Elya mengangguk. Dia berdiri cepat menuju meja kerjanya dan memencet tombol di telepon, sejenak berbicara pada Liontin. Setelah itu berjalan kembali menuju sofa tamu. Langkahnya terlihat anggun. Bunyi sepatu hak tinggi yang dikenakannya menimbulkan bunyi yang khas saat beradu dengan lantai.
"Masih kecil." Elya tertawa santai. Perlahan menyenderkan punggungnya pada sandaran sofa.Kakek Harimurti mengerutkan kening. Matanya sedikit menyipit, menatap Elya tidak mengerti."Masih kecil jika dibandingkan dengan perusahaan keluarga Harimurti." Elya terkekeh."Kau ingin menandingi perusahaan kami rupanya, El?" Kakek Harimurti menatap Elya tajam."Kenapa tidak? Dalam dunia bisnis hal semacam itu sah-sah saja terjadi." Elya mengedikkan kedua bahunya. Dia tersenyum yakin menatap lelaki berjas mahal di sampingnya."Menandingi atau menyingkirkan?" Kakek Harimurti mencondongkan badannya ke arah Elya.Wanita cantik dengan jepit berbent"Papa Lin bukan anak Kakek Harimurti? Bagaimana mungkin? Bukankah jelas sekali dia menyandang nama Harimurti? Lin Feihung Harimurti?"Elya terkesiap.Fakta itu tiba-tiba menghantam kesadarannya. Bagaimana mungkin selama ini dia tidak menyadari? Bodoh! Bodoh sekali!Beberapa kali wanita cantik itu mengumpat dalam hati. Elya menggigit bibir. Sementara lelaki tua di depannya santai kembali menyesap jeruk hangat miliknya. Lin Feihung Harimurti? Nama itu, nama itu sungguh berbeda. Walaupun menyandang nama Harimurti di belakang namanya. Nama itu berbeda.Elya memejamkan mata. Dia sungguh tidak melihat petunjuknya dengan jelas selama ini.Adisti Nirwasita Harimurti.Ridho Rawikara Harimurti.Dua nama itu kental dengan bahasa Jawa Sansekerta. Sementara Papa Lin? Nama itu sungguh berbeda dari kedua saudaranya.Lelaki tua itu terkekeh melihat Elya memejamkan mata. Badannya terlihat bergerak-gerak."Tap
Elya menarik napas. Dia membayangkan betapa membanggakannya andai dia bisa mendapatkan rekanan bisnis segarang Papa Lin."Ketakutanku bertambah. Semakin besar perusahaan, semakin besar peran Lin di dalamnya. Maka, akan semakin kecil kesempatan Adisti dan Ridho bisa menguasai perusahaan. Apalagi saat perusahaan sedang jatuh, aku yang secara sengaja melarang Adisti dan Ridho membantu. Sehingga Lin hanya berjuang sendirian." Kedua tangan Kakek Harimurti mengepal kencang."Siang itu, tiga puluh tiga tahun yang lalu, aku akhirnya menemui Ridho. Anak laki-lakiku. Kami merencanakan banyak hal. Dia sempat menolak, tapi akhirnya tidak bisa berkutik saat kukatakan dia hanya cukup menjadi penonton. Tidak perlu melakukan apapun." Pandangan Kakek Harimurti menerawang.Matanya menatap jauh. Bunyi detik jam dinding terdengar jelas di antara keheningan mereka.Seperti siang itu. Siang hari tiga puluh tiga tahun yang lalu.Keheningan melingkupi Kakek Hari
"Lalu, kenapa aku memberitahumu? Itu pertanyaan terbesarmu bukan?" Kakek Harimurti menatap Elya."Baiklah, aku akan mengatakan mengapa aku memberitahukannya padamu, dengan sedikit penawaran yang akan saling menguntungkan bagi kita, Elya." Kakek Harimurti menegakkan punggungnya.Elya menggeleng tidak percaya. Apakah lelaki tua ini berharap dia akan mempercayainya setelah semua kebohongan yang selama ini dia lakukan?Tunggu Harimurti. Tidak semudah itu. Dunia ini tidak selalu berjalan sesuai dengan kehendakmu."Sepertinya ada banyak pertanyaan yang ingin kau tanyakan, El."Elya tersenyum tipis kemudian berdehem kecil."Aku masih tidak mengerti. Kenapa Anda seolah sangat menutupi aib Mas Bram? Bahkan sampai menikahkan dia dengan Rossa agar rencananya berhasil? Bukankah tujuan Anda adalah aib Mas Bram terbongkar?" Elya memicingkan matanya. Hilang sudah rasa hormatnya pada lelaki tua itu, dia memutuskan memanggil Kakek Harimurti denga
"Satu langkah rencanaku untuk mengambil alih perusahaan sudah lebih dekat. Tidak akan lama lagi pasti Lin akan mengetahui bahwa puteranya mandul. Mulus. Rencana ini berjalan mulus sesuai rencanaku. Aku tidak perlu melibatkan diri agar Lin tahu. Sehingga anak tiriku itu tidak akan menaruh curiga apapun." Senyum samar terlihat dari wajah tua itu."Aku sebenarnya sudah mengetahui semua rencana Bram yang akan mempailitkan perusahaan. Dia pasti membutuhkan banyak waktu untuk mewujudkan itu semua. Aku menawarkan pernikahan kedua, sebagai jalan keluarnya." Ketukan di pintu membuat Kakek Harimurti menghentikan ucapannya. OB masuk mengantarkan satu teko jeruk hangat."Kau kira aku melakukannya dengan tulus? Tentu saja tidak! Mau bagaimanapun, Bram tidak akan memiliki keturunan, sehingga pernikahan itu akan sia-sia. Aku melakukannya hanya agar Lin tidak curiga," sambungnya setelah OB keluar dari ruangan."Kenapa Anda terlihat sangat marah saat Rossa mengatakan dia h
"Kau lelaki bajingan! Untuk apa lagi kau kemari, hah?!" Ranti berteriak kalap. Dia menyerang Frans, suaminya."Ranti, Ranti," teriakan Mama Vania ikut meningkahi keributan yang terjadi.Sementara Papa Lin yang sedang duduk di kursi tamu terlihat mengurut keningnya. Lelaki yang menggunakan baju kaos biru langit itu menatap bingung pada anak dan menantunya."Untuk apa kau kemari?!" Ranti memegang kerah baju Frans."Ranti! Duduk dan selesaikan permasalahan ini dengan kepala dingin." Papa Lin akhirnya bersuara."Aku tidak bisa berbicara dengan kepala dingin menghadapi lelaki sialan ini, Pa!" Wanita yang sedang berada di puncak emosi itu semakin mengeratkan pegangannya.Napas Ranti menderu. Matanya tajam menatap Frans yang tidak melakukan apapun untuk membela diri.Mama Vania menghela napas, beranjak mengelus punggung Ranti. Dia berusaha membujuk anaknya agar mau berbicara dengan tenang."Duduklah, Ran!" Papa Lin be
Ranti membeku. Wajahnya menegang. Ujung-ujung jarinya mendadak terasa sangat dingin."Aku melakukan tes DNA saat anak kita lahir. Dan hasilnya kau tahu sendirilah."Hampir semua yang ada di ruangan itu tercengang. Elya yang lebih dulu bisa menguasai keadaan izin pamit keluar sebentar. Pusing kepalanya menyaksikan adik iparnya itu berdebat.Pelan Elya melangkah ke luar rumah. Mencari udara segar. Napasnya ikut terasa sesak mendengarkan permasalahan dalam rumah tangga Ranti."El …." Rossa tersenyum manis menghampiri Elya yang akhirnya memilih duduk di halaman. Malas melihat kekacauan di dalam.Elya menoleh pada sumber suara. Dia menarik napas perlahan. Mau apa pula madunya itu mendekatinya."Boleh aku duduk di sini?" Rossa sudah duduk di samping Elya sebelum dia memberi jawaban.Elya mengangkat bahu. Datar saja dia menatap wanita yang menggunakan dress merah muda dengan bahu terbuka di sampingnya."Kenapa kau bert
"Kita tetap memakai tim yang sebelumnya karena mereka sudah hafal daerah itu. Selain itu, akan lebih menghemat waktu dari pada harus membentuk tim yang baru." Elya memimpin jalannya rapat.Wanita dengan setelan formal berwarna merah hati itu terlihat sangat anggun. Rambut digerai dengan pita kecil berbentuk bulan sabit menghiasi rambutnya. Manis. Elya akhirnya memutuskan tampil ke depan, saat Kakek Harimurti sudah mengetahui rahasianya. Tidak masalah, dia jadi lebih mudah mengontrol dan menjalankan perusahaannya."Baik, saya kira cukup untuk siang ini? Semua pertanyaan sudah terjawab bukan?" Elya menatap satu persatu peserta rapat."Harapannya minggu depan proses penggalian bijih emas itu sudah bisa dimulai, sehingga waktu kita lebih efisien." Peserta rapat serentak mengangguk setuju.Bram menatap Elya kagum. Istrinya itu benar-benar terlihat sangat luar biasa saat memimpin rapat. Ingatannya melayang pada saat Elya presentasi sekitar seb
"Aku meminta saran pada Papa sambil memperlihatkan hasil pengecekan air minum yang kau lakukan, El." Bram mulai menjelaskan saat dilihatnya wajah Elya melongo. Ingin sekali dia tertawa melihat mulut Elya yang setengah terbuka."Awalnya aku berniat memberitahukan semuanya pada Kakek. Tetapi Papa langsung melarang. Beliau akhirnya menceritakan semua tentang garis keturunan keluarga kami. Papa menduga, pelakunya adalah orang dalam." Bram berhenti sejenak. Dia menguatkan hati untuk meneruskan cerita."Besoknya, kami menemui Om Ridho. Dengan sedikit ancaman dan tekanan, lelaki itu akhirnya membongkar semua rahasia. Mana pernah Om Ridho berani melawan Papa? Dibentak sedikit saja nyalinya langsung ciut. Pengecut! Anaknya pengecut dan Harimurti berjiwa kerdil." Bram tersenyum sinis"Usaha itu sebenarnya milik Papa, warisan dari orangtua Papa, Kakek kandungku. Tetapi karena Papa sudah menganggap Kakek Harimurti sebagai orang tuanya sendiri, orang yang telah merawat
"Apa kabar Rossa?" Elya akhirnya kembali bertanya setelah mereka terdiam cukup lama."Ah iya. Dia sehat, anaknya juga sudah bertambah besar. Sedang dalam tahap merangkak ke sana kemari. Rossa titip salam untukmu."Elya tertawa kecil. Mengangguk. Salam balik untuk Rossa maksudnya. "Dia sangat berterima kasih padamu, El. Boleh tahu kenapa?""Hei! Kau mau tahu saja. Itu rahasia antara para wanita." Elya tertawa sambil mengedipkan mata.Elya menarik napas. Ingatannya melayang pada siang itu, saat dia dan Rossa akhirnya setuju untuk bersepakat. "Apa yang mau kau bicarakan, El?""Aku ingin menawarkan kerjasama.""Kerjasama?" Rossa tertawa kecil."Hei! Ingat berapa kali kau menolak tawaranku? Dua kali!" Wanita yang tengah berbadan dua itu berteriak."Lalu, apa menurutmu aku akan menerima begitu saja tawaran darimu setelah saat ini aku berada di atas angin, hah?!" Napas Rossa menderu."Tena
Bram tersenyum melihat Elya yang sedang duduk di mobil dengan pintu terbuka. Dia tahu wanita itu sedang menunggunya. Tadi mereka berjanji akan makan siang bersama setelah semua urusan selesai.Bram menarik napas panjang. Bahkan dari kejauhan, kecantikan Elya masih terlihat sangat jelas. Di usianya yang menjelang pertengahan kepala tiga, Elya tampil sebagai wanita matang dengan segala kesempurnaanya. Lelaki itu kembali menarik napas panjang. Andai dulu dia jujur pada Elya tentang hasil pemeriksaan, akankah kisah mereka tetap berakhir seperti ini?"Bram." Satu suara menyapa Bram.Lelaki berkaos putih itu menoleh ke arah sumber suara."Pa ….""Kata Elya kalian ada acara?""Iya, Pa. Kami mau makan siang di luar. Nostalgia, di resto dulu tempat aku melamar Elya." Bram tersenyum malu-malu."Pergilah, Bram. Melihat dari sikap Elya, Papa yakin masih ada kesempatan bagimu untuk memenangkan hatinya." Papa Lin menepuk bah
Enam bulan setelah penangkapan Kakek Harimurti."Selamat Siang, pemirsa Berita Dalam Negeri.Setelah melalui proses sidang yang alot karena Harimurti melakukan perlawanan yang cukup kuat. Hari ini akhirnya keputusan banding resmi ditolak.Harimurti dijerat dengan pasal berlapis. Pertama penyalahgunaan obat sehingga membahayakan keselamatan orang lain pasal 1 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.Kedua pencemaran nama baik terhadap perusahaan Lakhsita pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Ketiga pengancaman akan menghabisi nyawa orang lain pasal 368 KUHP.Dengan adanya tuntutan pasal berlapis, Harimurti dijatuhi hukuman denda yang sangat banyak dan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang lama.Sangat disayangkan. Di masa-masa akhir menuju tutup usia, Harimurti harus kehilangan semua kekayaan dan kehormatannya. Harimurti bahkan ditangkap di kantor pusat Harimurti Grup, tempat ya
Papa Lin tersenyum puas menatap Elya. Menantunya itu memang layak dikagumi. Jika menuntut Harimurti dengan jalan biasa, pasti lelaki tua itu akan bebas dengan mudah.Dengan melakukan semua ini, mereka bisa mendapatkan dukungan yang sangat besar dari masyarakat. Apa lagi jika memanfaatkan kisah rumah tangga Elya dan Bram yang selama sepuluh tahun belum dikaruniai keturunan. Pasti emosi publik akan semakin meledak.Elya tersenyum menatap Kakek Harimurti yang mematung. Lelaki tua itu melihat dirinya dengan tatapan kosong."Kau terlalu angkuh Harimurti! Seolah bisa menyelesaikan semua dengan uang dan relasi yang kau miliki, kau lupa tidak semua hal bisa dibeli. Salah satunya harga diri. Kini, kau bukan siapa-siapa lagi di negeri ini." Lembut suara Elya terdengar, membuat Kakek Harimurti terdiam."Seorang pemilik imperium bisnis ternama, kini hanya seorang calon pesakitan yang akan menghabiskan sisa waktunya dalam keadaan hina! Semua itu karena nafsu
"Lepas!" Elya berteriak sambil memberontak."Bagaimana, Elya?" Kakek Harimurti terkekeh melihat wajah Elya yang memerah.Elya tidak gentar sedikit pun dengan keadaan di sini. Dia pernah melihat hal yang lebih keji. Kedua orangtuanya mati terbakar dan menjadi abu di depan matanya sendiri."Ternyata selama ini kalian telah mengetahui aku yang telah membuat Bram mandul, hah?!" Kakek Harimurti berdiri tegak di hadapan Elya yang dipegang oleh dua orang suruhannya.Kakek Harimurti tertawa terbahak-bahak. "Kau betul, Elya! Aku memang telah memberikan obat itu selama lebih dari tiga puluh tahun. Cucu dari jalan darahku lebih pantas memimpin perusahaan ini dibandingkan dengan keturunan Lin s*alan itu!""KRIMINAL!" Elya berteriak kencang sambil memberontak.Kakek Harimurti kembali tertawa terbahak-bahak. "Kriminal? Tidak ada yang kriminal di negeri ini selama kau punya uang dan relasi!" Kakek Harimurti menatap Elya ding
"Jelaskan!" Bentakan Kakek Harimurti memenuhi lantai paling atas kantor pusat Harimurti Grup. Suara serak itu gemetar menahan amarah.Papa Lin menarik napas panjang. Lelaki tua di hadapannya ini terlihat sangat marah. Hilang sudah rasa hormatnya selama ini. Orang yang dianggapnya sudah seperti ayah kandung sendiri, ternyata musuh yang menikam dari belakang."Tenanglah dulu, Pa.""Jelaskan maksud semuanya, Lin.""Maksud yang mana?""Kenapa kau melakukan konferensi pers?!" Kakek Harimurti berteriak kencang. Giginya bergemeletuk melihat Papa Lin yang tampak tenang-tenang saja."Kenapa tidak?" Papa Lin tersenyum. Matanya menatap dua orang bodyguard berbadan atletis yang berdiri tegap menjaga pintu. Dia yakin sekali, pasti di luar ruangan jumlah mereka lebih banyak lagi."Lin!" Kakek Harimurti menggebrak meja."Apa masalahnya, Pa?" Papa Lin menatap Kakek Harimurti dengan ekspresi pura-pura bingung.Kakek Ha
Suara Papa Lin terdengar berwibawa."Saat ini. Saya hanya berdiri sebagai penengah, untuk rumor yang sangat simpang siur terjadi dalam dunia bisnis. Saya, mewakili Harimurti Grup merasa perlu angkat bicara, agar rumor tidak semakin berkembang dan menyesatkan kita semua.Saya diberikan mandat oleh anak saya, Bramantyo Harimurti. Karena menurutnya, saya lebih mumpuni dalam menyelesaikan rumor ini.Sepenuhnya kepemimpinan Harimurti Grup saat ini dipegang oleh Bram. Semua keputusan, walau hanya untuk membunuh seekor semut pun di dalam Harimurti Grup harus atas seizin Bram.Menjawab rumor yang beredar tentang perebutan kekuasan dalam lingkaran keluarga Harimurti, itu tidak benar sama sekali.Sebagai pemimpin perusahaan, Bram yang berhak menentukan arah perusahaan selanjutnya. Karena saya dan Ayahanda Harimurti sudah tidak memiliki kuasa apapun lagi dalam lingkar perusahaan.Selain itu, mengenai rumor kedua yang beredar, yakni tent
"Ini rangkaian terakhir, Bram. Setelah ini kita lakukan pengecekan secara keseluruhan, baik darah maupun sp*rma." Dokter Lucky menjelaskan sambil menyiapkan resep untuk Bram."Bagaimana, dok?""Apa yang bagaimana, El?" Dokter Lucky tersenyum sambil menatap Elya."Mas Bram." Elya mengulum senyum.Dokter Lucky tertawa melihat Elya yang salah tingkah."Kau ini seperti masih perawan saja, El. Malu-malu begitu."Bram ikut tertawa mendengar omongan dokter Lucky. Dadanya berdebar kencang. Takut hasilnya tidak sesuai dengan harapan."Sejauh ini hasilnya baik. Tapi harus saya pastikan lagi dengan hasil pengecekan terakhir nanti. Sudah tidak sabar menanti kehadiran buah hati ya?" Dokter Lucky mengedipkan sebelah mata.Elya dan Bram tertawa berbarengan."Ada lagi yang mau ditanyakan?""Cukup dok," jawab Bram sambil menerima resep yang diserahkan dokter Lucky.Setelah beberapa percakapan lagi, Ely
"Panggil Papa saja, El." Papa Lin tersenyum kecil saat tawanya reda."Papa apa kabar?" Elya tersenyum cerah. melihat cahaya di mata Papa Lin, dia tahu, dia sudah berhasil membangunkan singa tidur itu."Sehat, El. Kau sibuk sekali akhir-akhir ini sepertinya? Saat acara selamatan kelahiran anak Lira kemarin juga kita tidak sempat bercakap-cakap."Percakapan mereka terhenti. Pramusaji mengantarkan pesanan yang telah lebih dulu Elya pesan saat reservasi tempat.Kebetulan sekali, restauran di rooftop gedung pencakar langit tertinggi itu sedang sepi malam ini. Hanya ada tiga pelanggan. Duduk mereka juga berjauhan, sehingga membuat obrolan mereka lebih bebas."Sibuk, Pa. Bagaimana tidak sibuk? Aku ingin menggulingkan salah satu pemilik perusahaan paling berpengaruh. Tentu banyak hal yang harus kulakukan." Elya tertawa kecil.Papa Lin tersenyum. Istri pertama Bram ini memang selalu berbicara langsung ke intinya."Bagaimana, El?" Papa Lin mulai memasukkan pot