Pria itu langsung tersenyum saat beradu pandang denganku, aku membalas senyumnya dengan pipi yang merona. Melihatnya dalam balutan pakaian seperti itu sungguh sudah menjadi impianku. Setelah berbasa-basi sebentar, Ivan pun langsung duduk di depan Candra dan penghulu, sementara aku duduk di sofa, diapit kedua adik perempuanku. Semua harus dilaksanakan secepat mungkin karena pihak rumah sakit hanya memberikan izin satu jam untuk prosesi ini.Lalu, momen sakral yang menggetarkan hatiku itu berhasil membuat tangisku pecah, saat Ivan dengan percaya diri menyambut uluran tangan Candra yang memilih menikahkanku langsung. Ivan Nocholas menyebut nama lengkapku dalam ikrar ijab kabul yang diucapkannya dengan lantang dalam sekali tarikan napasnya.Air mata haru menyeruak dari kelopak mataku. Kini, aku sudah sah menjadi istrinya, dan dia menjadi pria yang berhak atasku. Menjadi pelindungku, menjadi orang yang akan menemaniku menjalani sisa hidupku, dan juga menjadi ayah dari anak-anakku kelak. Ki
“Bu, saya berjanji akan menjaga, melindungi dan menyayangi Aya sepenuh hati. Saya berjanji tidak akan menyakiti putri ibu. Maaf, saya menikahinya di saat ibu masih dalam keadaan seperti ini. Cepatlah bangun, Bu. Agar ibu bisa menyaksikan kebahagiaan kami. Agar ibu bisa menyaksikan Aya melahirkan anak-anak kami.”Mataku kembali menganak sungai saat mendengar Ivan membisikkan kalimat itu pada ibuku. Semoga ibu bisa mendengarnya, semoga ibu bisa merasakan kebahagiaan yang sedang kurasakan saat ini. Karena ini hari senin, kedua adikku pun segera berpamitan setelah mencium ibu. Tak lama Kak Dian dan suaminya pun berpamitan, karena Bang Malik kebetulan ada urusan di kantor pusat. Hingga tinggallah Candra, yang menemani kami di dalam ruangan.“Tolong jaga Kak Aya,” ucapnya pada Ivan.“Makasih, Dek.” Ivan merangkul pundak Candra.Tak lama Candra pun berpamitan karena menurutnya ia harus ke lokasi pekerjaannya yang terletak di pinggiran kota. Aku juga tau jika Candra dipercaya memakai mobil p
Ivan melepasku ketika mendengar pintu dibuka. Kami menatap ke arah pintu dengan napas yang sama-sama tersengal. Candra berdiri dengan wajah pucat pasi di sana.“Maaf, udah nggak bisa nahanin.” Ivan masih berusaha menetralkan napasnya.“Bukan itu. Kalian sudah sah, terserah mau ngapain,” kata Candra.“Terus kenapa pucat gitu, Dek?” Kali ini aku yang bertanya.“Itu ... di grup WA kerjaan. Astaga!” Wajahnya semakin pias.“Kenapa sih, Dek?”“Di grup WA kerjaan ... pada ngucapin selamat. Pada boss besar. Ngucapin selamat atas pernikahan boss. Juga ... juga ada ... foto-fotonya. Dan ... dan itu ....”Aku tertawa menyadari apa yang membuat Candra sepucat dan segugup itu. Mungkin foto-foto pernikahan boss besar mereka tersebar di grup kerjaannya. Dan itu pastilah foto-foto pernikahan kami. Mungkin Tiara yang menyebarkannya.“Kak Ivan ehh ... Pak Ivan.” Lelaki tanggung itu menelan saliva berkali-kali.“Ya, aku pemilik perusahaan tempatmu bekerja. Aku boss besarnya.” Ivan mengatakannya dengan s
PoV AdamPagi ini, aku memilih mampir ke rumah sakit sebelum berangkat ke kantor untuk menjenguk ibunya Nindya. Sudah semiinggu ini Ninyda cuti demi menemani ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit. Gadis itu juga tak pernah pulang ke apartemennya, membuatku selalu merasa sunyi tak ada Nindya di kantor dan juga di apertemen. Akhirnya sesekali aku memilih pulang ke rumah orang tuaku, namun ternyata menginap di rumah mama justru membuat rasa kesepian itu kian menggigit.Aku bahkan tak bisa tidur sama sekali di kamarku saat menginap di rumah mama, terasa ada yang hilang dari hatiku. Hingga aku menyadari jika tanpa sadar aku mencari keberadaan Aya, yang akan selalu menemaniku jika kami berdua sedang menginap di rumah mama. Di kamarku di rumah mama itu pula pertama kali aku dan Aya memulai kehidupan kami, di tempat tidurku itulah Aya menyerahkan dirinya pertama kalinya padaku, suaminya. Maka, menginap di rumah mama justru mengingatkanku padanya, dan merasakan bahwa aku merindukannya, jug
“Kasian ibu, akan semakin drop kalau tau dirawat di RSJ. Ibu akan merasa kami menganggapnya gila.” Begitu alasan Nindya.“Cutimu masih lama, Nin?” tanyaku setelah duduk di sofa. Nindya ikut duduk di ujung sofa.“Tiga hari lagi, Pak. Kenapa?”“Kantor sepi nggak ada kamu,” jawabku sambil tersenyum.Nindya tak menanggapi, tapi justru menatapku dalam-dalam.“Inilah yang dari dulu kutakutkan, Pak.”Keningku mengeryit, meminta penjelasan.“Pak Adam baru menyadari perasaan pada Aya, setelah dia pergi.”Aku terpana.“Matamu tak bisa bohong, ada penyesalan menyaksikan Aya menikah tadi.”Aku tersenyum getir. Gadis cerdas ini bisa menebak dengan tepat.“Nin.” Aku menggeser dudukku, mendekat padanya.“Aku baru merasakan kehilangannya. Aku baru menyadari arti hadirnya setelah dia pergi.”Kuraih tubuh Nindya dalam dekapku, gadis itu membalas memeluk pinggangku. Ada sesak yang tak dapat kutahan, mengingat aku dulu pernah mengalami hal seperti ini. Dulu, aku memeluk Aya saat merasakan pedih karena Ni
Aku pun berdiri, berniat pamit dari sini. Karena aku tau, kehadiranku tak pernah diharapkan oleh ibu dan kakak Nindya. Karena bagi mereka, aku adalah bayang-bayang ayah mereka, bayang-bayang luka masa lalu mereka. Aku tak bisa menyalahkannya, karena aku memang mendekati Nindya disaat masih terikat pernikahan dengan Aya, situasi yang sama yang dulu pernah di alami oleh ayah mereka. Luka masa lalu mereka kembali menganga saat aku hadir dalam hidup Nindya.Kakak Nindya sama sekali tak merespon saat aku berpamitan. Sejujurnya itu membuat harga diriku seolah diinjak-injak. Beruntung Nindya mampu meredam semuanya, karena gadis itu tetap tersenyum manis padaku dan bahkan mengantarku hingga ke parkiran. Kurasa aku benar-benar telah berhasil menaklukkan hati gadis ini.“Hati-hati, Mas.”Dadaku berdesir. Dia mengganti panggilannya dari “pak” menjadi “mas”. aku berbalik, menariknya ke dalam pelukan.“Jangan patah hati,” ucapnya.“Kalau Mas Adam patah hati karena Aya, aku juga akan patah hati kar
Mataku berkabut. Ini adalah kedua kalinya aku menangis di hadapan Mama. Pertama saat Bella memutuskan pertunangannya denganku waktu itu. Itulah awal sikap burukku terbentuk, yang akhirnya membuatku melakukan kekerasan verbal pada Aya, wanita yang datang dalam hidupku setelah Bella. Dulu, aku selalu merasa puas jika Aya menangis, karena aku seakan membalas sakit hatiku pada Bella. Dan kini, akulah yang menangisi kepergian Aya dariku.Mama memelukku lagi.“Maafin Mama, Nak.”Aku menggeleng. “Adam yang salah, Ma.”“Gimana dengan Nindya? Kamu suka dia, kan? Mungkin sebaiknya kamu melamarnya, agar kita semua juga bisa move on.”“Adam udah ngelamar Nindya, Ma. Tapi keluarganya menolak lamaran Adam.”Kurasakan mama mempererat pelukannya.“Sabar, ya, Nak. Pinta dia dalam doamu. Mama juga selalu mendoakan jodoh yang terbaik buat Adam, yang sesuai dengan yang Adam mau. Mama dan Papa tak akan memaksakan lagi, apalagi menjodoh-jodohkan. Hasilnya ya seperti ini, semua hancur.”“Bukan salah Mama da
Aku baru saja hendak masuk ke dalam lift setelah memarkirkan mobilku di lantai basement ketika abangnya Nindya juga masuk. Hening. Tak ada percakapan di antara kami. Namun, saat lift berhenti di lantai di mana unit Nindya berada, Bang Heri menahan pintu lift.“Bisa bicara sebentar?”Aku pun mengikutinya.Pria berato itu menatapku tajam setelah mempersilakanku duduk di sofa.“Kurasa kamu sudah tau betapa aku membenci laki-laki sepertimu, seperti ayahku.”Dia menarik napas. Aku diam, membiarkannya bicara.“Sayangnya adikku sudah terlanjur menyukaimu.”Pria itu memegang dadanya.“Selalu ada rasa sakit di sini saat mengingat bagaimana buruknya masa kecilku dan Nindya dulu, semua akibat perilaku pria yang sama sepertimu. Menggoda perempuan lain di saat masih terikat pernikahan sah.”Napasnya naik turun.“Aku dan Nindya bertahun-tahun hidup dalam rasa trauma. Melihat ibuku yang tertekan karena suaminya menikahi sahabatnya. Ibu trauma melihat anak-anaknya yang terlantar. Dan sekarang aku har
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber