"Tega kamu Aryan! Apa salahku? Apa salah Wildan sampai kamu tega menjebaknya?" Jerit Isna dengan luapan amarah dan kepedihannya.Aryan tertawa keras sebelum lelaki itu kembali bicara."Kesalahan Wildan sudah jelas Isna, karena dia sudah mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku! Yaitu kamu!"Kepala Isna menggeleng cepat. "Nggak! Sampai kapan pun, kamu nggak akan pernah bisa memiliki aku selain dalam khayalanmu, Aryan!""DIAM!" Aryan menghentak kursi yang dia duduki hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Tatapannya bengis ke arah Isna.Dengan napas yang naik turun, Aryan seolah berusaha menetralkan kembali emosinya. Dia kembali duduk dalam posisi tenang."Oke, cukup kita membahas masalah Wildan. Sekarang kita kembali ke permainan. Jawab pertanyaanku tadi," lanjutnya dengan suara yang melembut.Isna masih menangis. Penyesalannya karena sudah bersikap tak adil pada Wildan membuat dia tak mampu berkata- kata."Isna! Kamu mendengarkukan? Kenapa diam? Apa aku perlu mengulang pertany
"Halo," ucap Wildan yang pada akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon dari Malik."Halo, Wildan? Maaf mengganggu, Om cuma mau tanya, apa Aryan menghubungimu?" Tanya Malik yang saat itu hanya berpura-pura menjalin percakapan demi mengulur waktu karena para polisi sedang berusaha melacak arah sinyal ponsel Wildan yang terhubung dengan ponsel Malik saat itu."Bukankah saya sudah bilang kalau saya sudah memblokir nomor Aryan, jadi nggak mungkin Aryan menghubungi saya!" Tegas Wildan dengan sedikit emosinya yang meletup.Malik kembali bicara, masih berusaha menjalin percakapan agar Wildan tidak lekas memutus sambungan teleponnya.Sampai akhirnya, salah satu polisi memberinya kode bahwa posisi Wildan saat itu sudah diketahui.Dengan segera Malik menyudahi percakapannya di telepon dengan Wildan."Dari lokasi terlacaknya sinyal dari ponsel Wildan, saat ini Wildan memang sedang berada di Jogyakarta," jelas salah satu polisi di sana."Dan menjadi hal yang tidak mungkin jika Wildan adalah pe
"Mau apa kita ke sini Aryan?" Tanya Isna saat Aryan membawanya masuk ke sebuah rumah sakit melalui pintu darurat dan naik ke lantai paling atas menggunakan tangga darurat.Malam yang pekat menambah kesenyapan dan kesunyian lorong-lorong rumah sakit yang sepi.Isna tak bisa berkutik karena saat itu dirinya berada di bawah todongan senjata api yang disembunyikan Aryan di balik jaket kulit miliknya yang sengaja dia kenakan di tubuh Isna.Sesampainya di lantai teratas gedung utama rumah sakit, yakni sebuah rofftop tempat mendaratnya helikopter tentara Indonesia, karena rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit khusus tentara.Di sanalah Aryan meminta Isna untuk berdiri di sisi tembok pembatas rofftop yang ukurannya sangat rendah.Isna memang tidak perlu bersusah payah untuk naik ke dinding pembatas itu, hanya saja pemandangan mengerikan yang sempat ditangkap oleh indra penglihatannya saat dia menoleh ke arah bawah membuatnya gemetaran saking takut.Tubuh mungil Isna sempat oleng di
"Aku hamil hasil pemerkosaan yang pelakunya sendiri nggak aku ketahui dan Mas Malik bersedia bertanggung jawab!"Mendengar pengakuan Isna, Aryan jelas terkejut.Sungguh, fakta itu benar-benar di luar dugaannya.Bukankah tadi Isna bilang bahwa janin yang dikandungnya adalah adiknya?Saat itu Aryan hanya bisa terdiam dalam berbagai tanda tanya besar di kepalanya hingga Isna kembali berbicara."Aku hanya seorang wanita kotor, tapi Mas Malik mau menerimaku apa adanya. Bahkan dia banyak membantu keluargaku. Melunasi hutang-hutang kami. Membiayai operasi Bapakku yang sakit. Lalu membantu menyelesaikan kasus hukum adikku dengan lelaki bejat yang sudah melecehkannya. Mas Malik itu seperti malaikat. Dia datang di waktu yang tepat saat aku memang benar-benar membutuhkannya. Dan saat dia melamarku, maka nggak ada satu pun alasan yang membuatku bisa menolaknya! Nggak ada Aryan," terang Isna panjang lebar. Air mata perempuan itu kembali meleleh.Aryan masih terdiam."Awalnya aku berpikir untuk mem
"Kinara..." Gumam Malik seolah melihat jasad Kinara kini tergolek lemah tepat di hadapannya.Seperti De Javu.Malik masih terdiam dengan tatapannya yang tertuju pada aspal gedung.Kedua bola mata lelaki itu terbelalak dan berair.Ekspresinya memperlihatkan bahwa dia terkejut.Bahkan saking terkejutnya, kedua tungkai kaki lelaki itu melemas dalam hitungan detik.Tubuh Malik rubuh dalam posisi berlutut.Suara-suara di sekitarnya terdengar semakin ramai.Saat itu, Malik berusaha meraih tubuh Kinara yang berlumuran darah untuk membawanya ke pangkuan, meski setelahnya saat hal itu sudah dia lakukan, tepatnya saat kedua bola mata Kinara terbuka dan menatap tajam Malik, bibir wanita itu menyeringai lebar memperlihatkan deretan gigi-giginya yang merah terkena darah."Malik sayang, ini aku..." Sapa wanita itu dengan senyuman yang hanya bertahan sepersekian detik. Karena setelahnya, dia kembali menatap tajam Malik dengan tatapan mengerikan."SAMPAI MATI PUN, AKU TIDAK AKAN BERHENTI MEMBUAT HIDU
Malik baru saja menepikan kendaraannya di tepi jalan di atas jembatan layang yang cukup sepi.Saat itu dia sedang dalam perjalanan mengantar Emir pulang setelah sebelumnya Malik mengantar Aryan dan Isna pulang lebih dulu.Dan kini, saatnya Malik mendengar penjelasan Emir tentang rahasia besar yang selama ini telah disembunyikan Emir darinya.Malik tidak mau menunggu lagi.Kedua lelaki itu keluar dari mobil dan duduk setengah bersandar di atas kap mobil depan sambil sesekali menenggak minuman kaleng.Pembicaraan yang akan mereka bahas sangat sensitif itulah sebabnya Malik mencari lokasi yang bisa membuat pikiran mereka terbuka dan rileks. Tidak tegang.Titik-titik cahaya dari lampu kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana menjadi pemandangan indah di kala malam. Kota Jakarta terlihat gemerlap dengan kerlap kerlip lampu berwarna-warni di setiap sudutnya."Kenapa lo rahasiain masalah sepenting itu dari gue?" Todong Malik tak sabar.Emir menghela napas kasar. "Gue cuma ikut aja sama ap
Isna menghampiri sang suami yang sedang menelepon di Balkon meski tak mengerti apa yang sedang dibicarakan Malik saat itu, namun pembicaraan Malik jelas membuat Isna takut.Tepatnya saat Malik mengatakan bahwa orang yang telah membunuh Kinara kini ingin membunuhnya juga?Sebenarnya ada apa ini?Isna masih berdiri di ambang pintu menuju Balkon kamar saat Malik terlihat mengakhiri percakapannya dengan Emir.Lelaki itu terpaku melihat keberadaan Isna di ambang pintu."Ada apa sebenarnya Mas? Apa yang terjadi sama Kinara? Siapa orang yang sudah membunuh Kinara? Ceritakan sama aku sekarang juga!" Cecar Isna saat itu.Malik menatap Isna lekat, hingga setelahnya dia mengajak Isna kembali ke kamar."Baiklah, aku akan menceritakan semua kejadian yang aku alami di masa lalu malam ini, tentang Kinara, tentang aku, dan... Tentang seorang perempuan bernama Kenari. Dia, saudara kembar Kinara,"*FLASH BACK ON...DELAPAN BELAS TAHUN YANG LALU..."Brengsek! Bangun lo An****! Lo pikir gue takut sama l
"Satu hari setelah kematian Kinara, Polisi menemukan bukti lain di TKP bahwa keberadaan Kinara tidak sendirian saat berada di atas rofftop gedung rumah sakit," cerita Malik masih terus berlanjut."Dan dari kesaksian pihak medis, suster jaga mengatakan bahwa sebelum Kinara dinyatakan meninggal dan terjatuh dari atas gedung rofftop, ada seorang perempuan yang mendatangi Kinara untuk menjenguknya. Saat pihak kepolisian bertanya pada suster mengenai ciri-ciri perempuan itu, barulah, fakta mengenai Kinara yang memiliki seorang saudara kembar terkuak,""Nama perempuan itu Kenari Larasati. Dia adalah saudara kembar Kinara. Jadi, sewaktu kedua orang tua Kinara bercerai, Kinara ikut bersama Ibunya ke Jakarta sementara Kenari tetap tinggal di Palembang dengan Ayahnya. Mereka terpisah dan tak pernah lagi bertemu sejak hari itu. Dan mengenai alasan mengapa selama ini Kinara nggak pernah menceritakan tentang sosok Kenari padaku, aku masih belum mengetahuinya hingga saat ini,""Setelah semua bukti
"Mahessa mau ajak Wildan untuk bertukar pasangan malam ini dan dia bilang kalau kamu sudah menyetujuinya, benar begitu Nil?" tanya Vanessa yang langsung mengkonfirmasi ucapan Mahessa padanya tadi pagi setelah dia mendapat kesempatan untuk berbincang secara empat mata dengan Vanilla.Saat itu, sepasang wanita kembar tersebut sedang berada di salah satu area permainan ski di St.Moritz.Vanilla yang sedang menyesap cokelat panasnya seketika terbatuk mendengar ucapan Vanessa.Buru-buru dia meraih tissue untuk mengelap sudut bibirnya yang terkena coklat."Aku nggak salah dengerkan? Bertukar pasangan?" ucap Vanilla yang malah tertawa seolah apa yang diucapkan Vanessa hanyalah lelucon."Iya," jawab Vanessa mengangguk cepat.Lagi, Vanilla malah tertawa. "Kamu kenapa sih Nes? Dari kemarin kok ngomongnya ngaco terus?"Seketika kerutan di kening Vanessa menjelas. "Ngaco bagaimana?" tanyanya bingung. Tak habis pikir dengan sikap santai Vanilla yang kelihatan begitu tenang. Padahal jelas-jelas, Van
"Aku benci ibuku! Aku benci perempuan seperti dia! Karena dia Ayah dipenjara dan tidak lagi menyayangiku! Aku benci ibuku, Vi!" ucap seorang bocah lelaki pada seorang bocah perempuan di teras sebuah tempat ibadah di lapas tahanan khusus pria.Bocah lelaki itu menangis meski tanpa isakan, hingga sebuah tangan mungil terjulur membelai pipinya untuk mengusap air mata yang menetes."Nasib kita sama ya Yas? Aku juga benci sama Ibuku. Karena dia lebih menyayangi saudaraku daripada aku!" ujar si bocah perempuan yang dipanggil Vi tadi.Sang bocah lelaki yang bernama Yasa itu mendongak menatap polos ke arah Vi."Apa mungkin, Tuhan mempertemukan kita karena kita memang berjodoh?" tanya Yasa saat itu.Vi tertawa kecil dengan wajah tersipu dan menjadi terkejut saat tiba-tiba Yasa mengaitkan jari kelingking mereka."Kamu maukan janji sama aku, Vi?" tanya Yasa saat itu."Janji apa?""Kalau kamu sudah besar nanti, jaga dirimu baik-baik ya. Jangan menjadi perempuan seperti ibuku, nanti aku akan membe
Hari sudah hampir tengah malam, tapi Mahessa belum juga pulang.Entah kenapa, kekhawatiran menggelayuti benak Vanessa saat itu, bahkan saat dia menanyakan keberadaan Mahessa pada supir pribadi lelaki itu, tapi Pieter mengatakan bahwa sejak sore tadi, majikannya itu sama sekali tidak menghubunginya untuk meminta dijemput, jadi, dia tidak tahu menahu di mana Mahessa berada saat ini."Kamu belum tidur, Nessa?" sapa Wildan yang kebetulan berpapasan dengan Vanessa di tangga.Saat itu, Wildan hendak ke dapur untuk membuatkan Vanilla susu.Vanessa tersenyum tipis seraya menggeleng. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya pelan."Loh, kenapa? Bukannya tadi kamu bilang hari ini sangat melelahkan? Apa kamu sakit?" tanya Wildan lagi.Belum sempat Vanessa menjawab, Pieter datang tergesa dari arah luar memasuki rumah besar itu.Langkah lelaki berkumis tipis itu berhenti tepat di bawah tangga."Nona Vanessa, saya baru saja mendapat telepon dari pemilik salah satu Club malam di Zurich, katanya, Tuan Mahess
Seharian ini, kedua pasang pengantin baru itu puas berkeliling kota Zurich.Di pagi hari, mereka menaiki kapal mengelilingi Danau Zurich, lalu berkunjung ke sisi utara danau sambil melihat sejumlah perumahan dan villa menarik.Vanilla tak hentinya berdecak kagum saat menikmati indahnya suasana sekitar dengan pancaran sinar matahari di tengah hawa sejuk sekeliling danau.Siang harinya, usai makan siang bersama di sebuah restoran ternama di Zurich, mereka berkunjung ke Rapperswill, yang dikenal sebagai kota bunga mawar.Rapperswill terletak di ujung timur Danau Zurich. Sebutan tersebut disematkan lantaran kebun-kebun publik di sana memiliki lebih dari lima belas ribu bunga mawar.Dari jumlah tersebut, sebanyak enam ratus jenis bunga mawar dapat mereka temui di sepanjang jalan kota tua abad pertengahan tersebut.Terakhir, Vanilla mengajak Wildan, untuk menaiki Tuk tuk.Tuk tuk merupakan transportasi sejenis bajaj yang kerap terlihat di Thailand.Selama berada di Zurich, para wisatawan as
Wildan terbangun saat sorot matahari sudah terang benderang.Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela yang terbuka dan mengayun-ayun tirai putih tipis yang menghalanginya.Suara gemericik air dari aliran sungai Geneva terdengar samar.Menatap ke sekeliling, kening lelaki berpiyama abu-abu itu seketika mengernyit.Kenapa aku ada di sini?Pikir Wildan membatin saat menyadari keberadaannya di dalam kamar pribadinya bersama Vanilla.Wildan meremas kepalanya sekilas, mencoba mengais kembali ingatan tadi malam.Sialnya, Wildan tak mengingat apapun kecuali dirinya yang mendengar suara Mahessa berbicara untuk pertama kalinya dengan Vanilla di kebun belakang itu."Sebenarnya, sejak awal aku sudah tahu bahwa Vi yang asli adalah Vanessa, bukan kamu."Ya, hanya sederet kalimat itulah yang berhasil Wildan ingat, karena setelahnya, yang dia ketahui, dia merasa seperti ada seseorang yang membekapnya dari arah belakang hingga membuatnya tak sadarkan diri.Apa mungkin dia berhalusinasi?Tapi rasanya ti
Malam itu, akhirnya Vanilla menemui Mahessa setelah berembuk cukup lama bersama sang suami.Meski awalnya Wildan melarang keras sang istri untuk pergi, namun, setelah Vanilla memberikan pengertian pada sang suami dan meyakinkan Wildan bahwa semua akan baik-baik saja, akhirnya Wildan pun pasrah dan membiarkan sang istri pergi, dengan catatan, Vanilla harus merekam seluruh percakapannya dengan Mahessa di kebun belakang agar Wildan tahu apa yang Mahessa ingin bicarakan dengan istrinya malam ini.Rasa kantuk yang awalnya dirasakan Wildan menguap begitu saja begitu Vanilla sudah keluar dari kamar.Lelaki itu menggeram tertahan sambil menepuk sisi tempat tidur lalu meremas kepala frustasi.Menatap kembali daun pintu kamar, Wildan yang tak mau ambil resiko jika Mahessa akan berbuat hal yang tidak-tidak terhadap Vanilla pun akhirnya memutuskan untuk menguntit kepergian Vanilla dan menguping langsung pembicaraan sang Kakak Ipar dan istrinya itu.Saat itu, Wildan menangkap sosok Mahessa dan Van
Setelah seharian ini puas menikmati suasana di dalam mansion mewah milik Mahessa, Vanilla dan Wildan yang baru saja selesai menyantap makan malam bersama dengan Mahessa dan juga Vanessa tampak memasuki kamar pribadi yang disiapkan khusus untuk mereka beristirahat.Sadar ada yang berbeda dari sikap sang suami, begitu dirinya dan Wildan sudah merebahkan diri bersama di tempat tidur, Vanilla pun merangsek memepet tubuh sang suami untuk memeluknya."Wil?" panggil Vanilla ketika Wildan baru saja mematikan lampu nakas."Hm?""Kamu kenapa? Kok seharian ini banyakan diemnya sih? Biasanya juga bawel," tanya Vanilla sambil mengerucutkan bibir.Helaan berat napas Wildan membuktikan bahwa lelaki itu memang sedang dilanda sesuatu yang membebani pikirannya dan hal tersebut jelas membuat Vanilla jadi khawatir."Apa, ini ada sangkut pautnya sama Mahessa?" tanya Vanilla lagi karena Wildan tak juga angkat bicara."Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" ucap Wildan kemudian.Vanilla sedikit mendongak menat
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi lalu check out dari hotel tempat mereka singgah, sebuah Limousine mewah sudah menunggu kedatangan dua pasang pengantin baru itu di depan lobi hotel.Tak perlu ditanya lagi siapa pemilik mobil super mewah itu, karena Wildan dan yang lain sudah bisa menebak bahwa Mahessa lah orangnya.Ya, siapa lagi?Toh setelah ini pun mereka akan pergi ke mansion mewah milik Mahessa yang berada tepat di tepi Danau Geneva.Memasuki kendaraan mewah itu, manik hitam Vanilla seolah tak mampu berkedip, saking terkesima dengan apa yang dia lihat di bagian dalam mobil tersebut."Bagus banget mobilnya, Wil!" seru Vanilla berbisik di telinga sang suami. Namun, akibat keheningan di dalam mobil, jadilah bisikan tersebut mampu tertangkap oleh yang lain. Dan hal tersebut sukses membuat Wildan merasa malu."Kamu kan udah sering naik mobil bagus di Jakarta, jangan norak deh!" balas Wildan yang juga jadi berbisik sambil sesekali melempar senyum ke arah Mahessa dan Vanessa di had
"Kamu tau Nessa? Apa alasan utamaku mengajakmu dan Vanilla ke Switzerland?" ucap Mahessa kemudian.Vanessa tak menjawab karena masih terlalu sesak dengan tangisannya."Karena aku ingin menyelamatkan kalian dari Aro!" lanjut Mahessa lagi, memberitahu.Vanessa menyeka air matanya, menatap Mahessa bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya tak mengerti.Mahessa menghela napas berat seraya menyandarkan kepalanya ke sofa. Memejamkan mata seolah dirinya hendak melepas penat.Hal itu dia lakukan dalam beberapa menit sebelum akhirnya sepasang mata hitam itu kembali terbuka dan menatap ke arah Vanessa yang masih menunggu jawaban atas pertanyaannya."Saat ini, Aro dan komplotannya sedang berada di Indonesia--""APA?" pekik Vanessa dengan wajah yang teramat sangat terkejut. Bahkan belum sempat Mahessa menyelesaikan ucapannya, Vanessa sudah lebih dulu memotongnya.Menatap lekat sosok Vanessa, sebuah senyum miring terbit di wajah Mahessa. "Apa kamu takut?" tanya lelaki itu kemudian.Perasaan was-was kian m