“Harusnya dan biasanya sama Mbak Tari, Bu.”Kuhela napas panjang. “Tari-nya ke mana?”“Masih di Makassar, Bu.”Ah, aku baru ingat. Rupanya kemarin Ivan hanya pulang sendirian dan meninggalkan wanita itu di sana. Entah aku harus sedih atau senang mendengar kabar ini. Karena menurut penjelasan Tiara berikutnya, Tari yang mulai membuka laporan fiktif perusahaan pada Ivan hingga akhirnya mereka menemukan banyak manipulasi data, dan sejak saat itu Tari akan menjadi bagian penting dari rapat-rapat intern perusahaan karena dia menjadi orang kepercayaan Ivan.Tapi tak dapat kupungkiri hati kecilku bersorak senang karena aku tak perlu melihat keberadaannya di sekitar suamiku hari ini.“Kalo gitu aku nunggu di dalam saja, Tiara.”Aroma maskulin khas suamiku segera menguar di penciuman saat kubuka pintu ruangannya. Beberapa tumpuk berkas terlihat berserakan di meja kerjanya. Aku hanya menghampiri lalu membereskan gelas berisi air putih di sana, tak berani merapikan berkasnya karena takut akan me
Bayi besar itu memintaku untuk menunggunya di kantor saja ketika aku sudah berniat untuk pulang.“Bukannya tadi katanya mau lembur? Aku nggak mungkin nemanin sampai malam di sini. Kia pasti nyariin,” kataku memberi alasan untuk pulang.Tapi ia tetap tak setuju dan tetap memintaku menunggu hingga akhirnya aku harus kembali duduk berdiam di sofa dengan aroma lembut parfum wanita yang entah milik siapa. Beberapa kali Ivan keluar masuk ke ruangannya melewatiku dengan wajah seriusnya, lalu beberapa kali pula kudengar helaan napas beratnya saat memeriksa tumpukan berkas di atas meja kerjanya.Aku tak mau mengganggunya di saat ia sedang sangat serius seperti itu. Hingga akhirnya aku tertidur di sofa karena bosan menunggunya. Aroma lembut parfum wanita itu seolah masuk ke dalam alam bawah sadarku dan membawaku memimpikan pemilik parfum itu.Tari. Ya, Tari lah yang masuk ke dalam alam bawah sadarku sebagai pemilik aroma itu. Dan mimpiku di siang itu sungguh mimpi yang paling tak kuinginkan. Di
“Mas Adam bukan nelpon aku, dia cuma bilang mama dan papanya nyariin aku. Kamu udah baca isi pesannya tadi, kan?”Dalam hati aku memohon, semoga saja ia menerima penjelasanku. Kurasa ini akan lebih masuk akal dari pada kuceritakan mimpiku yang menyebalkan tadi.Tapi, ternyata dugaanku salah.“Kamu belain dia, Aya?” Tatapannya padaku menyiratkan kekecewaan.Ivan kemudian melangkah meninggalkanku sendirian di sofa dan memilih kembali duduk di kursi kerjanya.Napasku terembus berat. Gara-gara penasaran dengan aroma parfum di sofa ini membawaku memimpikan orang yang kucurigai sebagai pemiliknya. Dari sofa, kutatap wajah Ivan yang sangat jelas menampakkan kekecewaan dan kemarahan di sana. Aku harus menyudahi salah paham ini. Aku berdiri dan menghampirinya.“Kakk,” panggilku.Ia bergeming.“Nggak seperti yang ada dalam pikiranmu.”Ia tak menjawab.“Aku tadi cuma mimpi.”“Dan nyebut namanya?” Ia menoleh, masih dengan tatapan tak suka. “Aku cemburu, Aya!”“Cemburumu nggak beralasan.”“Tapi ka
Lelaki yang memintaku untuk menemaninya memungut kenangan yang tercecer tiba-tiba saja menjadi pendiam setelah Kak Dian dan suaminya pulang. Lelaki yang perlahan-lahan mulai kembali sebucin itu tiba-tiba saja menepiskan tanganku ketika tadi aku penasaran mendengarnya menyebut nama adik bungsuku dan hendak melihat map yang disodorkan Kak Dian ke hadapannya.Hatiku menjerit. Cobaan apa lagi ini, Ya Allah! Baru saja aku menemukan Ivan-ku yang dulu, baru saja ia kembali mengingatku sebagai Cahaya-nya. Tapi kini aku kembali harus dihadapkan pada sebuah kenyataan, Candra – adikku terlibat dalam penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan perusahaan. Candra, adik bungsuku yang kini telah menjelma menjadi pemuda beranjak dewasa dan bertanggungjawab, adik laki-laki yang waktu itu mengambil keputusan besar saat berani memutuskan menajdi wali nikahku lalu dengan gugup menjabat tangan Ivan saat menyerahkan kakak sulungnya pada pria yang belum direstui oleh ibuku.Bagaimana bisa kupercaya bahwa adik
Sudah hampir gelap, aku dan Ivan tiba di rumah sakit di mana Mama Indah dirawat setelah beberapa menit tadi ia menghentikan kendaraannya demi menikmati alunan air hujan yang turun. Sejujurnya ada naluri tak nyaman yang sedang menguasai pikiranku sejak Ivan memarkirkan kendaraannya tadi dan lalu mengajakku mengenang ingatan yang melintas di kepalanya. Tentang hujan ... tentang perkebunan ... tentang ciumannya.Dia memang menatap hujan lalu mengajakku bernostalgia, dia memang membahas banyak kemungkinan yang terjadi, tetapi aku tahu dia juga sedang mencari-cari sesuatu dari tatapan mataku.Ya, aku menyadari bahwa Ivan, bahwa suamiku sendiri pun tengah mencari kejujuran dari tatapan mataku meski ia tak bertanya secara langsung. Aku tahu, dugaan keterlibatan Candra dan bukti yang ada di tangan Kak Dian tadi membuatnya sedikit menaruh curiga yang sama kepadaku.“Bukannya itu Nindya?” Suara Ivan membuat lamunanku buyar.Benar saja, beberapa meter dari tempat Ivan memarkirkan kendaraannya, a
“Dari mana, Sayang?” Kuarasa Ivan sengaja semesra itu menyapa ketika aku menyusulnya ke ruang perawatan Mama Indah. Dan seperti dugaanku, pria yang paling kuhindari itu juga ada di sana dan sedang menatap padaku.‘Aku kuat, aku bisa!’ Terus kuteriakkan kata itu demi menyemangati diriku sendiri. Kerena sepertinya keadaan ke depan akan membuatku akan sering bertemu dengan pria itu.“Dari kantin, tadi nemanin Nindya sebelum pulang.” Sengaja kuperjelas nama Nindya demi melihat reaksi Mas Adam.Dan benar saja, napas pria itu terhembus berat saat mendengarku menyebut nama istrinya.‘Hey! Laki-laki macam apa kamu? Dulu memuja dan sekarang mengabaikannya!’Rasanya aku ingin berteriak senyaring mungkin tepat di depannya.“Aya ... itu kamu, Nak?” Sambutan Mama Indah masih sama seperti saat aku dan ibuku datang ke sini. Dan wanita yang menurut Nindya tadi terus memanggil namaku itu memang terlihat begitu gembira dengan kehadiranku.Petang menjelang malam itu, ruang rawat rumah sakit Mama Indah m
Bang Malik menjadi maju paling depan mengingat Ivan masih bergelut dengan sebagian ingatannya yang belum kembali. Sementara Kak Dian lebih mengusulkan langkah persuasif, terutama ketika nama Candra ikut terbawa.“Aku kenal ibu, aku kenal Aya. Aku yakin cara ibu mendidik Candra sama dengan cara ibu mendidik Aya. Firasatku sama dengan Aya, rasanya nggak mungkin Candra ngelakuin hal serendah itu. Dia terlihat sangat peduli pada kakaknya, pada keluarganya, termasuk pada hubungan kalian. Hati-hati ngambil langkah, karena sekali kamu salah langkah maka kamu akan nyakitin banyak orang.”Itu yang dinasehatkan Kak Dian pada adiknya sebelum kami bubar dan masuk ke kamar masing-masing.***“Pi.”Aku menyentuh lengan Ivan ketika pria itu belum berbicara sepatah kata pun sejak kami masuk ke kamar.“Hmmm.” Ia hanya menjawab dengan gumaman.Aku membicarakan hal-hal remeh, tentang Kia yang tadi sepertinya protes karena beberapa waktu belakangan ini aku jarang menemaninya di rumah, tentang laporan Bi
“Tolong atur Ivan biar nggak gegabah ngambil keputusan, Aya. Jangan sampai kejadian ini bikin kalian berantem. Nggak gampang perjuangan kalian bisa sampai di titik ini, mungkin ada yang nggak suka dengan kebahagiaan kalian. Perusahaan bisa dirintis kembali, aku dan Bang Malik siap bantu kalian kapan saja. Tapi kebahagiaan kalian nggak bisa dibeli dengan apapun. Tolong kendalikan Ivan agar tak menyakiti banyak hati.” Seperti itu pesan Kak Dian padaku hari ini sebelum pulang ke kotanya.Sebuah pesan yang sarat makna bagiku. Kak Dian adalah saksi jatuh bangunnya hubungan kami. Kak Dian satu-satunya orang yang waktu itu memahami meski tetap tak suka dengan hubungan kami. Kak Dian pula satu-satunya orang yang tahu semua tentang adiknya, yang padanya Ivan selalu cerita semuanya. Kak Dian yang sengaja menunda kepulangannya ke Surabaya ketika pagi itu mengetahui Ivan pergi tanpa pamit bahkan semalam sebelumnya sengaja menghindariku.Kak Dian ... sosok yang selalu ada dan menormalkan hubungank
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber