Langkah pasti dan kepercayaan diriku segera menguap saat aku tiba di depan pintu unit Nindya dan mendapati sosok paruh baya yang membuka pintunya saat aku menekan bell. Ibu Nindya menatapku dengan tatapan tak suka, sama persis dengan tatapannya saat itu. Saat aku menemani Nindya di rumah sakit di Jogja sewaktu dia kecelakaan. Tatapan yang sama saat wanita paruh baya ini menyuruhku pulang dan menjauhi putrinya.Tenggorokanku tercekat tak mampu berucap. Beruntung Nindya muncul dari balik punggung ibunya.“Loh! Pak Adam?” Nindya pun terlihat salah tingkah saat ibunya menatap tajam padanya.“Iya, Nin. Kebetulan aku tadi di atas, mau nawarin ke kantor bareng.”Nindya tak menjawab. Kurasa dia sedang mempertimbangkan karena ibunya masih menatap tanpa bicara.“Tunggu di parkiran, ya.” Nindya menarik tangan ibunya, kemudian menutup pintu.Gadis itu muncul dari balik pintu lift parkiran beberapa menit setelah aku menunggunya di dalam mobil. Kubunyikan klakson mobilku untuk memberinya kode. Aku
“Ibu terpukul, sangat terpukul. Ibu sakit selama berbulan-bulan bahkan harus mendapatkan healing oleh psikiater setelah mengetahui kenyataan ayah berselingkuh dengan sahabatnya. Saat itu aku masih berumur sepuluh tahun. Dan di umur segitu aku telah kehilangan kedua orang tuaku sekaligus. Ibu yang jiwanya terguncang dan masih harus mendapatkan healing, dan ayah yang setelah itu tak pernah lagi pulang ke rumah. Aku kehilangan mereka, padahal mereka masih ada. Di umur sepuluh tahun, aku dan abangku hanya dirawat oleh ART yang dibayar ayah untuk mengurus kami.”Ia menyusut mata. “Hingga ayah meninggal pun, ibu sama sekali belum memaafkannya. Juga dengan sahabatnya itu, ibu tak pernah mau membangun komunikasi lagi dengan wanita yang memiliki seorang putri dari ayah.”Dia menatap mataku.“Dan saat ibu bertemu dengan Pak Adam, lalu aku menceritakan pada beliau mengenai Pak Adam. Ibu langsung menolak, ibu seolah melihat sisi ayah dalam diri Pak Adam. Berkali-kali ibu mengingatkanku agar jan
PoV cahayaHari-hari kami kembali seperti semula, Mas Adam dengan kesibukannya bekerja dan aku dengan aktifitasku di butik. Malam-malam kami pun kembali seperti semula setelah malam itu, di mana dia meninggalkanku di kamar setelah mengutarakan kekecewaannya, setelah pernyataanku padanya tentang keinginanku untuk kembali hamil. Kami tak pernah lagi tidur bersama setelah malam itu.Terkadang kami hanya bertemu di pagi hari, saat sarapan bersama. Mas Adam belakangan ini juga sering pulang lebih malam, di saat aku sudah berada di dalam kamarku. Dia juga tak pernah lagi membunyikan bell rumah untuk memintaku membuka pintu. Semua terasa kaku. Hingga aku menyadari bahwa misi kami untuk kembali mencoba tidak akan pernah berjalan dengan baik jika masing-masing dari kami tak ada yang memulai untuk mengubah situasi dingin ini.Pagi ini, setelah Mas Adam berangkat, aku mencoba memberanikan diriku untuk masuk ke dalam kamarnya, kamar kami. Kupikir, mungkin aku harus kembali ke kamar ini, agar kehi
“Aya, maaf baru hubungin kamu lagi. Sebenarnya udah dari awal pengen meneleponmu, cuma ngak enak karena pasti akan disangkut pautkan dengan adikku. Aku hanya mau mengucapkan turut bersedih atas kehilanganmu. Aku menelepon sebagai temanmu, Ay.”“Kak Dian tau aku kehilangan bayiku?”“Iya.”“Kakak tau dari mana.”“Ivan.”Aku menelan ludahku. Ivan? Dia tau dari mana?“Dia ... tau dari mana, Kak?” Akhirnya aku memilih menanyakannya.“Aku nggak tau, Ay. Tapi dia tau semua tentangmu. Semenjak firasatnya yang nyuruh aku nemuin kamu terus ternyata kamu lagi kesakitan di butik itu, dia jadi cari tau kabarmu selanjutnya.”Aku menghela napas. Satu-satunya yang terlintas di benakku adalah, mungkin Ivan tau dari grup WA tim basket mereka.“Kak ....”Kak Dian tak menyahut.“Dia ....” Aku tak sanggup melanjutkan.“Ivan lagi nggak sama aku, Ay. Dia udah mulai ngurusin kerjaannya lagi, ngurusin beberapa kontrak kerja yang masih bisa dipertahankan, ngurusin dirinya yang kehilangan semangat beberapa bula
“Dia merindukanmu, selalu merindukanmu, tetap merindukanmu dan akan berhenti merindukanmu setelah ini. Hiduplah dengan bahagia, agar dia tak lagi punya niat untuk datang dan melihatmu. Hiduplah dengan bahagia, agar Ivan tak lagi punya alasan untuk merindukanmu.”Air mataku luruh.“Kak ... bilang padanya aku akan bahagia, bilang padanya dia juga harus bahagia. Dan sekali ini saja, bilang padanya ... kalau aku ... merindukannya.”Sekali lagi ada yang runtuh dan hancur dalam hati. Aku mengakhiri telepon dengan deraian air mata, namun segera kususut mataku saat menyadari jika seseorang sedang berdiri di depan pintu, menatapku tanpa berkedip.“Mas Adam!”Pria itu menggerakkan alisnya ke atas.“Tumben ... kemari?” Aku terbata.“Mau ngajakin makan siang, tapi sepertinya kamu sedang nggak bisa.”“Aku ... aku bisa, kok. Tunggu bentar, ya. Aku ... siap-siap.”Dia meraih tanganku yang masih gemetar.“Jangan dipaksakan.”“Nggak, Mas.” Aku berusaha sekuat tenaga menguasai diriku.Mas Adam datang k
Jariku masih aktif menggeser-geser layar ponsel ketika kutemukan sebuah foto yang membuatku terpana.“Thank you for the gift.”Tulis Nindya di sertai foto tangannya sedang memakai jam tangan.Mataku buru-buru mencari kotak yang kemarin kutemukan di atas meja rias. Tak ada lagi kotak itu di sana. Itu artinya, jam tangan mahal yang ada di dalam kotak berpita merah kemarin adalah hadiah buat Nindya.Rasa penasaran membuatku mencari tau lebih banyak, lalu kembali kutemukan foto yang lain yang menjelaskan semuanya.“Diculik buat dinner, padahal sudah nolak mati-matian. Happy Birthday!”Kali ini story WA Mas Adam yang menampilkan gambar meja kecil berbentuk bulat dengan beberapa peralatan makan di atasnya.Aku menelan ludahku. Jam tangan mahal itu hadiah ulang tahun buat Nindya.🍁🍁🍁Hari ini, aku pulang lebih malam dari biasanya. Selain karena menemani Iin menyusun stok barang tadi, aku juga memilih berlama-lama di butik. Mobil Mas Adam sudah terparkir di garasi saat aku tiba, dan sosokn
“Misi kita untuk kembali mencoba ternyata tidak mudah, Ay. Hubungan ini sudah terlanjur koyak, sangat sulit untuk menyulamnya agar kembali utuh. Hatimu sudah tertaut dengan kuat padanya, bahkan ikatan pernikahan pun tak mampu lagi mengembalikanmu.”Dia hanya membahas tentangku. Hanya aku.“Lalu bagaimana denganmu?” Kuberanikan diri untuk bertanya.Dia mengeryitkan keningnya menatapku.“Aku tau semalam kamu bersama Nindya. Aku tau kamu memberikan jam tangan mahal untuk hadiah ulang tahunnya.”Dia mengangguk. Mataku mulai memanas.“Iya, semalam aku bersama Nindya, meski aku harus susah payah memaksanya.” Dia sedikit menggumam. Kemudian melanjutkan.“Aku tak perlu mengatakan lagi bagaimana hubunganku dengan Nindya. Toh aku sudah pernah mengakuinya langsung padamu waktu itu. Dan bukankah Nindya juga sudah pernah mengakuinya padamu?”Aku mengangguk.“Abaikan Nindya, abaikan Ivan. Mari kita bicara tentang kita, Cahaya. Kita berdua hanya saling menyakiti satu sama lain dalam hubungan ini. Ak
Aku menelan saliva berkali-kali. Apakah ini akhir dari hubungan kami?“Bagaimana dengan Mama, Papa, juga keluargaku?”“Aku akan berusaha meyakinkan mereka bahwa ini adalah keputusan yang terbaik untuk kita.”“Bagaimana jika ....”Aku tak meneruskan kalimatku, karena pria itu menarik kepalaku, menenggelamkannya dalam peluknya.“Jangan khawatir, Aya. Aku akan meyakinkan mereka. Karena bukan hanya kita, bukan hanya kamu dan aku yang berubah. Mereka juga sudah berubah perlahan-lahan.”Aku menengadah, menatapnya meminta penjelasan.“Belakangan ini, Candra mengembalikan semua uang yang kutransfer ke rekeningnya. Itu artinya, keluargamu sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk terjadi pada hubungan kita.”Aku kembali menangis, membahas keluargaku, membahas tentang adik-adikku, tidak akan pernah bisa menahanku untuk tak menangis. Candra, adik bungsuku, adik lelakiku satu-satunya, selalu ada dan selalu mengerti dengan keadaanku.“Aya.”Aku kembali menengadah.“Tadi malam tidur di ka
“Kalian ini ya ... sama aja dua-duanya! Bucin gak ada obat emang!” Tak kupedulikan suara Kak Dian. Aku segera memeluk Aya sebisaku, membuatnya senyaman mungkin.“Untung bayimu nggak kembar, Ay. Kamu bayangin deh kalo dapat bayi kembar, punya tiga bayi kamu di rumah. Sanggup?” Kak Dian kembali bicara. “Kurasa yang paling ngerepotin sih bayi raksasamu yang ini, Ay.” Telunjuk Kak Dian mengarah padaku.“Jangan bikin Aya ketawa, Kak! Kakak nggak tau kan gimana rasanya ketawa pasca operasi lahiran?” Aku mengulangi kata-kata Kak Dian.“Oiya, sanggup puasa nggak lu, Bro! Empat puluh hari loh.” Kak Dian menekankan kata empat puluh. “Nggak bisa bikin anak orang keramas tiap hari lagi lu.” Suara kekehan Kak Dian terdengar mengejek.“Nak Dian dan Ivan di sana. Biar Ibu yang di sini.” Sebuah perintah lain membuatku dan Kak Dian tak bisa membantah lagi. Ibu mengambil alih posisiku, mengusap lembut kening putri sulungnya dan memberi bisikan-bisikan yang kurasa berisi banyak makna, sebab setelahnya k
PoV IvanAku seperti berada di sebuah ruangan sempit, terkunci rapat dan membuatku tak bisa bernapas. Kilasan-kilasan kebersamaan selama lima tahun lebih pernikahanku dengan Aya berputar kembali di kepala seperti adegan film yang membuat dadaku semakin sesak terhimpit.Tahun-tahun bersama Cahaya adalah tahun-tahun terbaik dalam kehidupanku. Tentu saja jika ini adalah film, seharusnya ini adalah film romantis, bukan film sedih yang membuat dadaku sesak seperti ini. Akan tetapi, sesak ini semakin tak dapat kutahan saja. Tak kupeduikan lagi bagaimana rupaku sekarang. Aku terisak ketika sudah tak dapat menahan sesak, lalu kembali menghirup udara ketika merasa sudah hampir kehilangan napasku.Ruangan ini tentu saja bukanlah ruangan yang sempit mengingat aku sedang berada di ruang VIP salah satu rumah sakit ternama. Di ruangan ini aku juga tak sendirian, ada ibu, Candra dan kembarannya, Kak Dian dan Bang Malik, namun meski banyak orang di ruangan ini, tak ada satu pun di antara kami yang be
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
“Terima kasih buat keluarga dan teman-teman yang udah hadir malam ini.” Ivan mengambil momen, menghentikan alunan music akustik yang sedari tadi mengisi pendengaran. Pria itu mengucapkan terima kasih yang tulus pada keluarga kami yang hadir malam ini, lalu pada teman-teman dekat yang diundang khusus olehnya. Aku menatapnya dari tempatku duduk tepat di depan panggung kecil di mana ia berdiri. “Malam ini kami merayakan tahun kelima pernikahan. Aku dan Cahaya Kirana, istriku, sudah lima tahun bersama-sama.” Dia menatapku dari depan sana, dan tatapan itu selalu membuatku merasa dicintai. Ivan masih menatapku sambil bicara. “Aku jatuh cinta pada wanita ini sejak kami masih memakai almamater yang sama, lalu Tuhan begitu baik mempertemukanku kembali dengannya belasan tahun kemudian hingga kami menikah. Dan sejak menikahinya, aku masih jatuh cinta padanya setiap hari, masih saja jatuh cinta padanya berulang kali. Malam ini saya meminta doa pada kalian semua agar kami tetap dikuatkan dalam
Lima tahun bersamanya, lima tahun penuh bahagia meski tak sedikit pula ombak kecil yang menghantam. Lima tahun bisa menjadi diriku sendiri setelah tahun-tahun sebelumnya terjebak dalam hubungan yang membuatku nyaris kehilangan kepercayaan diri. Malam ini Twin House ditutup untuk umum demi merayakan lima tahun pernikahan ku dan Ivan.Dekorasi anniversary sudah menghiasi Twin House, deretan-deretan makanan pun sudah tertata rapi di sana. Aku sendiri tak terlibat sedikit pun mempersiapkan malam ini, aku hanya memperhatikan kesibukan Iin yang berlalu lalang mengatur venue, lalu Byan yang mondar mandir menyusun catering. Sepasang kekasih itu kini benar-benar menjadi orang kepercayaanku dan Ivan.Aku juga sama sekali tak terlibat mengatur siapa saja undangan malam ini, sebab beberapa hari terakhir aku benar-benar hanya fokus pada diriku sendiri. Setelah siang itu di mana aku berbincang dengan Nindya dan baru menyadari ada yang aneh pada diriku, aku benar-benar melakukan pemeriksaan demi mem
“Emang akunya yang kecepatan sih, Ay. Sebenarnya janjinya agak sorean, tapi karena tadi kebetulan Mas Adam juga pas mau keluar, ya udah aku ikut aja. Aku nggak apa kan nunggu di sini?”“Nggak apa, Nin.”“Oiya, Aya. Aku tadi bareng Mas Adam,” katanya lagi tepat di saat sosok yang dibicarakannya itu muncul dari arah parkiran.“Hai, Aya. Gimana kabarmu?” Kaku sekali, pria itu menyapa.“Baik, Mas. Mas Adam gimana kabarnya?” Akupun menjawab sama kakunya. Kini aku mengerti mengapa Ivan berusaha menghindarkan pertemuan seperti ini. Aku dan dia pernah punya cerita, dan meski selalu berusaha untuk saling biasa saja, namun tak bisa dipungkiri akan ada kekakuan seperti ini saat berinteraksi.“Aku juga baik. Oiya, Ivan ada?”Kembali kujelaskan bahwa suamiku baru saja keluar.“Kalo gitu aku titip Nindya ya, Ay. Dia ada urusan dikit sama Ivan untuk urusan pekerjaan.” Mas Adam menjelaskan dengan detail urusan pekerjaan antara Nindya dan Ivan padaku.Aku kembali mengangguk setuju.“Ya udah, kutinggal
“Hari ini ikut ke Twin House, ya.”Ini sudah sebulan sejak kami kembali dari Bali setelah seminggu menikmati kebersamaan di sana. Dan untuk memenuhi permintaannya waktu itu agar aku mengurangi waktuku di butik, aku juga sudah mulai beradaptasi. Tentu tak ada alasan bagiku untuk tak mengikuti inginnya, apalagi alasan yang mendasari keinginannya sangat masuk akal.“Adam akan lebih sering datang ke kantorku, dan tentu saja akan lebih sering bertemu kamu juga. Bagaimanapun juga, kalian pernah memiliki cerita, aku hanya ingin menjagamu lebih baik lagi.”“Aku juga bakalan banyak pekerjaan, Aya. Dan keberadaanmu di sekitarku hanya akan membuatku tak bisa berkonsentrasi. Yang ada bukannya kerja, tapi malah ngerjain kamu.”Itu dua alasan yang membuatku menerima keingingannya, karena sejujurnya memang seperti inilah kebersamaan yang sejak dulu kuinginkan. Bertukar pendapat dengan pasangan, saling mendengarkan isi hati, saling memahami apa yang pasangan inginkan. Pernikahanku dengan Ivan adalah
“Dari mana, Pi?” Rasanya tak dapat kutahan kekesalanku hari ini. Bagaimana tidak? Kami tiba di villa sejak beberapa jam yang lalu, dan beristirahat sebentar. Lalu saat aku terjaga, tak kutemui pria itu di sudut mana pun sementara ponselnya tergeletak begitu saja di atas meja.“Udah bangun, Sayang? Gimana istirahatnya udah cukup belum?”Dan kesalnya lagi, Ivan justru menanggapi santai dengan kecupan di keningku.“Dari mana aja? Ponsel ditinggal nggak bisa dihubungi, tadi kan cuma mau istirahat bentar abis itu kita jalan-jalan. Kenapa malah ditinggalin berjam-jam gini?” Aku benar-benar kesal kali ini. Yang ada dalam pikiranku tadi, setelah tiba di villa, kami hanya perlu beristirahat sebentar lalu keluar dan menikmati liburan ini.Villa yang disewa Ivan kurasa bukan villa sembarangan. Lokasinya tepat menghadap ke pantai Jimbaran yang terkenal dengan keindahan sunset-nya. Bukan hanya aku, Kia dan Mbak Ri pun terlihat begitu antusias ketika tiba di villa ini tadi. Pemandangan pantai yang
Dari sini aku bisa melihat seperti apa hubungan kekeluargaan mereka di masa lalu yang sering Kak Dian ceritakan. Mungkin seperti inilah hubungan akrab mereka dulu di masa lalu sebelum semua hancur karena sebuah kesalahan. Tak ada yang perlu disesali, karena jika menyesali masa lalu, maka mungkin kehadiran Wira juga akan menjadi penyesalan. Padahal bocah yang memiliki banyak keisitimewaan itulah yang menjadi pemersatu kebersamaan kami ini.Tangan Ivan pun tak lagi selalu tertaut padaku. Kurasa dia juga sudah mulai menyadari bahwa Tari sudah berubah, setidaknya berusaha sangat keras untuk berubah.Dan hingga kebersamaan itu berakhir, kami semua seperti sedang menemukan kebahagiaan baru. Aku, Ivan dan Kia serta pengasuhnya melanjutkan liburan kami ke Bali, meninggalkan Tari dan anak-anaknya di rumah Kak Dian.“Aku bangga punya kamu, Aya.” Dan genggaman tangan itu kembali tertaut saat kami dalam perjalanan melanjutkan trip liburan. “Kalo bukan karena kebesaran hatimu, nggak akan ada keber