Bukannya menjauh, dia justru bangkit dari kursinya dan ikut duduk di ranjang pasien. Aku menunduk, hanya untuk menghindari tatapan matanya. Lalu tangan itu tiba-tiba saja sudah berada di daguku, membuatku terpaksa mendongakkan kepala.Oh, ya Tuhan! Tak sanggup rasanya bertatapan mata dengan pria yang sudah berbulan-bulan pergi dari hidupku ini.“Makan, ya,” ucapnya lembut.Aku menggeleng, lalu kembali menunduk. Dan lagi, dia kembali meraih daguku, memaksaku kembali menatap tepat di manik matanya.“Mau nanya apa? Mau nanya kenapa aku bisa ada di sini? Kamu sendirian, Aya. Dengan kondisi kesehatanmu seperti ini. Aku nggak mungkin membiarkanmu sendiri. Jangan tanya aku tau dari mana, aku tau semua tentangmu.”Dia menekankan kalimat terakhirnya, seolah ingin menegaskan jika dia memang tau segalanya tentangku. Mungkin juga tau tentang perceraianku. Dia masih menatap mataku, aku pun begitu. Kami saling menatap dengan isi kepala masing-masing. Lalu, kusadari tatapannya turun ke bibirku. Kuli
“Pergilah. Jangan mempermainkan perasaanku lagi.”Matanya memejam sesaat.“Aku tak pernah berniat mempermainkanmu, Aya. Aku tak tau kalau Adam akhirnya menyerah dan melepasmu. Aku justru melakukan ini demi kamu.”Senyumnya mengembang menjadi lebih lebar.“Maaf, aku harus mengatakan ini. Aku senang mendengar kabar perceraianmu!”Dia menggerakkan alisnya naik turun dengan ekspresi nakalnya.“Jangan main-main, Van! Aku sudah nggak mau menantang bahaya.”“Tapi aku senang bermain-main denganmu, Ay.”Dia terkekeh. Lalu, sebelum sempat kutepis, tangannya bergerak mengaca-acak rambutku. Tapi, bukan hanya rambut. Karena kini dia telah kembali mengacak-acak hatiku.“Aku akan mengurus semuanya. Kamu nggak usah mikir yang berat-berat. Cepatlah pulih. Kamu sakit gini hanya bikin hatiku sakit.”Aku menautkan alisku.“Kamu jatuh sakit setelah tau hubunganmu dengan Adam berakhir, Aya. Tadinya itu membuatku berpikir kalau kamu menyesali perpisahanmu dengannya. Tapi ....”Aku menunggunya bicara.“Tapi
“Aya, kalau aku tak menghubungimu, kalau aku tak muncul di hadapanmu, kamu jangan menganggap aku pergi atau aku menghindar. Tidak. Aku tak akan pernah pergi darimu lagi. Aku hanya ingin memberi ruang padamu, juga memberi jarak waktu, agar orang lain tak menilai buruk padamu.”Aku masih diam.“Kamu masih percaya aku kan?”Tangannya terjulur, kurasa hendak memegang pipiku. Tapi, aku menepisnya.“Aya ....”“Kamu akan menikah, Van. Kenapa masih memberi harapan padaku? Jangan lagi mempermainkan perasaanku.”Ada sesak yang menyeruak saat aku mengatakannya.“Iya. Kamu benar, Aya. Persiapannya bahkan sudah sembilan puluh persen.”Netraku memanas.“Lalu untuk apa semua ini? Please, Van. Jangan lagi. Aku udah nggak sanggup sakit hati.”Dia memegang pipiku, kali ini aku tak dapat pagi menepis tangannya.Sentuhan telapak tangannya di pipi sungguh membawa rasa hangat, membuatku melayang sejenak. Sebelum akhirnya aku berusaha menepisnya. Namun tangannya bertahan di sana, tak bergerak oleh tanganku
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Kini sudah sebulan kujalani hidupku dengan status janda. Beruntung butik sedang ramai-ramainya, jadi aku bisa menghabiskan waktuku di sana, melakukan hal-hal yang kusukai tanpa beban pikiran apa pun lagi. Mas Adam masih mengirimkan sejumlah uang di rekeningku di awal bulan, meski aku sudah menolak melalui pesan yang kukurim padanya.[Ini masih tanggung jawabku, Ay. Kalau nggak mau dipakai kamu boleh sumbangin ke mana aja terserah kamu, tapi jangan memintaku untuk berhenti hingga masa iddahmu selesai.]Itu jawaban yang diberikan Mas Adam padaku. Bagiku, pria itu justru menjadi lebih baik dan lebih sopan setelah kami bercerai. Tak pernah lagi ada caci maki yang selama tiga tahun hidup bersamanya selalu menjadi makananku sehari-hari. Jawabannya pun selalu sopan ketika membalas pesan ku, karena aku selalu memilih berkomunikasi hanya lewat pesan padanya. Sangat berbeda dengan perlakuannya saat aku masih menjadi istrinya, dia tak pernah membalas
Mas Adam ke sini? Untuk apa? Apa masih ada urusan yang belum selesai? Ini pertama kali dia menelponku sejak kami berpisah, karena biasanya kami hanya berkomunikasi melalui pesan singkat. Kuhela napas dalam-dalam. Sungguh aku tak mengharapkan untuk kembali bertemu dengannya, itu akan membuat lukaku akan kegagalan pernikahan kami semakin sulit untuk kusembuhkan.Terus terang saja, saat ini aku lebih mengharapkan orang lain yang datang padaku. Seperti janjinya saat terakhir kali kami bertemu.“Kalau begitu cukup diam di sana, Aya. Lepaskan semua lelahmu, tinggalkan semua tangismu, pulihkan semua lukamu. Aku yang akan datang padamu.”Tapi, dia tak pernah memenuhi janjinya setelah itu. Dia tak pernah datang, bahkan tak pernah lagi menghubungiku setelah kami berpisah di parkiran rumah sakit waktu itu. Mas Adam datang beberapa menit setelah meneleponku tadi. Aku sedikit gugup ketika membuka pintu kaca butik untuknya.“Hai, gimana kabarmu?” sapanya dengan seulas senyum.Hatiku menghangat. Du
“Jadi, Mas Adam tinggal di mana?”Kali ini aku berbasa-basi, padahal aku sudah tau dia membeli unit apartemen yang dulu disewanya.“Aku ... beli unit yang kemarin kusewa,” suaranya pelan, sedikit salah tingkah.“Wah, selamat, ya.”“Untuk apa?” dia menatap.“Untuk ....” Aku sendiri bingung untuk apa memberinya selamat.“Kamu pikir aku jadian ama Nindya?”Ya, kurasa itu yang ada di pikiranku. Aku mengangguk.Dia membuang napas kasar.“Dia nolak aku. Keluarganya juga. Ibunya sampai sakit waktu tau aku bercerai, dipikirnya kita cerai semata-mata karena aku mau dekatin Nindya.”“Oh.”Aku hanya menjawab singkat. Tak ingin membahas apa pun yang ujung-ujungnya jadi membahas masa lalu kami.“Ivan gimana kabarnya?”Dia bertanya, tatapannya lain.“Nggak tau.”“Kamu nggak pernah nengokin dia?”Aku mengeryitkan kening. Nengokin? Kenapa aku harus nengokin? Padahal dia menyuruhku menunggunya dan berjanji untuk datang kembali.Aku hanya menaikkan bahu, tanda tak mengerti dengan pertanyaannya dan tak
Pagi ini, mobilku berhenti tepat di depan rumah Ivan. Kemarin setelah mengobrol dengan Kak Dian di telepon, wanita yang belakangan selalu dipusingkan dengan urusan adiknya itu akhirnya mengabulkan permintaanku untuk ikut dengannya mengunjungi Ivan yang kabarnya ditahan di salah satu kantor kepolisian.Aku terdiam sesaat, memilih duduk diam sambil mencengkeram setir mobilku. Terakhir kalinya aku menginjak rumah ini saat Mas Adam datang dan menghajar Ivan hingga babak belur lalu menyeretku dengan kasar dari sana. Kupejamkan mata menahan perasaan bersalah yang menyesakkan. Sungguh pria itu sudah sangat banyak mengalami kesakitan karenaku, padahal dia punya banyak pilihan untuk menjauh.Kak Dian menyambutku ramah, sambil terus membicarakan kronologi kenapa Ivan sampai berada di dalam penjara.“Adikku itu udah gila, deh, Ay.”“Coba bayangin, gedung udah dipesan, katering udah dibayar lunas, wedding organizer udah lunas, gaun pengantin udah fitting sampai berkali-kali, undangan udah disebar
“Jadi aku harus gimana, Kak?”“Just wait him! Cukup katakan kamu akan menunggunya. Itu akan membuatnya lebih bersemangat, itu akan membuatnya merasa perjuangannya tidak sia-sia.”“Tapi aku merasa nggak pantas diperjuangkan seperti ini, Kak.”“Tapi dia merasa kamu pantas, sangat pantas, dan di matanya cuma ada kamu, Cahaya! Aku nggak akan maafin kamu jika kamu kembali membuatnya patah hati. Cukup menyemangatinya. Biarkan dia menjalani risiko atas jalan yang dipilihnya.”Meski masih gamang, aku memilih mengangguk menyetujui apa yang dikatakan Kak Dian.Namun ternyata hatiku tak cukup kuat ketika melihat sosok pria yang menyuruhku menunggunya itu berada di tempat yang tak semestinya. Tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun aku langsung menyerbu ke dalam dekapannya ketika seorang petugas mengantarkan Ivan untuk bertemu kami. Sementara dia hanya berdiri mematung, sepertinya tak menyangka aku akan hadir di sana dan melihatnya seperti ini. Dia tak membalas pelukanku.Kuberanikan diri mene
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber