“Wira ada di Twin House, Ay. Nih Kak Dian baru ngabarin.” Setelah menemani Ivan memilih beberapa mainan untuk hadiah ulang tahun Wira, kulihat Ivan menerima panggilan telepon.“Ya udah, kasih hadiah hadiah ini di sana aja, Pi.” Aku menunjuk beberapa mainan yang kami pilihkan tadi.“Tapi nggak ada Kia.” Ia terlihat tak bersemangat. “Ini gara-gara jadwal arisan Kak Dian tadi pagi nih jadinya Kia nggak jadi ikut.”“Jadi gimana?”“Sebenarnya pengen bawa Kia ketemu abangnya, Ay. Apalagi emang pas abangnya lagi ulang tahun, udah lama juga kan mereka nggak ketemu.”Kesibukan Ivan sejak kantor barunya launching memang membuatnya jarang bertemu Wira. Padahal dulu saat usahanya masih jaya, Ivan tak pernah melewatkan sehari untuk tak bertemu atau sekadar menyapa bocah lelaki itu, apalagi waktu Tari masih bekerja di peusahaannya.“Aya ... boleh nggak hari minggu nanti kita ajak Kia dan Wira jalan-jalan? Kita berempat. Udah lama juga kita nggak jalan-jalan, kan?” usulnya.Aku langsung menyetujui,
Wanita itu berpamitan, sebelum melangkah ke bangunan utama Twin House. Tari tentu sudah tahu di mana ruang kerja Ivan mengingat ini bukan pertama kalinya wanita itiu datang ke Twin House. Kubiarkan ia berlalu dan berencana akan ikut ke sana setelah mengawasi Iin menyelesaikan pemeriksaan barang.***“Aku akan selalu ada untukmu dan Wira, Tari.”Suara Kak Dian terdengar dari dalam ruangan Ivan ketika aku baru saja hendak mengetuk pintu. Kondisi pintu yang sedikit terbuka memang membuatku dengan mudah bisa mendengarkan pembicaraan keduanya.“Iya, Kak. Aku tau.” Itu suara Tari.“Jadi jangan pernah memlihara pemikiran seperti yang kemarin-kemarin lagi, ya. Jangan khawatir, Wira nggak akan mungkin kehilangan Papanya, dan adikku juga nggak akan mungkin menelantarkan anaknya.” Suara Kak Dian.“Iya, Kak. Aku memang pernah berpkkir untuk kembali hadir dalam hidup Ivan, aku juga pernah melakukan kesalahan dengan mempercayai hasutan Toni. Saat itu di kepalaku hanya ingin Aya pergi dari hidup Iva
“Tari bilang gitu tadi?”Bukan aku yang menjelaskan kejadian di ruang kerja Ivan di Twin House tadi, tetapi Kak Dian lah yang bercerita pada adiknya dengan berapi-api.“Yaela, lu kira gue boong.” Kak Dian menanggapi keraguan adiknya.“Bener gitu, Aya?” Kali ini pria itu bertanya padaku.“Iya. Kak Dian benar. Itu yang bikin aku nangis tadi, aku nggak nyangka ... aku tersentuh dengan permintaan maafnya berkali-kali.”Kami memang baru membahas ini setelah pulang ke rumah. Pelukan dan kekhawatiran Ivan di Twin House tadi mampu diredam Kak Dian dengan memberi pengertian pada adiknya itu untuk tak membahas apa pun di sana. Apalagi kemudian Wira terbangun setelah mendengar ribut-ribut karena suara panik ayahnya.“Aya baik-baik saja, jangan mikir yang nggak-nggak. Nanti kita bicara di rumah. Kasian Wira, dia kebingungan. Fokus ke Wira aja dulu, Dek. Bikin dia senang di hari ulang tahunnya. Aku pastikan Aya-mu baik-baik saja, bahkan sangat baik-baik saja.”Itu yang kudengar sekilas ketika Kak
“Dia putus asa. Dia tau Imelda nggak mungkin sama dia, tapi dia cinta. Dan rasa cintanya itulah yang membuat Toni tak lagi bisa berpikir jernih?” Pillow talk kami malam ini adalah pembahasn mengenai Imelda dan Toni.Aku terheran-heran mendengar cerita Ivan tentang hubungan Toni dan Imelda. Toni sendiri memang diakui Ivan merupakan karyawan yang baru dua tahunan bergabung di perusahaannya, tetapi Toni adalah salah satu karyawan yang paling gigih bekerja. Lalu ketika Ivan kehilangan ingatannya, ia memilih Toni menjadi tangan kanannya sebab ternyata Toni menguasai banyak hal yang waktu itu tak mampu diingatnya.“Setelah dapat salinan CCTV di rumah yang dibeli Imel waktu itu, aku menyuruh orangku menyelidiki apa hubungan keduanya.” Ivan kembali melanjutkan ceritanya. “Sejak mengetahui keberadaan Toni di sana, aku menduga Toni adalah kerabat dekat Imel, atau orang kepercayaan Imel yang menyusup ke kantorku, tapi ternyata dugaanku meleset. Toni adalah pengagum Imelda, bahkan menurut informa
Ponsel Ivan yang berpendar di atas nakas tak membuat pria ini menghentikan aksinya, menciumiku dengan lembut dan menghanyutkan seperti biasa, membawaku melayang tak lagi terkendali.“Ada telepon, Pi,” gumamku di sela perlakuan manisnya.“Biarin aja. Paling Kak Dian.” Suaranya masih berat dan serak.Jika sedang seperti ini, aku hanya perlu mengikuti arus yang dibuatnya. Hingga dering ponsel di atas nakas benar-benar tak lagi mengganggu aktifitas kami.Akan tetapi, semuanya buyar saat suara ketukan lebih kepada gedoran di pintu kamar kami terdengar sangat mengganggu.“Sial!” umpatnya kesal, kilatan matanya menggambarkan kekecewaan seperti baru saja terhenpas dari ketinggian.“Pakai ini, Aya.” Ia mengambil selimut lalu membungkus tubuhku. “Kak Dian nggak ada ahlak emang!” Ivan terlihat begitu yakin bahwa yang mengetuk adalah kakaknya.Kulihat ia memilih potongan pakaian yang berserak di lantai, memakai boxer-nya yang ditemukannya di lantai lalu membuka pintu.“Apaan sih, Kak?!”Dari posi
[Ay, kalo jadwal kamu dan Ivan lagi nggak padat, liburan ke Surabaya, dong.]Sudah kesekian kalinya Kak Dian mengirim pesan serupa. Beberapa hari ini ia memang sering sekali menelepon lalu bercerita tentang rasa rindunya pada kami semua, namun tak bisa berkunjung karena kesibukannya. Ajakan Kak Dian ini pun sebenarnya sudah kuceritakan ke Ivan, tetapi jadwal pekerjaannya memang belum memungkinkan meski Ivan tetap mengiyakan dan sedang mencari jadwal kosongnya.“Kita emang udah lama nggak liburan, Ay. Sebelum Kak Dian minta, aku juga sebenarnya udah mikir mau bawa kamu dan Kia liburan. Ide bagus sih kalo kita berkunjung ke Kak Dian sekaligus lanjut liburan, nanti dari Surabaya bisa lanjut ke Bali.” Itu yang dikatakan Ivan saat aku menyampaikan permintaan Kak Dian.[Baguslah kalo emang udah ada rencana gitu, Aya. Nanti ajakin Wira juga, ya.]Dan satu lagi permintaan Kak Dian yang kusampaikan pada adiknya.Sejak malam itu, saat Ivan memintaku menemaninya jalan-jalan bersama anak-anaknya,
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber