“Kamu benar, Aya. Tak ada yang bisa mengatur perasaan orang lain. Kita hanya bisa menahannya, meski rasa itu tetap saja ada dan bahkan makin bertumbuh.”Aku mengeryitkan keningku. Kurasa kalimat Nindya barusan menyiratkan sesuatu.“Apa kamu juga menyukai Mas Adam?”Kulihat Nindya terkejut, menatapku sesaat sebelum segera memalingkan wajahnya sambil menelan ludahnya. Dari gerakan salah tingkahnya, aku sudah bisa menebak apa jawaban dari pertanyaanku tadi.“Tak perlu menjawabnya, Nindya. Aku bisa membaca itu dari matamu.”Ia menatapku.“Maafkan aku, Aya. Intensitas pertemuan kami dan ungkapan perasaan Pak Adam berkali-kali padaku membuat perasaan itu tumbuh begitu saja. Entah sejak kapan aku mulai menyadari bahwa aku juga ... punya ... perasaan yang sama.” Kalimatnya terputus-putus.“Tapi aku menyadari jika perasaanku itu tak seharusnya tumbuh. Kamu jangan khawatir, aku bukan tipe wanita yang mau jadi orang ketiga. Aku bisa bertahan dan aku akan bertahan,” lanjutnya.Kami saling menatap.
Kuputuskan untuk mengirim pesan padanya.[Jangan hubungi aku lagi.]Ia masih menelepon setelahnya, tapi tetap tak kujawab. Lalu ia membalas pesanku.[Apa aku ada salah?][Kalau aku ada salah aku minta maaf.][Baiklah kalau itu maumu, Aya.][Hiduplah dengan bahagia, karena aku akan kembali jika kamu tak bahagia.][Karena aku menyukaimu.]Tanpa terasa air mataku menetes.Karena aku menyukaimu.Apa dia sedang mengungkapkan perasaannya padaku? Aku tersanjung, sangat tersanjung. Di saat pria itu dikelilingi gadis –gadis cantik seperti Imelda, dia justru memilih untuk menyukaiku.Kita tidak bisa mengatur perasaan orang lain.Kata-kata Nindya tadi terlintas di benakku. Ya, Nindya benar. Kita tak bisa mengatur perasaan orang lain, tapi kita masih bisa mengendalikan perasaan kita sendiri. Maka kurasa pilihanku untuk memintanya menjauhiku adalah caraku untuk mengendalikan perasaanku. Karena aku pun menyukainya.Namun, mengapa aku merasa ada yang hilang dari hatiku?🍁🍁🍁Seminggu ini kulalui d
Pagi masih berkabut ketika aku dan Mas Adam tiba di puncak, di lokasi villa milik Ivan tempat tim basket mereka mengadakn reuni. Sepanjang perjalanan tadi, aku dan Mas Adam hampir tak pernah mengobrol. Selain karena memang itu sudah menjadi kebiasaan kami saat berada dalam satu mobil, pikiranku juga sedang sibuk memikirkan sosok pemilik villa, sosok yang berniat kuhindari dan berhasil kuhindari dalam seminggu ini.Melalui petunjuk google maps yang disetel Mas Adam di ponselnya, akhirnya kami tiba di area villa. Beberapa mobil sudah terlihat parkir di sana, beberapa orang juga terlihat mondar-mandir di area villa. Kulihat ekspresi gembira dari wajah Mas Adam, beberapa kali kudengar ia menyebut nama-nama temannya yang sudah hadir di sana. Mungkin mereka memang sudah lama tak saling bertemu karena terlihat sekali bagaimana antusias Mas Adam dengan kegiatan reuni tim basket ini. Sementara aku masih memikirkan bagaimana caranya berada di sini tapi tetap menghindari sosok pemilik villa ini.
Suasana villa yang masih berkabut tipis membuatku bersidekap di dada, berusaha melawan udara dingin. Aku ingin mengambil jaket, tapi merasa malas jika harus membongkar isi trolley bag di teras cottage, sementara pintunya masih belum berhasil kubuka. Akhirnya aku memilih duduk bersandar di kursi teras, masih sambil bersidekap kedua tangan di dada.“Ay.” Kudengar suara seseorang memanggilku pelan.Mataku langsung menangkap sosok tinggi atletis itu saat membuka mata.“Maaf, kunci yang tadi salah. Ini kunci nya.” Ia kembali menyodorkan sebuah kunci padaku. Aku mengambilnya dengan sedikir kasar dari tangannya, lalu mengembalikan kunci yang sebelumnya.Baru saja hendak memasukkan anak kunci yang baru, ketika tanganku ditarik ke belakang, membuatku spontan membalik badan.“Aku salah apa, Aya?” tanyanya. “Kenapa kamu menghindariku seperti ini?” lanjutnya.Kutepis tanganku, tapi tak bisa terlepas. Dia mencengkram dengan kuat.“Sudah kubilang jauhi aku. Ini juga pasti akal-akalan kamu kan ngasih
Terkadang aku menangkap sosok itu yang menjauh dari teman-temannya ketika aku berada di tempat yang sama, lalu kembali berbaur bersama saat aku sudah menjauh. Ivan menepati janjinya untuk menjauhiku, tapi sekarang aku justru terus mencari sosoknya di antara rekan-rekannya yang lain.Saat kami mengelilingi api unggun dan mengadakan pesta barbeque pun Ivan memilih duduk di tempat yang lebih gelap. Ada rasa bersalah menelusup dalam hatiku. Dia sepertinya tak begitu menikmati kebersamaannya dalam acara reuni tim baksetnya ini karenaku. Padahal Mas Adam dan teman-temannya yang lain terlihat sangat antusias karena memang beberapa dari mereka sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu. Mungkin aku sudah terlalu egois. Maka aku memilih mengirim pesan padanya.[Maafkan aku, tak seharusnya aku menyuruhmu menjauhiku di saat seperti ini. Itu membuatmu tak menikmati acara ini. Keluarlah dan bergabunglah dengan yang lain. Kalian pasti merindukan kebersamaan ini.]Aku memilih menjauh dari kerumunan bar
“Aku pergi dulu.”Aku masih ingin membantah. Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Kamu menitipkanku pada orang yang salah.Tapi aku tak sanggup membantahnya, dan juga tak siap menerima kemarahannya atas bantahanku. Aku masih menatap punggungnya ketika ia kembali berbalik.“Tadi nelepon siapa sampai senyum-senyum sendiri?”“Ngg ... tadi nelepon ....”“Sudahlah! Nggak penting! Aku pergi dulu. Aku mungkin akan beberapa hari di Jogja, tergantung bagaimana keadaan Nindya nantinya.”Ia sudah hendak kembali berbalik, saat aku memilih mengeluarkan sebagian kecil dari tanyaku.“Mas.”Dia menatap.“Kenapa Mas Adam harus datang ke sana? Apa Nindya yang memintamu datang?”“Jangan cari masalah, Aya. Aku pergi!”Dia berlalu, dengan langkah tergesa dan dengan semua kekhawatirannya pada seseorang. Sedangkan aku masih berdiri terpaku, menatap suamiku yang begitu mengkhawatirkan wanita lain.Pak Adam sudah berkali-kali mengungkapkan perasaannya padaku.Kalimat Nindya waktu itu kembali terngiang di tel
[Aya, kamu mau tetap di cottage atau bergabung di villa utama?]Kali ini pesan WA dari nomor Ivan.[Nggak usah, Van. Aku di sini aja.][Tapi di cottage sepi, Ay. Disitu cocoknya untuk yang punya pasangan, tapi kamu sekarang sendirian. Gabung di villa utama ya ... di sana masih pada ramai.][Nggak usah, Van. Aku nggak mau ngerepotin kamu.][Nggak ada yang direpotin, Aya. Kemasi barangmu, kita pindah ke villa utama, masih ada kamar kosong di sana. Kutunggu di luar.]Kutunggu di luar? Spontan aku berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ivan sudah duduk di teras dan tersenyum saat melihatku muncul di depan pintu.“Dari tadi?”“Iya. Pindah ke Villa utama, ya.”“Nggak usah, Van.” Aku kembali menolak.“Tapi aku nggak bisa ninggalin kamu sendiri di sini, Aya. Dan apa kata orang nanti kalau ngeliat aku semalaman duduk di teras ini.”Akhirnya aku mengalah dan mengemasi barang-barangku, lalu mengikuti langkahnya ke arah villa utama. Di ruang tengah villa masih sangat ramai dengan senda gurau. Sal
Hari berikutnya di villa milik Ivan, para peserta reuni masih terlihat antusias dengan semua rangkaian acara yang telah mereka susun sebelumnya. Beberapa lomba juga diadakan dengan berbagai macam hadiah hiburan yang telah disediakan panitia. Bukan hanya untuk tim basket, tapi juga lomba dan berbagai games menarik untuk para istri dan anak-anak mereka.Aku sendiri hanya duduk diam dan sesekali tertawa melihat kelucuan anak-anak dari teman-teman Mas Adam, karena tak ada lagi yang bisa kulakukan selain itu. Aku sedikit merasa asing di sini, karena suamiku yang merupakan salah satu peserta reuni bahkan sudah meninggalkan lokasi. Beruntung Ivan sering mengajakku mengobrol ringan dan sesekali menemaniku duduk berbaur dengan teman-temannya yang lain sehingga aku tak begitu merasa asing.Tepat pukul 10 pagi, mereka semua terlihat heboh dengan kedatangan guru sekaligus pelatih basket mereka semasa SMU, Ivan sebagai pemilik villa pun terlihat sibuk menyambut tamu istimewa bagi mereka. Melihat b
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber