“Jadi aku harus gimana, Kak?”“Just wait him! Cukup katakan kamu akan menunggunya. Itu akan membuatnya lebih bersemangat, itu akan membuatnya merasa perjuangannya tidak sia-sia.”“Tapi aku merasa nggak pantas diperjuangkan seperti ini, Kak.”“Tapi dia merasa kamu pantas, sangat pantas, dan di matanya cuma ada kamu, Cahaya! Aku nggak akan maafin kamu jika kamu kembali membuatnya patah hati. Cukup menyemangatinya. Biarkan dia menjalani risiko atas jalan yang dipilihnya.”Meski masih gamang, aku memilih mengangguk menyetujui apa yang dikatakan Kak Dian.Namun ternyata hatiku tak cukup kuat ketika melihat sosok pria yang menyuruhku menunggunya itu berada di tempat yang tak semestinya. Tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun aku langsung menyerbu ke dalam dekapannya ketika seorang petugas mengantarkan Ivan untuk bertemu kami. Sementara dia hanya berdiri mematung, sepertinya tak menyangka aku akan hadir di sana dan melihatnya seperti ini. Dia tak membalas pelukanku.Kuberanikan diri mene
“Mbak Cahaya?” Seorang gadis berpenampilan khas wanita karir masuk ke dalam butik dan langsung menyapaku.“Iya, Mbak. Saya Cahaya, ada yang bisa dibantu?”“Bisa bicara sebentar, Mbak?”Alisku bertaut, berusaha menebak siapa wanita ini dan ada keperluan apa ingin mengajakku bicara.“Maaf, Mbak. Bicara mengenai apa ya?”“Mas Ivan.”Deg! Jantungku berdetak lebih cepat.“Mbak Gina?” tebakku.Dia tersenyum tipis, mengangguk tanpa menjawab.Aku menelan saliva, menduga-duga apa yang ingin dibicarakan oleh gadis ini.“Silakan.” Kuajak gadis cantik itu ke ruang kerjaku.“Ehm ... soal Mas Ivan. Saya minta maaf atas apa yang terjadi,” Gadis dengan rambut berwarna kecoklatan itu memulai percakapan.Gaya bicaranya sangat elegan dan terlihat berpendidikan tinggi.“Maaf sebelumnya, Mbak Gina. Tapi apa yang terjadi pada Ivan sekarang tidak ada sangkut pautnya dengan saya.”Gadis itu tersenyum, sangat manis. Aku jadi berpikir, kenapa Ivan melepas wanita high class ini?“Iya, saya tau, Mbak. Tapi tetap
“Ini yang membuat saya justru merasa bersalah. Mas Ivan dan orang-orang di sekitarnya, Kak Dian, Pak Malik dan sekarang Mbak Cahaya, tak satu pun yang datang meminta atau bernegosiasi agar Mas Ivan dibebaskan. Agar keluargaku mencabut laporan atas tindakan tak menyenangkan. Tapi kalian semua diam dan bersikap realistis bahwa dia memang bersalah.”Aku tak mengerti arah pembicaraannya.“Saya salut dengan kalian semua. Ivan bersalah, dia menerima hukumannya tanpa pernah protes, keluarganya bahkan orang yang dicintainya juga bersikap sama. Dan sungguh rendah diriku jika memaksakan kehendak pada orang yang tidak menginginkanku. Sayang sekali pandangan ayah saya berbeda.”“Maksud, Mbak?”“Ayah saya justru sebaliknya. Meski Mas Ivan sudah meminta maaf langsung pada ayah, beliau justru menunggu salah satu dari orang terdekat Mas Ivan untuk datang dan meminta agar dia dibebaskan. Mbak Cahaya tau kenapa?”Aku meggeleng.“Karena ayah saya sangat menyayangi saya. Dia merasa harga dirinya diinjak-
“Jadi, Mbak Cahaya mau ketemu ayahku? Aku akan bantu melunakkan hatinya. Percuma juga menahan Mas Ivan di dalam sana, tidak akan ada yang berubah. Hati dan perasaan tak bisa dipaksakan. Itu justru akan membuat catatan kelam dalam hidup kita. Aku ingin melihat Mas Ivan bebas dan menjalani hidupnya. Apalagi dia sudah terkurung dua bulan di dalam sana, banyak pekerjaan positif yang harus tertunda karenanya, pasti banyak karyawannya yang mengeluh karena atasan mereka tak bisa bekerja dan mengawasi seperti biasanya, banyak hati yang merindu padanya. Mengurungnya di sana lebih lama lagi pun tak akan mengubah apapun, justru hanya akan membawa aura negatif.”Sekarang aku tau, kenapa Ivan sempat memilih wanita ini dan berniat menikahinya. Dia gadis yang sangat istimewa. Sayangnya aku kembali di saat mereka sudah hampir menikah. Tapi sekali lagi, tak ada yang bisa memaksakan rasa. Itulah takdir, itulah jodoh, dan aku pun belum tau ke mana jalanku selanjutnya, siapa jodohku setelah ini. Semua ma
Aku masih merasakan keharuan atas perlakuan dan penerimaan tulus dari Gina dan ayahnya ketika pintu ruangan ayah Gina diketuk dari luar. Lalu netraku melebar saat melihat salah seorang berseragam kepolisian muncul di depan pintu. Bukan karena sosok berseragam itu, tapi sosok yang berdiri mengikutinya dari belakang.“Aya! Kenapa ke sini?”Persis dengan pertanyaannya sewaktu pertama kali aku datang dengan Kak Dian ke tempatnya ditahan.“Sudah nggak usah basa-basi. Kemarin-kemarin nggak nyadar ada CCTV main peluk-pelukan aja.” Ayah Gina malah menggodanya.Pria paruh baya penuh wibawa itu masih memerintahkan beberapa hal pada bawahannya, sebelum kemudian mengajak Ivan bicara. Aku menautkan alisku heran, tak ada kecanggungan di antara keduanya. Tak ada pembahasan mengenai kasus Ivan atau apa pun. Mereka justru membahas isu-isu publik dan beberapa hal lain yang bersifat umum. Sungguh, semua tak masuk di akalku, atau mungkin aku yang belum terbiasa dengan orang-orang seperti mereka. Aku tur
“Van ... kamu benar-benar belum mengenal Gina?”“Kenal. Namanya Gina Andrea.”“Bukan itu maksudku.” Aku menatap matanya. “Dia gadis yang luar biasa. Punya aura positif dan juga hatinya sangat baik. Kamu ... nggak nyesal ninggalin dia, batalin pernikahan kalian demi aku?”“Aku tau, Ay. Makanya waktu itu aku milih dia. Makanya rasa bersalahku sangat besar pada Gina dan keluarganya. Gina dan keluarganya baik dan sangat tulus. Mungkin aku orang pertama yang membuat citra mereka porak poranda. Itulah sebabnya aku menerima apa pun hukuman mereka. Aku tau Gina punya aura positif. Tapi ... rasaku semua padamu, Aya. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Aku tak bisa mengendalikan rasa ini. Aku hanya ingin kamu.” Suaranya meredup.Meski tersanjung, tapi aku justru merasa bersalah sudah membuatnya jatuh sedalam ini.“Jalan, Aya. Aku nggak mau lama-lama begini. Takut terbawa suasana.”Aku melajukan mobilku perlahan meninggalkan tempat di mana raganya terkurung selama dua bulan ini. Dua bulan yang menu
“Jangan dihalangin.” Suaranya semakin berat, kini disertai dengan deru napas yang tersengal.“Jangan,” pintaku. Padahal aku juga harus susah payah menahan keinginan yang menggebu-gebu di dalam dada.Telapak tangannya menyentuh pipiku, lalu menyusup ke belakang telinga.“Ja ... ngan.” Aku bertahan dari keinginanku sendiri. Aku juga sangat ingin, tapi juga harus menolak dalam waktu bersamaan.Lalu saat wajahnya semakin mendekat tanpa sanggup kutahan lagi, aku memilih menampar pipinya untuk menyadarkannya. Dia memundurkan wajahnya dengan desahan napas yang sangat berat. Sesaat pria di hadapanku itu membeku, meski napasnya terus terengah-engah.“Jangan lakukan,” pintaku memelas. "Aku bukan tak ingin, tapi ini tak boleh."Pria itu memejamkan mata sesaat, kemudian membuka pintu dan keluar dari ruangan. Lalu pintu ditutup dengan kasar. Tubuhku luruh ke lantai, menyesali apa yang baru saja terjadi. Hingga akhirnya aku memilih berpindah dan duduk di sofa yang ada di dalam ruangan.Selang beber
Keluar dari ruangan Ivan di Twin House tak serta merta membuat jantungku berhenti bekerja keras. Karena kini di hadapan kami berdua tiba-tiba saja berdiri Imelda, dengan mata tajam menatapku dan Ivan.“Ivan ... Aya ... kalian ....”“Hai, Mel.” Aku menyapa, sementara Ivan hanya berdiri di sampingku.“Kalian ... kok bisa?” Mata Imelda menatap penuh tanya.“Kami jadian!” ucap Ivan tanpa basa-basi.“Jadian? Kok bisa? Bukannya ....” Kalimat Imelda tak ada yang selesai.“Aya udah cerai.” Lagi-lagi diucapkan pria itu dengan tegas tanpa basa-basi.“Aya?” Imelda menatapku.Matanya menyiratkan kekecewaan padaku. Gadis modis ini memang pernah memintaku untuk menjadi perantara agar Ivan mau menerimanya sebagai kekasih. Bahkan pada saat ulang tahunnya waktu itu, Imelda tak segan menyuapi potongan kuenya pada Ivan. Kurasa ia kaget sekaligus kecewa melihatku dengan Ivan. Apalagi Ivan tanpa basa-basi memberi signal bahwa kami sedang dalam hubungan.“Ngobrol bentar, yuk, Mel.” Aku meraih tangan Imelda
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber