113
POV Alvina
Aku terus bolak-balik dengan gelisah di ruang tamu yang terasa sepi. Selama menikah, belum pernah Mas Pandu pulang setelat ini. Sebelum magrib setiap hari dia pasti sudah sampai rumah. Apalagi sejak tahu aku hamil, paling telat selepas magrib sedikit pasti sudah ada di rumah.
Tak terhitung berapa kali aku menghubungi nomornya, walaupun berakhir sama. Dijawab operator.
Kulirik lagi jam dinding untuk kesekian kali. Benda yang terus saja berdetak tanpa peduli apa yang terjadi, menunjuk angka sembilan.
Kamu ke mana Mas? Belum pernah kamu pulang semalam ini tanpa mengabariku. Aku takut.
Kuusap perut yang sudah terlihat menonjol. Dek, kemana Papa kamu?
Aku terus berdialog dengan diri sendiri juga bayi dalam perut untuk sedikit mengusir kekhawatiran ini. Walaupun pada kenyataannya, tetap cemas mendera.
Menelpon Prisa, keputusan tercepat yang bisa kuambil. Aku berharap dia ada di san
114Aku bangkit, lalu menghampiri sepasang suami-istri yang sedang berdebat itu."Regina siapa?" tanyaku pada mereka. Aku menatap Prisa dan Nino bergantian. Aku harap mereka mau memberi tahuku sesuatu. Sepertinya ada yang aku tidak tahu.Mereka berpandangan sejenak. Lalu Nino mendahului bicara."Bukan siapa-siapa, Bu, tidak ada hubungan dengan menghilangnya Papa. Prisa hanya terlalu berprasangka.""Maksud kamu apa, Mas?" Prisa nampak tidak terima. "Kamu selalu saja seperti ini. Selalu membela mantan istrimu itu, padahal kamu tahu sendiri bagaimana dia." Suara Prisa meninggi."Ya, tentu saja aku tahu dia. Tapi kita tidak boleh menuduh orang lain tanpa bukti, sayang. Itu jatuhnya fitnah. Sekarang dari mana kamu tahu kalau Regina ada hubungan dengan menghilangnya Papa kamu?""Aku yakin, ada hubungannya. Kamu sendiri yang bilang Papa menabrak seorang wanita, lalu membawa wanita itu dengan mobilnya. Aku yaki
115PoV PrisaAku kaget melihat Alvina terkulai. Dia pasti sangat shock mendengar ucapan wanita itu. Aku juga. Ingin aku terus memakinya. Namun, Alvina lebih penting sekarang. Aku segera menghampirinya.Nino mengambil alih ponselnya. Aku sudah tak peduli dia mau bicara apa. Aku takut terjadi sesuatu lagi dengan kandungan ibu sambungku."Aku sudah bilang ini tidak baik untuk ibu sambungmu, Pris."Nino berdiri menyodorkan botol minyak kayu putih yang baru diambilnya dari kotak P3K."Aku tahu, tapi dia harus tahu kalau wanita itu berbahaya."Aku mulai mengoleskan minyak itu di bawah hidungnya. Lalu di pelipisnya seraya dipijat lembut."Apa kamu percaya begitu saja dengan kata-kata Regina?""Maksud kamu apa?""Aku tidak yakin dengan kata-katanya. Bisa saja dia hanya ingin membuatmu marah. Kita tahu pasti bagaimana papamu, bukan?"Aku diam mendengar penuturan Nino. Mencoba m
116Ada rasa lega Papa tidak sedang bersama perempuan itu, tetapi juga khawatir kondisinya karena menurut polisi belum sadarkan diri. Ya Tuhan, semoga kondisi Papa tidak serius. "Ayo, kita ke sana sekarang Pris, Nin. Ayo kita lihat Mas Pandu." Alvina emosional. Aku mengerti dia sangat mengkhawatirkan Papa. "Bu, apa tidak sebaiknya saya saja yang ke sana sendiri? Ibu dan Prisa di rumah saja, ya. Besok baru....""Tidak, aku mau ke sana sekarang. Mana mungkin aku bisa tenang di rumah sedangkan suamiku mungkin terluka!" ujarnya tegas. Aku dan Nino saling pandang sejenak. Tidak mungkin Alvina dapat dicegah. Dia memaksa ke rumah sakit sekarang juga. Padahal ini sudah hampir tengah malam. Dengan menggunakan mobil Papa yang lain, kami berangkat ke rumah sakit yang telah diinfokan polisi tadi. Sepanjang jalan, aku memeluk Alvina yang terus saja menangis. Sebenarnya, aku juga sama takutnya. Takut Papa kenapa-napa. Namun, kalau aku lemah, kasihan Alvina. Alvina langsung turun sesaat setel
117PoV Alvina"Mau apa datang ke sini? Dan apa maksud lu fitnah Papa gue begitu?""Fitnah?" wanita itu mencebik sinis. "Silakan tanya papamu tersayang kalau aku bohong. Bahkan semua tetanggaku tahu kalau papamu di rumahku semalam."Mata Prisa membulat, pun denganku. Benarkah itu? Benarkah Mas Pandu dari rumah perempuan itu semalam? Apa yang mereka lakukan? "Mas?" gumamku pelan. Aku menatap wajah suamiku yang nampak frustasi."Dengar sayang, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Biar Mas jelaskan.""Jadi benar Papa dari rumah dia semalam?" tanya Prisa tak percaya, dia berjalan mendekat ke arah papanya. Sementara wanita itu tersenyum sinis sambil melipat tangannya di dada. Mas Pandu masih diam, dia nampak bingung untuk memulai. "Apa itu benar, Mas?" Aku mengulang pertanyaan Prisa karena Mas Pandu masih diam. "Ayolah Mas, kenapa susah sekali untuk mengakui kalau kita semalam bersama? Bukankah mereka....""Aku tidak bertanya padamu!" sergahku dengan nada tinggi. "Aku sedang bicara
118PoV Alvina"Mas, aku keluar dulu ya, mau nyari jus buah, pengen yang segar-segar," pamitku siang ini. Prisa berangkat ke rumah makan membantu Nino di sana. Tentu saja mereka yang bertanggung jawab selama Mas Pandu sakit dan tidak bisa mengurusi semuanya. "Mau dibelikan apa?" tanyaku datar. Sejak keluar dari kamar mandi, kami tidak terlibat obrolan apa pun. Kami lebih banyak diam. Bukan, bukan kami, tetapi aku. Aku sedang ingin diam saja. Walaupun Mas Pandu sudah berusaha mencairkan suasana dengan menanyakan banyak hal. Aku juga sejak tadi berusaha menjaga jarak. Duduk jauh-jauh. Kontras sekali dengan tadi pagi sebelum wanita itu datang. Kami malah membuat Prisa iri. Aku membeli jus mangga yang sepertinya bisa membuat moodku kembali baik. Dan aku sengaja minum di tempat, untuk menghindari terlalu banyak berdekatan dengan Mas Pandu. Aku masih kesal. Hatiku masih sakit. Daripada di dalam sana aku malah marah-marah dan nangis. Nanti dikatakan manja dan kekanakan lagi. Setelah dir
119PoV AlvinaSuara denting sendok yang terjatuh di atas lantai mengalihkan perhatianku. Mau tidak mau aku menoleh. Dan pemandangan menyayat hati terpampang jelas. Mas Pandu sedang berusaha meraih sendok yang terjatuh itu dengan tangan kirinya seraya membungkuk. Sepertinya dia berusaha makan sendiri dengan tangan kirinya. Setengah berlari aku menghampirinya. Mengambil sendok di lantai, mengelapnya dengan tissu, lalu mengambil alih rangsum di pangkuannya. Sungguh walaupun sangat marah, tetapi tidak tega melihatnya seperti itu. Aku duduk di sisinya, lalu mulai menyuapinya tanpa melihat matanya. Kusuapi terus hingga makanan di tempatnya tandas. Aneh memang, dalam kondisi seperti ini. Dia masih bisa makan lahap. Sementara aku, bahkan napsu makan sudah hilang entah kemana. Tak berselera sama sekali. Selesai menyuapi, kusodorkan segelas air hangat dan beberapa butir obat yang harus diminumnya. Kuusap juga sudut bibirnya dengan tissu. Semua kulakukan tanpa bicara sedikit pun dan tanpa m
120PoV PrisaWaktu sudah menunjukkan jam sembilan malam. Nino sudah tertidur pulas di sofa, aku tahu dia sangat lelah.Mengambil alih tanggung jawab Papa sekaligus mengerjakan pekerjaannya sendiri, tentu sangat melelahkan. Sebenarnya aku juga ingin segera beristirahat, setelah seharian juga banyak aktivitas.Ke sini, ke kampus, kemudian membantu Nino di rumah makan. Sangat melelahkan. Ingin segera menyusul Nino ke alam mimpi, tetapi Papa belum juga tidur.Dari tadi kuperhatikan, tampak gelisah. Entah sudah berapa kali mengutak-atik ponsel di tangan kirinya. Sesekali mengusap wajah kasar. Kuajak bicara tidak merespon. Bahkan tadi sore saat kusuapi makan tak berselera. Pandangannya kosong.“Pa, tidurlah. Kata dokter harus banyak istirahat, biar cepat sembuh. Tadi Alvina juga bilang begitu, kan?”"Papa tidak akan bisa tidur, Pris, sebelum mendengar suaranya. Tapi HP-nya tidak aktif. Sudah
121PoV PrisaYa Tuhan, ada apa dengan keluarga kami? Bahkan saat keadaan Papa dan istrinya seperti ini, ibu mertua juga menelepon Nino, mengabari kalau Darren juga sakit. Badannya panas tinggi, dia terus menanyakan Nino yang beberapa hari ini belum sempat menengoknya karena sibuk mengurusi Papa. Nino pamit pulang, sementara aku tak mungkin meninggalkan Papa dalam keadaan seperti ini. Rumah makan sengaja kami tutup. Aku dan Papa masih menunggu di depan IGD rumah sakit yang sama yang kami tinggalkan beberapa jam lalu. Papa terus saja menundukkan kepala mengutuki dirinya sendiri. Keadaan Papa sangat menyedihkan saat ini. Dengan sebelah tangan di topang karena tulang belikat yang patah. Perban yang masih menempel di beberapa bagian tubuhnya. Memar-memar di wajah yang tidak bisa disembunyikan. Sekarang harus menghadapi kenyataan, kalau istri dan calon anak mereka entah bisa selamat atau tidak. Aku kasihan melihat Papa saat ini. Bahkan selama hidup, baru kali ini aku melihat Papa seemo
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok