[Aya, kamu mau tetap di cottage atau bergabung di villa utama?]Kali ini pesan WA dari nomor Ivan.[Nggak usah, Van. Aku di sini aja.][Tapi di cottage sepi, Ay. Disitu cocoknya untuk yang punya pasangan, tapi kamu sekarang sendirian. Gabung di villa utama ya ... di sana masih pada ramai.][Nggak usah, Van. Aku nggak mau ngerepotin kamu.][Nggak ada yang direpotin, Aya. Kemasi barangmu, kita pindah ke villa utama, masih ada kamar kosong di sana. Kutunggu di luar.]Kutunggu di luar? Spontan aku berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ivan sudah duduk di teras dan tersenyum saat melihatku muncul di depan pintu.“Dari tadi?”“Iya. Pindah ke Villa utama, ya.”“Nggak usah, Van.” Aku kembali menolak.“Tapi aku nggak bisa ninggalin kamu sendiri di sini, Aya. Dan apa kata orang nanti kalau ngeliat aku semalaman duduk di teras ini.”Akhirnya aku mengalah dan mengemasi barang-barangku, lalu mengikuti langkahnya ke arah villa utama. Di ruang tengah villa masih sangat ramai dengan senda gurau. Sal
Hari berikutnya di villa milik Ivan, para peserta reuni masih terlihat antusias dengan semua rangkaian acara yang telah mereka susun sebelumnya. Beberapa lomba juga diadakan dengan berbagai macam hadiah hiburan yang telah disediakan panitia. Bukan hanya untuk tim basket, tapi juga lomba dan berbagai games menarik untuk para istri dan anak-anak mereka.Aku sendiri hanya duduk diam dan sesekali tertawa melihat kelucuan anak-anak dari teman-teman Mas Adam, karena tak ada lagi yang bisa kulakukan selain itu. Aku sedikit merasa asing di sini, karena suamiku yang merupakan salah satu peserta reuni bahkan sudah meninggalkan lokasi. Beruntung Ivan sering mengajakku mengobrol ringan dan sesekali menemaniku duduk berbaur dengan teman-temannya yang lain sehingga aku tak begitu merasa asing.Tepat pukul 10 pagi, mereka semua terlihat heboh dengan kedatangan guru sekaligus pelatih basket mereka semasa SMU, Ivan sebagai pemilik villa pun terlihat sibuk menyambut tamu istimewa bagi mereka. Melihat b
“Itu bukan istri Ivan, Pak. Ivan masih single.”“Oh, maaf.” Si pelatih melihat ke arah ku dan Ivan. “Bapak pikir tadi istrinya, soalnya dari tadi Ivan seolah jagain dan ngeliatin terus,” lanjutnya lagi.Suara riuh kembali terdengar.“Cocok kan, Pak?”“Apa kubilang. Chemistrinya dapat banget mereka.”“Uwuwu ... ada yang salah tingkah nih.”“Kalau milik teman boleh ditikung nggak, Pak?”Suara-suara itu membuat kupingku panas. Aku menunduk.“Sekali lagi maaf, ya. Tadinya Bapak benar-benar mengira kalian suami istri.” Si Pelatih kembali meminta maaf.“Itu istrinya Adam, Pak. Ivan mah masih mencari, entah mencari yang bagaimana dia. Sudah mapan, tajir, good looking, tapi masih betah jadi lajang.” Salah satu teman Ivan kembali meluruskan.“Istri Adam? Adam Haidar? Oh, iya. Bapak nggak lihat si Adam? Apa dia tidak hadir di sini?” Si Pelatih bertanya.Kudengar beberapa dari mereka menjelaskan, aku tak lagi menyimaknya dengan jelas karena kini aku memilih menunduk. Kejadian barusan menimbulkan
“Kamu tidak sedang memanfaatkan keadaan kan, Van?” tanyanya dengan tatapan menuntut pada Ivan.“Apa maksudmu, Supri?” Ivan menatap tak mengerti.“Aku lihat apa yang baru saja kamu lakukan padanya. Ingat, Van. Dia istri Adam. Kamu mau menghancurkan persahabatan kita?”Oh, God. Kurasa Supri telah salah paham. Mungkin ia mengira tadi Ivan sedang menyentuh rambutku atau mungkin membelai rambutku.“Kamu salah paham. Kita bicara di sana.” Ivan membela diri kemudian mengajak Supri menjauh.Aku menutup pintu kamar dan mengganti pakaianku. Semoga Ivan bisa menjelaskan dengan baik pada Supri agar dia tak salah paham.🍁🍁🍁Suasana perkebunan kopi milik Ivan membuatku takjub. Berkali-kali aku berhenti ketika berpapasan dengan pemetik kopi di tengah-tengah perkebunan. Sesekali aku juga ikut memetik biji-biji kopi dari pohonnya. Memilih buah yang sudah berwarna merah lalu memasukkannya ke dalam keranjang-keranjang yang dibawa oleh para pemetik. Sungguh, dari semua rangkaian kegiatan reuni selama
“Kamu juga tau bakalan turun hujan?”Ia mengangguk.“Kenapa nggak ngajakin balik?”“Aku nggak tega lihat kamu seantusias itu.”“Tapi akhirnya bikin kita terkurung di sini, dengan kondisi basah kuyup pula,” protesku.Hening sesaat, aku memandangi hujan yang tak menampakkan tanda-tanda akan reda.“Kalau hujannya nggak reda juga gimana?” gumamku khawatir.“Ya, kita nginap di sini. Berdua.” Senyumnya usil.“Jangan bercanda, Van!”Ia terkekeh.“Aya, kamu nggak berniat melanjutkan kuliah?”Aku terdiam sesaat, sebenarnya aku tak terlalu suka membahas hal seperti ini. Tapi entah mengapa kali ini aku malah menjawab.“Aku sudah nggak kepikiran kesitu lagi, Van. Toh aku juga sudah menikah dan punya kegiatan mengurus butik kecilku.” “Adam juga nggak nyuruh kamu lanjut kuliah?”“Dulu Mas Adam pernah nawarin, tapi aku nolak. Fokusku setelah menikah hanya ingin meringankan beban ibuku. Aku juga buka butik dengan modal dari Mas Adam, niatnya hasil butik untuk bantu biaya sekolah adik-adikku agar mer
“Kalau kamu bertanya apa aku bahagia. Sejujurnya, selama tiga tahun bersamanya aku belum tau seperti apa rasa bahagia itu. Yang aku tau, aku akan selalu merasa senang saat Mas Adam memperlakukan ibuku dengan sangat hormat dan menyayangi adik-adikku dengan tulus. Meski hatiku sendiri kering kerontang, bahkan retak karenanya.”Aku berhenti sejenak.“Aku rasa kamu juga sudah menyaksikan semuanya. Memang seperti itulah hubungan kami. Apa yang kamu lihat selama ini, itulah yang terjadi setiap hari sepanjang pernikahan kami. Aku bukan tak menyadari jika perlahan-lahan mentalku akan rusak dengan semua kekerasan verbalnya, tapi sekali lagi aku tak kuasa untuk menghindar. Seandainya saja aku bisa memutar waktu, mungkin aku akan memilih menolak dijodohkan dengannya waktu itu.”Ivan kembali menoleh, lalu membetulkan letak jaketnya yang menutupi tubuhku.“Kalian dijodohkan?”Aku mengangguk. "Papanya Mas Adam adalah sahabat baik ayahku. Papa memilih menjodohkan Mas Adam denganku karena waktu itu M
PoV IvanEntah setan apa yang sedang merasukiku sehingga dengan lancangnya aku mendekati Cahaya, istri dari sahabatku sendiri. Awalnya memang aku terkejut sekaligus senang ketika tau Cahaya Kirana, gadis yang dulu kutaksir itu datang ke acara grand opening salah satu coffeeshopku. Lalu kemudian aku sedikit kecewa ketika mengetahui jika sosok yang telah lama kucari itu ternyata sudah menikah, bahkan ia menikah dengan sahabatku sendiri, Adam Haidar.Namun, yang kutemukan di hari pertama aku bertemu kembali dengan Cahaya justru hal yang aneh. Aku masih ingat bagaimana Adam seolah mengabaikannya, lalu yang paling membuatku heran adalah ketika Adam tanpa segan selalu merendahkan istrinya sendiri dengan kalimat-kalimat sarkasnya. Di hari pertama bertemu Cahaya waktu itu, aku memberanikan diri menyusulnya ke toliet coffeeshopku ketika merasa ia sedang menahan tangisnya atas perlakuan tak biasa dari Adam padanya.Cahaya Kirana, gadis ceria dan aktif yang dulu kukenal kini terlihat berbeda. Ki
Setelah kejadian di bandara, aku mulai memberikan perhatian-perhatian kecil pada Cahaya. Sejujurnya aku merasa tak nyaman, tapi aku lebih tak nyaman lagi ketika mengetahui jika Adam sama sekali tak menghubungi Cahaya setelah kejadian itu. Ada rasa amarah yang timbul dalam hatiku ketika menyadari betapa Adam telah menyia-nyiakan wanita yang kukagumi ini. Maka perhatian kecil seperti membelikan salep untuk kakinya yang terkilir, mengiriminya makanan dan mengirim pesan menanyakan kabarnya adalah tindakan yang kulakukan untuk sekedar menghibur Cahaya. Aku selalu megusahakan wanita itu tersenyum ketika berada di dekatku, aku sungguh tak suka melihat mendung yang selalu nampak di wajah cantiknya.Kurasa aku sudah mulai tak waras karena setelah tiga hari berada di Makassar waktu itu, aku meninggalkan urusan proyek perusahaaanku di sana dan mendelegasikannya pada orang kepercayaanku hanya karena ingin segera kembali dan bertemu dengan wajah yang kini setiap saat selalu mengganggu pikiranku it
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber