170“Jangan mengada-ngada, Bang!” Dinda mendesis seraya lebih mendekatkan wajahnya ke wajah laki-laki yang mengaku calon suaminya. Suaranya nyata-nyata tertahan. “Aku tidak pernah bilang setuju.”Wanita yang ikut keluar dari bangunan kantor itu menarik tangan Dinda setelah menempatkan dirinya di tengah-tengah antara Dinda dan pemuda itu.“Tapi itu memang benar, Lita. Setuju atau tidak, kalian akan menikah. Kamu akan menikah dengan Sakha.” Suara wanita itu sangat tegas bahkan terkesan mengintimidasi.“Kalau aku tidak mau?” tantang Dinda berani seraya menatap tajam wanita usia awal lima puluhan yang terlihat masih cantik.“Kamu tidak akan mendapatkan sepeser pun—”“Kita masih di depan kantor pengacara ayahku, Bu. Untuk apa kita datang ke sini kalau kalian berdua masih saja mempermasalahkan ini?”“Lita, kamu memang anak tidak bisa diatur. Pantas jika ayahmu dulu mengusirmu.” Wanita itu terlihat tidak terima Dinda menentangnya.“Ayah tidak pernah mengusirku. Aku pergi dari rumah atas kema
171“Ehemm!” Nakula berdehem cukup keras karena mereka terus saja berpelukan. Maksudnya laki-laki tinggi tegap terus memeluk Dinda seolah tidak ingin melepaskannya lagi. Bahkan terdengar permintaan maaf di antara tangisnya.“Maafkan Abang, Lita. Sungguh Abang menyesali semuanya. Andai Abang mempercayaimu waktu itu.”“Ehemmm!” Lagi Nakula berdehem. Kali ini lebih keras. Hingga terlihat pergerakkan Dinda di dalam dekapan sang lelaki. Sepertinya gadis itu berusaha melepaskan diri. Karena tidak lama, lelaki itu melepaskan tubuhnya.Dinda terlihat menjauhkan tubuhnya, melirik Nakula sebentar, lalu kembali menghadap laki-laki yang barusan memeluknya.“Lita, maafkan Abang, ya. Abang menyesali semuanya,” ujar laki-laki itu lagi tanpa mempedulikan keberadaan Nakula di sana. Tatapan memelasnya tak lepas dari wajah Dinda.“Andai tahu jika semua ini hanya akal-akalan Sakha dan ibunya, Abang tidak—”“Sudahlah, Bang. Yang lalu biar berlalu. Aku sudah melupakannya. Sekarang Abang pergilah, aku mau m
172Nakula terduduk lemas di kursi kayu. Tatapannya nanar menatap makanan yang baru diantarkan Dinda. Makanan yang mengandung banyak history dan perjuangan panjang. Bagaimana tidak? Ada banyak peristiwa yang mengiringi hingga makanan itu terhidang. Rasanya terlalu sayang jika tidak ia makan. Tidak menghargai pembuatnya.Dinda sudah pergi. Meninggalkannya dengan berbagai perasaan yang bebaur dalam dada. Tadi ia menyusul ke depan setelah dapat mengusai perasaannya, tapi gadis itu sudah tidak ada di depan. Bahkan ponselnya sudah tidak aktif saat ia berusaha menghubungi.Apa Dinda sudah pergi dengan laki-laki yang tadi memeluknya? Apa laki-laki itu menunggunya sampai Dinda menyelesaikan semuanya? Ah, jika benar, kenapa juga Dinda tidak langsung pergi? Kenapa masih sempat membuatkan makanan untuknya?Nakula memasukkan makanan ke dalam mulutnya meski semua sistem pencernaannya seperti menolak. Ia lakukan hanya karena menghargai yang membuatnya. Bukan karena berselera.Manusia macam apa diri
173Dinda mengerjap dan mengalihkan pandangan. Lalu berusaha melepaskan tangannya yang digenggam Nakula. Namun, pemuda itu menahannya.“Din, bisa tidak kamu kabulkan permintaanku? Jangan terlalu dekat dengan laki-laki mana pun selain aku,” pinta Nakula lagi dengan suara semakin lirih. Tatapan semakin dalam meski gadis di hadapannya sudah memutuskan kontak mata lebih dulu.Dinda memejam sebentar. Menahan berbagai rasa dalam dada, sebelum akhirnya bicara.“Kenapa, Mas? Kenapa aku tidak boleh dekat dengan mereka?” tanya Dinda juga tak kalah lirih. Terpaksa ia kembali menatap pemuda itu hingga kembali tatapan mereka saling bertaut.Nakula menelan ludahnya. Dadanya juga sudah ramai dihiasi berbagai perasaan. Harusakah ia mengatakan jika dirinya cemburu melihat Dinda dengan laki-laki lain?“Aku …,” ujarnya kelu. Tak dapat melanjutkan ucapan.Dinda memiringkan kepala sebagai tanda ia menunggu. Tak ayal hatinya mendamba kalimat ajaib yang akan keluar dari mulut Nakula. Sebagai wanita, bohong
174“Ehemm!”Nakula melepaskan pelukan dan menjauh. Pun dengan Dinda yang membuat jarak saat mendengar deheman dari pintu depan. Nakula langsung salah tingkah saat mendapati sang ayah memergoki mereka.“Iya, Pa,” ujarnya seraya menggaruk kepala yang tidak gatal.Pandu yang memasang wajah datar, berjalan menghampiri keduanya. Dinda terlihat ingin pamit dengan menganggukkan kepala, tetapi Pandu menahannya. Mengisyaratkan agar gadis itu tetap di sana dengan kedipan matanya.“Nanti siang kita fitting untuk seragam pernikahan Dewa.”Nakula tertegun. Sesuatu terasa memukul dadanya.Pandu menyentuh pundak sang anak. “Nanti Bunda ke sini, dan kita berangkat bersama.”“Kalau aku tidak ikut menggunakan seragam bagaimana, Pa?”Pandu menarik napas panjang dan mengembusnya perlahan. “Kamu tidak mau membuat Papa sama Bunda sedih, kan?”Nakula mengalihkan pandangan. Menghindari tatapan sang ayah yang memohon. Ia tahu akan membuat sedih hati kedua orang tuanya jika tidak terlihat kompak, terlebih tid
175“Manager?” Nakula bergumam dengan mata memicing setelah gadis yang ia yakini sebagai karyawan sang ayah pergi dari hadapan mereka. Ditatapnya lamat-lamat wajah Dinda yang sangat kentara perubahannya.“Manager?” gumamnya lagi tak percaya. Tatapannya semakin dalam di mata yang terlihat bola matanya bergerak gelisah. Bukankah yang ia tahu Dinda karyawan baru yang masih training? Itu yang dikatakannya saat pertama kali mengantar makanan untuknya. Ia memohon agar tetap diizinkan karena takut dipecat.“Apa maksudnya ibu manager, Dinda?”Dinda terlihat memejam sebentar sebelum mengerjap gugup.“Mas ….”Namun saat ia berusaha ingin menjelaskan, sekonyong-konyong seseorang menghampirinya dengan antusias.“Lita, akhirnya aku menemukanmu di sini.”Dinda menol
176 Nakula menggeleng keras entah untuk ke berapa kalinya. Kepalanya benar-benar ingin meledak. Dadanya sesak seolah ribuan kilo beban menghimpit. Sakit tiada tara mendapati kenyataan di saat ia yakin bisa move on karena sudah menemukan wanita yang tepat, di saat itu ia merasa dilempar ke jurang terdalam. Dinda. Ia sudah menikah. Pantas saja laki-laki itu berani langsung memeluknya bahkan di tempat umum dan di hadapan orang lain. Ternyata laki-laki itu suaminya. Bahkan ini lebih menyakitkan daripada saat mengetahui Inggit lebih memilih Dewa. Dinda menipunya. Wanita itu telah membohonginya. Memberi harapan, membantu bangkit, tetapi kemudian menunjukkan siapa sebenarnya dia. “Arghhhh.” Entah untuk ke berapa kalinya Naluka berteriak menumpahkan sesak di dada. Rambutnya sudah kusut karena terus diacak dengan frustrasi. Rasanya ingin mengutuk dunia dan seisinya yang seolah mendukung wanita itu untuk menipunya. Ya, menipu. Dinda sudah menipunya selama ini. Bersikap baik dan polos seolah
177Keheningan menyelimuti ruangan cukup besar di mana Nakula duduk berhadapan dengan sepasang suami istri berwajah cemas. Tatapan pemuda itu tajam menghujam wajah pria paruh baya yang berkali-kali menarik napas dalam.Raut bersalah tergambar jelas di wajah sepasang suami istri demi melihat kondisi anak mereka. Pantas saja mereka ingin segera pulang, terlebih telepon dari Nadira yang mengabarkan Nakula pulang ke rumah.Entah berapa lama mereka saling terdiam pasca Nakula mengatakan ingin bicara, sesaat setelah mereka sampai di rumah.“Naku sayang, kami kira kamu tidak pulang ke sini. Makanya kami—”“Kalian bersenang-senang? Itu sudah biasa, kan? Hanya saja aku mau bicara dengan suami Bunda.” Nakula memotong. Suaranya datar, hanya saja karena diiringi tatapan tajam dan sebutannya yang tidak biasanya, membuat Pandu tertohok.“Naku—”“Aku mau meminta penjelasan Pak Bos ini apa yang sudah dilakukannya padaku. Jika Bunda tidak berkenan mendengarnya, silakan tinggalkan kami berdua. Aku taku
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
187Nakula maju. Ia sudah memutuskan tak ingin mengalah lagi. Sudah cukup selama ini selalu membiarkan saudara kembarnya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan mengorbankan perasaannya. Kini tak akan ia membiarkan sang saudara menyalahkan dirinya, apalagi untuk sesuatu yang tidak dilakukannya.Karena terburu-buru dan tidak fokus, ia menabrak Inggit yang sepertinya ingin naik tangga. Bodohnya dirinya yang lupa jika di rumah itu ada penghuni baru, langsung mengulurkan tangan untuk membantu orang yang ia tabrak bangun. Semua ia lakukan karena rasa bersalahnya yang kurang hati-hati.Siapa sangka di saat ingin membantu Inggit berdiri itu Sadewa yang tengah bucin-bucinnya terhadapa istrinya itu datang. Salah faham pun tak bisa dihindarkan. Sadewa mengira jika saudara kembarnya ingin menggoda istrinya. Terlebih melihat kondisi pakaian sang istri yang tersibak.“Apa yang kamu lakukan pada istriku, N
186 Nakula setengah berlari menuju tangga penghubung lantai dua dan lantai bawah. Sebenarnya kamar orang tuanya ada di lantai bawah, hanya saja ia ingat harus mengambil sesuatu di kamarnya dulu sebelum pergi. “Dinda meminta disampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Maaf katanya tidak jujur sejak awal jika ia wanita bersuami.” Kalimat sang ayah selepas pemutaran video itu terus berputar-putar di kepala Nakula. “Sama sekali tidak ada maksud menipumu, Naku. Ia memang pernah menikah, tapi hari itu juga menjadi janda. Dan kemarin, pengadilan agama mensahkan statusnya itu setelah sebelumnya proses perceraiannya dipersulit. Mantan suaminya ingin rujuk, melakukan berbagai cara agar gugatan cerai Dinda tidak dikabulkan. Syukurlah nasib baik masih berpihak padanya.” Sang ayah menjeda penjelasannya. “Kemarin Dinda akhirnya menerima akta cerai, karenanya hari ini langsung terbang.” “Terbang?” Nakula terperanjat. “Ke-mana?” Pandu menarik napas panjang. Tatapannya sendu. “Dinda memutuskan meng
185 “Lihat dulu ini sampai selesai, lalu silakan berkomentar.” Pria usia enam puluhan menyalakan laptop, lalu menyerahkan benda itu ke hadapan laki-laki muda yang duduk di tepi ranjang. Sang pemuda membuang muka. Ini alasan kenapa ia malas pulang. Bertemu ayah dan saudara kembar yang sudah mengecewakannya. Sang pemuda ingin bangkit, tetapi sebuah tangan menahan pergelangan tangannya. Ia pun memejam sebelum meloneh pemilik tangan yang masih terasa hangat itu. “Bunda sebaiknya istirahat saja, ya. Badannya juga masih anget. Biar cepat sembuh. Aku pamit dulu,” ucapnya lembut seraya menggenggam tangan sang sang ibu yang mencekal pergelangannya. Wanita berwajah pucat yang memakai baju tebal dan duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng. Tatapan nanarnya sudah diliputi embun tebal. Terlihat sangat berat melepas putranya pergi. “Naku Sayang, percayalah tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya sendiri.” Nakula menarik napas yang begitu berat, ingin rasanya menyangkal ucapa
184 Nakula berbaring di kamar minimalisnya. Tatapannya lurus menyapu langit-langit kamar yang menampilan bayangan bagaimana pertemuan awalnya dengan Dinda. Bagaimana ia kesal terhadap gadis itu hingga akhirnya tergila-gila. Sayang seribu kali sayang jika semua yang terjadi antara dirinya dan Dinda yang ia anggap tulus, hanya fatamorgana. Hubungan mereka yang begitu manis ternyata hanya settingan semata. Settingan sang ayah dengan wanita bersuami itu. Sudah beberapa hari tinggal lagi di galeri, Nakula tidak pernah lagi melihat Dinda. Entah dimutasi lagi atau memang tidak menampakkan diri lagi di depannya, yang pasti ia sudah tidak pernah melihat sosoknya. Baguslah jika dimutasi, itu artinya ia bisa segera melupakan rasa sakitnya. Nakula bangkit, lalu beranjak menuju meja kecil yang biasa ia gunakan untuk makan. Sekotak makanan yang ia beli via jasa antar online sudah tersedia di sana. Dibukanya dengan malas kotak makanan itu. Sungguh, ia sebenarnya tak berselera makan. Jika tak mem
183 Hari ini Nakula kembali ke galeri. Kondisinya jauh lebih baik setelah tiga hari menginap di rumah sang kakak. Meski suami istri Prisa dan Nino tidak mau memberitahu di mana Nadira saat ini, setidaknya di sana Nakula punya teman bicara, si imut Nindy selalu membuat harinya terasa menyenangkan. Terlebih saat minta diantar ke taman bermain dan outbond kecil-kecilan di dalam kota. Keceriaan gadis SMA itu, juga dirinya yang ikut mencoba berbagai wahana membuatnya bisa berteriak kencang melepaskan ganjalan di dada. Seolah sedang mencari pelampiasan, Nakula terus mengajak Nindy naik wahana yang lebih menantang agar ia bisa berteriak lebih keras. Seperti orang gila Nakula saat itu. Tapi ia benar-benar bisa melepaskan beban yang sudah bersemayam di dadanya. Satu yang ia sesali. Kenapa malam itu ia harus pergi ke club dan mabuk, hingga berujung Nadira yang diungsikan entah ke mana oleh kedua orang tuanya. Kenapa ia tidak pergi ke tempat seperti taman bermain saja, agar bisa meluapkan gan
182Nakula mengerjap berkali-kali hingga matanya dapat terbuka. Rasa pusing di kepalanya masih sangat menyiksa, tetapi ia terus berusaha membuka matanya. Berbaring dalam waktu lama membuat tubuhnya pegal-pegal.Perlahan, walau samar, matanya dapat menangkap sesuatu di depannya. Hingga akhirnya wajah imut seorang gadis yang tengah tersenyum tersaji di depan matanya.“Sudah bangun, Om?” tanya gadis imut seraya menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Sepertinya ia sudah lama menunggu Nakula bangun.Nakula menggelengkan kepalanya berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Lalu mencoba bangkit dari berbaringnya. Gadis imut membantunya duduk.Sang pemuda mengedarkan pandangan setelah kepalanya tidak begitu pusing. Cahaya terang dari jendela yang terbuka, membuatnya yakin jika ini siang hari.“Ini di rumah kami, Om.” Seolah mengerti dengan pikiran Nakula, gadis mungil menjelaskan.“Semalam Mami sama Papi bawa Om ke sini. Katanya Om sedang kurang enak badan. Aku sih, nggak tahu karena udah bobok