"Jangan terlalu mengurusi jandaku, Ran. Karena begitu aku menjadi janda, kupastikan kau akan menjanda juga. Kau pasti sadar benar, sekali aku menanggapi Frans, pernikahan kalian selesai." Elya mengembuskan napasnya di leher Ranti.
"Bisa apa dirimu tanpa Frans? Jangan terlalu sombong dengan apa yang kau punyai. Mungkin kau merasa sempurna karena bisa memberikan dia keturunan, tapi kau sama sepertiku, tidak lebih dari seorang istri yang hanya pandai bersolek!" Elya tersenyum, mengembalikan semua kata-kata Ranti padanya.Elya memijat lembut bahu Ranti yang menegang."Aku duluan, Ran. Sepertinya acara penyambutan calon janda seperti kita akan segera dimulai." Elya tersenyum penuh kemenangan menatap Ranti yang mukanya memerah.Elya menjauhkan badan mereka. Sejenak memindai penampilan Ranti dari atas ke bawah. Kemudian menggeleng sambil tertawa kecil.Elya berjalan dengan anggun, meninggalkan Ranti yang membeku.***"Bram"Aku punya foto hasil pemeriksaan itu." Elya berkata tenang, dengan anggun mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.Seketika ruangan itu hening.Suara Elya mengambang di langit-langit.Udara seperti hilang.Tarikan-tarikan napas terdengar sangat berat.Elya tersenyum tenang. Dia membuka salah satu foto di ponsel berlogo apel tergigit itu menggunakan tangan kanannya. Tangan yang mulus, putih, dan jari yang lentik dihiasi dengan lukisan bunga teratai berwarna merah muda di kukunya. Indah, siapapun yang melihat tangan itu pasti berdecak kagum. "Ada yang mau melihat foto hasil pemeriksaannya?" Suara Elya lembut terdengar. Tangannya terangkat, mengacungkan ponsel sambil menggoyang-goyangkannya.Hening. Ketegangan membungkus ruangan itu."Elya …." Bram mengambil ponsel Elya. Sigap Elya menjauhkannya dari Bram."Kenapa, Mas? Mas lupa hasilnya makanya mau lihat lagi?" Elya mengedipkan sebelah matanya pada Bram.
"Saat ini, perusahaan mempunyai pinjaman dalam jumlah besar di dua kreditur kenalan temanku itu, Kek. Investasi itu membutuhkan dana yang besar, sehingga aku harus berhutang karena memerlukan tambahan modal. Tapi hasil investigasi ternyata salah perhitungan, sehingga setiap tahun hasil minyak yang didapat semakin berkurang. Hal ini menyebabkan perusahaan tidak bisa melunasi hutang. Gagal bayar." Bram meletakkan gelas es jeruk."Saat itulah, perusahaan temanku akan mengambil alih semua aset perusahaan kita. Mereka yang akan berpura-pura menjadi pembeli di pelelangan pengadilan nanti." Bram menghela napas lagi."Aku harus bermain rapi, karena jika tidak, Om Ridho dan Om Miko, suami Tante Adisti, pasti bisa mencium adanya ketidakberesan dalam masalah ini. Oleh karena itulah, aku memerlukan waktu yang sedikit lama, untuk bisa menyelesaikan semua.""Apa yang kau butuhkan untuk bisa mempercepat semuanya? Kita sudah tidak bisa menunggu! Malam ini pasti mereka ak
Mama Vania mengelus punggung Elya lembut. Sebagai sesama wanita, dia paham sekali bagaimana perasaan menantunya itu."El …." Mama Vania tersenyum, menatap Elya lembut."Kalau kau mau pulang sekarang, Mama temenin, yuk." Mama Vania kembali mengelus punggung Elya yang duduk di sebelahnya.Tadi Mama Vania mengajak Elya duduk di bagian belakang, agak pojok. Dia ingin Elya menenangkan diri.Ketika melihat anak menantunya itu hampir lepas kendali saat pertemuan tadi, dia bergegas menyeretnya keluar.Percuma.Percuma melawan Kakek Harimurti.Kata-katanya adalah perintah. Sekali dia bersuara, maka wajib hukumnya dilakukan, tak bisa dibantah. Empat puluh satu tahun dia menjadi menantu di keluarga Harimurti, dan selama itu juga, dia hanya dianggap sebagai pelengkap.Keluarga besar memang selalu berlaku baik, tapi dia paham sekali, keberadaanny
"Aku ditahan, bukan bertahan." Elya menatap Om Ridho tajam."Papa yang menahanmu?""Siapa lagi? Lelaki tua berjiwa kerdil itu baru saja memasang pasung di kakiku!"Om Ridho menghela napas. Elya. Ini dirimu yang sebenarnya, dibalik sikap lembutmu selama ini, ternyata kau singa berbulu domba."Rossa Velisha," desis Om Ridho.Elya mengernyitkan keningnya. Nama itu. Nama yang tidak asing di telinganya. Mungkinkah?"Dia teman sepermainan Bram. Mereka selalu bersama setiap waktu. Sampai akhirnya Bram ditetapkan sebagai penerus perusahaan, mereka mulai renggang." Om Ridho bercerita tanpa diminta."Bram tenggelam dalam semua kesibukannya, namun Rossa selalu berusaha memperhatikan Bram. Mengiriminya makanan, menemuinya saat senggang, bahkan Rossa pernah magang di perusahaan agar bisa bertemu Bram setiap saat." Om Ridho mengangguk, membalas lambaian tangan Om Mi
"Kudengar, dia baru kembali dari luar negeri kemarin. Saat Kakek Wiratama menawarkan perjodohan ini padanya, dia langsung setuju tanpa bertanya apapun." Om Ridho ikut memperhatikan Rossa yang sedang berjalan."Rupanya cintanya pada Bram sekuat itu, bahkan dia memilih tetap sendiri hingga usianya hampir mencapai empat puluh tahun." Om Ridho kembali bersuara."Padahal, kalau dilihat dari segi fisik. Tentu banyak lelaki yang mau mendekatinya, kan? Selain manis, Rossa juga berasal dari keluarga terhormat dan berpendidikan. Ya walaupun jika dibandingkan dengan Elya, tentu jauh." Om Ridho tertawa kecil.Elya ikut tertawa."Tentu saja jauh, dia bukan tandinganku. Terhormat dan berpendidikan? Ayolah, entah apa jadinya kalau semua orang di ruangan ini tahu apa yang Rossa lakukan di luar negeri sana." Bathin Elya terbahak. Menertawakan semua ucapan Om Ridho.Bagaimana mungkin, satupun dari keluarga Harimurti tidak ada yang tahu sepak terjang Rossa?
"Jangan-jangan Om Ridho yang menyebabkan kemandulan Mas Bram? Bahkan aku pun baru tahu beberapa bulan yang lalu. Papa Lin dan Mama Vania baru saja tahu jam setengah delapan tadi. Bagaimana Om Ridho bisa tahu?" Elya mengedipkan mata.Perlahan melangkah dengan anggun, meninggalkan Om Ridho yang tercengang.Wanita ini luar biasa, juga berbahaya.Napas Om Ridho memburu. Tanganya terkepal. Matanya tajam memperhatikan letidak-lenggok langkah Elya."Ma, Pa." Elya menyapa Mama Vania dan Papa Lin yang sedang berbicara dengan Rossa.Hampir sebagian besar yang ada di ruangan itu menatap ke arah mereka.Kontras. Tampilan mereka sangat kontras. Elya yang tampil berani dan berkelas menggunakan dress berwarna merah menyala, sedangkan Rossa tampil lembut dan anggun menggunakan dress berwarna merah muda dengan nuansa lembut.Elya tampil menawan dengan segala kesempurnaanya sebagai wanita. Cantik, berkelas dan berani. Sementara Rossa tamp
Rossa membeku. Lidahnya kelu.Pias. Wajah manis dengan bibir sensual itu sedikit bergetar. Andai tidak ditutupi make up tebal, wajah itu pasti sudah terlihat pucat pasi.Sedetik berlalu.Rossa mengangguk sopan. Dia menjabat tangan Elya dengan lebih mantap. Senyumnya mengembang, membalas senyum Elya. Dia telah mampu menguasai keadaan.Pengalamannya selama lebih dari lima belas tahun malang melintang di dunia kerja, menemui banyak orang dari berbagai negara, membuat dia cukup mampu mengendalikan dentum di dadanya.Tadi dia hanya terkejut. Elya. Tak dinyana. Wanita yang menjadi hantu di masa lalunya itu hadir kembali. Setelah sepuluh tahun hilang tanpa kabar, kini dia datang membuat hatinya berdebar."Halo, Elya. Aku Rossa. Sahabat masa kecil suamimu, yang sebentar lagi juga akan menjadi suamiku." Rossa menjawab tenang sambil mengayunkan jabat tangan mereka.Mencekam. Ruangan besar itu mencekam.Dua wanita itu seut
"Akhirnya kuputuskan, proyek ini dibagi dua. Karena kalian sudah kenal dan cukup sering bertemu. Aku yakin kita tidak akan kesulitan bekerja sama." Mr. Steve menatap Elya dan Rossa bergantian.Elya mengangguk sambil tersenyum. Sementara Rossa menunduk. Wajahnya terasa panas."Sebentar, Elya, Rossa." Mr. Steve pamit saat mendengar ponselnya berdering dari arah tempat tidur.HeningElya dan Rossa terdiam dengan pikiran masing-masing."Kau tidak berubah, Ros." Elya akhirnya membuka suara."Apa yang harus ku ubah memangnya?" Rossa membalas tatapan Elya."Caramu kotor.""Setiap orang punya cara yang berbeda Elya." Rossa menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.Jarang-jarang dia dan Elya bisa bercakap-cakap santai seperti ini. Jarang, atau tidak pernah? Mereka hanya bertemu di ruang presentasi. Saling sapa sekedarnya. Kadang bahkan saling tidak peduli."Mungkin kau suka cara yang sulit. Membuat pr
"Apa kabar Rossa?" Elya akhirnya kembali bertanya setelah mereka terdiam cukup lama."Ah iya. Dia sehat, anaknya juga sudah bertambah besar. Sedang dalam tahap merangkak ke sana kemari. Rossa titip salam untukmu."Elya tertawa kecil. Mengangguk. Salam balik untuk Rossa maksudnya. "Dia sangat berterima kasih padamu, El. Boleh tahu kenapa?""Hei! Kau mau tahu saja. Itu rahasia antara para wanita." Elya tertawa sambil mengedipkan mata.Elya menarik napas. Ingatannya melayang pada siang itu, saat dia dan Rossa akhirnya setuju untuk bersepakat. "Apa yang mau kau bicarakan, El?""Aku ingin menawarkan kerjasama.""Kerjasama?" Rossa tertawa kecil."Hei! Ingat berapa kali kau menolak tawaranku? Dua kali!" Wanita yang tengah berbadan dua itu berteriak."Lalu, apa menurutmu aku akan menerima begitu saja tawaran darimu setelah saat ini aku berada di atas angin, hah?!" Napas Rossa menderu."Tena
Bram tersenyum melihat Elya yang sedang duduk di mobil dengan pintu terbuka. Dia tahu wanita itu sedang menunggunya. Tadi mereka berjanji akan makan siang bersama setelah semua urusan selesai.Bram menarik napas panjang. Bahkan dari kejauhan, kecantikan Elya masih terlihat sangat jelas. Di usianya yang menjelang pertengahan kepala tiga, Elya tampil sebagai wanita matang dengan segala kesempurnaanya. Lelaki itu kembali menarik napas panjang. Andai dulu dia jujur pada Elya tentang hasil pemeriksaan, akankah kisah mereka tetap berakhir seperti ini?"Bram." Satu suara menyapa Bram.Lelaki berkaos putih itu menoleh ke arah sumber suara."Pa ….""Kata Elya kalian ada acara?""Iya, Pa. Kami mau makan siang di luar. Nostalgia, di resto dulu tempat aku melamar Elya." Bram tersenyum malu-malu."Pergilah, Bram. Melihat dari sikap Elya, Papa yakin masih ada kesempatan bagimu untuk memenangkan hatinya." Papa Lin menepuk bah
Enam bulan setelah penangkapan Kakek Harimurti."Selamat Siang, pemirsa Berita Dalam Negeri.Setelah melalui proses sidang yang alot karena Harimurti melakukan perlawanan yang cukup kuat. Hari ini akhirnya keputusan banding resmi ditolak.Harimurti dijerat dengan pasal berlapis. Pertama penyalahgunaan obat sehingga membahayakan keselamatan orang lain pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.Kedua pencemaran nama baik terhadap perusahaan Lakhsita pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Ketiga pengancaman akan menghabisi nyawa orang lain pasal 368 KUHP.Dengan adanya tuntutan pasal berlapis, Harimurti dijatuhi hukuman denda yang sangat banyak dan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang lama.Sangat disayangkan. Di masa-masa akhir menuju tutup usia, Harimurti harus kehilangan semua kekayaan dan kehormatannya. Harimurti bahkan ditangkap di kantor pusat Harimurti Grup, tempat ya
Papa Lin tersenyum puas menatap Elya. Menantunya itu memang layak dikagumi. Jika menuntut Harimurti dengan jalan biasa, pasti lelaki tua itu akan bebas dengan mudah.Dengan melakukan semua ini, mereka bisa mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat. Apa lagi jika memanfaatkan kisah rumah tangga Elya dan Bram yang selama sepuluh tahun belum dikaruniai keturunan. Pasti emosi publik akan semakin meledak.Elya tersenyum menatap Kakek Harimurti yang mematung. Lelaki tua itu melihat dirinya dengan tatapan kosong."Kau terlalu angkuh Harimurti! Seolah bisa menyelesaikan semua dengan uang dan relasi yang kau miliki, kau lupa tidak semua hal bisa dibeli. Salah satunya harga diri. Kini, kau bukan siapa-siapa lagi di negeri ini." Lembut suara Elya terdengar, membuat Kakek Harimurti terdiam."Seorang pemilik imperium bisnis ternama, kini hanya seorang calon pesakitan yang akan menghabiskan sisa waktunya dalam keadaan hina! Semua itu karena nafsu
"Lepas!" Elya berteriak sambil memberontak."Bagaimana, Elya?" Kakek Harimurti terkekeh melihat wajah Elya yang memerah.Elya tidak gentar sedikit pun dengan keadaan di sini. Dia pernah melihat hal yang lebih keji. Kedua orangtuanya mati terbakar dan menjadi abu di depan matanya sendiri."Ternyata selama ini kalian telah mengetahui aku yang telah membuat Bram mandul, hah?!" Kakek Harimurti berdiri tegak di hadapan Elya yang dipegang oleh dua orang suruhannya.Kakek Harimurti tertawa terbahak-bahak. "Kau betul, Elya! Aku memang telah memberikan obat itu selama lebih dari tiga puluh tahun. Cucu dari jalan darahku lebih pantas memimpin perusahaan ini dibandingkan dengan keturunan Lin s*alan itu!""KRIMINAL!" Elya berteriak kencang sambil memberontak.Kakek Harimurti kembali tertawa terbahak-bahak. "Kriminal? Tidak ada yang kriminal di negeri ini selama kau punya uang dan relasi!" Kakek Harimurti menatap Elya ding
"Jelaskan!" Bentakan Kakek Harimurti memenuhi lantai paling atas kantor pusat Harimurti Grup. Suara serak itu gemetar menahan amarah.Papa Lin menarik napas panjang. Lelaki tua di hadapannya ini terlihat sangat marah. Hilang sudah rasa hormatnya selama ini. Orang yang dianggapnya sudah seperti ayah kandung sendiri, ternyata musuh yang menikam dari belakang."Tenanglah dulu, Pa.""Jelaskan maksud semuanya, Lin.""Maksud yang mana?""Kenapa kau melakukan konferensi pers?!" Kakek Harimurti berteriak kencang. Giginya bergemeletuk melihat Papa Lin yang tampak tenang-tenang saja."Kenapa tidak?" Papa Lin tersenyum. Matanya menatap dua orang bodyguard berbadan atletis yang berdiri tegap menjaga pintu. Dia yakin sekali, pasti di luar ruangan jumlah mereka lebih banyak lagi."Lin!" Kakek Harimurti menggebrak meja."Apa masalahnya, Pa?" Papa Lin menatap Kakek Harimurti dengan ekspresi pura-pura bingung.Kakek Ha
Suara Papa Lin terdengar berwibawa."Saat ini. Saya hanya berdiri sebagai penengah, untuk rumor yang sangat simpang siur terjadi dalam dunia bisnis. Saya, mewakili Harimurti Grup merasa perlu angkat bicara, agar rumor tidak semakin berkembang dan menyesatkan kita semua.Saya diberikan mandat oleh anak saya, Bramantyo Harimurti. Karena menurutnya, saya lebih mumpuni dalam menyelesaikan rumor ini.Sepenuhnya kepemimpinan Harimurti Grup saat ini dipegang oleh Bram. Semua keputusan, walau hanya untuk membunuh seekor semut pun di dalam Harimurti Grup harus atas seizin Bram.Menjawab rumor yang beredar tentang perebutan kekuasan dalam lingkaran keluarga Harimurti, itu tidak benar sama sekali.Sebagai pemimpin perusahaan, Bram yang berhak menentukan arah perusahaan selanjutnya. Karena saya dan Ayahanda Harimurti sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi dalam lingkar perusahaan.Selain itu, mengenai rumor kedua yang beredar, yakni tent
"Ini rangkaian terakhir, Bram. Setelah ini kita lakukan pengecekan secara keseluruhan, baik darah maupun sp*rma." Dokter Lucky menjelaskan sambil menyiapkan resep untuk Bram."Bagaimana, dok?""Apa yang bagaimana, El?" Dokter Lucky tersenyum sambil menatap Elya."Mas Bram." Elya mengulum senyum.Dokter Lucky tertawa melihat Elya yang salah tingkah."Kau ini seperti masih perawan saja, El. Malu-malu begitu."Bram ikut tertawa mendengar omongan dokter Lucky. Dadanya berdebar kencang. Takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan."Sejauh ini hasilnya baik. Tapi harus saya pastikan lagi dengan hasil pengecekan terakhir nanti. Sudah tidak sabar menanti kehadiran buah hati ya?" Dokter Lucky mengedipkan sebelah mata.Elya dan Bram tertawa berbarengan."Ada lagi yang mau ditanyakan?""Cukup dok," jawab Bram sambil menerima resep yang diserahkan dokter Lucky.Setelah beberapa percakapan lagi, Ely
"Panggil Papa saja, El." Papa Lin tersenyum kecil saat tawanya reda."Papa apa kabar?" Elya tersenyum cerah. melihat cahaya di mata Papa Lin, dia tahu, dia sudah berhasil membangunkan singa tidur itu."Sehat, El. Kau sibuk sekali akhir-akhir ini sepertinya? Saat acara selamatan kelahiran anak Lira kemarin juga kita tidak sempat bercakap-cakap."Percakapan mereka terhenti. Pramusaji mengantarkan pesanan yang telah lebih dulu Elya pesan saat reservasi tempat.Kebetulan sekali, restauran di rooftop gedung pencakar langit tertinggi itu sedang sepi malam ini. Hanya ada tiga pelanggan. Duduk mereka juga berjauhan, sehingga membuat obrolan mereka lebih bebas."Sibuk, Pa. Bagaimana tidak sibuk? Aku ingin menggulingkan salah satu pemilik perusahaan paling berpengaruh. Tentu banyak hal yang harus kulakukan." Elya tertawa kecil.Papa Lin tersenyum. Istri pertama Bram ini memang selalu berbicara langsung ke intinya."Bagaimana, El?" Papa Lin mulai memasukkan pot