Elya berdiri setelah menyelesaikan sarapan paginya.Bergegas dia berjalan meninggalkan meja makan sebelum Rossa kembali bersuara. Malas sekali rasanya dia harus satu meja dengan perempuan murahan itu. Selain murahan, Rossa ternyata tukang halu juga. Elya terus membatin sepanjang jalan menuju kamarnya."Mas Bram minta nambah katanya. Minta nambah apanya?" Elya menggelengkan kepala. Jam lima tadi Elya terkejut saat bangun tidur, dilihatnya Bram sedang berbaring di samping sambil memeluk pinggangnya. Justru Elya yang mengusir Bram agar segera pindah ke kamar Rossa. Setengah sadar lelaki itu berjalan terhuyung-huyung pindah kamar."Mau kemana?" Bram mencegat Elya yang baru keluar dari pintu utama."Keluar." Elya me
Dua burung besi itu melesat membelah angkasa. Yang satu pergi seorang diri dengan perasaan ramai di hati, sementara yang lainnya pergi berdua namun sepi tetap menggayuti.Elya, wanita muda dengan segala kesempurnaannya itu pergi menyeberangi samudera. Jauh di dalam sana, hatinya berdarah-darah. Belum kering luka karena dibohongi orang yang paling dia percaya selama bertahun-tahun, kini luka itu semakin menganga dengan adanya pernikahan kedua dari orang yang pernah sangat dia cinta.Apa yang dilakukan Bram dan Rossa di sana? Dua minggu bersama? Dadanya nyeri mengingat tubuh dan hati Bram kini bukan hanya miliknya. Elya juga tidak bisa membayangkan jika nanti Bram meminta, apakah dia masih mau melayaninya dengan rela? Elya jijik memikirkan entah sudah berapa banyak pria yang menikmati istri kedua suaminya itu."... In a few moments, the flight attendants will be passing around the cabin to offer you drink and snack …."Pengumuman dari dalam pes
"Kau kenal Elya?" Wajah Bram dingin bertanya pada wanita muda di seberang samudra sana. Matanya menyipit memperhatikan perubahan raut wajah Elin."Istri Bapak, kan?" Elin bertanya hati-hati."Elin, kau orang kepercayaanku. Kau tentu paham sekali bagaimana tabiatku. Aku benci dikhianati." Wajah Elin pias mendengar surat berat Bram."Kuulangi pertanyaanku. Kau kenal Elya?" Bram menatap tajam wajah Elin yang terpampang jelas di ponselnya."Kami bersahabat baik sejak kuliah, sampai detik ini." Elin menarik napas panjang.Dalam waktu singkat wanita berambut lurus itu berhitung dengan situasi, memilih menjawab jujur pertanyaan orang yang telah memberikan kepercayaan penuh padanya selama bertahun-tahun ini. Wanita dengan mata sipit itu paham betul tabiat Bram, dia sangat membenci pengkhianatan."Saya tidak tahu Bu Elya adalah istri Bapak, sampai saya ditugaskan untuk berkoordinasi dengan Pak Hendy beberapa tahun lalu." Tarikan napas Elin terdengar jelas."K
"Apa kabar Rossa?" Elya akhirnya kembali bertanya setelah mereka terdiam cukup lama."Ah iya. Dia sehat, anaknya juga sudah bertambah besar. Sedang dalam tahap merangkak ke sana kemari. Rossa titip salam untukmu."Elya tertawa kecil. Mengangguk. Salam balik untuk Rossa maksudnya. "Dia sangat berterima kasih padamu, El. Boleh tahu kenapa?""Hei! Kau mau tahu saja. Itu rahasia antara para wanita." Elya tertawa sambil mengedipkan mata.Elya menarik napas. Ingatannya melayang pada siang itu, saat dia dan Rossa akhirnya setuju untuk bersepakat. "Apa yang mau kau bicarakan, El?""Aku ingin menawarkan kerjasama.""Kerjasama?" Rossa tertawa kecil."Hei! Ingat berapa kali kau menolak tawaranku? Dua kali!" Wanita yang tengah berbadan dua itu berteriak."Lalu, apa menurutmu aku akan menerima begitu saja tawaran darimu setelah saat ini aku berada di atas angin, hah?!" Napas Rossa menderu."Tena
Bram tersenyum melihat Elya yang sedang duduk di mobil dengan pintu terbuka. Dia tahu wanita itu sedang menunggunya. Tadi mereka berjanji akan makan siang bersama setelah semua urusan selesai.Bram menarik napas panjang. Bahkan dari kejauhan, kecantikan Elya masih terlihat sangat jelas. Di usianya yang menjelang pertengahan kepala tiga, Elya tampil sebagai wanita matang dengan segala kesempurnaanya. Lelaki itu kembali menarik napas panjang. Andai dulu dia jujur pada Elya tentang hasil pemeriksaan, akankah kisah mereka tetap berakhir seperti ini?"Bram." Satu suara menyapa Bram.Lelaki berkaos putih itu menoleh ke arah sumber suara."Pa ….""Kata Elya kalian ada acara?""Iya, Pa. Kami mau makan siang di luar. Nostalgia, di resto dulu tempat aku melamar Elya." Bram tersenyum malu-malu."Pergilah, Bram. Melihat dari sikap Elya, Papa yakin masih ada kesempatan bagimu untuk memenangkan hatinya." Papa Lin menepuk bah
Enam bulan setelah penangkapan Kakek Harimurti."Selamat Siang, pemirsa Berita Dalam Negeri.Setelah melalui proses sidang yang alot karena Harimurti melakukan perlawanan yang cukup kuat. Hari ini akhirnya keputusan banding resmi ditolak.Harimurti dijerat dengan pasal berlapis. Pertama penyalahgunaan obat sehingga membahayakan keselamatan orang lain pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.Kedua pencemaran nama baik terhadap perusahaan Lakhsita pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Ketiga pengancaman akan menghabisi nyawa orang lain pasal 368 KUHP.Dengan adanya tuntutan pasal berlapis, Harimurti dijatuhi hukuman denda yang sangat banyak dan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang lama.Sangat disayangkan. Di masa-masa akhir menuju tutup usia, Harimurti harus kehilangan semua kekayaan dan kehormatannya. Harimurti bahkan ditangkap di kantor pusat Harimurti Grup, tempat ya
Papa Lin tersenyum puas menatap Elya. Menantunya itu memang layak dikagumi. Jika menuntut Harimurti dengan jalan biasa, pasti lelaki tua itu akan bebas dengan mudah.Dengan melakukan semua ini, mereka bisa mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat. Apa lagi jika memanfaatkan kisah rumah tangga Elya dan Bram yang selama sepuluh tahun belum dikaruniai keturunan. Pasti emosi publik akan semakin meledak.Elya tersenyum menatap Kakek Harimurti yang mematung. Lelaki tua itu melihat dirinya dengan tatapan kosong."Kau terlalu angkuh Harimurti! Seolah bisa menyelesaikan semua dengan uang dan relasi yang kau miliki, kau lupa tidak semua hal bisa dibeli. Salah satunya harga diri. Kini, kau bukan siapa-siapa lagi di negeri ini." Lembut suara Elya terdengar, membuat Kakek Harimurti terdiam."Seorang pemilik imperium bisnis ternama, kini hanya seorang calon pesakitan yang akan menghabiskan sisa waktunya dalam keadaan hina! Semua itu karena nafsu
"Lepas!" Elya berteriak sambil memberontak."Bagaimana, Elya?" Kakek Harimurti terkekeh melihat wajah Elya yang memerah.Elya tidak gentar sedikit pun dengan keadaan di sini. Dia pernah melihat hal yang lebih keji. Kedua orangtuanya mati terbakar dan menjadi abu di depan matanya sendiri."Ternyata selama ini kalian telah mengetahui aku yang telah membuat Bram mandul, hah?!" Kakek Harimurti berdiri tegak di hadapan Elya yang dipegang oleh dua orang suruhannya.Kakek Harimurti tertawa terbahak-bahak. "Kau betul, Elya! Aku memang telah memberikan obat itu selama lebih dari tiga puluh tahun. Cucu dari jalan darahku lebih pantas memimpin perusahaan ini dibandingkan dengan keturunan Lin s*alan itu!""KRIMINAL!" Elya berteriak kencang sambil memberontak.Kakek Harimurti kembali tertawa terbahak-bahak. "Kriminal? Tidak ada yang kriminal di negeri ini selama kau punya uang dan relasi!" Kakek Harimurti menatap Elya ding
"Jelaskan!" Bentakan Kakek Harimurti memenuhi lantai paling atas kantor pusat Harimurti Grup. Suara serak itu gemetar menahan amarah.Papa Lin menarik napas panjang. Lelaki tua di hadapannya ini terlihat sangat marah. Hilang sudah rasa hormatnya selama ini. Orang yang dianggapnya sudah seperti ayah kandung sendiri, ternyata musuh yang menikam dari belakang."Tenanglah dulu, Pa.""Jelaskan maksud semuanya, Lin.""Maksud yang mana?""Kenapa kau melakukan konferensi pers?!" Kakek Harimurti berteriak kencang. Giginya bergemeletuk melihat Papa Lin yang tampak tenang-tenang saja."Kenapa tidak?" Papa Lin tersenyum. Matanya menatap dua orang bodyguard berbadan atletis yang berdiri tegap menjaga pintu. Dia yakin sekali, pasti di luar ruangan jumlah mereka lebih banyak lagi."Lin!" Kakek Harimurti menggebrak meja."Apa masalahnya, Pa?" Papa Lin menatap Kakek Harimurti dengan ekspresi pura-pura bingung.Kakek Ha
Suara Papa Lin terdengar berwibawa."Saat ini. Saya hanya berdiri sebagai penengah, untuk rumor yang sangat simpang siur terjadi dalam dunia bisnis. Saya, mewakili Harimurti Grup merasa perlu angkat bicara, agar rumor tidak semakin berkembang dan menyesatkan kita semua.Saya diberikan mandat oleh anak saya, Bramantyo Harimurti. Karena menurutnya, saya lebih mumpuni dalam menyelesaikan rumor ini.Sepenuhnya kepemimpinan Harimurti Grup saat ini dipegang oleh Bram. Semua keputusan, walau hanya untuk membunuh seekor semut pun di dalam Harimurti Grup harus atas seizin Bram.Menjawab rumor yang beredar tentang perebutan kekuasan dalam lingkaran keluarga Harimurti, itu tidak benar sama sekali.Sebagai pemimpin perusahaan, Bram yang berhak menentukan arah perusahaan selanjutnya. Karena saya dan Ayahanda Harimurti sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi dalam lingkar perusahaan.Selain itu, mengenai rumor kedua yang beredar, yakni tent
"Ini rangkaian terakhir, Bram. Setelah ini kita lakukan pengecekan secara keseluruhan, baik darah maupun sp*rma." Dokter Lucky menjelaskan sambil menyiapkan resep untuk Bram."Bagaimana, dok?""Apa yang bagaimana, El?" Dokter Lucky tersenyum sambil menatap Elya."Mas Bram." Elya mengulum senyum.Dokter Lucky tertawa melihat Elya yang salah tingkah."Kau ini seperti masih perawan saja, El. Malu-malu begitu."Bram ikut tertawa mendengar omongan dokter Lucky. Dadanya berdebar kencang. Takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan."Sejauh ini hasilnya baik. Tapi harus saya pastikan lagi dengan hasil pengecekan terakhir nanti. Sudah tidak sabar menanti kehadiran buah hati ya?" Dokter Lucky mengedipkan sebelah mata.Elya dan Bram tertawa berbarengan."Ada lagi yang mau ditanyakan?""Cukup dok," jawab Bram sambil menerima resep yang diserahkan dokter Lucky.Setelah beberapa percakapan lagi, Ely
"Panggil Papa saja, El." Papa Lin tersenyum kecil saat tawanya reda."Papa apa kabar?" Elya tersenyum cerah. melihat cahaya di mata Papa Lin, dia tahu, dia sudah berhasil membangunkan singa tidur itu."Sehat, El. Kau sibuk sekali akhir-akhir ini sepertinya? Saat acara selamatan kelahiran anak Lira kemarin juga kita tidak sempat bercakap-cakap."Percakapan mereka terhenti. Pramusaji mengantarkan pesanan yang telah lebih dulu Elya pesan saat reservasi tempat.Kebetulan sekali, restauran di rooftop gedung pencakar langit tertinggi itu sedang sepi malam ini. Hanya ada tiga pelanggan. Duduk mereka juga berjauhan, sehingga membuat obrolan mereka lebih bebas."Sibuk, Pa. Bagaimana tidak sibuk? Aku ingin menggulingkan salah satu pemilik perusahaan paling berpengaruh. Tentu banyak hal yang harus kulakukan." Elya tertawa kecil.Papa Lin tersenyum. Istri pertama Bram ini memang selalu berbicara langsung ke intinya."Bagaimana, El?" Papa Lin mulai memasukkan pot