Kami bertiga minus ayah karena belum pulang kerja, siap berangkat ke rumah orang tua Aldo untuk menghadiri pengajian di rumahnya. Sejak dua jam yang lalu, Ibu sudah heboh berdandan. Padahal hanya mau menghadiri acara pengajian. Namun, hebohnya seperti anak perawan mau kondangan. Make-up tebal dengan menempelkan segala aksesoris. Bergonta-ganti baju, dengan mencoba semua koleksi hingga isi lemarinya keluar semua. Bolak-balik bertanya padaku apa bajunya sudah pantas atau belum. Mas Pandu tak kalah heboh. Dia mencari kemeja berwarna senada dengan baju yang akan kupakai. Biar kelihatan couple katanya. Karena kami memang belum punya baju pasangan. Mau beli sudah tidak sempat, karena undangannya juga dadakan. Huh, capek deh! Mertua sama menantu sama-sama absurd. Kami berjalan kaki menuju tempat acara, karena jarak rumah tidak terlalu jauh. Ibu berjalan di depan kami dengan kaftan warna gading yang berkibar tertiup angin. Bahkan kaftannya beberapa kali menampar wajahku yang berjalan di be
34"Oh, ini toh, laki-laki yang sudah mendahului mengambil calon mantu kami," ujar Papanya Aldo tiba-tiba. Hening. Semua diam. Suasana mendadak tegang, sampai papanya Aldo tiba-tiba terbahak. "Bercanda, Mas. Vina sudah kami anggap anak sendiri dari kecil. Itu berarti, kamu juga mantu kami. Iya, kan, Ma?" ucapnya seraya beralih ke istrinya. "Kamu beruntung sekali Mas, bisa menyunting gadis seperti Vina," lanjutnya sambil menepuk-nepuk bahu suamiku. Membuat suasana mencair kembali. Ketegangan yang sedari tadi menghiasi wajah suamiku perlahan memudar, walaupun tetap kurasakan dia tak nyaman. Apalagi saat tatapannya bertemu tatapan Aldo. Ah, laki-laki memang penuh rahasia.Sejak itu aku terus bergelayut manja di lengannya. Aku malas ribut-ribut lagi hanya gara-gara satu kata, CEMBURU. Menghabiskan energi saja. Belum lagi nanti kalau Mas Pandu minta jatah, kan, harus siap energi ekstra. Eh.Aku dan suami sedang menikmati hidangan prasmanan yang disediakan keluarga Aldo. Kami duduk berd
35Aku duduk di salah satu kursi makan, yang mejanya masih kosong. Baru ada sebakul nasi di sana. Sementara lauknya sedang dibuat oleh duo chef yang sedang berkolaborasi heboh di depan kompor sana. Chef Ibu dan chef Pandu. Mereka berdua tengah menyiapkan makan malam untuk kami. Entah apa yang mereka masak dari tadi terdengar sangat heboh. Yang pasti aroma bumbu menguar sampai ke mari. Mereka terlihat sangat kompak. Seperti sudah sering berkolaborasi. Lalu aku? Duduk cantik saja menunggu masakan matang. Mau membantu juga, jatuhnya malah merecoki dan pasti akan diusir ibu dari dapur. Mas Pandu sangat pintar mengambil hati Ibu. Sebagai menantu lelaki dia bisa membantu Ibu memasak. Padahal aku anaknya yang perempuan belum juga bisa masak. Namun benar, suamiku pintar sekali mengambil hati orang tuaku. Dia dengan mudah masuk ke keluarga ini tanpa canggung sedikit pun. Mungkin karena sudah berpengalaman berumah tangga. Lalu aku, bagaimana hubunganku dengan keluarganya? Aku bahkan lupa m
36Aldo menatapku tak percaya. Sorot kecewa tergambar jelas di sana. Namun, aku tidak peduli dan langsung membuang muka. Perasaan suamiku yang terpenting sekarang. Aldo pun akhirnya pergi, setelah pamit lagi dengan Ayah dan Ibu. Terdengar helaan napas panjang dari sebelah. Ya, itu suamiku. Yang pasti mati-matian menahan marah pada Aldo yang sudah dengan terang-terangan mengutarakan ingin merebutku. Aku mengerti, suami mana yang bisa terima ada laki-laki yang terang-terangan bilang mau merebut istrinya? Aku mengelus punggung tangan Mas Pandu, seraya memberikan senyum termanisku sebelum membereskan piring bekas makan kami. ***"Apa kamu menyukai Aldo?" tanya Mas Pandu setelah kami berada di kamar mungilku. Aku menghentikan gerakan tanganku yang sedang menyarungi bantal. "Kami baru bertemu lagi sekarang," jawabku tanpa menoleh ke arahnya. "Yang Mas tanyakan, apa kamu menyukai dia?" tanyanya lagi.Aku menoleh, lalu berjalan menghampirinya. "Bagaimana mungkin aku bisa langsung meny
Sore ini aku sedang menyapu daun-daun kering yang jatuh dari pohon mangga di halaman. Mas Pandu pamit ke rumah makan dulu tadi siang selepas Zuhur, katanya ada sedikit masalah di rumah makan. Pulangnya mungkin menengok Prisa dulu. Tadi si Mpok yang kerja di rumah juga menelepon. Katanya Prisa memaksa ingin keluar rumah. Kuayunkan sapu lidi membawa daun-daun kering ke arah sudut halaman yang lumayan luas ini. Biasanya Ibu membakarnya di sana. Suara seseorang yang sudah kuhafal, menyapa dari arah belakang. Aku terpaku beberapa saat. "Sekarang kamu rajin banget, Vin."Aldo. Dia lagi. Aku tetap melanjutkan kegiatanku menyapu halaman. Tanpa menoleh ke arahnya. "Apa kita bisa bicara sebentar saja?" tanyanya lagi saat melihatku masih sibuk menyapu. "Maaf, Do. Suamiku sedang tak di rumah. Aku takut jadi fitnah kalau kita bicara berdua," jawabku, meliriknya sebentar, lalu menunduk lagi. "Ah ya, aku lupa. Vina-ku bukan lagi gadis kecil yang selalu membutuhkan aku," ucapnya sambil menarik s
38Kami berpamitan setelah sarapan pagi. Ternyata mobil suamiku di bengkel dan kemarin dia pulang naik taksi. Pantas saja aku tidak menyadari kepulangannya. Tahu-tahu dia sudah berdiri di belakang Aldo. Tadinya hari ini, dia juga mau memesan taksi untuk kami pulang. Namun, sebuah ide tiba-tiba terlintas. Kenapa kami tidak pakai motorku saja? Ya, walaupun bukan motor mahal, tetapi mesinnya masih bagus. Masih bisa mengantarku pulang pergi kuliah. Ayah dan Ibu memelukku erat. Mereka mewanti-wanti agar saat kami kembali lagi ke sana sudah harus membawa kabar baik, yaitu hadirnya calon cucu untuk mereka. Ayah juga berpesan, agar kami saling menjaga, saling mengerti, saling percaya, saling melengkapi kekurangan masing-masing. Jangan mengedepankan ego. Agar bahtera yang baru kami bangun menjadi kokoh, walaupunt ada tempaan baik dari dalam maupun pihak luar. Ayah percaya padaku. Walaupun usia jauh lebih muda, tetapi bisa mengimbangi suamiku, asal mau belajar dan berusaha. Dan yang terpent
39Prisa terlihat meradang. Wajahnya semakin marah. "Aku tidak suka ini! Kalau tahu akan begini, lebih baik Papa tidak menikah lagi!"Dia menatap tajam sebelum akhirnya lari meninggalkan kami dengan wajah marahnya. Mas Pandu terdengar menarik napas panjang dan membuangnya kasar beberapa kali. Lalu aku? Yang pasti terasa ada bongkahan batu besar mengimpit dada. Rasanya sesak. Sakit. Sahabat yang selama ini jadi tempat berbagi suka dan duka, kini menatapku seperti seorang musuh. Padahal dia salah satu alasan aku menerima pernikahan ini. *** Aku tergugu di tepi tempat tidur. Meluapkan sesak di dada karena sikap Prisa. Kenapa jadi seperti ini? "Sayang, mulai sekarang ... sepertinya kamu harus mempersiapkan diri untuk segala sesuatunya. Termasuk menghadapi sikap Prisa." Mas Pandu duduk di sampingku setelah melihatku agak tenang. "Maaf, terpaksa menempatkanmu dalam posisi ini. Tapi Mas yakin, kamu bisa. Kamu sudah jadi seorang istri, dan kelak akan jadi seorang ibu. Kamu harus kuat. M
40Aku menatap tak percaya gadis yang selama ini kuanggap sahabat. Walaupun jejak persahabatan itu seolah-olah sudah hilang dari sikapnya hanya dalam beberapa hari ini. Padahal aku berada di sini pun atas andilnya. "Pris, apa salahku?" tanyaku serak.Dia tersenyum sinis sebelum menghampiriku dengan angkuh. "Salahmu ... udah bikin bokap gue berubah!" ucapnya keras di dekat telingaku. Si Mpok yang sedang mencuci piring mencuri-curi pandang ke arah kami. Aku memejamkan mata. Menahan lagi sesak di dada. Kutarik napas panjang, sebelum membuka mata lagi."Kalaupun Mas Pandu melakukannya, itu karena dia mau kamu berubah lebih baik, Pris. Dan aku nggak pernah mempengaruhi papamu. Papamu lebih keras, demi kebaikanmu sendiri," ucapku dengan suara bergetar menahan sesak di dada. "Oh, udah pinter ngomong sekarang ibu sambungku ini. Hebatnya ...." Prisa bertepuk tangan mengejekku. Ya Allah, siapa gadis di depanku ini? Aku bahkan tak bisa mengenalinya sekarang. Kenapa dia berubah hanya dalam w
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok