111"Tapi apakah kamu yakin, sayang? Barangkali itu hanya asumsimu saja, karena kamu terlalu membenci....""Sudahlah, susah bicara sama kamu! Kamu pasti akan selalu membela mantan istrimu itu. Padahal kamu yang paling tahu, bagaimana wataknya. Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang pasti aku bilang sama kamu ya, Mas. Aku akan melindungi pernikahan papaku dan istrinya dari gangguan wanita seperti dia. Dan sekarang, aku memutuskan akan pulang lagi ke rumah Papa."Aku kesal. Kesal sekali dengan Nino. Dia masih saja membela mantan istrinya, padahal tahu pasti wanita macam apa Regina. Sudahlah, aku pulang saja. Tidak akan baik juga aku terus di sini. Suasana hatiku sangat buruk. Padahal semalam kami baru saja berbaikan. Dan rencana sore ini pulang ke rumah Nino, tetapi sikapnya malah membuatku kesal. Andai dia tahu, apa yang diucapkan wanita itu tentang dirinya. Regina hanya menyebutnya barang bekas. Nino mengejarku, dia memintaku tetap menunggunya. Atau pulang ke rumahnya saja. Namu
112Aku memejamkan mata dengan kuat. Air mata sudah tak dapat dibendung, berderai dengan deras. Dan aku yakin membasahi tangannya yang membekap mulutku. Namun, ternyata tak membuatnya jatuh iba. Dia terus menyeretku.Kilasan kejadian saat si durjana dulu menyiksaku, terbayang lagi.Ya Tuhan, tolong aku. Aku takut. Jangan biarkan bajingan ini menodaiku. Mas Nino ... tolong aku.Aku hanya bisa berteriak dalam hati, memohon pertolongan. Aku tahu bukan ahli ibadah, tetapi aku merasa tidak pernah melakukan dosa besar seperti zina. Bahkan Nino lelaki pertama yang menyentuhmu secara intim.Kubuka lagi mata saat pinggangku terasa menabrak sesuatu. Ternyata meja makan yang mengenai pinggangku, sepertinya dia mau membawaku ke ruang tengah. Mataku berusaha mencari sesuatu. Aku harus menyelamatkan diri sendiri. Kulirik
113POV AlvinaAku terus bolak-balik dengan gelisah di ruang tamu yang terasa sepi. Selama menikah, belum pernah Mas Pandu pulang setelat ini. Sebelum magrib setiap hari dia pasti sudah sampai rumah. Apalagi sejak tahu aku hamil, paling telat selepas magrib sedikit pasti sudah ada di rumah.Tak terhitung berapa kali aku menghubungi nomornya, walaupun berakhir sama. Dijawab operator.Kulirik lagi jam dinding untuk kesekian kali. Benda yang terus saja berdetak tanpa peduli apa yang terjadi, menunjuk angka sembilan.Kamu ke mana Mas? Belum pernah kamu pulang semalam ini tanpa mengabariku. Aku takut.Kuusap perut yang sudah terlihat menonjol. Dek, kemana Papa kamu?Aku terus berdialog dengan diri sendiri juga bayi dalam perut untuk sedikit mengusir kekhawatiran ini. Walaupun pada kenyataannya, tetap cemas mendera.Menelpon Prisa, keputusan tercepat yang bisa kuambil. Aku berharap dia ada di san
114Aku bangkit, lalu menghampiri sepasang suami-istri yang sedang berdebat itu."Regina siapa?" tanyaku pada mereka. Aku menatap Prisa dan Nino bergantian. Aku harap mereka mau memberi tahuku sesuatu. Sepertinya ada yang aku tidak tahu.Mereka berpandangan sejenak. Lalu Nino mendahului bicara."Bukan siapa-siapa, Bu, tidak ada hubungan dengan menghilangnya Papa. Prisa hanya terlalu berprasangka.""Maksud kamu apa, Mas?" Prisa nampak tidak terima. "Kamu selalu saja seperti ini. Selalu membela mantan istrimu itu, padahal kamu tahu sendiri bagaimana dia." Suara Prisa meninggi."Ya, tentu saja aku tahu dia. Tapi kita tidak boleh menuduh orang lain tanpa bukti, sayang. Itu jatuhnya fitnah. Sekarang dari mana kamu tahu kalau Regina ada hubungan dengan menghilangnya Papa kamu?""Aku yakin, ada hubungannya. Kamu sendiri yang bilang Papa menabrak seorang wanita, lalu membawa wanita itu dengan mobilnya. Aku yaki
115PoV PrisaAku kaget melihat Alvina terkulai. Dia pasti sangat shock mendengar ucapan wanita itu. Aku juga. Ingin aku terus memakinya. Namun, Alvina lebih penting sekarang. Aku segera menghampirinya.Nino mengambil alih ponselnya. Aku sudah tak peduli dia mau bicara apa. Aku takut terjadi sesuatu lagi dengan kandungan ibu sambungku."Aku sudah bilang ini tidak baik untuk ibu sambungmu, Pris."Nino berdiri menyodorkan botol minyak kayu putih yang baru diambilnya dari kotak P3K."Aku tahu, tapi dia harus tahu kalau wanita itu berbahaya."Aku mulai mengoleskan minyak itu di bawah hidungnya. Lalu di pelipisnya seraya dipijat lembut."Apa kamu percaya begitu saja dengan kata-kata Regina?""Maksud kamu apa?""Aku tidak yakin dengan kata-katanya. Bisa saja dia hanya ingin membuatmu marah. Kita tahu pasti bagaimana papamu, bukan?"Aku diam mendengar penuturan Nino. Mencoba m
116Ada rasa lega Papa tidak sedang bersama perempuan itu, tetapi juga khawatir kondisinya karena menurut polisi belum sadarkan diri. Ya Tuhan, semoga kondisi Papa tidak serius. "Ayo, kita ke sana sekarang Pris, Nin. Ayo kita lihat Mas Pandu." Alvina emosional. Aku mengerti dia sangat mengkhawatirkan Papa. "Bu, apa tidak sebaiknya saya saja yang ke sana sendiri? Ibu dan Prisa di rumah saja, ya. Besok baru....""Tidak, aku mau ke sana sekarang. Mana mungkin aku bisa tenang di rumah sedangkan suamiku mungkin terluka!" ujarnya tegas. Aku dan Nino saling pandang sejenak. Tidak mungkin Alvina dapat dicegah. Dia memaksa ke rumah sakit sekarang juga. Padahal ini sudah hampir tengah malam. Dengan menggunakan mobil Papa yang lain, kami berangkat ke rumah sakit yang telah diinfokan polisi tadi. Sepanjang jalan, aku memeluk Alvina yang terus saja menangis. Sebenarnya, aku juga sama takutnya. Takut Papa kenapa-napa. Namun, kalau aku lemah, kasihan Alvina. Alvina langsung turun sesaat setel
117PoV Alvina"Mau apa datang ke sini? Dan apa maksud lu fitnah Papa gue begitu?""Fitnah?" wanita itu mencebik sinis. "Silakan tanya papamu tersayang kalau aku bohong. Bahkan semua tetanggaku tahu kalau papamu di rumahku semalam."Mata Prisa membulat, pun denganku. Benarkah itu? Benarkah Mas Pandu dari rumah perempuan itu semalam? Apa yang mereka lakukan? "Mas?" gumamku pelan. Aku menatap wajah suamiku yang nampak frustasi."Dengar sayang, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Biar Mas jelaskan.""Jadi benar Papa dari rumah dia semalam?" tanya Prisa tak percaya, dia berjalan mendekat ke arah papanya. Sementara wanita itu tersenyum sinis sambil melipat tangannya di dada. Mas Pandu masih diam, dia nampak bingung untuk memulai. "Apa itu benar, Mas?" Aku mengulang pertanyaan Prisa karena Mas Pandu masih diam. "Ayolah Mas, kenapa susah sekali untuk mengakui kalau kita semalam bersama? Bukankah mereka....""Aku tidak bertanya padamu!" sergahku dengan nada tinggi. "Aku sedang bicara
118PoV Alvina"Mas, aku keluar dulu ya, mau nyari jus buah, pengen yang segar-segar," pamitku siang ini. Prisa berangkat ke rumah makan membantu Nino di sana. Tentu saja mereka yang bertanggung jawab selama Mas Pandu sakit dan tidak bisa mengurusi semuanya. "Mau dibelikan apa?" tanyaku datar. Sejak keluar dari kamar mandi, kami tidak terlibat obrolan apa pun. Kami lebih banyak diam. Bukan, bukan kami, tetapi aku. Aku sedang ingin diam saja. Walaupun Mas Pandu sudah berusaha mencairkan suasana dengan menanyakan banyak hal. Aku juga sejak tadi berusaha menjaga jarak. Duduk jauh-jauh. Kontras sekali dengan tadi pagi sebelum wanita itu datang. Kami malah membuat Prisa iri. Aku membeli jus mangga yang sepertinya bisa membuat moodku kembali baik. Dan aku sengaja minum di tempat, untuk menghindari terlalu banyak berdekatan dengan Mas Pandu. Aku masih kesal. Hatiku masih sakit. Daripada di dalam sana aku malah marah-marah dan nangis. Nanti dikatakan manja dan kekanakan lagi. Setelah dir
Ruangan itu terasa sesak. Mesin pemantau detak jantung masih berdetak tenang, tapi jantung di dada mereka tak demikian. Alvina menggenggam tangan Sadewa erat, matanya basah menahan gejolak. Pandu berdiri kaku di sisi lain, sementara Prisa dan Nino saling berpandangan di dekat pintu, seolah menimbang waktu yang tepat untuk pergi—atau menyampaikan kenyataan paling pahit itu.“Inggit mana?” Suara Sadewa kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih kuat, tapi justru membuat ruangan makin sunyi.Alvina mengusap kening Sadewa dengan gemetar. “Sayang… tenang dulu, ya. Kamu baru sadar, masih butuh istirahat. Kamu minum dulu, ya. Atau mau Bunda suapi makan sekalian? Kamu pasti lapar, ya, Nak?” Sambil berdiri, Alvina membujuk.“Tapi Inggit di mana, Bun?!” Sadewa terus mendesak, tak menghiraukan tangan sang ibu yang mengasongkan botol minum. “Tadi aku... kami... kecelakaan, kan? Aku ingat! Mobil... truk... suara keras... terus gelap! Tapi Inggit ada di sebelahku! Di mana dia sekarang? Kenapa d
Jalanan itu ramai. Terlalu ramai bagi Pandu dan Alvina yang baru saja turun dari mobil dalam keadaan panik. Suara sirene, bisik-bisik warga, lampu rotator polisi dan ambulans yang berkedip-kedip, semuanya menambah sesak di dada mereka. Alvina masih mengenakan kebaya pastel dengan sepatu hak rendah yang kini terasa seperti jerat. Napasnya memburu, matanya liar mencari.“Permisi! Maaf ... anak saya ... Sadewa!” Pandu mendorong pelan barisan warga yang berkerumun di balik garis polisi.“Bapak tidak bisa masuk. Ini area evakuasi—” seorang polisi menahan mereka.“Saya ayah korban! Anak saya dan istrinya … mereka …! Saya mohon ... izinkan saya masuk!” Suara Pandu serak, tapi penuh desakan.Polisi itu sempat ragu, namun melihat raut wajah Alvina yang hampir pingsan, dia akhirnya memberi isyarat ke rekannya. “Oke, tapi jangan halangi proses evakuasi. Hati-hati, Bu.”Mereka melewati garis polisi. Aroma besi, asap, dan darah memenuhi udara. Mobil sedan biru yang membawa Sadewa dan Inggit ringse
Langit sore itu menghamparkan warna jingga yang membara. Matahari mulai turun perlahan, seolah memberikan restu kepada sepasang kekasih yang berdiri di altar sederhana berlatarkan taman penuh bunga. Musik lembut mengalun mengiringi momen sakral itu.Ya, ini pesta resepsi pernikahan Nakula dan Dinda. Akhirnya, setelah perjalanan berliku dan penuh intrik, mereka bisa melenggang ke pelaminan. Pernikahan sengaja dipercepat oleh Pandu untuk menghindari banyak godaan yang mungkin berpeluang menimbulkan kesalahpahaman lagi.Toh, Nakula sudah memiliki penghasilan meski masih kuliah. Walaupun mungkin belum sebesar penghasilan Dinda sebagai seorang manajer resto, tetapi itu sama sekali bukan hal besar. Dinda bisa menerima.Nakula terlihat gagah dengan setelan jas putih tulang, rambutnya disisir rapi, senyumnya tak pernah lepas dari bibir sejak pagi. Di sisinya, Dinda berdiri anggun dalam balutan kebaya modern berwarna champagne. Tatapan mereka saling menyatu, seolah dunia hanya milik mereka ber
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa