Adam keluar perlahan dari kamar 509 menuju kamar 506, tempat Sabrina berada. Dia bergegas karena sangat takut akan kemarahan Sabrina. Tidak mungkin dia akan membiarkan dirinya gagal di malam pertama dalam menjalankan misi penting, bukan?
Pria bercambang tipis itu mengetuk pintu dan mendapati Sabrina membuka pintu dengan cepat. Sangat cepat. Pertanda bahwa dia sudah menunggu kehadiran Adam sedari tadi.
"Lama sekali kamu, Adam! Ngapain aja?" bentak Sabrina dengan wajah sangat marah. Kemarahannya sungguh tak cocok dengan muka bulatnya yang manis dan dirias tipis. Rambutnya panjangnya yang tergerai bergelombang membuat penampilannya semakin terlihat anggun. Sangat anggun seandainya dia tak sedang berapi-api. "Aku dari tadi nungguin kamu! Lamaaaa banget! Ngapain aja, sih? Kamu main sama dia sampai teler, ya?"
"Sabrina, stop! Dia istriku. Walaupun semua ini sandiwara, aku harus memperlakukan dia seperti layaknya istri sungguhan. Kalau nggak, papa akan membatalkan semua pengalihan harta beliau padaku!" sanggah Adam berusaha menenangkan.
"Tapi aku juga istri kamu, Adam!" protes Sabrina. "Aku istri pertama kamu!"
Benar. Sabrina setuju dengan semua sandiwara Adam dengan suatu syarat. Sabrina tak mau jadi istri kedua. Walaupun pernikahan mereka rahasia, dia tetap ingin menjadi istri pertama.
Bila Adam sanggup memenuhi syarat tersebut, Sabrina akan tetap mau bersama Adam walaupun hubungan akan mereka jalani dari balik kelambu hitam. Sabrina tak akan mendapatkan pengakuan dari publik bahwa dia istri Adam. Hal itu sudah cukup berat bagi seorang wanita.
Namun, karena ayah Adam sedang sakit, Sabrina memilih bersabar dan mempercayai Adam bahwa dia akan menceraikan Maya setelah ayahnya meninggal. Setelahnya, Adam akan memperkenalkan dirinya ke publik. Walaupun harus bersabar, dia akan menjadi istri Adam yang sesungguhnya.
Adam memeluk Sabrina dengan erat. Keduanya hanya memakai gaun tidur yang tidak cukup tebal untuk menyembunyikan pesona di baliknya. Adam dengan cepat merasakan hasratnya timbul untuk sang kekasih yang sangat dia cintai.
"Ayo! Kita lanjutkan diskusinya di ranjang, Sayangku!" rayunya agar Sabrina tidak terus marah.
"Ogah! Kamu pasti sudah nggak ada tenaga!" tolak Sabrina, berpaling dari Adam dan menuju ke ranjang tanpa menunjukkan keinginan sedikit pun. "Kamu pasti udah main sama dia sampai kering!"
Sabrina bersedekap, aksi yang tanpa dia sadari membuat pesonanya semakin elok. Tentu saja Adam semakin tergoda untuk menyentuhnya.
"Sayang, aku kuat banget! Mau bukti?" tanya Adam dengan nada sangat menggoda. Dia lalu menarik pergelangan tangan Sabrina dan merenggut bibir wanita itu. Suasana semakin lama semakin pekat oleh hasrat. Lebih dari yang terjadi di kamar 509 tadi.
Sabrina yang tadinya marah pun, telah lupa dengan masalahnya barusan. Adam begitu piawai membuat Sabrina mabuk kepayang dalam sentuhannya. Dia telah menghafal dengan baik semua titik manis yang ada di tubuh sang istri.
Permainan pun semakin lama semakin panas. Adam menunjukkan kepada Sabrina bahwa dia tidak menghabiskan tenaganya untuk melewatkan malam pertama dengan Maya.
Sabrina pun terpuaskan secara lahir. Namun, tentu saja hal ini membuat moodnya sangat berubah. Seperti saat ini, dia sudah tak marah lagi pada Adam. Wanita cantik bermata bulat itu bersandar manja di bahu Adam sambil memainkan tangannya di tubuh sang suami. Adam sangat menyukai Sabrina yang sedang jinak seperti ini. Mereka berdua pun melanjutkan permainan sampai pagi.
Mungkin orang mengira untuk berbuat curang seperti Adam, memang dibutuhkan tenaga yang besar. Namun, Adam adalah seorang pebisnis andal. Dalam hal seperti ini pun, dia memiliki cara agar tenaganya tak habis dengan cepat, akan tetapi bisa menyenangkan pasangan dengan sangat baik.
Fajar pun menyingsing. Sabrina sudah tak sanggup lagi mengikuti permainan Adam. Mereka berkali-kali ketiduran dan terbangun untuk melakukan kembali. Sangat menyenangkan bagi keduanya. Namun, kali ini Sabrina benar-benar lelah. Terbukti, saat Adam membangunkan dengan lembut, dia tak bereaksi positif.
"Sudah, Adam! Masih ada besok malam, 'kan?" keluh Sabrina, tak kuat mengangkat mata yang berat.
"Kalau begitu, aku balik ke kamar Maya, ya? Takut dia bangun dan nemuin aku nggak ada di kamar," pamitnya.
Sabrina tak menjawab. Dia hanya mengangguk tanpa suara. Dia terus memejamkan mata hingga Adam keluar dari kamarnya.
Mata Sabrina memang terpejam, seolah tidur. Namun, sejak Adam pamit ke tempat Maya, kantuk Sabrina mendadak hilang. Matanya yang masih pura-pura terpejam, kini menitikkan air mata. Dia kira, dia akan sanggup menjalani ini semua dengan tabah. Berjuang untuk cinta mereka yang telah belasan tahun bersemi sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah.
Tak adanya restu dari orang tua, membuat jalan cinta yang mereka berdua jalani penuh duri dan luka. Sabrina sudah berusaha untuk lari dari cinta Adam, tapi selalu gagal. Dia sadar, cintanya hanya untuk Adam. Jiwa dan raganya hanya untuk pria yang sudah memiliki tunangan sejak kecil.
Terkadang, Sabrina sangat ingin menjadi Maya yang bisa memiliki Adam tanpa harus bersusah payah. Namun, tentu saja itu tak mungkin.
Tak jarang, bila berpapasan dengan Maya, Sabrina ingin mencelakai wanita itu agar tak menghalangi cintanya dengan Adam. Namun, hati Sabrina tak sanggup melakukannya. Dia bukan wanita jahat yang akan mengorbankan nyawa dan keselamatan orang lain hanya untuk kebahagiaannya sendiri.
Sempat dia meminta Adam untuk lari saja dengannya. Namun, dia tak sanggup melihat Adam hidup miskin dan menderita. Bagaimanapun juga, sejak kecil, Adam telah disuapi dengan sendok perak tanpa harus berusaha keras. Apalagi, mengingat harta tersebut akan dialihkan kepada Maya, Sabrina sangat mengerti mengapa Adam tak akan rela.
Sungguh menyesakkan dada. Menjadi istri pertama, tapi rasa istri simpanan. Sabrina berdoa, semoga ini adalah perjuangan cinta mereka yang terakhir. Semoga, setelah ini, hanya akan ada kebahagiaan yang menyongsong mereka.
***
Adam kembali ke kamar 506 dengan mengendap-endap agar istrinya tak bangun. Dia menyelinap masuk ke dalam selimut dan memejamkan mata.
Namun, tentu saja hal itu sulit bagi Adam. Dalam benaknya, banyak sekali masalah yang membuatnya cemas. Hari ini saja dia sudah hampir gagal menjalankan sandiwara. Bagaimana dia akan bisa melewati malam-malam berikutnya?
Menjalani kewajiban sebagai suami dalam satu malam sekaligus sangatlah berat. Dia harus menyiasati hal ini dengan baik.
Kepala Adam memikirkan berbagai kemungkinan yang dapat dia lakukan untuk dapat menjalani hari-harinya nanti. Bagaimanapun juga, untuk mempertahankan cinta Sabrina di tengah semua sandiwara ini, dia harus menjadi seorang suami yang adil. Tak adil pun tak mengapa, asalkan Sabrina dan Maya tak ada yang marah.
Lalu, tercetuslah ide cemerlang di kepala Adam. Sepertinya, dia akan bisa menjalani semuanya dengan cukup mudah tanpa harus mencurigakan dan tak perlu merasa kelelahan berlebihan. Yang terpenting, Adam merasa akan bisa melakukannya tanpa harus membuat kedua istrinya serumah … dan semua ini akan tetap rahasia ….
***
Note:
Tolong tinggalkan review, komentar, dan masukkan ke library kamu, ya!
Makasih.
Tak ada pria securang Adam. Dia berbulan madu bersama dua istri secara rahasia. Dia memang sudah merencanakan hal ini dengan cukup baik sebelumnya.Adam akan menghabiskan waktu selama sepekan di hotel agar dia bisa membagi waktu untuk Maya dan Sabrina secara bersamaan tanpa harus ketahuan Maya maupun keluarganya. Sementara itu, dia menyiapkan rencana ke depan yang lebih mulus agar semua tujuannya tercapai. Harta dan cinta.Adam tahu, wanita tak bersalah yang akan dia korbankan adalah Maya. Namun, dia berencana akan memberikan alimoni yang sangat besar untuk Maya agar dia bisa hidup dengan nyaman dan bisa mencari suami baru yang dia sukai.Adam yakin Maya akan setuju karena alasan wanita yang terlihat polos itu mau dijodohkan dengannya juga pasti karena uang. Apalagi memangnya? Bukankah seharusnya setiap orang akan memilih jalannya sendiri? Bukan perjodohan seperti zaman Siti Nurbaya. Kecuali ada faktor pendukung la
Tatapan marah Adam menyerang pusat perasaan Sabrina. Cara yang ampuh untuk membuat orang yang merasa bersalah agar semakin merasa bersalah."Aku jalan-jalan sebentar tadi," jawab Sabrina dengan datar. Dia berusaha menyembunyikan perasaan bersalahnya karena telah berciuman dengan pria selain suaminya. Walaupun, dalam hal ini dia tak bersalah … ralat, mungkin dia sedikit bersalah karena menikmati dan menyambut ciuman Leo."Dengan siapa? Ke mana?" desak Adam memburu. Dia tidak suka dengan cara berkilah Sabrina yang sangat khas. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan. "Tadi aku berkali-kali ke kamar kamu. Dua jam lebih aku menunggu dan kamu belum kembali juga."Sabrina berbalik dan berujar, "Bukan urusan kamu aku mau ke mana dengan siapa!" Dia terus melangkah, memasuki kamar mandi dan berkata. "Lagi pula, aku tidak tahu kamu akan datang lebih cepat. Biasanya kamu sibuk meninabobokan istrimu, 'kan?""Sabrina! Kamu juga istriku! Ada apa denganmu?" bentak
Sabrina menutup percakapan dengan Adam dengan perasaan campur aduk. Dia sudah memutuskan untuk menyetujui rencana Adam. Namun, emosi membuat dirinya tak menepati janji dan menuntut lebih. Hal ini membuat Adam bekerja keras untuk memberikan yang Sabrina minta. Dia bahkan rela mengambil risiko untuk berbohong kepada Maya dengan alasan pekerjaan agar bisa mendapatkan waktu berdua saja dengan Sabrina.Mengetahui hal ini, Sabrina merasa sedikit malu walaupun dia senang akan kesungguhan Adam. Dia pun menyunggingkan senyuman tipis di bibir dan berencana akan memaafkan Adam atas perlakuannya semalam. Tidak, Adam tidak salah. Dialah yang salah. Dialah yang hampir berselingkuh dengan Leo semalam.Tak hanya berciuman di depan kamar. Semalam, Sabrina hampir melakukan hubungan terlarang dengan Leo karena rayuan Sabrina sendiri walaupun Leo sudah menolak. Benar-benar sebuah pengkhianatan yang sempurna yang dilakukan Sabrina atas dasar ingin membalas denda
Maya memperkenalkan diri sambil menyambut hangat uluran tangan Leo, menyunggingkan senyuman manis untuk pria baik hati yang membantunya. Dalam hati, dia terheran mengapa pria pirang bernama Leo itu terperangah mendengar namanya. Apakah namanya begitu aneh?"Maya?" tanya Leo lagi meyakinkan.Maya pun mengangguk sambil tetap tersenyum dengan polos. Dia lalu menarik tangan karena Leo terlalu lama dan terlalu erat mencengkeram. Tentu tanpa sengaja, karena pikiran Leo saat ini melayang kepada hal lain.Mendengar nama Maya, mengingatkan Leo akan sosok gold digger istri Adam yang diceritakan Sabrina semalam. Sangat bertentangan dengan penampilan Maya yang kini ada di hadapannya.Untuk memastikan, Leo melihat jemari kiri Maya dan alangkah terkejutnya dia bahwa Maya mengenakan cincin nikah. "Kamu sudah menikah?""Benar. Saya baru saja menikah dan sekalian berbulan madu di sini," jawab Maya. Mata bulatnya menatap Leo dengan pancaran kebahagiaan, membuat hati
Maya berjalan menyusuri jalanan asing yang dia sendiri tak tahu jalan ini akan membawanya ke mana. Namun, karena suasananya semakin sepi dan mencurigakan, Maya memutuskan untuk kembali ke jalan semula.Memandangi sekeliling, wanita berbadan langsing itu menelan ludah. Hanya sunyi dan senyap yang mewarnai suasana di sekitarnya. Pertokoan yang tutup dan banyak coretan grafis memakai cat semprot hasil karya seniman jalanan liar membuat Maya sangat yakin bahwa tempat ini seharusnya tak dia lalui.Matahari sudah hampir tenggelam. Sebentar lagi, hari mulai gelap. Bila dia tidak segera menemukan jalan pulang, tentu liburan ini akan berubah menjadi bencana."Ya, Tuhan! Mana mungkin aku masih bisa menyebut diri sebagai sekretaris lagi?" ratap Maya mengutuk kebodohannya sendiri.Ini semua hanya karena hal sepele. Dia tidak ingat nama hotel tempatnya menginap. Karena bukan dia yang mengatur ini semua, Maya lupa mengingat semua detailnya.Masalah bertambah tat
Kedua penjahat itu berhenti menatap pria ketiga yang hadir di tengah-tengah mereka. "Mau apa kau? Apa kau cari mati?"Si tambun menoleh, bangkit, dan berjalan mendekati pria yang berusaha menghalangi aksinya. "Mau ikut bersenang-senang, Bro?" tanya si tambun sambil mengulurkan tangan ke bahu pria berambut pirang itu untuk mengajak berpesta.Namun, pria pirang itu menangkap pergelangan tangan si tambun lalu memelintirnya sekuat tenaga. Si tambun menjerit kesakitan, lalu dia berusaha menyerang si pirang dengan tendangan.Sayang sekali, usahanya sia-sia karena si pirang jauh lebih sigap dari si tambun. Dia meangkap kaku penjahat itu dengan mudah. Kemudian, dia memelintir dan membanting lawannya dengan sekuat tenaga. Dengan badan kekar dan jangkung, secara fisik, si pirang memang tampak lebih unggul dari lawannya.Pria bermata hijau terang itu memandang tajam si tambun sebelum dia menekuk lutut dan menghadiahi perut penjahat itu dengan tendangan maut. "Rasaka
Angin malam yang dingin, tak sedikit pun mendinginkan perasaan Leo. Maya yang tergolek lemah bersimbah darah, menatapnya dengan mata yang semakin hendak menutup."Kau baik-baik sa–ja, bu–kan?" tanya Maya dalam bisikan lemah tersendat yang hanya bisa didengar oleh Leo. Maya memaksakan senyuman semanis mungkin agar Leo tidak bersedih.Leo hanya bisa menjawab dengan kepanikan dan gelengan. Dia tak percaya Maya menolong, bahkan mengorbankan nyawa untuknya. Mengapa wanita ini melakukan hal senekat itu untuk orang asing seperti dia?Petugas medis segera membawa Maya ke rumah sakit. Leo menemani Maya di sisi wanita malang itu. Dia tahu bahwa dirinya adalah pendosa. Namun, kali ini, Leo percaya pada Tuhan dan berdoa padanya agar Maya diselamatkan.Kegaduhan hanya membayang di mata dan telinga Leo. Dia tak peduli. Fokusnya hanya satu. Maya harus selamat dengan cara apa pun."Dokter, tolong selamatkan dia! Berapa pun biayanya dan apa pun caranya,
Leo mengamati kondisi Maya yang masih lemah pasca operasi dengan prihatin. Dia sangat bersyukur Maya selamat karena pertolongan anak-anak jalanan yang kemarin mereka temui. Benar-benar sebuah keajaiban.Golongan darah Maya O negatif. Rumah sakit saat itu sedang kehabisan stok darah dengan golongan tersebut. Saat itulah Leo sangat menyesal mengapa tadi dia membanting ponsel hingga hancur. Tak mungkin dia bisa mengirim pesan kepada semua rekan kerja dan kenalan yang barangkali memiliki golongan darah yang sama.Dia pun berlari keluar, menuliskan di selembar kertas bahwa dirinya membutuhkan golongan darah O negatif untuk teman yang kritis. Namun, tak satu pun donor didapatkan. Saat itulah, dia bertemu dengan anak-anak jalanan yang datang bersama Apollo. Mereka pun membantu aksi mencari donor dengan gigih. Setengah jam kemudian, mereka kembali membawa tiga orang pendonor. Sangat cukup untuk membantu menyuplai kebutuhan darah Maya saat ini."Leo! Kamu belum tidur dar
Lima tahun telah berlalu sejak kepergian Maya. Kini, si kembar telah tumbuh menjadi anak yang sehat dan lincah. "Paul, Freya! Ayo cepat turun dan habiskan sarapan kalian!" seru Adam dari bawah memanggil kedua anaknya yang terdengar ribut di atas saat berganti pakaian. "Ayah, Paul menyembunyikan bonekaku! Padahal aku ingin mengajaknya jalan-jalan saat menjemput Paman Leo di bandara!" jawab Freya dengan suara hampir menangis. Gadis kecil berambut gelap bergelombang itu semakin tampak mirip dengan ibunya seiring dengan bertambahnya usianya. "Bohong! Kamu sendiri yang lupa meletakkan di mana boneka kelinci jelekmu itu. Jangan menuduh sembarangan!" sanggah Paul dengan suara melengking. Mata gelap miniatur Adam itu memandang tajam saudarinya yang berukuran lebih mungil darinya. Dengan tubuhnya yang lebih kuat dan besar, dia memang kerap mengusili Freya. Sekalipun dia berkali-kali dihukum, mengusili kembarannya sudah bagaikan candu yang akan tetap dia lakukan tak peduli apa pun konsekuen
Adam memandangi kedua makhluk kecil yang ada di hadapannya dengan linangan air mata. Begitu kecil dan rapuh. Mereka membutuhkan selang-selang bantuan untuk hidup."Anak-anakku ...." Kata-kata yang Adam bisikkan dengan penuh perasaan, membuat Leo merasa keputusan Maya untuk menyerahkan bayi-bayinya kepada ayah kandungnya adalah pilihan yang tepat.Darah lebih kental daripada air. Begitulah. Adam pun menyayangi kedua anaknya karena mereka adalah darah dagingnya sendiri."Dia begitu bahagia saat mendengar bahwa dia mengandung anak kembar. Aku pun begitu. Sampai-sampai aku mengumpat betapa beruntungnya dirimu," jelas Leo mengenang saat-saat Maya bersorak mengetahui jenis kelamin bayinya. "Seandainya saat itu dia hamil dengan pria yang tulus mencintainya, pasti akan sangat membahagiakan. Tahukah kau perasaan Maya saat melihat kau dan Sabrina bergembira saat tahu jenis kelamin bayi kalian?"Ada
Dua bayi, lelaki dan perempuan yang berpelukan di ruang NICU itu berukuran sangat kecil. Yang lelaki beratnya 656 gram, sedangkan lainnya 533 gram. Banyak selang menempel di tubuh kecil mereka demi memperjuangkan detak jantung keduanya.Kulit mereka begitu keriput. Begitu kurus seperti hanya tulang dan kulit tanpa selapis daging pun. Bila orang berkata bahwa bayi sangat lucu, pemandangan yang disaksikan mata hijau pria kekar yang mengamatinya dari kaca luar ruangan tidak demikian. Mereka berdua jauh dari kata lucu. Seperti alien. Seperti bukan manusia.Kesedihan masih belum bisa lepas dari hati Leo. Melihat mereka berdua membuat Leo teringat akan sang ibu yang telah berjuang mempertahankan nyawa mereka. Usaha telah dilakukan sebaik mungkin walau hasilnya tak sempurna, seperti yang diinginkan oleh semua pihak."Maya, mereka akan berterima kasih padamu suatu hari nanti," bisik Leo dengan suara yang bergetar hebat karena menahan air mata."Paul, Freya .... J
Dapur kecil sebuah di sebuah apartemen mungil milik lelaki menawan berbadan atletis, kini dipenuhi dengan aroma butter yang menggoda. Tak hanya aroma makanan yang membuat air liur menetes, tapi ada pemandangan lain yang tak kalah menggiurkan. Celana training pria yang sedang beraksi di dapur tersebut menggantung terlalu rendah di bagian pinggang, membuat wanita mana pun yang memandang tak akan bisa melewati harinya tanpa merasa kepanasan karena terbayang pemandangan indah itu sepanjang hari. Andai saja ada seorang wanita di sana, pasti kelima indranya akan dimanjakan dengan kenikmatan duniawi karena suara pria yang sedang memegang wajan dan tongs itu pun akan membuat hati semua kaum hawa berdesir bila sedang berbicara. Jangan tanya bagaimana sensasi yang dirasa bila suara merdu itu berbisik di telinga, sudah bisa dipastikan para bidadari dunia akan melayang walaupun tak ada sayap yang menempel di punggungnya. Namun, di saat yang sama, siapa pun yang melihat waj
Pukulan Adam yang pertama mengenai wajah Leo. Namun, yang kedua tentu berhasil ditangkis oleh lawannya."Adam! Hentikan! Mengapa kau tiba-tiba memukul Leo!" jerit Maya berusaha menghentikan amukan Adam.Adam tak peduli. Dia masih berusaha menghajar Leo. Sementara Leo yang sebenarnya dapat dengan mudah menghabisi lawannya, hanya sibuk menangkis dan menahan serangan Adam. Tak sampai hati dia memukul Adam karena ada Maya di sampingnya."Hei! Mengapa kau berbuat sembarangan seperti ini? Ingatlah kita sedang di rumah sakit!" bisik Leo pelan tapi tegas."Kau apakan Sabrina, huh? Seorang saksi mengatakan istriku jatuh setelah pria berambut pirang dengan tubuh besar membuatnya ketakutan!" balas Adam dengan geram. "Siapa lagi kalau bukan kau!"Leo pun mengernyit. Dia bingung dengan pertanyaan Adam. Dia memang sempat bersitegang dengan Sabrina. Namun, apakah semengerikan itu sampai-sampai membuat kondisi Sabrina dalam keadaan kritis?"Kamu! Kamu pasti
Sabrina berjalan menyusuri koridor perlahan karena merasakan sakit di perutnya. Dia tak menyangka bahwa kegiatan hari ini membuatnya kelelahan. Bagaimanapun juga, berjalan kaki sejauh dua kilometer dari apartemennya ke rumah sakit bukan tugas mudah untuk wanita hamil sepertinya.Dering ponsel yang lembut pun membuat Sabrina terkaget. Dia lalu mengangkat telepon yang berasal dari suaminya. Dalam hati, Sabrina sangat cemas. Dia takut Adam sudah sampai di rumah lebih dulu dan mendapati apartemen mereka kosong."Sabrina, kamu di mana?" tanya Adam dari ujung telepon dengan suara cemas."Aku ... aku keluar sebentar. Suplemen penambah darahku habis." Sabrina menjawab dengan sedikit tergagap karena dia tak meminta izin kepada Adam bahwa dia akan menemui Maya hari ini. Jika suaminya tahu, pastilah akan menentang aksi frontalnya kali ini. Bagaimanapun juga, Adam akan menganggap dirinya mengemis kepada Maya untuk memperbaiki kondis
Maya memutuskan untuk mempertahankan kandungan. Dokter hanya bisa berbuat yang terbaik untuk menjaga kondisi Maya. Sudah sebulan lebih Maya tinggal di rumah sakit. Kondisi Maya naik dan turun tanpa bisa diprediksi.Leo mengunjungi Maya setiap hari setelah dia membantu menangani urusan Wilson Group karena Maya menanyakan laporan setiap hari. Pria yang terlihat atraktif itu kini terlihat lebih layu. Bukan karena kelelahan, tetapi karena setiap hari dia mengkhawatirkan kondisi Maya."Leo, aku tiba-tiba ingin makan jeruk," bisik Maya lemah. Tidak biasanya dia ingin merepotkan Leo, tetapi kali ini dia benar-benar ingin makan jeruk."Aku keluar sebentar. Kamu tunggu, ya?" Leo tersenyum lemah. Dia mengusap rambut Maya dengan penuh rasa sayang sekaligus iba. Hati Leo terasa sakit setiap mengingat penderitaan Maya yang berusaha mempertahankan bayinya walau kondisinya memburuk.Beberapa menit setelah Leo keluar, seseorang memasuki kamar Maya. Wanita lemah itu sampa
Kondisi Maya tiap hari semakin buruk. Walaupun segala upaya telah dilakukan, baik dengan diet mengurangi garam dan olahraga ringan secara teratur, tetapi kondisinya semakin turun.Saat mendapatkan berita ini dari perawat yang menjaga Maya, Leo yang terlanjur kembali ke Washington DC untuk memenuhi janji ke ayahnya, segera kembali dan meminta izin kepada sang ayah untuk diberi waktu tambahan. Walaupun sepertinya tidak mungkin akan dikabulkan."Aku tak percaya padamu. Kau pasti akan menggunakan kesempatan ini untuk kabur lagi dariku." Sang ayah tak mau lagi tertipu oleh Leo. Beliau tak mau memberi izin kepada Leo."Ayah, kumohon beri aku waktu empat bulan lagi." Leo memohon dengan sangat. "Setelahnya aku akan benar-benar kembali dan tak akan pernah pergi lagi darimu."Namun, memohon kepada Tuan William Warren sama saja memohon kepada batu. Tak akan pernah hatinya tergerak oleh keinginan Leo yang tulus
Adam merasa sangat terluka. Mengapa sang ayah memperlakukan dia seperti anak buangan. Namun, dia ingat kata-kata sang ayah tentang uangnya. Bila ingin uang darinya, Adam harus menuruti kemauan sang ayah. Bila tidak, maka dia harus mencari uang sendiri."Sudahlah! Ayah hanya menepati janjinya untuk tidak memberiku sepeser pun dari hartanya." Adam menenangkan Sabrina yang terlihat sangat dendam.Wajah Sabrina yang tersulut kemarahan memang membuat Adam khawatir. Takut akan terjadi hal yang buruk dengan kandungannya.Dari luar, kehidupan Adam dan Sabrina mungkin terlihat baik-baik saja. Namun, sebenarnya, hari-hari mereka begitu berat. Sehari-hari, mereka menjalani semua pekerjaan kasar mereka di restoran dan pulang dalam keadaan sangat lelah.Awalnya, Sabrina berusaha tabah menjalani. Namun, kehamilan memberatkannya. Apalagi saat dia memikirkan bayinya yang akan segera lahir. Pasti akan m