“Terus kenapa dia juga nyimpan novel-novelnya di rak buku?” Aku bertanya.“Kalo itu aku nggak tau, Aya. Mungkin dia nggak sengaja.”“Atau mungkin dia sengaja biar aku nemuin jejaknya di sana.”“Jangan mikir yang nggak nggak, Aya.”“Gimana kalo dia yang mikir yang nggak nggak?”“Maksud kamu?”Aku menatap mata elang itu dalam dalam. “Aku perempuan, Pi. Dan aku tau dia berbeda, berubah dari Tari yang dulu saat pertama kali bergabung dengan perusahaan, berbeda dengan Tari yang waktu itu kelihatan bersedih karena ditinggal mendiang suaminya. Dia manggil kamu Kakak bahkan tak mengubahnya meski aku sudah pernah memperingatkan. Dia berani meluk kamu meski katanya hanya refleks karena panik dengan kondisi anak kalian.” Aku mempertegas kalimat terakhirku.“Ck!” Lelaki di hadapanku kelihatan tak suka.“Aku nggak peduli dia berubah apa nggak, Aya. Aku nggak peduli dia punya maksud lain atau nggak. Aku dengan dia bener-bener hanya untuk urusan kerjaan sama urusan Wira. Tolong hargai usahaku untuk
Jangan mikir macam-macam. Aku milikmu, Aya.Berkali-kali kubaca ulang pesan itu, berharap semua kekhawatiranku tak benar-benar terjadi. Pembicaraan kami di Twin House siang itu seharusnya sudah menjadi peganganku untuk percaya pada suamiku. Ya, dengan semua perlakuannya, dengan semua kejujurannya, dengan semua upayanya menemukanmu meski romansa kami pernah hilang dari ingatannya, kurasa ia memang hanya milikku. Aku hanya berharap Tari bukan wanita serakah yang memanfaatkan situasi.Yang ada di otakku setelah kelelahan ini adalah beristirahat. Besok aku harus melakukan sesuatu agar hal semacam ini tak terulang lagi. Rasanya lelah jiwa raga ketika harus menemaninya menghadapi banyak masalah, tumpukan kasus penyalahgunaan uang perusahaan sudah cukup menyita waktu dan pikiran, lalu sekarang keberadaan Wira dengan segala problemanya juga sedang menuntut perhatian. Mungkin besok aku harus bersiap untuk lebih berlelah-lelah lagi, karena kurasa aku harus mulai berpikir untuk ikut membantunya
Aku bangkit, berniat menunaikan kewajiban Subuh, tetapi aku kembali menoleh ketika menyadari satu hal.“Kamu terlalu berfikiran positif tentangnya, padahal selama ini aku udah banyak melihat kejanggalan perilakunya. Caranya manggil kamu Kak Ivan padahal aku udah ngelarang, wangi parfumnya di sofa ruang kerjamu, novel-novelnya di deretak rak buku, kurasa itu bukan kebetulan tapi dia sengaja ngelakuin itu.”Kali ini kulihat Ivan mengangguk pasrah menyetujui apa yang baru saja kukatakan.“Kamu benar, Aya. Maafin aku yang selama ini menganggapmu berlebihan.” Ia menggapai tanganku.“Pi ...,” panggilku. Ia menatapku dalam keremangan lampu tidur.“Seperti apa kamu memperlakukannya semalam?”Matanya meredup. “Aku melukin dia ... seperti caraku meluk kamu tadi ... maafin aku. Itu benar-benar di luar kesadaranku. Aku ngantuk, dan di pikiranku aku sedang meluk kamu.”Aku bergidik. Lelaki ini kembali ke rumah lalu memelukku setelah tadi bersentuhan dengan wanita lain! Kutarik tangannya dengan sel
Ini sudah hari kedua sejak malam di mana Ivan tertidur di rumah sakit lalu pulang menjelang dini hari dengan penyesalan yang ditampakkannya. Sepanjang hari kemarin, lelaki itu bahkan terus saja menempel padaku padahal sejujurnya aku pun sedang kesal padanya. Namun berkali-kali kata maaf yang digumamkannya membuatku tak mampu memperpanjang rasa kesalku.Tahun-tahun sebelum bertemu dengannya, aku pernah hidup dengan seseorang yang hampir tak pernah mengucapkan kata itu, maka ketika Ivan dengan tatapan sendunya berulang kali berkata maaf karena selama ini mengabaikan rasa cemburuku, aku luluh oleh ketutulusannya.Sudah selama itu pula ibuku masih menginap di rumah kami sebab Ivan dengan rengekan manjanya meminta ibu untuk tetap tinggal untuk beberapa hari lagi. Dari caranya merengek, dari caranya bermanja pada ibuku, aku yakin sepotong kenangan indah hubungan kami sedang kembali dipeluknya.Satu hal yang membuatku bertanya-tanya adalah, selama pulang dari rumah sakit dengan semua ceritan
“Jangan didengerin. Nggak penting!” ucapnya, bisa kulihat dengan jelas ekspresi kesalnya.“Sedekat apa kalian kalo di kantor? Kenapa mereka semua sampai menilai seperti itu?” tanyaku menatap dari sofa yang kini tak lagi membuatku merasa tak nyaman. Aroma parfum lembut itu sudah tak ada lagi di sana, berganti aroma lavender yang kurasa berasal dari parfum sofa yang disemprotkan.“Aya, please! Aku ngajak kamu ke sini supaya bikin mood kerjaku kembali. Jadi jangan bahas hal yang nggak penting.”Ck! Kalau bukan demi pekerjaannya yang sepertinya memang sedang padat-padatnya, rasanya aku masih ingin mendebatnya. Mengatakan bahwa hal yang dikatakannya “nggak penting” adalah karena kecerobohannya, tetapi aku memilih tak lagi bersuara, membiarkannya membuka berlembar-lembar tumpukan berkas di sana.“Ck!”“Sial!”Berkali-kali aku melirik saat pria itu terlihat kesal, hingga akhirnya wajah kesal itu menghampiriku ke sofa.“Udah selesai?” tanyaku bersemangat, rasanya sedikit suntuk menemaninya d
Di sinilah aku sekarang, meja kecil dengan kursi saling berhadapan yang membuat posisiku dan Tari pun tepat berhadapan. Sepintas lalu tak ada keanehan yang kulihat pada wanita itu, tak kulihat pula sedikit saja rasa sesal darinya padahal aku sedang mencari itu di sana setelah apa yang dilakukannya pada suamiku.“Ini kantor, Aya. Kalo mau bicara masalah pribadi sebaiknya di luar saja.”Lihatlah, aku bahkan belum mengatakan apa pun dan hanya menatap dengan niat mengintimisasinya lewat tatapan mata ketika justru ia yang berbicara terlebih dulu. Aya, hanya seperti itu ia menyebut namaku kini, tak ada sebutan “Mbak Aya” lagi seperti dulu. Dan entah mengapa itu membuatku merasa wanita di hadapanku ini sedang merasa posisinya sama denganku.“Aku tau ini kantor, Tari. Dan asal kamu tau, ini kantor suamiku!”Ia terdiam sejenak, menatapku tajam sebelum kembali menyesap kopi dari gelas yang sejak tadi dipegangnya.“Ya, aku tau. Ini kantor suamimu, kantor yang mungkin sebentar lagi akan dijual ka
“Aku kasih tau kamu, ya, Tari. Bagaimana pun caramu, seperti apa pun jejak yang ingin kamu tinggalkan di sekitar suamiku, itu hanya akan sia-sia. Sebab Ivan nggak akan pernah ngelirik kamu, jadi mendingan kamu menjauh dan tau diri. Jangan mimpi ngerebut dia dariku, karena dia sekarang milikku. Kamu tau kan dia selalu bilang itu? Kamu tau kan gimana bucinnya dia ke aku? Kamu tau kan meski dia berada jauh di luar kota saat bekerja besamamu, tapi dia selalu ngirim foto dan videonya ke aku? Kamu ngebajak nomor suamiku, kan?”Tepat sebelum pintu pantry dibuka dan beberapa karyawan masuk dengan saling mengobrol, aku berdiri tepat dihadapannya.“Ivan milikku, hanya milikku.”Beberapa karyawan yang turut hadir di pantry membuat suasana menjadi ramai. Satu persatu mereka menyapa dan mengangguk hormat padaku sebelum aku meninggalkan pantry. Kurasa cukup hari ini, semoga setelah ini Tari bisa lebih menjaga sikapnya. Aku tak ingin menebar permusuhan, aku hanya semua kembali pada tempatnya. Sama
“Tak ada yang bisa mengubah masa lalu, namun kita masih memperbaiki masa depan. Aku nggak bisa mengubah kesalahanku di masa lalu hingga Wira hadir ke dunia, tapi aku bisa meyakinkanmu bahwa mimpiku di masa depan adalah kamu, Cahaya Kirana. Kamu dan anak-anak kita.”Sebuah bisikan darinya di menit-menit romantis setelah ciuman panjangnya membuatku terenyuh. Kurasa tak ada yang perlu kukhawatirkan, karena lelaki ini terlihat begitu meyakinkan.Juga ... begitu melenakan.Aku bahkan tak bisa berkutik saat ia masih saja menghujani dengan ciuman, sementara beberapa kali kudengar pintu ruangannya diketuk dari luar.“I ... tuh ... pintu,” ucapku hendak menghentikan ciumannya.“Biarin. Paling Tiara.”Dan benar saja, beberapa saat setelah pintu kembali kubuka, gadis yang selalu apa adanya itu terlihat cemberut saat menghadap ke bossnya.“Kamu kenapa?” Ivan menyapa dengan tawa menyapa Tiara.“Tadi ada telepon dari proyek Kalimantan, Pak. Mereka protes ke kita karena progres tidak sesuai dengan j
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber