“Ibu sakit apa?” tanyaku setelah mengucap salam. Cara ibu menelpon lalu menyuruhku pulang kemarin membuatku mengkhawatirkan wanita paruh baya yang memang sudah sepuh itu.Mendapati ibuku sendirian di rumah lama kami, tak kuasa aku menitikkan air mata. Merasa sangat bersalah ketika tak bisa membujuknya pulang, sementara ibu sendiri masih merasa enggan pulang. Pertanyaan Ivan pada Kak Dian waktu itu tentang keberadaan ibuku di rumahnya di awal ia kehilangan ingatannya rupanya cukup membuat ibuku tersinggung.“Ibu di sini aja, Nak. Nggak enak sama suamimu.” Itu alasan yang terus dikatakan ibuku ketika aku membujuknya pulang.Ibuku memang sudah berusia senja, tak jarang sikapnya pun berubah-ubah. Sama seperti ketersimggungannya karena mendengar Ivan menanyakan keberadaan ibu di rumah kami waktu itu. Kusesali diri ini karena lalai, padahal seharusnya kami anak-anaknya lah yang menyesuaikan diri dengan kondisi ibu yang kadang merajuk seperti anak kecil.Yang aku tahu, Kak Dian yang juga san
Aku tahu apa yang ingin ibu katakan dengan senyumnya itu. Sebuah rasa terima kasih padaku karena mau mengabulkan keinginannya untuk menengok Mama Indah. Ibu mungkin tak tahu bahwa sepanjang perjalanan tadi aku sedang berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan rasa gugupku. Beruntung saat kami tiba di ruang VIP, hanya ada seorang kerabat Mama Indah yang juga mengenalku di sana menunggu pasien. Sementara Mama Indah tak jua membuka matanya sejak aku dan ibu tiba.“Biasanya memang gitu, Mbak. Ibu tidurnya lama kalo udah dikasih obat.” Kerabat Mama Indah menjelaskan padaku. “Sudah gitu Ibu suka ngigau, Mbak,” lanjutnya lagi sambil menatapku ragu.Dan benar saja, selama menunggu Mama Indah bangun, beberapa kami semua mendengar wanita itu mengigau. Beberapa kali pula aku harus menahan tangisku ketika mendengar igauan Mama Indah dalam tidurnya.“Jangan pisah, Nak.”“Minta maaf pada Aya, minta dia kembali.”“Jangan tinggalin Adam, Aya.”Itu beberapa rentetan kalimat yang terucap dalam tidur M
Detak jantungku berdentum dahsyat seketika, sosok yang berdiri di depanku itu bak malaikat pencabut nyawa bagiku. Mataku memanas tanpa bisa kukendalikan. Ya, rasanya aku ingin sekali menangis dan berteriak sekencangnya agar sosok yang di mataku pergi. Tapi, suara lain dari dalam ruangan menahanku. Suara Mama Indah memanggil putranya.Benda pipih di tanganku pun sudah berhenti berdering, aku baru menyadari niatku keluar dari ruangan tadi adalah untuk menerima panggilan dari suamiku.Dengan lutut yang gemetar aku berjalan melewati Mas Adam yang masih berdiri mematung di sana dengan mata yang kini basah.Jangan pingsan di sini! Meski seluruh tubuhku sedang gemetar hebat berhadapan dengan pria itu. Ada Mama Indah yang akan terluka, juga ibuku yang akan kecewa. Aku kuat! Harus kuat.Beruntung Mas Adam pun menggeser tubuh, apalagi Mama Indah tadi memang mencarinya. Aku tak menoleh lagi ke belakang, tapi masih kudengar suara pria itu di belakangku menyapa Mama Indah juga ibuku. Suaranya masi
(“Kalo gitu ngapain ke sini?”)(“Aku mau bicara, Kak.”)(“Tentang?”)Hening. Aku menunggu pembicaraan mereka dengan hati gelisah.(“Tentang pekerjaan?”) Suara Ivan lagi. Tapi, tak ada jawaban dari Tari yang terdengar olehku. Justru suara Ivan yang kembali terdengar.(“Jangan ngetuk pintu kamarku kalo bukan untuk urusan pekerjaan, Tar. Selesaikan laporan yang kuminta biar kerjaan kita cepat kelar.”)(“Kak!!”)(“Tari ... tolong mengertilah. Jangan bikin semua jadi sulit. Aku butuh bantuan kamu di sini, tapi jangan nyalah artikan ....”)(“Kamu berlebihan, Kak!”) Dalam pendengaranku, suara Tari seperti sedang sangat kesal. Ia memotong kalimat Ivan.(“Jangan panggil Kak lagi, Tar. Kita udah nggak seperti dulu lagi.”)(“Kak Ivan berubah! Apa karena Mbak Aya? Cuma Mbak Aya yang pernah minta aku nggak manggil Kak Ivan.”)Aku menghela napas, mengingat memang pernah meminta wanita itu tak memanggil “Kak Ivan” pada suamiku.(“Padahal itu hanya sebuah panggilan. Panggilan yang sama seperti hubung
Ibuku, Mama Indah dan semua yang ada di ruang rawat menoleh saat aku membuka pintu. Kusunggingkan senyum sebisa mungkin untuk menutupi rasa takut yang baru saja kurasakan di luar saat bertemu mantan suamiku. Satu hal lagi yang kusyukuri dan kuanggap adalah cara Tuhan mengatur jalan hidupku adalah pernikahanku dan Mas Adam tak menghasilkan keturunan. Bisa kubayangkan bagaimana jungkir baliknya aku harus mengatur hati selalu bertemu dengannya untuk urusan anak jika saja kami memilikinya.Meski rasa sakit dalam dadaku masih ada ketika teringat bagaimana dulu aku keguguran dan kehilangan bayiku. Ivan bahkan menjadi salah satu orang yang menagisi kehilanganku waktu itu.“Dari mana, Nak?” Ibuku bertanya.“Papinya Kia nelpon tadi, Bu. Ngabari kerjaannya di sana.” Aku sengaja memilih kalimat yang kurasa sedikit banyak bisa menggambarkan kondisi rumah tanggaku. Meski rasa prihatinku terhadap kondisi Mama Indah sangat besar, tapi aku ingin selalu memberi alarm agar wanita itu tak memikirkan kei
Ibu membalas mengelus tanganku.“Maafin ibu, Nak. Maaf udah nyusahin Aya.”“Ibu nggak pernah nyusahin Aya, Bu. Aya juga minta maaf kalo waktu itu suami Aya udah bikin ibu tersinggung. Kita pulang, ya.”Sayangnya ibuku masih menolak untuk pulang dengan alasan masih ingin berlama-lama di rumah ini, rumah sederhana keluarga kami dulu. Ditemani seorang ART yang memang tinggal di sini dan merawat rumah dan sekarang membantu merawat ibu.***Kondisi perusahaan yang sedang terpuruk seperti yang diceritakan Ivan padaku membuatku hari ini memutuskan mengunjungi kantornya meski Ivan masih berada di Makassar. Sepertinya aku harus ikut terlibat dalam membantunya, di saat beberapa karyawan kepercayaannya berkhianat. Aku berjanji akan membantunya bangkit kembali, menemukan kembali ingatannya dan mengambil kembali apa yang menjadi hak nya. Meski mungkin aku tak memiliki ilmu audit seprofesional Tari, tapi aku akan melakukan apa pun demi membantunya.Beberapa jam berada di sana dan melakukan apa pun
Hampir satu jam perjalanan menuju ke rumah ibu kugunakan untuk beristirahat karena kelelahan setelah aktifitas ‘bikin oleh-oleh buat ibu’ yang tadi benar-benar kami lakukan. Aku benar-benar terlelap di kursi penumpang depan sementara putriku dan pengasuhnya duduk di barisan kursi belakang. Mataku baru membuka ketika merasakan telapak tangan lebar dan hangat mengusap pipiku.“Ay.”“Hmm.”“Ngantuk banget, ya?”Aku mengangguk malas karena kurasa itu adalah pertanyaan yang tak perlu kujawab.“Udah nyampai rumah ibu?” tanyaku ketika merasa kendaraan kami tak bergerak.“Belum. Lagi mampir swalayan mau beli kopi, aku juga ngantuk abis bikin oleh-oleh tadi.”Kalimatnya tak ayal membuat mataku membuka lebih lebar sebagai bentuk protes.“Mau dibeliin apa, Sayang?” tanyanya terkekeh.“Nggak usah.”“Kita nggak bawa apa-apa ke rumah ibu? Kan oleh-olehnya tadi belum bisa—““Papi!!!” pekikku agar ia menghentikan kalimatnya.Ide bikin oleh-oleh tadi memang ide isengku menggodanya, tapi tak kusangka k
Sepanjang jalan pulang dari rumah ibu, tak henti-hentinya Ivan meringis sambil mengibas-ngibaskan tangan kirinya.“Kenapa perihnya nggak ilang ilang juga, sih, Ay?” tanyanya mengeluh.Sepanjang perjalanan pula tawaku terus berderai meski sesekali merasa iba dan merasa berdosa telah menertawakannya. Di belakang, Kia dan Mbak pengasuh pun sama, tertawa mengikik melihat pria di balik kemudi itu terus menerus meringis.“Lagian sok-sok-an pake bilang jago menggoreng bakwan, nyalain kompor aja buka youtube dulu.” Aku kembali mengomelinya. “Coba sini, biar kuolesi obat lagi.”Bekas luka di tangannya kini telah berubah warna menjadi coklat kemerahan. Bisa kubayangkan betapa perihnya luka itu tadi hingga membuat Ivan berteriak sekeras mungkin membuatku dan Kia serta yang lainnya segera berlari ke dapur saat mendengar teriakannya tadi.Di dapur ibu, pria itu sedang meloncat-loncat sambil mengibaskan tangan kirinya ketika kami menyerbu masuk. Sementara ibuku dengan sigap bergerak mendorong sendi
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber